Laman

Jumat, 11 Agustus 2023

Sejarah Mahasiswa (12): Sorip Tagor Dokter Hewan Pertama, Lulus di Rijksveeartsenij School di Utrecht, 1920; J. A. Kaligis, 1922


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini 

Kesalahan yang terus diulang akan menjadi kebenaran sejarah. Data dan fakta sejarah sulit diubah. Namun interpretasi terhadap data dan fakta bisa berbeda. Namun semua itu sangat tergantung dari ketersediaan data, akurasi data dan kelengkapan data. Sejarah adalah narasi fakta dan data. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri.


Pada tahun 1820 RA Coppicters, dokter hewan Belanda datang ke Hindia menangani hewan-hewan yang penting bagi pemerintah. Lembaga pemerintah urusan kedokteran hewan dibentuk tahun 1841 (Veeartsenijkundige Dienst) kemudian berubah menjadi (Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst) tahun 1853. Periode 1853–1869, hanya tiga dokter hewan melayani seluruh Jawa. Pada tahun 1869, dua dokter hewan ditempatkan di di Sumatra dan di Sulawesi. Sekolah dokter hewan pribumi Inlandsche Veeartsen School (IVS) diddirikan di Surabaya tahun 1861 dipimpin Dr J van der Weide (lama studi dua tahun). IVS ditutup tahun 1875. Hanya menghasilkan delapan dokter hewan pribumi elama sembilan tahun. Pada 1875–1880, pendidikan dilakukan dalam bentuk magang pada dokter hewan pemerintah. Ada sembilan pemuda magang pada tujuh orang dokter hewan pemerintah; delapan di antaranya diluluskan tahun 1880. Tak berselang lama, wabah penyakit hewan melanda, sampar sapi tahun 1875, antraks 1884, surra 1886, dan mulut/kuku 1887. Pada tahun 1884 dibentuk Nederland-Indische Vereeniging voor Diergeneeskunde. Pada tahun 1908, didirikan Veeartsenijkundig Laboratorium untuk menangani wabah sampar sapi. Di laboratorium ini juga dibuka pendidikan dokter hewan pribumi selama empat tahun (Cursus tot Opleiding van Inlandsche Veearstsen). Dua siswa pertamanya merupakan lulusan sekolah pertanian diterima di kelas tiga. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Sorip Tagor, dokter hewan pertama Indonesia, lulus di Rijksveeartsenij School di Utrecht, 1921? Seperti disebut di atas, nama Sorip Tagor lulus 1921 kurang pepuler, yang popular adalah JA Kaligis lulus 1922. Sorip Tagor adalah kakek Desty/Risty Tagor dan Destri Tagor (istri Setya Novanto, mantan ketua DPR). Lalu bagaimana sejarah Sorip Tagor, dokter hewan pertama Indonesia, lulus di Rijksveeartsenij School di Utrecht, 1921? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Sorip Tagor, Dokter Hewan Pertama, Lulus di Rijksveeartsenij School di Utrecht Tahun 1920; JA Kaligis, 1922

Siswa-siswa yang memulai studi dari tingkat pertama saat dibukanya Veeartsen School di Buitenzorg tahun 1907 baru lulus tahun 1912. Sorip Tagor dinyatakan lulus (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1912). Sebelum lulus, Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada tahun 1913, Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda). Veeartsen School di Buitenzorg setara sekolah menengah (HBS).


Dalam buku Satu Abad Sekolah Kedokteran Hewan Belanda (Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs, 1821-1921), Sorip Tagor Harahap dicatat sebagai angkatan 1913/1914 (sebanyak 40 mahasiswa). Sorip Tagor lahir di kampong Hoeta Imbaroe, Padang Sidempoean, 21 Mei 1888. Tidak lama setelah kedatangan Sorip Tagor Harahap di Belanda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, presiden Indische Vereeniging yang pertama kembali ke tanah air.

Sorip Tagor lulus ujian kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool di Utrecht pada bulan Juni 1916 (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Ini menandakan babak baru bagi pribumi untuk memulai studi kedokteran hewan di negeri Belanda. Sorip Tagor menjadi pionir.


Siswa-siswa pribumi yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda, selama ini tidak pernah yang memilih Rijksveeartsenijschool di Utrecht. Mahasiswa pribumi yang tergabung dalam Indische Vereeniging, biasanya studi di sekolah teknik di Delft (seperti Soerachman), sekolah kedokteran di Amsterdam (seperti Asmaoen dan Abdoel Rivai), sastra (Hoesein Djajadiningrat), hukum (Raden Noto Soeroto) dan lainnya di Leiden, sekolah pertanian di Wageningen (seperti Soemardji dan Djamaloedin); serta sekolah perdagangan di Amsterdam (seperti Sjamsi Widagda) serta sekolah keguruan Rijkskweekschool di Haarlem (seperti Soetan Casajangan dan Tan Malaka).

Sorip Tagor di Belanda mempelopori didirikannya Sumatranen Bond. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. Salah satu anggota komisaris adalah Ibrahim Datoek Tan Malaka. Disebutkan tujuan didirikan organisasi adalah untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra (lihat De Sumatra post, 31-07-1919).


Sumatranen Bond/Soematra Sepakat adalah organisasi yang terpisah dari Indische Vereeniging. Meskipun demikian semua anggota Soematra Sepakat yang berasal dari Sumatra juga adalah anggota Indische Vereeniging (yang didirikan tahun 1908). Umumnya anggota Indische Vereeniging yang berasal dari Jawa berafiliasi dengan Jong Java/Boedi Oetomo. Pada tahun 1917 ini di Batavia juga didirikan Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intensitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya sama dengan Sumatranen Bond yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918). Boedi Oetomo didirikan 1908 dan Jong Java tahun 1915. Jong Java adalah organ pemuda Boedi Oetomo. Pendirian Indische Vereeniging di Belanda dipelopori oleh Soetan Casajangan.

Pada tahun 1917 di Belanda diadakan Kongres Hindia (Indisch Congres) yang partisipannya mahasiswa di Belanda yang tergabung dalam organisasi mahasisawa Belanda asal Hindia, organisasi Cina asal Hindia dan Indische Vereeniging. Ketua Panitia Kongres Hindia adalah HJ van Mook (lulusan HBS Soerabaja). Delegasi Indische Vereeniging di dalam kongres dipimpin pengurus seperti Goenawan Mangoenkoesoemo, Dahlan Abdoellah dan Sorip Tagor.


Dalam kongres ini dari Indische Vereeniging turut berbicara Goenawan Mangoenkoesoemo, Dahlan Abdoellah dan Sorip Tagor. Satu yang penting dan terpenting hadil dari kongres ini adalah para anggota Indische Vereeniging mengusulkan agar penyebutan nama orang pribumi, inlander atau Indier diganti dengan sebutan Indonesier (orang Indonesia). Usulan yang disampaikan Dahlan Abdoellah tersebut tampaknya dimaklumi oleh kolega mereka dari golongan Belanda dan Cina. Ternukti dalam kongres tahun berikutnya (1918) nama kongres sudah disebut Indonesia Congres (meski pers masih mempertukarkankan dengan nama Indische Congres). Sejak kongres tahun 1917 inilah nama Indonesia mulai popular dijadikan nama-nama organisasi di berbagai bidang seperti perdagangan, pendidikan. Namun, seperti kita lihat nanti nama Indisch Vereeniging baru benar-benar diubah tahun 1921 dengan nama Indonesiaach Vereeniging.

Sorip Tagor pada bulan Desember 1920 lulus ujian akhir (2de helft) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht. Sorip Tagor diwisuda dan mendapat gelar dokter hewan (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921).


Secara kronologis studi Sorip Tagor sebagai berikut: Sorip Tagor terdaftar sebagai mahasiswa Rijksveeartsenijschool pada tahun 1913. Pada tahun 1915 kuliah tingkat satu (lulus ujian); tahun 1916 kuliah tingkat dua (lulus ujian kandidat dokter hewan); tahun 1917 kuliah tingkat tiga (lulus ujian); tahun 1918 kuliah tingkat empat (lulus ujian propa. dan melakukan riset); pada bulan Juni 1920 lulus ujian pertama atau ist helft. Terakhir pada bulan Desember 1920 lulus ujian 2de helft (eindexamen). Dr. Sorip Tagor meski aktif berorganisasi dan mempelopori gerakan politik mahasiswa di lingkungan organisasi mahasiwa Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging), namun kelancaran studinya tetap berjalan normal. Seperti pernah dikatakannya bahwa 'studi dan politik sama pentingnya'. Sementara itu, pada tahun 1919 Dahlan Abdoellah, sekretaris Sumatranen Bond menjadi ketua Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) yang menjadi awal perubahan haluan di Perhimpoenan Hindia dari incremental ke arah yang lebih radikal. Sorip Tagor di dalam majalah Hindia Poetra, organ Perhimpoenan Hindia pada edisi Januari 1919 menulis artikel yang pada intinya mengatakan bahwa 'studi dan kegiatan politik sejalan dalam organisasi'. Sorip Tagor  dengan kata-kata pedas mengatakan 'jika Perhimpoenan Hindia menghindari politik, organisasi tidak akan mencapai apapun dalam bentuk manfaat bagi penduduk Indonesia, baik hari ini maupun masa datang'. Sorip Tagor juga dalam tulisan mempersalahkan sejumlah mahasiswa asal Jawa dari keluarga ningrat yang tak punya perhatian terhadap situasi umum di Hindia dan keadaan kehidupan wong cilik (lihat Harry A. Poeze  et al: ‘Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950). Pada tahun 1919 ini di Belanda dibentuk federasi oraganisasi yang disebut Indonesisch Verbond (Gabungan Indonesia) yang juga akan mengadakan kongres di Belanda. Sorip Tagor dan kawan-kawan berpartisipasi (lihat Algemeen Handelsblad, 02-02-1919). Kongres Indonesia ini adalah gabungan organisasi-organisasi mahasiswa orang Belanda (terutama Indo), Cina (Chung Hwa Hui) dan pribumi (Indonesiasch Vereeniging). Ketua komite kongres adalah HJ van Mook. Yang cukup mengemuka dalam kongres ini adalah bahwa Batavia harus membuka jalan bagi Leiden, Wageningen dan Utrecht dan lainnya di Indonesian. Hanya pendidikan tinggi yang dapat mengisi kekosongan yang ada di Hindia. Dan para guru pertama-tama harus datang dari Belanda, untuk secara bertahap dilengkapi oleh guru-guru pribumi. Sekolah kedokteran hewan dan perguruan tinggi pertanian yang pada saat ini sebagai pelatihan harus diubah menjadi hoogesehool. Tan Ping Se mengatakan bahwa universitas bukan hadiah, tetapi kemerdekaan Indonesia. Kami ingin melepaskan diri, tidak hanya di pendidikan tetapi juga di area ekonomi (tepuk tangan). Namun demikian diantara yang hadir dalam forum ada juga yang menentangnya (tidak ingin Hindia mandiri, tetapi selalu tergantung Negeri Belanda). Mangapa Sorip Tagor berapi-api soal nasionalisme? Jawabnya adalah karena Sorip Tagor dan Soetan Casajangan sama-sama memiliki satu pemikiran. Boleh jadi, Sorip Tagor telah banyak mendapat masukan dari Soetan Casajangan. Sejak awal, Soetan Casajangan adalah actor pertama pergerakan pelajar/mahasiswa di Belanda yang kerap memberikan kritik dan solusi kehidupan di Hindia di berbagai forum yang dihadiri oleh kalangan cendekiawan di Belanda. Soetan Casajangan, sebelum pulang ke tanah air, pada tahun 1913 menerbitkan buku yang dicetak di Barns oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Inilah cara Soetan Casajangan agar orang di Eropa dapat melihat apa yang terjadi di Hindia. Buku itu berjudul: 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan khususnya pembangunan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan) dan Boedi Oetomo (digagas oleh Soetomo). Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Buku ini adalah buku pertama orang pribumi yang diterbitkan pertama kali dan diedarkan di Eropa.

Sementara itu pada tahun 1920 di Rijksveeartsenijschool JA Kaligis diterima. JA Kaligis berangkat studi kedokteran hewan ke Belanda awal tahun 1920 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Disebutkan kapal Grotius akan berangkat tanggal 31 Januari dari Batavia dengan tujuan akhir Amsterdam.


JA Kaligis sebagai pribumi kedua studi kedokteran hewan di Utrecht datang saat Sorip Tagor sudah hampir selesai studi. Surat kabar Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 14-10-1920 memberitakan bahwa JA Kaligis salah satu dari mahasiswa yang lulus ujian bagian pertama di Utrecht. JA Kaligis menyelesaikan sebagian yang lain (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921).

Setelah mendapat gelar dokter hewan, Sorip Tagor pulang ke tanah air. Sejak Sorip Tagor memulai studi di Utrecht, tahun 1913 hingga lulus dan mendapat gelar dokter hewan berlisensi Eropa tahun 1920, belum pernah pulang. Di Batavia, Gubernur Jenderal mengangkat Dr Sorip Tagor menjadi dokter hewan di lingkungan istana. Penunjukan dan pengangkatan ini secara resmi berdasarkan surat keputusan Menteri Koloni No 89 tanggal 26 Mei 1921 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-09-1921).

Tunggu deskripsi lengkapnya

JA Kaligis, 1922: Sejarah Sekolah Kedokteran di Belanda dan di Indonesia

Saat buku Soetan Casajangan diberitakan di surat kabar termasuk surat kabar di Hindia Belanda, Dr. Soetomo baru pulang dari tugas di Deli. Dr Soetomo mulai bertugas 1911 dan kembali ke Jawa tahun 1914). Di Batavia, Dr Soetomo meminta kepada ketua Boedi Oetomo afdeeling Batavia Dr Sardjito untuk diadakan rapat umum. Dr Sardjito adalah adik kelas Dr Soetomo di STOVIA. Dr Soetomo adalah salah satu pendiri Boedi Oetomo di Batavia tahun 1908.


Dalam rapat umum Boedi Oetomo afdeeling Batavia yang dihadiri 2.000an anggota, Dr. Soetomo mengatakan kontrak kuli (asal Jawa) di Deli tidak adil dan sangat menderita. Dr. Sotomo lebih lanjut mengatakan 'kita tidak bisa (lagi) berjuang sendiri (melihat situasi di Deli). Kita harus berjuang bersama. Orang luar Jawa banyak yang terpelajar terutama dari Tapanoeli'. Sejak inilah Dr. Soetomo (meski sebagai pendiri tetapi terkooptasi oleh senior) melihat Boedi Oetomo telah salah jalan (hanya terbatas dan bersifat kedaerahan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok sesuai statuta Boedi Oetomo).

Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi kedokteran ke Belanda dan langsung bergabung dengan Indische Vereeniging. Boleh jadi Dr. Soetomo telah memahami arah haluan politik Perhimpoenan Hindia sudah lebih radikal (sejak kepengurusan Dahlan Abdoellah dan teguran Sorip Tagor). Haluan inilah yang ditemukan Dr. Soetomo ketika menyadari Boedi Oetomo tidak bisa berjuang sendiri.  Dr. Soetomo di Belanda semakin intens di Perhimpoenan Hindia dan kemudian menjadi ketua pengurus pada tahun 1921 saat mana JA Kaligis sedang studi di di Rijksveeartsenijschool di Utrecht.


Dr. Soetomo sendiri di Belanda diterima di sekolah kedokteran di Amsrterdam. Yang bersamaan masuk dengan Dr. Soetomo adalah Dt Mohamad Sjaaf dan Dr Sardjito (mantan ketua Boedi Oetomo (afdeeling) Batavia. Jumlah siswa/mahasiswa Indonesia di Belanda dari tahun ke tahun semakin banyak, seperti disebut di atas, salah satu yang tiba pada tahun 1920 adalag JA Kaligis.

Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) di Belanda telah memainkan peran penting di awal pergerakan politik di lingkungan mahasiswa. Visi Indische Vereeniging yang digagas oleh Soetan Casajangan telah di perjuangkan generasi berikutnya seperti Goenawan Mangoen Koesoema, Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellah, dan kini giliran generasi Dr Soetomo dkk.


Sepak terjang Soetan Casajangan sudah diketahui umum sebagai tokoh sentral di Indisch Vereeniging, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

 

‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

‘..Saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa (tanah air) tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi)’.

 

Boleh jadi statement Soetan Casajangan yang mempertentangkan ‘coklat’ dan ‘putih’ di antara intelektual Indonesia di Belanda adalah yang pertama. Perasaan itu sudah dikemukakannya secara gamblang di depan publik yang mengindikasikan tidak ada lagi ketakutan dan memulai perjuangan (tentu saja pada ssat itu masih pada level ketidakadilan). Statement ini juga terdapat dalam buku karya Soetan Casajangan yang diterbitkan tahun 1913. Statement ini merupakan kesimpulan buku tersebut. Revolusi ala Soetan Casajangan antara coklat dan putih di dalam pendidikan (1911) telah dipertegas Sorip Tagor dengan penyatataan ‘studi dan politik sama pentingnya’ (1919) dan dipertajam Dahlan Abdoellah dalam Kongres Indonesia tahun 1917 dengan menyatakan ‘Wij Indonesier’. Kini giliran Dr Soetomo dkk mengubah nama Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) menjadi Indonesiasch Vereeniging (Perimpunan Indonesia).

JA Kaligis pada bulan Oktober 1922 lulus Rijksveeartsenijschool Hoogeschool di Utrecht (lihat Haagsche courant, 05-10-1922). JA Kaligis melanjutkan studi ke Belanda tidak sendiri. Berdasarkan buku Satu Abad Sekolah Kedokteran Hewan Belanda (Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs, 1821-1921) dicatat yang masuk angkatan 1919/1920 antara lain JA Kaligis dan Soetisno (mahasiswa aktif 32 mahasiswa). Untuk angkatan 1920/1921, tercatat 28 mahasiswa, tiga diantaranya pribumi yakni Raden Soeratmo, JH Soesman dan FK Waworuntu. Dengan demikian hingga tahun 1921 sudah terdapat pribumi di Veeartsenijkundige Hoogeschool, Utrecht sebanyak enam orang: baru satu orang lulus, mahasiswa pertama Sorip Tagor Harahap. Mereka semua adalah lulusan sekolah kedokteran Veertsenschool di Buitenzorg (kini Bogor).


Apa yang membedakan satu sama lain. Satu yang jelas, Sorip Tagor setelah lulus di Veertsenschool di Buitenzorg tahun 1912, dapat dikatakan langsung berangkat studi kedokteran ke Belanda. Sorip Tagor sejak 1913 telah mengikuti dinamika mahasiswa pribumi di Belanda yang meliputi banyak aspek seperti pengalaman berogranisasi dan perjuangan politik mahasiswa. Bagaimana dengan JA Kaligis dkk?

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar