Laman

Jumat, 05 Mei 2023

Sejarah Cirebon (26): Gunung Jati, Cirebon, Nama Gunung dan Tempat di Dekat Pantai; Kisah Sunan Goenoeng Djati Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Cirebon dalam blog ini Klik Disini

Nama Gunung Jati dikaitkan dengan banyak hal. Nama Gunung Jati menunjukkan nama geografis (gunung Jati). Tentu salah satu wali songo (Sunan Gunung Jati). Nama Gunung Jati juga digunakan untuk nama rumah sakit dan nama perguruan tinggi. Artikel ini secara khusus mendeskripsikan nama tempat Gunung Jati di wilayah Cirebon.


Gunung Jati adalah salah satu kecamatan di kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Awalnya bernama kecamatan Cirebon Utara, dan berubah menjadi kecamatan Gunung Jati pada tahun 2006. Perubahan nama tersebut sebagai ciri adanya situs Makam Sunan Gunung Jati yang merupakan salah satu dari Wali Songo, tepatnya di desa Astana. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kota Cirebon. Fasilitas, kecamatan ini terdapat satu rumah sakit, yaitu: Rumah Sakit Pertamina Cirebon di Komplek Pertamina EP Region Jawa, Klayan. Selain terdapat Puskesmas Gunung Jati di desa Mertasinga dan juga dua puskesmas pembantu (pustu). Pembagian administrasi, kecamatan Gunung Jati memiliki 15 desa, yaitu: Pasindangan, Adidarma, Jadimulya, Klayan, Jatimerta, Astana, Kalisapu, Wanakaya, Grogol, Mertasinga, Mayung, Babadan, Buyut, Sirnabaya dan Sambeng (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah Gunung Jati di wilayah Cirebon, nama gunung dan tempat dekat pantai? Seperti disebut di atas, nama Gunung Jati adalah nama gunung cukup dekat dengan pantai. Di suatu kampong kuno Astana terdapat makam sunan (Sunan Gunung Jati). Bagaimana hubungan Soenan Goenoeng Djati tempo doeloe dengan gunung Jati. Lalu bagaimana sejarah Gunung Jati di wilayah Cirebon, nama gunung dan tempat dekat pantai?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Lukisan: Mercusuar di pelabuhan Cirebon (1886)

Gunung Jati di Wilayah Cirebon, Nama Gunung dan Tempat Dekat Pantai; Soenan Goenoeng Djati Tempo Doeloe

Kapan disebut dengan nama Sunan Gunung Jati? Itu satu hal. Kapan nama Gunung Jati sebagai nama geografi disebut? Nama Goenoeng Djati paling tidak sudah dilaporkan pada tahun 1879. Nama Gunung Jati adalah nama tempat/wilayah dimana terdapat gunung Jati.


Soerabaijasch handelsb, 02-04-1879: ‘Uit Cheribon. Salah satu keturunan sultan kuno, disini dikenal dengan nama Padouka Toean Soelthan Polmak, berkumpul bersama ayahnya. Tanggal 20 dia dimakamkan di Goenoeng Djati, dimana semua bangsawan disemayamkan, dan saya tidak melebih-lebihkan ketika saya mengatakan bahwa lebih dari 2.000 orang menemani Soelthan Polmak ke tempat peristirahatan terakhirnya. Permaisuri juga mengikuti jenazah, dan mereka yang tidak memiliki kereta dibawa ke tempat yang bersangkutan melakukan jalan kaki. Upacaranya sama sekali tidak menyedihkan.        

Dalam Peta 1886 diidentifikasi nama gunung yang disebut Goenoeng Djati. Tinginya 60 meter. Di sisi utara gunung terdapat sungai Tjendong dan di sisi selatan sungai Djaga Pekik. Di sisi barat gunung ada jalan raya (dari kota Cheribon). Jalan ini di dalam kota melalui tepat berada di sisi utara kraton Kanoman yang sekarang (terus ke kota).


Pada Peta 1724 ditempat dimana pemakaman yang dimaksud dalam berita di atas, diidentifikasi tidak sebagai nama gunung, tetapi dengan nama Astana atau tempat suci (heylige graf). Tempat suci yang dimaksud diduga adalah tempat makam orang suci. Lalu bagaimana dengan nama Astana? Diduga nama Astana adalah sutau istana (temp doeloe) dimana eks istana itu kemudian dijadikan tempat (makam) suci. Dalam Peta 1724 Aterdapat sungai Tsilangsiang di sebelah utara dan sungai Quali Sapoe di selatan. Sungai Tsilangsiang ini diiduga berubah nama menjadi sungai Tjendong (kini sungai Condong). Nama sungai Qualu Sapoe tetap sama (kini sungai Kali Sapu).

Tempat makam suci diduga sudah ada sejak masa lampau yang juga disebut Astana. Bagaimana dengan nama gunung yang namanya diidentifikasi Goenoeng Djati? Apakah lebih dulu eksis nama Goenoeng Djati dari adanya tempat pemakaman? Tampaknya Goenoeng Djati sebagai nama tempat lebih awal eksis daan baru kemudian ada kuburun suci (di wilayah Goenong Djari) tersebut.


Pada tahun 1913 terdapat satu arikel yang mengaitkan nama orang suci dengan tempat yang disebut Goenoeng Djati (lihat De expres, 29-12-1913). ‘…Pada tahun 1398 pangeran orang Melayu, Mantsur Shah, seorang muslim, dengan sengaja datang ke Djawa untuk menikahi putri raja Padjadjaran Tjioeng Wanara, mualaf pertama diperoleh disana dengan banyak pengikutnya. Namun, yang pertama datang dengan tujuan untuk mewartakan Islam adalah Syekh Nuru'ddin Ibrahim ibn Maulana Israil. Melalui berbagai perjalanan sebagai pasangan dagang (kongsi) di Djohor, Malaka, Atjeh, Pasir dan daerah lainnya, ia telah memperoleh banyak pengetahuan tentang penduduk. Dia menetap di Goenoeng Djati, tidak jauh dari tempat yang sekarang disebut Cheribon, menjalani kehidupan suci disana, mengajar Alquran dan mendapat pujian besar, terutama untuk penyembuhan seorang wanita penderita kusta, sehingga dia segera memiliki banyak pengikut sampai bahkan di wilayah pedalaman yaitu di lanskap Galoe, Limbangan, Soekapoera dan di bagian timur kerajaan Pajajaran, selanjutnya di Indramajoe, Cheribon, Brebes, Koeningan, Madjalengka, Bandoeng, Soemedang, setelah itu dia bergelar Soesoehoenan Goenoeng Djati dan kemudian menjadi pendiri dinasti para sultan Cheribon. Putranya Hassan Ad'din mendakwahkan Islam di Banten Girang (Bantam). Konversi ini menggerogoti wibawa penguasa Padjadjaran, Prabu Siliwangi, yang saat itu berkuasa...’.

Lantas siapa Sunan Gunung Jati? Mengapa disebut orang Melayu? Yang jelas belum ada di Jawa (orang Jawa atau orang Sunda) yang beragama Islam (masih era Hindoe Boedha). Bagaimana dengan Sunan Kalijaga di Demak? Dalam artikel yang disebut di atas (De expres, 29-12-1913) Sjech Maulana (di Gresik) memberi gelar kepada penguasa Demak Raden Patah di Demak dengan gelar sultan Senopati Djimboon Ngabdoerachman Sajidin Panotogomo Panembahan Palembang. Apakah dalam hal ini Raden Patah berasal dari wilayah Melayu Palembang? Yang juga demikian dengan Maulana Hasoenoedin Banten juga orang Melayu?


Dalam Wikipedia disebiut Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil dilahirkan 1448 dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).

Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 yang kemudian dengan dukungan Kesultanan Demak dan Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (Tumenggung Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu) ia dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati. Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan dan Alwi Ammul Faqih. Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan agung para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara (bahasa Cirebon: Gotra Sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677 di Cirebon maka Pangeran Raja Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli di bidangnya. Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di dalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah diluruskan dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Soenan Goenoeng Djati Tempo Doeloe: Sejarah Awal Nama Geografis Goenoeng Djati

Gunung Jati adalah gunung rendah dekat pantai di dekat sungai Tjendong (tinggi 60 meter). Gunung ini memang tidak tinggi, tetapi permukaan tanah tertinggi di Kawasan (datara rendah di belakang pantai). Besar dugaan bukan gunung yang sebenarnya, tetapi dugaan kuat adalah eks suatu pulau di masa lampau.  


Peta 1886 dapat dibandingkan dengan peta masa kini (peta satelit). Pada Peta 1886 posisi gunung (Goenoeng Djati) berada di sisi kanan jalan raya. Pada peta masa kini posisi GPS makam Sunan Gunung Jati berada di sisi kiri jalan raya. Area makam pada masa ini sekitar 6-8 M (tertinggi 10 M). Sementara eks gunung Goenoeng Djati (yang kini juga ditemukan sejumlah makam ketinggiannnya sekitar 10 M (paling tinggi 14 M). Ketinggian jalan raya sendiri sekitar 4 M.

Pada masa ini gunung Gunung Jati berada di sisi kanan jalan, sementara di area dimana makam Sunan Gununung Jati terdapat nama yang disebut Gunung Sembung. Yang menjadi pertanyaan mengapa tinggi Goenoeng Djati tempo doeloe sekitar 60 M tetapi kini hanya 14 M. Apa yang telah terjadi? Apakah gunung Goenoeng Djati telah ditambang tanahnya untuk kebutuhan pengurukan dalam suatu pembangunan (misalnya pembangunan jalan)? Catatan: apakah ada pembaca yang bisa menginformasikan jenis tanah di area Gunung Jati dan di area Gunung Sembung? Apakah tanah kapur atau tanah alluvial atau jenis lainnya?


Pada abad ke-15 (pada masa Sunan Gunung Jati masih hidup) area Goenong Djati diduga kuat masih berupa suatu pulau yang dikelilingi perairan/laut. Pulau Goenoeng Djati ini melipiti Kawasan di sekitar (termasuk Gunung Sembung; muncul sebagai nama baru). Seberapa luas pulau Goenoeng Djati ini sulit diketahui. Akan tetapi jika tinggi jalan (4 M) besar kemungkinan Goenoeng Djati dan Goenoeg Sembung adalah dua pulau yang berbeda yang dipisahkan oleh laut dangkal (di garis jalan raya). Untuk menghitung luas (dua)pulau sebagai patokan, maka dalam hal ini pulau diasumsikan dimulai dari ketinggian 5 M, yang total luas pulau diperkirakan memanjang searah jalan ke utara 150 M dengan lebar 100 M. Apakah dalam hal ini pulau Goenoeng Djati adalah kampong/kota dimana terdapat pemukiman Soenan Goenoeng Djati, sementara pulau Goenoeng Semboeng adalah tempat pemakaman. Sebagaimana pada artikel sebelumnya, kota Cirebon sendiri pada era VOC diidentifikasi berasal dari suatu kampong dimana terdapat benteng VOC (Fort Tjeribon). Kampong dan benteng ini berada di belakang suatu teluk. Artinya, saat Sunuan Gunung Jati masih hidup bermukim di (pulau) Goenoeng Djati, daratan kota Cirebon diduga belum terbentuk.

Sebagaimana disebut di atas, pada tahun 1398 pangeran orang Melayu, Mantsur Shah, seorang muslim, dengan sengaja datang ke Djawa untuk menikahi putri raja Padjadjaran Tjioeng Wanara, mualaf pertama diperoleh disana dengan banyak pengikutnya. Lalu kemudian menetap di Goenoeng Djati. Kisah ini menjadi masuk akal, karena pangeran itu sebagai seorang pelaut/pedagang akan memilih tinggal di suatu pulau yang tidak jauh dari daratan (wilayah Galoeh/Padjadjaran). Sebagai mana para pendatang (pelaut/pedagang) lazimnya memulai pos perdagangan di pantai atau pulau terdekat dengan daratan (alasan keamanan dan wilayah non otoritas kerajaan di daratan).


Jika kita perluas kisah tempat tinggal Soenan Goenoeng Djati ini, sebenarnya menjadi kurang lebih sama dengan delapan wali yang lainnya. Seperti telah dideskripsikan dalam berbagai artikel di dalam blog ini, Gresik pada awalnya suatu pulau dimana wali Maulana Malik Ibrahim; di Ampel, Soerabaja juga bermula wali Sunan Ampel di suatu pulau; Soenan Bonang di suatu tempat sisi timur pulau Jawa (Lasem); Soenan Drajat suatu pulau di muara sungai Bengawan Solo (kini Lamongan); Soenan Giri di suatu pantai dekat salah satu muara sungai Soerabaja; Soenan Kalidjaga di pantai di muara sungai Demak (yang berhulu di danau Rawa Pening); Soenan Koedoes di suatu pantai (bagian dalam teluk Demak); dan Soenan Moeria di suatu pantai di lereng gunung Muria (bagian dalam teluk, yang di duga di Pati yang sekarang). Catatan: wilayah antara Koedoes dan Pati saat itu adalah Kawasan rawa-rawa (sedimentasi, daratan yang terbentuk baru).  

Sebagaimana disebut di atas, pada tahun 1398 pangeran orang Melayu, Mantsur Shah, seorang muslim, dengan sengaja datang ke Djawa untuk menikahi putri raja Padjadjaran Tjioeng Wanara, mualaf pertama diperoleh disana dengan banyak pengikutnya. Lalu kemudian menetap di Goenoeng Djati. Kisah ini menjadi masuk akal, karena pangeran itu sebagai seorang pelaut/pedagang akan memilih tinggal di suatu pulau yang tidak jauh dari daratan (wilayah Galoeh/Padjadjaran). Sebagai mana para pendatang (pelaut/pedagang) lazimnya memulai pos perdagangan di pantai atau pulau terdekat dengan daratan (alasan keamanan dan wilayah non otoritas kerajaan di daratan).


Jika kita perluas kisah tempat tinggal Soenan Goenoeng Djati ini, sebenarnya menjadi kurang lebih sama dengan delapan wali yang lainnya. Seperti telah dideskripsikan dalam berbagai artikel di dalam blog ini, Gresik pada awalnya suatu pulau dimana wali Maulana Malik Ibrahim; di Ampel, Soerabaja juga bermula wali Sunan Ampel di suatu pulau; Soenan Bonang di suatu tempat sisi timur pulau Jawa (Lasem); Soenan Drajat suatu pulau di muara sungai Bengawan Solo (kini Lamongan); Soenan Giri di suatu pantai dekat salah satu muara sungai Soerabaja; Soenan Kalidjaga di pantai di muara sungai Demak (yang berhulu di danau Rawa Pening); Soenan Koedoes di suatu pantai (bagian dalam teluk Demak); dan Soenan Moeria di suatu pantai di lereng gunung Muria (bagian dalam teluk, yang di duga di Pati yang sekarang). Catatan: wilayah antara Koedoes dan Pati saat itu adalah Kawasan rawa-rawa (sedimentasi, daratan yang terbentuk baru). Peta 1877

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar