Laman

Kamis, 30 Maret 2023

Sejarah Banyumas (11): Serayu dan Tsiraija, Tjirajoe, Seraijoe dan Sungai Cartanagara di Banjoemas; Air Mangalir, DiengSampaiJauh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Kini sungai Serayu. Sungai yang sama mungkin telah silih berganti nama: Tsiraija, Tjirajoe, sungai Banjoemas dan sungai Cartanagara. Nama sungai tergantung sudut pandang: dari pedalaman di pegunungan dapat berbeda dari pesisir dan lautan. Seperti sungai-sungai lainnya, sungai Serayu sendiri kini menjadi jauh lebih panjang dibanding pada masa lampau. Mengapa? Yang jelas air sungai Serayu mengalir dari gunung Dieng menjadi jauh hingga mendekati pulau Nusa Kambangan.

 

Sungai Serayu atau Bengawan Serayu di Jawa Tengah, membentang dari timur laut ke barat daya 181 Km, melintasi lima kabupaten: Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. berada di lereng gunung Prahu di wilayah (pegunungan) Dieng kabupaten Wonosobo. Kemungkinan, nama Serayu dari nama sungai Sarayu dalam wiracarita Ramayana (sungai dekat Ayodya, kota tempat kelahiran Raden Rama Regawa tokoh utama kisah Ramayana). Kali Serayu debit air yang besar, di hulu Banjarnegara 656 M³/detik. Dengan banyak sungai bermuara k eke Serayu, di hilir debit menjadi 2.866 M³/det dan 2.797 m³/det di Banyumas dan di Rawalo. Sungai Serayu dibendung 10 Km di barat kota Banjarnegara yang dikenal Waduk Mrica/Mrican luas genangan 12 Km² dimanfaatkan irigasi dan PLTA Mrica berkapasitas 184,5 MW. Kelestarian perairan Kali Serayu terutama terancam sedimentasi, diakibatkan erosi tanah, terutama yang terjadi di wilayah dataran tinggi Dieng. Nama Serayu pernah menjadi nama maskapai kereta api lembah Serayu (Serajoedal Stoomtram Maatschappij) masa Pemerintah Hindia Belanda sejak 1891 menyusuri lembah sungai Serayu menghubungkan kota-kota Maos, Purwokerto, Sokaraja, Purbalingga, Banjarnegara dan Wonosobo. Pada masa ini PT KAI mengoperasikan KA Serayu kelas ekonomi AC dari Purwokerto ke Pasar Senen di Jakarta via Kroya, Maos, Tasikmalaya, Bandung dan Purwakarta (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah sungai Serayu, Tsiraija, Tjirajoe, sungai Banjoemas dan sungai Cartanagara? Seperti disebut di atas, sungai Serayu telah silih berganti nama sejak zaman kuno. Sungainya terus memanjang. Mengapa? Yang jelas air sungai Serayu mengalir dari gunung Dieng hingga jauh mendekati pulau Nusa Kambangan. Lalu bagaimana sejarah sungai Serayu, Tsirajoe, Si Raja, sungai Banjoemas dan sungai Cartanagara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sungai Serayu, Tsiraija, Tjirajoe, Sungai Banjoemas dan Sungai Cartanagara; Air Mangalir dari Gunung Dieng Manjadi Jauh

Pada Peta 1706 sungai Serajoe diidentifikasi sebagai sungai Cartanagara. Boleh jadi itu karena kota terdekat dimana Pemerintah VOC membangun benteng di Banjoemas. Benteng ini adalah benteng pertama Pemerintah VOC yang diakses dari pantai utara melalui daratan dan yang diakses dari pantai selatan melalui sungai Serayu. Mengapa disebut sungai Cartanegara? Sulit diketahui, apakah sungai Serajoe belum punya nama atau disebut Cartanegara karena sebutan penduduk di wilayah utara seperti di wilayah Purbalinga.


Dalam Peta 1706 ini Banjoemas diidentifikasi sebagai wilayah negeri (suatu wilayah di bawah kerajaan kecil di pedalaman). Nama Banjoemas sebagai wilayah dan Cartanegara sebagai nama sungai tentulah menarik diperhatikan. Hal ini karena mengundang pertanyaan mengapa nama sungai kemudian disebut sungai Serayu? Fakta bahwa sungai diidentifikasi sebagai sungai Cartanagara. Sebagaimana penamaan sungai di masa lampau ketika orang-orang Eropa mulai memetakan wilayah selalu mengidentifikasi nama sungai dari wilayah pantai dari arah mana mereka datang, sementara penduduk pedalaman di hulu sungai memiliki nama sendiri. Sebagai contoh sungai Jakarta di hilir, sungai Tjiliwong di hulu, demikian juga sungai Tangerang di hilir dan sungai Tjisadane di hulu. Hal itu juga dengan sungai Kediri di hulu, sungai Brantas di hilir; serta sungai Semanggi dan kemudian menjadi sungai Solo di hilir sementara di hulu disebut sungai Bengawan. Bagaimana dengan sungai Tjitandoei? Serupa itu jugalah yang terjadi dengan penamaan sungai Serayu.

Idem dito dengan penamaan sungai Cartanegara untuk sungai Serajoe. Pada Peta 1706 tersebut juga gunung Slamet diidentifikasi sebagai gunung Tegal. Disebutkan benteng yang dibangun di wilayah (district) Banjoemas di sisi selatan sungai Cartanagara di selatan (belakang) gunung Tegal. Boleh jadi pada masa ini wilayah (district) Banjoemas hanya diakses dari pantai utara. Tidak diketahui bagaimana situasi dan kondisnya pada masa sebelumnya. Francois Valentijn (1724) menyebut wilayah yang luas Banjoemas tersebut dipimpin oleh Raden Parwata Sari yang kemudian diusir pasukan VOC.


Pada Peta 1724 sungai Serayu diidentifikasi sebagai Soute Rivier (sungai garam, pen) dimana kampong terdekat di sisi barat muara sungai diidentifikasi Negorij Lombong. Sementara di ujung barat daratan diidentifikasi nama kampong Donan (kelak dimana kota Cilacap berada). Sungai Sorite ini hanya diidentifikasi pendek (tidak sepanjang sungai Tjitandoei). Boleh jadi itu dari sudut pandang dari pantai selatan di sekitar pulau Nusa Kambangan, sungai Sorite tidak bisa dinavigasi jauh ke pedalaman di wilayah (district) Banjoemas karena arusnya yang lebih deras (jika dibandingkan sungai Tjitandoei dan sungai Tjibereum). Sebab lain sulit dinavigasi sungai Serayu karea di dekat denga muara sungai terdapat area gosong (gundukan pasir) yang membuat dua arah aliran sungai ke hilir yang lebih lebar dan lebih dangkal (berbeda dengan sungai Tjitandoei yang dalam).

Dengan menggabungkan keterangan yang terdapat dalam peta 1724 dan Peta 1747 wilayah (district) Banjoemas seakan wilayah terpencil dari jalur navigasi pelayaran perdagangan di pantai selatan Jawa. Wilayah Banjoemas berdasarkan Peta 1747 masuk wilayah di bawah kerajaan Mataram. Sebagaimana diketahui berdasarkan perjanjian antara Soesoehoenan Kartasoera dan Pemerintah VOC (sebelum tahun 1687) wilayah Jawa bagian barat telah dipisahkan/diserahkan dari (kerajaan) Mataram kepada Pemerintah VOC hingga batas sungai Tjibeureum di pantai selatan dan batas sungai Losari di pantai utara (namun seperti kita lihat nanti batas ini digeser kea rah batas dengan menarik garis batas baru sepanjang sungai Tjitandoei hingga ke hulu di sekitar Bandjar.


Nama Banjoemas diduga nama lama, yang diduga sebagai nama sungai tempo doeloe yang kemudian menjadi nama wilayah (nama district). Di wilayah dimana Pemerintah VOC mendirikan benteng di sisi selatan sungai Cartanegara pada tahun 1706 kelak menjadi kota Banjoemas (benteng/fort Banjoemas). Nama Bandjar Negara tidak dikenal sebagai nama kampong lagi, tetapi sudah nama wilayah dimana ditempat dimana kemudian Pemerintah Hindia Belanda mendirikan benteng (lalu menjadi kota). Sementara itu nama Poerwokerto pada awal Pemerintah Hindia Belanda masih diidentifikasi sebagai sebuah nama desa. Sedangkan nama Poerbalingga, desa yang lebih besar yang dibagi menjadi desa Poerbalingga Wetan dan desa Poerbalingga Koelon di sisi selatan sungai Seraijoe Kiri. Sungai Seraijoe Kanan melalui kota Bandjarnagara. Sungai Seraijoe Kiri dan sungai Seraijoe Kanan bertemu di desa Bantar Doea yang ke hilir membentuk sungai Groote Seraijoe (dimana melalui sisi utara kota Banjoemas). Bagaimana dengan nama kota Tjilatjap? Tampaknya dari Namanya Tjilatjap adalah nama sungai yang bermuara di kampong Donan (nama kampong tertua, sejak era VOC). Besar dugaan ketika Pemerintah Hindia Belanda membangun benteng dan kota mengambil nama sungai (Tjilatjap) dan sebagai pengganti nama sungai adalaha sungai Tjidonan (mengambil nama kampong tua).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Air Mangalir dari Gunung Dieng Manjadi Jauh: Letusan Gunung di Hulu dan Sedementasi di Hilir

Kota-kota tua di wilayah Banjoemas diantaranya adalah Banjoemas, Poerbalingga dan Bandjarnegara. Tiga kota ini berada di daerah aliran sungai Serajoe. Besar dugaan tiga kota ini sudah eksis sejak zaman kuno, dimana ketiga kota ini berada di suatu garis pantai dari suatu danau besar di masa lampau. Danau besar di pedalaman ini telah mengering. Hal ini karena tebing yang membentuk danau jebol mengikuti arah sungai limpahan danau ke hilir menuju laut. Setelah mengering di dasar danau membentuk alur sungai Serayu yang sekarang (sungai/kota Bandjanegara dan sungai/kota Poerbalingga yang ke hilir melalui kampong/kota Banjoemas).


Pada saat danau kuno Banjoemas jebol, secara geomorfologis sungai Serajoe saat itu belum sepanjang yang sekarang. Besar dugaan garis pantai teluk besar saat itu sedikit di arah hilir sungai Serayu di wilayah kecamatan Rawalo dan kecamtan Kebasem yang sekarang.   Lumpur di dasar danau ketika bentang alam yang jebol itu membentuk arus air tersedot ke hilir yang mempercepart proses sedimentasi di hilir (yang mebentuk daratan baru wilayah Cilacap bagian timur). Apa yang menyebabkan danau besar Banjoemas jebol diduga kuat karena pengaruh gempa tektonik atau gempa vulkanik (gunung Slamet meletus) yang menyebabkan retakan bentang alam danuu yang berakibat danau jebol.

Tipologi danau Tipologi danau Banjoemas zaman kuno ini ditemukan di sejumlah tempat di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan di pulau Sumatra. Di sekitar danau purba Banjoemas diduga menjadi awal terbentuknya peradaban kuno di wilayah Banjoemas. Lantas apakah air danau pegunungan ini yang menjadi asal usul nama Banyumas? Sungai-sungai yang menuju danau dari gunung Slamet mengandung emas? Yang dalam navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno (era Hindoe Boedha) menjadi sangat penting?


Dalam navigasi pelayaran zaman kuno hingga awal era Hindoe Boedha, arah perdagangan dari daratan Asia ke pulau-pulau Nusantara melalui pantai barat Andaman, pantai barat Sumatra hingga ke pantai selatan Jawa. Hal itulah diduga mengapa awal perkembangan peradaban di Sumatra bermula di pantai barat dan awal perkembangan peradaban di Jawa bermulai di pantai selatan (muara sungai Cimandiri, muara sungai Tjitandoei, muara sungai Banjoemas/Seraju (pulau Kambangan, Solok dan Granaja), muara sungai Progo/Mataram, Wonogiri/Madioen (teluk Pacitan) serta pantai selatan Malang dan teluk Lumadjang (pulau Sempu dan pulau Nusa Barung). Lalu kemudian arah navigasi pelayaran dari barat ke Nusantara juga menemukan jalan dari selat Malaka hingga pantai timur Sumatra terus ke pantai utara Jawa. Salah satu pusat perdagangan di pantai utara Jawa berada di wilayah Tagal yang terintegrasi dengan wilayah Banjoemas di selatan. Tentu saja di daratan Asia dari barat (India) ke timur (Tiongkok/Indochina) masih melalui darat; orang Tiongkok sendiri yang bukan pelaut masih belum melakukan navigasi pelayaran perdagangan. Justru sebaliknya orang Nusantara memulai melakukan navigasi pelayaran perdagangan ke pantai timur Tiongkok (Canton). Dalam konteks inilah kita membicarakan awal navigasi pelayaran perdagangan di wilayah pantai selatan Jawa, dalam hal ini secara khusus di wilayah Banjoemas. Harus dicatat bahwa pada saat itu wilayah haris pantai Tegal jauh di pedalaman di dekat gunung Gajah.

Para pedagang dari berbagai tempat melakukan transaksi perdagangan di wilayah Banjoemas dengan membentuk koloni (pusat perdagangan) di pulau-pulau sekitar Banjoemas seperti pulau Kambangan, pulau Solok dan pulau Ganajah yang kemudian berinteraksi dengan populasi penduduk Banjoemas di pantai diantaranya di sekitar pesisir, wilayah Kroya yang sekarang (tepat berada di selatan kota Banjoemas), suatu jalur darat antara kota pedalaman dengan kota pantai yang dipisahkan oleh rantai pegunungan Kendeng.


Sebagai salah satu peradaban tua di Jawa, wilayah Banjoemas yang saat itu begitu dekat dengan pantai selatan, terintegrasi dengan wilayah Tegal di pantai utara (yang begitu dekat ke pedalaman di gunung Gajah). Pada saat itu, wilayah Banjioemas/Tegal adalah pusat perdagangan di Jawa dua sisi yang antara pantai selatan dan pantai utara begitu sempit (semacam tanah genting). Hal itulah mengapa dalam peta-peta kuno sejak era Ptolomeus mempersepsikan pulau Jawa seakan terbagi dua bagian (dua pulau; Jawa bagian barat dan Jawa bagian timur). Pada masa ini tanah genting lainnya di pulau Jawa terdapat di wilayah Trenggaleg/Tulungagoeng yang seakan memisahkan wilayah Jawa bagian tengah dengan Jawa bagian timur. Sementara itu di pulau Sumatra tanah genting ini terdapat di wilayah Angkola (kini Tapanuli Selatan) yang seakan pulau Sumatra terbagi dua (Sumatra bagian utara dan Sumatra bagian selatan) plus wilayah kepulauan Andaman-Nikobar sebagai satu kesatuan wilayah yang terpisah. Besar dugaan pulau Sumatra awalnya menyatu dengan pulau Jawa dan pulau Jawa menyatu dengan pulau Bali (kemudian terbentuk selat Sunda dan selat Bali). Bukti-bukti ke arah ini cukup banyak antara lain sebaran populasi orang negroid, sebaran populasi gajah dan harimau serta jenis vegetasi yang sama dan pembentukan bumi/jenis batuan dan tanah yang kurang lebih sama.

Penanda navigasi terpenting pada era pelayaran perdagangan zaman kuno di wilayah Banjoemas di pulau Jawa (bagian tengah) merujuk pada dua petunjuk navigasi yakni sungai Serayu dan gunung Slamet/pegunungan Dieng. Dalam hal ini tiga wujud alam tersebut membentuk wilayah Banjoemas sejak awal: sungai Serayu/sungai Banjoemas di Banjoemas menjadi jalur perdagangan di sekitar danau dimana sungai-sungai berhulu di gunung Dieng dan gunung Slamet. Secara khusus gunung Slemet diduga telah memberi banyak pengaruh pada gemorfologis wilayah karena gunungnya yang sangat aktif.


Pertanyaan tentang danau mengering memang sudah ada dari pemerhati sejarah di berbagai tempat di Indonesia. Hanya saja bagaimana terjadinya proses pengeringan dijelaskan kurang memuaskan. Namun dalam blog ini ada sejumlah artikel yang mendeskripsikan tentang gejala tentang terjadinya proses pengeringan. Ada yang bersifat alam dan ada juga yang bersifat buatan.  Yang bersifat alam, seperti disebutkan di atas karena danau jebol karena adanya pengaruh gempa yang bersifat tektonik atau vulkanik yang menyebabkan terjadinya retakan. Hal serupa itu diduga yang terjadi pada cekungan Bandoeng, rawa besar di Tapanuli Selatan, lembah Tangse di Atjeh dan sebagainya termasuk di Kawasan tertentu di dataran tinggi Malang. Nah, bagaimana dengan di wilayah Banjoemas? Seperti disinggung di atas, juga secara geomorfologis karena pengaruh alam. Sedangkan danau yang mengering akibat pengaruh buatan, dilakukan oleh manusia sejauh ini ditemukan di Banten, yakni danau pegunungan Rawa Danau di arah barat kabupaten Serang. Disebutkan pada tahun 1836 suatu bagian yang sempit dari tanggul danau yang terbentuk dari batu dijebol sehingga membuat saluran air keluar danau. Danau kemudian menyusut sehingga bagian permukaan danau yang mengering yang seluas 524 bau dapat dijadikan sawah padi dan 3.200 bau sesuai untuk perkebunan (lihat Javasche courant, 16-03-1836). Ini seakan menjadi cara jenius untuk mendapatkan lahan sumber tanpa menghilangkan sepenuhnya danau. Apakah hal serupa ini yang pernah dilakukan di zaman dulu di rawa besar Tapanuli Selatan? Bukti ke arah itu ada.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar