Laman

Senin, 07 Agustus 2023

Sejarah Mahasiswa (4):Raden Kartono 1896 Lulus di HBS Semarang Studi ke Delft; RA Kartini dan "Habis Gelap Terbitlah Terang"


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini

Siapa RA Kartini, tentu saja sudah dikenal luas di Indonesia masa ini. Yang dibicarakan dalam hal ini adalah Raden Kartono yang berangkat studi ke Belanda (di Delft). Raden Kartono adalah abang dari RA Kartini. Untuk diterimana di perguruan tinggi di Belanda, umumnya harus lulus sekolah menengah HBS. Raden Kartono lulus dari HBS Semarang. Dua lulusan HBS studi di perguruan tinggi di Belanda terdahulu adalah Ismangoen Danoe Winoto, Tan Tjoen Liang dan Oei Jan Lee.


Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono (lahir 10 April 1877) adalah wartawan perang, penerjemah, guru, dan ahli kebatinan Indonesia. Kakak kandung RA Kartini. Setelah tamat dari Europeesche Lagere School di Jepara, Sosrokartono meneruskan pendidikannya ke HBS di Semarang. Selanjutnya pada 1898, Sosrokartono meneruskan pendidikannya ke Belanda di Sekolah Teknik Tinggi di Delft. Namun karena merasa tidak cocok, ia pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur sehingga lulus dengan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dari Universitas Leiden. Ia merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke Belanda. Sosrokartono pernah berprofesi sebagai wartawan Perang Dunia I dari harian New York Herald Tribune di Wina, Austria semenjak 1917. Sosrokartono menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Nusantara. Tahun 1919 didirikan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) atas prakarsa Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson. Dari 1919 sampai 1921, Sosrokartono menjabat sebagai Kepala penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Raden Kartono, lulusan HBS Semarang studi ke Belanda di Delft? Seperti disebut di atas, Raden Kartono lulusan HBS, syarat yang sudah dipenuhi untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda. Raden Kartono adalah abang RA Kartini di Jepara yang dikaitkan dengan buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Lalu bagaimana sejarah Raden Kartono, lulusan HBS Semarang studi ke Belanda di Delft? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Raden Kartono, Lulusan HBS Semarang Studi ke Delft; RA Kartini di Jepara, Habis Gelap Terbitlah Terang

Pada artikel sebelumnya telah dibiacarakan nama Tan Tjoen Liang dan Oei Jan Lee. Mereka berdua sekolah di HBS di KWS Batavia. Pada tahun 1883 Tan Tjoen Liang lulus ujian akhir HBS di KW III Batavia (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-07-1883). Tan Tjoen Liang kemudian berangkat studi ke Belanda. Oei Jan Lee setelah lulus ujian transisi kelas tiga di HBS Batavia melanjutkan studinya ke HBS di Belanda. Oei Jan Lee di perguruan tinggi di Belanda studi hukum; Tan Tjioen Liang studi Teknik mesin di Delft. Tan Tjioen Liang, sempat pulang ke tanah air karena kesulitan keuangan, baru menyelesaikan studinya di Delft tahun 1894.


Pada tahun 1891 Raden Mas Oetojo lulus ujian akhir di HBS Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-06-1891). Disebutkan berita yang diterima dari surat kabar di Batavia, ujian akhir HBS sebanyak empat siswa lulus dimana Raden Oetojo dengan nilai 119 sebagai rangking kedua. Dalam hal ini, jika dan hanya jika, Raden Mas Oetojo lancar studi, diterima di HBS Semarang pada tahun 1886. Setelah lulus HBS Semarang, Raden Mas Oetojo tampaknya tidak melanjutkan studi ke Belanda, tetapi bekerja pada pemerintah. Pada tahun 1894 Raden Mas Oetojo disebutkan sebagai penulis di kantor Pekalongan, Siswa kedua pribumi yang diterima di HBS Semarang, diduga kuat adalah Raden Boesno dan kemudian Raden Sosro Kartono (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1891). Disebutkan di HBS Semarang diadakan ujian saringan masuk dimana yang lulus empat perempuan dan 32 laki-laki. Diantara yang lulus adalah Raden Sosro Kartono dengan nilai 38. Dari semua yang lulus nilai tertinggi adalah 38 yang diperoleh oleh Raden Kartono dan FD Otken. Di bawah nilai tersebut nilai 36 adalah AC Groeneveld. Nilai terendah adalah 28. Ini mengindikasikan bahwa Raden Kartono tidak kalah bersaing dengan kandidat siswa Eropa/Belanda. Pada tahun 1892 Raden Kartono lulus ujian naik dari kelas satu ke kelas dua afdeeling B (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-05-1892). Afdeeling B adalah jurusan Matematika dan IPA. Pada kelas tertinggi naik dari kelas empat ke kelas lima diantanranya Raden Boesono. Pada tahun 1893 Raden Kartono lulus ujian naik ke kelas tiga (lohat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-05-1893). Pada tahun 1894 lulus naik ke kelas empat (lihat  De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-05-1894).

Pada saat Tan Tjioen Liang menyelesaikan studinya di Delft dengan mendapat gelar insinyur mesin di tahun 1894, Raden Kartono di HBS Semarang baru lulus ujian transisi naik dari kelas tiga ke kelas empat (setingkat MULO). Pada tahun 1895 lulus naik dari kelas ermpat ke kelas lima (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 11-05-1895). Akhirnya pada tahun 1896 Raden Kartono lulus ujian akhir HBS (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). Disebutkan diadakan ujian HBS di Batavia dimana salah satu yang lulus adalah Reden Pandji Sosro Kartono. Ini mengindikasikan bahwa Raden Kartono lancar dalam studi di HBS.


Ujian HBS diadakan di Batavua untuk tiga sekolah HBS yang ada di Batavia, Semarang dan Soerabaja. Dari 56 kandidat yang mengikuti ujian disebutkan lulus sebanyak 39 siswa (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-06-1896). Nilai Raden Kartono terbilang cukup tinggi dengan perincian vak nilai 116 dan roebriek dengan nilai 34 yang secara keseluruhan Raden Kartono berada di peringkat ketiga. Boleh jadi sebagai peringkat ketiga dalam ujian nasional HBS, Raden Kartono oleh para guru dan pejabat Pendidikan Hindia Belanda untuk meneruskan studinya di perguruan tinggi di Belanda. Belum lama ini siswa non Eropa/Belanda, Tan Tjioen Liang lulusan HBS di Batavia berhasil meraih gelar sarjana hukum dan Oei Jan Lee sarjana/insinyur teknik mesin di Delft.

Raden Kartono memaksimumkan kesempatan dengan portofolio tinggi untuk melanjutkan studi ke Belanda. Raden Kartono dengan ketetapan hati berangkat ke Belanda (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 18-07-1896). Di dalam surat kabar Semarang tersebut disebutkan kapal Prinses Marie dengan tujuan Nederland berangkat tanggal 16 Juli. Dalam manifes kapal terdapat nama Raden Kartono. Seminggu kemudian surat kabar di Bandoeng memberitakan Raden Kartono, anak dari Bupati Djapara disebutkan akan kuliah di Polytechnische School di Delft (lihat De Preanger-bode, 27-07-1896). Berita itu menjadi viral di Hindia maupun di surat kabar di Belanda. Boleh jadi itu karena yang pertama pribumi akan studi di perguruan tinggi?


Nama Ismangoen Danoe Winoto yang lulus di akademi pemerintahan di Belanda mungkin sudah tidak diingat lagi. Ismangoen Danoe Winoto meraih gelar/diploma dalam bidang pemerintahan tahun 1875. Tentu saja itu sudah lama, dua decade yang lalu. Guru-guru muda pribumi yang dikirim Pemerintah Hindia Belanda dan telah menyelesaikan studi dengan mendapat beslit akta guru, setingkat sekolah menengah, tentu saja berbeda dengan studi di perguruan tinggi. Guru muda yang terakhir kembali ke tanah air adalah JH Wattimena tahun 1886.

Keberadaan Raden Kartono sebagai mahasiswa di Belanda diberitakan tahun 1898 (lihat De Telegraaf, 10-08-1898). Disebutkan Raden Mas Pandji Sosro Kartono, anak dari bupati Japara sebagai mahasiswa di Delft, Dalam rapat umum kongres bahasa dan sastra ke-25 di Den Haag,  diundang Raden Mas Sosro Kartono untuk berbicara tentang pengaruh bahasa Belanda di Jawa (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-09-1899). Raden Kartono menjadi begitu penting di Belanda. Boleh jadi hal itu karena Raden Kartono dapat dikatakan pribumi (paling) terpelajar di Belanda.


Namun dalam perkembangannya nama Raden Kartono di Polytechnische School di Delft tidak terinformasikan lagi. Mengapa? Apakah Raden Kartono gagal? Di Belanda sekolah tinggi teknik (Polytechnische School) hanya satu-satunya di Delft. Satu yang pasti siswa asal Hindia non Eropa/Belanda yang telah berhasil di kampus teknik tersebut adalah Oei Jan Lee.

Pada tahun 1901 diberitakan nama Raden Kartono di Delft, tetapi tidak di Polytechnische School (lihat De nieuwe courant, 25-08-1901). Disebutkan dalam ujian negara untuk universitas dari tanggal 22 hingga 24 Augustus yang mana terdapat 8 kandidat untuk faculteiten der godgeleerdheid der rechtsgeleerdheid en der letteren en wijsbegeerte (fakultas fakultas teologi, hukum, dan sastra dan filsafat). yang mana lima kandidat lulus diantaranya Raden Mas Pandji Sosro Kartono,


Berita tersebut di atas, memastikan bahwa Raden Kartono tidak lagi di (politeknik) Delft, tetapi fakultas yang akan diikuti Raden Kartono adalah fakultas non eksak. Ujian itu disebutkan dilakukan di Universiteit te Utrecht (lihat De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 28-08-1901). Raden Kartono kuliah dalam bidang studie der oostersche talen (program studi bahasa-bahasa Timur) yang diselenggarakan di [Universiteit te] Leiden,

Sejauh ini (1901) di Belanda nama pribumi yang studi hanya nama Raden Kartono. Raden Kartono yang sorangan diri di Belanda bagaikan lone ranger di negeri orang. Bagaimana dengan siswa/mahasiswa orang Cina asal Hindia?


Pada tahun 1903 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, seorang guru di Padang Sidempoean berangkat ke Belanda. Soetan Casajangan tidak sendiri tetapi juga ada guru muda Djamaloedin yang damping oleh jurnalis senior di Padang, Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda.  Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah guru di Padang Sidempoean, alumni Kwekschool Padang Sidempoean (lulus 1887); Djamaloedin lulus dari sekolah guru di Fort de Kock (1901).  Sementara itu, juga diberitakan Abdoel Rivai berangkat dari Batavia ke Belanda. Abdoel Rivai adalah lulusan sekolah kedokteran pribumi (Docter Djawa School) tahun 1896. Mereka datang ke Belanda dalam hubungan Kerjasama Dr AA Fokker dan Dja Endar Moeda dalam hubungannya dengan penerbitan majalah dwimingguan Bintang Hindia di Amsterdam. Soetan Casajangan, Abdoel Rivai dan Djamaloedin untuk sementara bekerja sebagai tim redaksi Bintang Hindia (sambil menjajaki kemungkinan melanjutkan studi di Belanda).

Pada tahun 1903 Raden Kartono diberitakan lulus ujian kandidat pada bidang Taal- en Letterkunde van den Oost-lndischer. Archipel di Leiden (lihat De Telegraaf, 30-06-1903). Sementara Soetan Casajangan sudah menemukan dimana akan melanjutkan studi. Soetan Casajangan kembali ke kampong halaman tahun 1905 untuk mengurus segala sesuatu dan kembali lagi ke Belanda pada bulan Juli 1905. Soetan Casajangan diterima di Rijskweekschool di Leiden untuk mengikuti program studi keguruan (semacam IKIP yang sekarang). Soetan Casajangan dapat dikatakan mahasiswa pribumi kedua di Belanda (Raden Kartono masih kuliah di Leiden).


Soetan Casajangan menulis artikel di Bintang Hindia pada edisi Oktober 1905. Di dalam artikel Soetan Casajangan menghimbau agar putra-putri terbaik dari Hindia untuk studi di Belanda. Sejumlah perguruan tinggi digambarkan oleh Soetan Casajangan yang dapat dimasuki oleh siswa asal Hindia. Ini mengindikasikan Soetan Casajangan guru tetaplah guru. Himbauan ini tampaknya berhasil. Seperti kita lihat selanjutnya jumlah siswa asal Hindia semakin banyak dari tahun ke tahun melanjutkan studi ke Belanda.

Dalam perkembangan program studi yang diikuti oleh Raden Kartono di Leiden tersebut disebut program studi Indologi. Demikian juga politeknik di Delft sudah disebut Universiteit te Delft. Dalam perkembangan diketahui Djamaloedin mengikuti studi Wageningen (sekolah pertanian); Dr Abdoel Rivai di sekolah tinggi kedokteran di Amsterdam. Di kampus kedokteran ini juga ada nama-nama F Laoh (asal Manado) dan W Tehupelory (asal Ambon) dan Asmaoen (asal Malang) serta Boenjamin (asal Solo).


Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sudah sebanyak 20an orang. Pada saat inilah Soetan Casajangan menginisiasi pendirikan organisasi pelajar/mahasiswa dengan meminta Raden Soemitro, yang baru lulus HBS di Belanda diterima di perguruan tinggi untuk mengirim undangan ke semua pelajar/mahasiswa untuk berkumpul di tempat kediamannya di Leiden. Pada tangga; 25 Oktober dalam rapat dipuruskan untuk mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging dimana Soetan Casajangan didaulat menjadi presidennya dan Raden Soemitro sebagai sekretaris. Lalu dibentuk satu komite untuk menyusun statute organisasi yang terdiri dari Soetan Casajangan, Raden Soemitro, Hoesein Djajadiningrat dan Raden Kartono. Keempatnya berominasili di Leiden. Soetan Casajangan dan Raden Kartono berada di lingkungan alamat yang sama di Leiden.

Raden Kartono berhasil menyelesaikan studinya di Leiden tahun 1909 (lihat Het vaderland, 08-03-1909) dan menjadi sarjana pertama yang berasal dari pribumi (di Universiteit te Leiden). Pada tahun ini juga Soetan Casajangan berhasil lulus sarjana muda (akta guru LO) di Rijskweekschool di Leiden.


Sebelumnya beberapa dokter djawa, alumni Dokter Djawa School seperti Dr Boenjamin, Dr A Rivai dan Dr Laoh telah menyelesaikan studinya dan mendapat gelar dokter di Univ. Amsterdam tahun 1908. Dokter-dokter djawa ini tidak kuliah penuh (dari awal) seperti Raden Kartono dan Soetan Casajangan) tetapi karena mereka sudah berdinas sebagai dokter yang berdasarkan Staatsblad tahun 1904 dibebaskan dari kuliah materi teoritis untuk melanjutkan studi di Belanda. Dr Asmaoen, juga sudah selesai dan mendapat gelar dokter dan langsung pulang ke tanah air pada bulan Juli 1908 (tidak lagi hadir dalam pembentukan organisasi pelajar/mahasiswa Indische Vereeniging pada bulan Oktober 1908).

Setelah menyelesaikan studi di Leiden tahun 1909, Raden Kartono tidak langsung kembali ke tanah air. Raden Kartono bekerja di Belanda. Demikian juga Dr A Rivai dan Dr Laoh dan Dr Tehupelory tidak kembali ke tanah air. Soetan Casajangan pada tahun 1911 meraih gelar sarjana penuh dalam bidang pendidikan dengan mendapat akta guru MO di pada tahun 1911 di Rijskweekschool, Leiden.


Pada tahun 1911 terjadi pergantian penguru Indische Vereeniging. Yang diangkat sebagai pengganto Soetan Casajangan adalah Raden Noto Soeroto (tiba di Belanda tahun 1907). Jumlah pelajar/mahasiswa pribumi asal Hindia di Belanda pada tahun 1911 sudah sangat banyak, betambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1911 ini kedatangan siswa baru asal Hindia di Belanda. Masih muda belia bernama Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Soetan Goenoeng Moelia lulusan sekolah Eropa/Belanda (ELS) di Sibolga dan melanjutkan studi sekolah menengah (HBS) di Belanda. Soetan Goenoeng Moelia dapat dikatakan siswa pribumi asal Hindia termuda di Belanda (dari segi umur maupun dari segi pendidikan). Yang tertua adalah Soetan Casajangan dan Abdoel Rivai. Tentu saja Soetan Goenoeng Moelia di Belanda berada di bawah bimbingan Soetan Casajangan. Kebetulan mereka berdua sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Sebelumnya, Soetan Casajangan sudah membimbing guru muda lulusan sekolah guru di Jogjakarta asal Solo, Sjamsi Widagda untuk melanjutkan sekolah keguruan di Belanda yang dititipkan oleh presiden Boedi Oetomo (bupati Karanganjar).

Tunggu deskripsi lengkapnya

RA Kartini di Jepara, Habis Gelap Terbitlah Terang: JH Abendanon dan Soetan Casajangan di Belanda

Pada tahun 1911 di Belanda terbit buku berjudul “Door Duisternis tot Licht: gedachten over en voor het Javaansche volk” (583 halaman). Di dalam buku berbahasa Belanda ini disebutkan sebagai auteur adalah Raden Adjeng Kartini dan coauteur JH Abendanon. Buku ini diterbitkan oleh drukker/uitgever GCT van Dorp & Co. RA Kartini dalam hal ini adalah adik perempuan Raden Kartono. Judul buku tersebut jika diterjemahkan berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Catatan: Penerbit GCT van Dorp & Co ada di Semarang, Soerabaja dan Den Haag.


Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht, sedangkan penerjemahannya (dari versi bahasa Belanda ke bahasa Melayu) pertama kali dilakukan pada 1922 oleh Bagindo Dahlan Abdullah, Zainudin Rasad, Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad (mereka menyebut diri Empat Saudara). Proses pengumpulan surat-surat yang pernah dikirimkan RA Kartini pada teman-temannya di Eropa dilakukan setelah Kartini wafat oleh JH Abendanon. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Terang". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. (Wikipedia).

Apa yang mener 1903.Apa yang menjadi perhatian tentang isi buku itu adalah apa yang ada dalam buku dan hubungan antara Abendanon dan RA Kartini. Kisahnya dimulai pada tahun 1900 ketika JH Abendanon sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Urusan Agama dan Industri (bersama istrinya) berkunjung ke Djepara. Tentu saja ada sebabnya Abendano yang baru menjabar menyegarakan berkunjung ke Djepara, seperti hal tempo doeloe Direktur Pendidikan Pribum CA van der Chijs pada tahun 1863 berkunjung ke Tanobato, afdeeling Angkola Mandailing (residentie Tapanoeli).


Pada tahun 1900 Direktur OE en N, Jr. Van Der Wijck, bulan Maret yang akan datang ke Eropa karena sakit (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1900). Disebtutkan ada dua kandidat Mr JH Abendanon dan Mr JW Th Cohen Stuart. Mr JH Abendanon adalah hakim di pengadilan tinggi di Batavia. Yang terpilih sebagai direktur OE en N adalah JH Abendanon (lihat De nieuwe vorstenlanden, 28-02-1900). Kunjungan dinas pertamanya ke daerah adalah ke (residentie) Rembang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-07-1900). Dari Rembang Abendanon ke (residentie) Djepara.

Dalam kunjungan ini, di Djepara ada dialog antara JH Abendanon dengan Bupati Djepara tentang putri-putri bupati terutama putri tertua RA Kartini. Dalam konteks inilah kemudian terjadi korespondensi antara RA Kartini dengan teman-temannya perempuan Eropa dan juga korespondensi dengan JH Abendanon dan istri. Surat-surat korespondensi itulah yang kemudian dijadikan bahan dalam penulisan buku tersebut. Tulisan RA Kartini terakhir ditulis di Rembang, 11 Desember 1903.


Seperti disebut di atas, abang RA Kartini bernama Raden Kartono sudah beradi di Belanda. Raden Kartono selepas lulus sekolah HBS di Semarang, pada tahun 1896 melanjutkan studi ke Belanda. Disebutkan Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yang menjadi sebab Kartini biasa berbahasa Belanda, tetapi setelah usia 12 tahun, Kartini (sesuai adat) harus tinggal di rumah karena harus dipingit. Tulisan Kartini juga ada yang dikirim ke majalah berbahasa Belanda. Dalam konteks ini, jika Kartini lahir 21 April 1879, pada saat pertemuan dengan Abendanon dan istri tahun 1900, itu berarti usia Kartini sudah mencapai 20 tahun. Suatu usia tinggi diantara gadis-gadis Jawa (pribumi). Jika Kartini pernah sekolah di ELS, berarti pada tahun 1900, meninggalkan sekolah ELS sekitar delapan tahun yang lalu (katakanlah pada tahun 1898). Sementara itu, abangnya dua tahun sebelumnya pada tahun 1896 sudah di Belanda. Keberadaan Raden Kartono yang studi di Belanda yang diduga menjadi sebab Abendanon sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Urusan Agama dan Industri berkunjung ke Djepara, dimana tidak terduga terjadi dialog antara Abendanon dengan bupati Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat tentang perihal putrinya RA Kartini. Catatan: Nun jauh di kota Padang, Alimatoe’ Saadiah yang belum lama menyelesaikan studinya di sekolah radja (kweekschool) di Fort de Kock dan menikah bulan Juni 1903 dengan dokter muda Haroen Al Rasjid (Nasoetion) yang bertugas di Padang setelah menyelesaikan studi di Docter Djawa School tahun 1891). Alimatoe’ Saadiah adalah lulusan ELS di Padang sebelum bersekolah di kweekschool Fort de Kock. Alimatoe’ Saadiah adalah putri Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (pensiunan guru pemilik sekolah dan pemimpin surat kabar Pertja Barat di Padang). Anak pertama Haroen Al Rasjid (Nasoetion) dan Alimatoe’ Saadiah Harahap lahir 22 Meret 1905 diberi nama Ida Loemongga (kelak menjadi perempuan Indonesia pertama dokter di Amsterdam dan meraih gelar doktor di Utrecht tahun 1930).

RA Kartini menikah dengan bupati Rembang (sudah pernah memiliki tiga istri) pada tanggal 12 November 1903. Seperti disebut di atas, tulisan RA Kartini terakhir ditulis di Rembang, 11 Desember 1903. Artinya, RA Kartini masih melakukan korespondensi setelah menikah. Anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal di Rembang pada usia 25 tahun.


Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah. Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri, seperti EC Abendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain. (Wikipedia)

Kapan JH Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini dan merangkumnya menjadi satu buku tebal? Tentu saja JH Abendanon tidak lagi sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Urusan Agama dan Industri, tetapi sudah kembali ke Belanda. Satu yang jelas Abendanon pernah menemui Soetan Casajangan di Belanda.


Pada tahu 1905 JH Abendahanon akan mengakhiri tugasnya sebagai direktur OE en N. Tampaknya Abendanon akan kembali ke Eropa, rumahnya di Kebon Sirih akan dijual (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-01-1905). Buitenzorg, 25 Januari. Diberhentikan, dengan hormat, atas permintaan, dari dinas direktur 0E dan N. Abendanon, dibawah ucapan syukur atas pelayanan yang lama dan setia yang diberikan (lihat De locomotief, 25-01-1905). Yang menggantikannnya adalah Jhr. O. Van der Wijck (nama yang digantikannnya pada tahun 1900, kini Komisaris Pemerintah untuk Desentralisasi). Kapan serah terima jabatan belum diketahui. Yang jelas di Batavia pada tanggal 21 diberitakan JA van der Chijs meninggal dunia (lihat Het vaderland, 20-02-1905). Disebutkan pemakaman Mr JA van der Chijs berlangsung kemarin sore, 21 Januari, Mr Abendanon, direktur Pendidikan, Urusan Agama dan Industri dan anggota tertua dewan Bataviaaseh Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, berbicara atas nama semua yang hadir. Abendanon kembali ke Belanda. Abendano dan istri dengan kapal ke Singpoera (lihat De locomotief, 13-03-1905), Buku Wer en Adat karya Abendanon dijual (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1905). Pada bulan Juli Abendanon dan Istri ke Suriname.Sementara itu, Soetan Casajangan pulang ke tanah air berangkat dari Amsterdam 5 Juli 1905 tiba di Batavia 30 Juli (lihat manifest keberangkatan kapal Prinses Juliana Amsterdam-Batavia dimuat di koran Belanda yang terbit di Amsterdam tanggal 5 Juli 1905). Soetan Casajangan ke Belanda pada tahun 1903. Pada akhir tahun 1905 Soetan Casajangan sudah di Belanda kembali. Di Belanda Soetan Casajangan juga studi di sekolah kota OL School di jalan Terwesten pimpinan G Smelt (lihat Het vaderland, 22-08-1906).

Soetan Casajangan lulus ujian akta guru sekolah dasar di Haarlem tanggal 22 Mei (lihat Algemeen Handelsblad, 23-05-1907). Disebutkan Soetan Casajangan berasal dari Batoe Na Doewa, residentie Tapanoeli. Dengan akta LO ini dapat dilanjutkan ke tingkat Pendidikan guru yang lebih tinggi.


Provinciale Drentsche en Asser courant, 27-05-1907: ‘Soetan Casajangan Soripada. Di antara mereka yang berhasil lulus ujian pendidikan dasar kemarin lusa di 'Haarlem, nama Hindia asli di atas juga muncul dimajalah HD, di residentie Tapanoeli di Surnatra. Kami pernah mengunjunginya di rumah J de Weeger, di Duvenvoordestraat, tempat tinggalnya. Kecil dan ramping, dengan wajah Hindia yang halus, dimana dia menggunan lorgnette emas dengan sopan santun, Soripada membuat kesan yang menyenangkan. Bagaimana dia bisa mengikuti ujian guru di Belanda? Soripada adalah kepala sekolah pribumi, tetapi kehilangan kesempatan untuk menjadi mahir berbahasa Belanda.Sejak tahun 1884, bahasa Belanda tidak lagi diajarkan di kweekschool di Hindia. Maka ia memutuskan untuk pergi ke Belanda. meskipun ada keberatan dari keluarganya, yang berpikir bahwa sebagai penduduk asli dia tidak akan mendapatkan pekerjaan yang biasanya diperuntukkan bagi orang Eropa. Namun Soripada tetap bertahan, berharap setelah memperoleh akta tersebut ia diangkat menjadi asisten guru di kweekschool. Dia menghabiskan tiga tahun di Belanda, satu setengah tahun di Haarlem, dan dia berbicara dengan rasa terima kasih tentang direktur dan guru di Rijksweekschool untuk guru, yang melatihnya untuk ujian. Dia sekarang menunggu perintah dari Menteri Koloni, yang mengetahui keinginannya dan menyetujuinya, dan kemudian, mungkin dalam dua atau tiga bulan, berangkat lagi ke Hindia, dimana dia harus meninggalkan istri dan dua anaknya, sehingga dia ingin bertemu dengan mereka lagi. Soripada yang berumur 31 tahun tergolong bangsawan pribumi dan kata Soetan adalah gelarnya. Dia berbicara dengan pujian tentang pendidikan pribumi, tetapi sangat disayangkan bahwa jumlah guru masih terlalu sedikit. Dan kemudian kami meninggalkan pemuda ini, yang pasti merupakan tindakan keberanian dan kekuatan pikiran, tanah tempat dia dilahirkan, bertentangan dengan nasihat keluarganya dan meninggalkan keluarganya, untuk membuka pintu ke karir yang lebih baik di negara asing. Dapat diharapkan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan energi ini tidak dihargai. Selain itu, perubahan hidup tidak merugikannya. Dia tertawa, dalam bahasa Belandanya, diucapkan dengan sangat tepat, bahwa dia telah menjadi gemuk di negara kita, dan bahkan telah bebas sama sekali dari demam, yang sangat dideritanya dimasa lalu di Batoe Na Doea”.

Berita kelulusan Soetan Casajangan menjadi viral di Belanda. Boleh jadi karena pendidikan Hindia menjadi perhatian orang Belanda di Belanda. Soetan Casajangan tidak ingin segera pulang ke tanah air. Meski dengan akta tersebut sudah bisa menjadi asisten guru di sekolah Kweekschool, tapi tampaknya Soetan Casajangan ingin mendapatkan akta kepala untuk bisa menjadi direktur sekolah Kweekschool. Surat kabar besar di Belanda kemudian mengunjungi dan mewawancarainya (lihat De Telegraaf, 03-06-1907).


Berita itu juga menjadi heboh di Hindia (lihat antara lain De Sumatra post, 17-06-1907; Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907; De nieuwe vorstenlanden, 05-07-1907). Pencapaian ada yang mengaitkan dengan pencapaian Willem Iskander (1874-1876) namun meninggal di Belanda sebelum berangkat ke tanah air (lihat De Sumatra post, 17-06-1907).

Pada bulan Juni 1908 JH Abendanon di Belanda menemui Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Apa gerangan? Saat itu Soetan Casajangan yang tengah mengikuti pendidikan di Rijksweekschool juga merencanakan akan mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa Indonesia di Belanda. Di Belanda Soetan Casajangan adalah pelajar/mahasiswa senior asal Hindia. Seperti disebut di atas, Mr JH Abendanon adalah mantan Direktur Pendidikan di Hindia Belanda (1900-1905).


Bataviaasch nieuwsblad, 28-01-1909: ‘Indische Vereeniging didirikan. Seperti yang kami sebutkan sebelumnya, sebuah perhimpunan pribumi asal Hindia telah dibentuk di Belanda. R Soetan Casajangan menulis kepada Colonial Weekly untuk mengatakan hal berikut tentang perkumpulan tersebut: Pada bulan Juni tahun 1908, JH Abendanon datang menemui saya dan bertanya apakah saya pernah berpikir untuk mendirikan perkumpulan untuk orang Hindia. Saya menjawab pertanyaan ini dengan iya dan kemudian dia mendesak saya untuk melanjutkan rencana saya yang bermanfaat ini. Kemudian saya memilih salah satu orang Hindia sebagai rekan saya, yaitu R. Soemitro Lalu kami mengirim undangan ke semua orang Hindia yang studi di Belanda untuk menghadiri pertemuan pembentukan. Pada tanggal 25 Oktober kami, lima belas orang Hindia, berkumpul di tempat saya, di Leiden, dan pertemuan pertama diadakan. Saya meminta Soemitro untuk menghadiri pertemuan; R. Hoesein Djajadiningrat adalah sekretaris sementara. Anggaran Dasar disetujui pada prinsipnya dengan suara bulat dan diputuskan untuk mendirikan 'Indische Vereeniging'. Kemudian kami melanjutkan untuk memilih pengurus. Presiden terpilih: R. Soetan Cssajangau Soripada, sekretaris dan bendahara RM Soemitro. Sebuah komite dibentuk untuk menyusun AD/ART yang terdiri dari dari R, Soetan Casajangan, RM Soemitro, RMP Sosro Kartono dan R Hoesain Djajadiningat, Pada tanggal 15 November pertemuan kedua diadakan di Den Haag. Itulah sejarah 'Indische Vereeniging. Dalam statuta kita membaca bahwa Vereeniging menyandang nama "Indische Vereeniging" dan didirikan di Den Haag. Tujuannya adalah untuk memajukan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda dan untuk tetap berhubungan dengan tanah air di Hindia, penduduk pribumi di Hindia. Asosiasi berupaya untuk mencapai tujuan ini dengan: mempromosikan interaksi antara orang Hindia di Belanda, mendorong orang Hindia untuk datang dan belajar di Belanda dengan melakukannya: dengan memberikan informasi tentang studi dan tempat tinggal di Belanda, dengan membantu orang Hindia yang baru tiba, dan dengan memberikan semua informasi yang mungkin tentang Belanda atas permintaan. Anggota biasa hanya boleh orang Hindia yang tinggal di Belanda. Kami berharap asosiasi muda ini menemui keberhasilan’. Catatan: R, Soetan Casajangan, RM Soemitro, RMP Sosro Kartono dan R Hoesain Djajadiningrst berempat sama-sama tinggal di Leiden (yang lainnya di Amsterdam, Den Haag, Haarlem, Delft dan Wageningen). Berita ini juga dilansir surat kabar De nieuwe vorstenlanden, 01-02-1909 dan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1909.

Pada tahun 1909 ini di Leiden Raden Kartono menyelesaikan studinya dengan mendapat gelar serjana. Mr JH Abendanon sangat perhatian terhadap pendidikan pribumi. Raden Kartono dan Soetan Casajangan bertempat tinggal di alamat yang sama di Leiden di Oude Vest 77. Apakah dalam konteks tersebut lalu muncul gagasan JH Abendanon untuk menulis riwayat RA Kartini, adik perempuan Raden Kartono dengan mengumpulkan surat-surat RA Kartini? Raden Kartono dan Soetan Casajangan adalah dua yang pertama yang melakukan studi di Belanda.


De locomotief, 25-10-1909: ‘Den Haag, 24 Oktober. Memorial Tehupelory. Pada penyerahan tugu peringatan di makam dokter Tehupeiory kepada Indische Vereeniging, Van Deventer, Abendanon dan Presiden Indische Vereeniging Soetan Casajangan berbicara. Mahasiswa Ambon Apitully mengucapkan terima kasih’. Tehupelory meninggal pada bulan Januari 1909 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-01-1909). Disebutkan jenazah dokter JE Tehupeiory, orang Ambon sejak lahir, dimakamkan di pemakaman umum baru di Utrecht dengan penuh minat. Th. van Deventer, anggota Tweede Kamer (Dewan Perwakilan Rakyat), adalah orang pertama yang tampil pada sambutan, atas nama semua orang Belanda yang menganggap dan mencintai Hindia sebagai tanah air kedua mereka, atas nama mereka yang percaya pada masa depan Insulinde, penghormatan yang dalam dan penuh hormat untuk mengenang Tehupeiory. JH Abendanon, mantan direktur pendidikan di Hindia melukiskan kontras yang mencolok antara negeri yang dingin, tempat Tehupelory sekarang dimakamkan, dan negeri yang cerah tempat ia datang satu setengah tahun yang lalu.

Pengalaman JH Abendanon selama menjadi direktur pendidikan di Hindia (1900-1905) dan partisipasinya di Vereeniging Oost en West yang didirikan di Belanda. Gagasan Soetan Casajangan untuk mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa di Belanda tahun 1908 turut didorong oleh HJ Abendanon untuk perealisasiannya pada bulan Juni 1908 yang kemudian diformalkan pada tanggal 25 Oktober 1908. Sejak itulah HJ Abendanon dekat kepada Soetan Casajangan dan anggota organisasi Indisch Vereeniging dimana salah satu anggotanya Raden Kartono. Pengalaman Abendanon betermu dengan ayah Raden Kartono tahun 1900 di Djepara dimana mereka membicarakan RA Kartini diduga Abendano merecall kembali, yang lalu direalisasi dengan mengumpulkan surat-surat RA Kartini. Sebagai bentuk kontribusi untuk Hindia Belanda, mempublikasikan tulisan RA Kartini adalah upaya Abendanon untuk mendorong perempuan pribumi bangkit dan lebih mandiri. Sejak ini diduga Abendano memulai pekerjaannnya untuk menulis buku yang terkait dengan surat-surat RA Kartini. Kebetulan tahun 1909 ini merupakan ulang tahun Ver, Oost en West yang ke-10.


De locomotief, 10-06-1909: ‘"Oost en West". Vereeniging Oost en West merayakan hari jadinya yang ke-10 pada tanggal 3 Mei lalu. Organ asosiasi adalah 'Het Koloniëal Weekblad' diterbitkan pada tanggal itu dalam bentuk edisi perayaan dimana berbagai orang yang terkait dan terkenal dengan asosiasi tersebut mengirimkan kontribusi mereka kepada editor. Dalam edisi ini Anda akan menemukan ucapan selamat dari Mr. Abendanon, KHO van Bennekom, CAHN Barge, Dr HD Benjamins, Andrée Snabilié, Soetan Casajangan, F Caspersz, Gongreep, Th. Hilgers, H van Kol dan Nellie van Kol, van der Zijl dan Ph Zilcken. Kami mendapatkan yang berikut dari ikhtisar tentang asal usul asosiasi. Pada musim semi tahun 1899, sebuah artikel diterbitkan di Haagsche Vaderland oleh seorang teman Hindia, dimana artikel itu mengundang para wanita yang telah aktif di seksi Hindia pada pameran buruh wanita yang diadakan untuk kepentingan seni dan kerajinan pribumi koloni kita untuk terus bekerjasama. Nyonya N Van Zuylen-Tromp kemudian mencoba memprovokasi "kerja sama untuk kepentingan Hindia". Di bawah judul ini, dia mengundang di surat kabar Den Haag semua pria dan wanita yang tertarik dengan Timur dan Barat kita untuk mempromosikan kepentingan kepemilikan luar negeri dengan cara praktis, dengan propaganda diantara seluruh rakyat dan dengan mempromosikan industri Hindia dan kerajinan tangan. Pada tanggal 13 April diadakan pertemuan pertama di rumah Ny. Van Zuylen Sebuah komite ditunjuk untuk membuat draf AD/ART dan peraturan internal, dan pada tanggal 3 Mei 1899, asosiasi dibentuk dalam pertemuan yang diadakan di gedung "Diligentia" di Den Haag. Berawal dari 200 anggota dan kini beranggotakan 2.000 anggota. Seperti diketahui, panitia dari asosiasi tersebut memberikan informasi kepada mereka yang berangkat ke Hindia dan membantu warga Hindia yang pulang kampung; ia menjalankaan restoran Indonesia di Den Haag, mengadakan 'koempulan' untuk bekas orang Hindia, melahirkan asosiasi 'Boeatan' dan mencoba menyebarkan pengetahuan yang berguna tentang Hindia Belanda melalui majalah 'Het Koloniëal Weekblad' dan tulisan-tulisan populernya. Asosiasi juga bertujuan untuk mendukung dan membantu pemuda Indo-Belanda di Belanda, untuk membentuk dana dukungan dan dana studi, dll. Pasangan van Kol menulis di edisi perayaan ini: “Dengan cepat tahun-tahun berlalu; dan sepuluh tahun telah berlalu sejak sekelompok kecil peminat mendirikan vereeniging dan majalah East and West. Jerih payah mereka tidak sia-sia. “Namun, disini juga bagian terbesar dari tugas itu berada di pundak beberapa orang, paling tidak pada keluarga van Zuylen. Dan siapa yang tidak mengingat disini dengan kesedihan dan rasa syukur pekerja yang setia, unruk Vereeniging, dan suami tercinta. yang meninggal dari Ny van Zuylen? Tetapi dia dengan berani melanjutkan pekerjaannya, atas dorongan hatinya sendiri dan untuk mengenangnya, bersama dengan teman-teman koloni lainnya. “Semangat baru telah dibangunkan melalui usaha bersama dan pengabdian; semakin banyak orang di koloni mulai melihat sesuatu selain alat keuntungan; mulai disadari bahwa disana ada hutang besar yang harus kita bayar dan tugas suci yang harus dilaksanakan. “Untuk satu dekade lagi, semoga kemajuan meningkat lebih jauh lagi!”

Sementara HJ Abendanon mengumpulkan surat-surat RA Kartini, Abendanon juga melakukan pengumpulan data dari Raden Kartono di Belanda untuk mendapatkan gamabaran umum dan latar belakang keluarga dan adiknya RA Kartini. Akhirnya buku tersebut sebanyak 583 halaman berhasil diselesaikan oleh HJ Abendanon yang diberi judul: “Door Duisternis tot Licht: gedachten over en voor het Javaansche volk”. Buku tersebut pada tahun 1911 diterbitkan di Belanda oleh drukker/uitgever GCT van Dorp & Co yang berkantor pusat Den Haag.


Pada tahun 1911 ini Soetan Casajangan menyelesaikan studinya dengan mendapat akta guru MO yang setara dengan sarjana keguruan. Pada tahun 1911 ini kepengurusa pertama Indische Vereeniging ditransfer kepada pengurus baru yang akan dipimpin oleh Raden Noto Soeroto. Namun demikian, Soetan Casajangan untuk mendukung sumberdaya calon dan atau pelajar/mahasiswa di Belanda, bersama dengan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon memebtuk studiefond. Tujuan pembentukan StudiFond ini adalah untuk menggalang dana bagi pelajar/mahasiswa di Belanda yang membutuhkan keuangan Ketika mengalamai kesulitan. Lagi-lagi Soetan Casajangan membuat terbodan baru dinatara pelajar/mahasiswa asal Hindia di Belanda. Singkat kata: Pada tahun 1913 Soetan Casajangan akan kembali ke tanah air. Administrasi StudiFond kemudian diintegrasikan dengan administrasi Indische Vereeniging.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar