Laman

Jumat, 10 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (10):Kantor Berita Alpena di Batavia dan Pers Biro di Belanda; Parada Harahap dan Soewardi Soerjaningrat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Kantor berita (pers) sudah lama dikenal di Eropa dan Amerika Serikat. Kantor berita pertama di Indonesia pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah kantor berita (berbahasa Belanda) Aneta. Dalam konteks kemandirian pers pribumi, Parada Harahap pada tahun 1925 mendirikan kantor berita (berbahasa Melayu) di Batavia dimana sebagai editor diangkat WR Soepratman. Namun sebelum itu sudah pernah diinisiasi kantor berita di Belanda di dalam lingkungan organisasi mahsasiswa pribumi di Belanda.  


Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara merupakan kantor berita di Indonesia dimiliki Pemerintah Indonesia sebagai BUMN. Perum Antara diberikan tugas Pemerintah melakukan peliputan dan penyebarluasan informasi yang cepat, akurat, dan penting. NV Kantor Berita Antara didirikan 13 Desember 1937, pada saat itu diterbitkan pertama, Buletin Antara, di jalan Raden Saleh Kecil No. 2 Jakarta. Para pendiri Albert Manumpak Sipahutar, Mr. Soemanang, Adam Malik dan Pandoe Kartawigoena. Redaktur adalah Abdul Hakim dibantu Sanoesi Pane, Mr. Soemanang, Mr. Alwi, Sjaroezah, Sg. Djojopoespito. Tahun 1941, jabatan Direktur Mr. Sumanang diserahkan kepada Sugondo Djojopuspito, sedangkan jabatan Redaktur tetap pada Adam Malik merangkap Wakil Direktur. Kantor Antara 1942 pindah ke Noord Postweg 53 Paser Baroe bersama dengan Kantor Berita Domei, Soegondo pindah bekerja di Kantor Shihabu, Adam Malik dan AM Sipahutar tetap menjadi pegawai Domei. Tahun 1946, hijrah ke Yogyakarta. Pada masa itu, Direkturnya Adam Malik, dengan pimpinan sehari-hari Pangulu Lubis dan Rachmat Nasution (ayah Adnan Buyung Nasution). Tahun 1962, Antara resmi menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional berada di bawah Presiden (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah kantor berita Alpena di Batavia dan pers biro di Belanda? Seperti disebut di atas ada dua orang pribumi yang menginisiasi kebutuhan kantor berita untuk kalangan pribumi yakni Parada Harahap di Batavia dan Soewardi Soerjaningrat di Belanda. Lalu bagaimana sejarah kantor berita Alpena di Batavia dan pers biro di Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (9): Delik Pers; Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempuan, Bintang Timoer-Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Delik pers pada masa ini adalah tulisan dalam surat kabar atau media pers lain yang melanggar undang-undang. Kurang lebih sama dengan delik pers pada era Pemerintah Hindia Belanda. Apakah pernah terjadi delik pers dalam pers (berbahasa) Belanda pada era Pemerintah Hindia Belanda? Satu yang pasti surat kabar berbahasa Melayu di Padang pada tahun 1905 terkena ‘ranjau’ delik pers. Mengapa? Pemimpin redaksi surat kabar Pertja Barat di Padang dihukum cambuk dan diusir dari kota Padang.


Kebebasan pers dikontrol oleh Kode Etik Jurnalistik yang mengikat wartawan agar bekerja sesuai dengan aturan berlaku. Survei Dewan Pers terhadap Indeks Kebebasan Pers 2022, Indonesia mengalami kenaikan 1,86 poin dibandingkan tahun 2021. Namun kebebasan pers yang diberikan ini rentan disalahgunakan dan berakhir dengan tuntutan hukum, yang disebut delik pers, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pers. Disebut delik pers karena jurnalis dan pers adalah kelompok profesi yang memiliki definisi yang berdekatan dengan usaha penyiaran, pertunjukan, pemberitaan, dan sebagainya. Sehingga unsur delik pers lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Delik pers terbagi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan yaitu apabila ada yang merasa terganggu atau mengadukan produk pers ke pihak yang berwajib. Delik aduan ini bersifat menyerang, menghina, dan fitnah terhadap seseorang. Umumnya pasal yang mengatur tentang delik biasa ini merupakan pernyataan permusuhan dan penghinaan kepada pemerintahan, penghasutan, kesusilaan, penghinaan terhadap agama, dan pembocoran rahasia negara. Karya jurnalistik sebagai delik pers adalah agasan yang dipublikasikan melalui barang cetak, gagasan yang dimuat dan disebarluaskan melanggar hukum. Jurnalis yang bersangkutan dapat diminta pertanggungjawabannya apabila jurnalis tersebut telah mengetahui isi dan tulisan yang ia buat, dan sadar dengan konsekuensi pidana tulisannya. Salah satu pasal dalam KUHP yaitu pasal pencemaran nama baik. Pasal pencemaran nama baik ini bisa menjadi alat untuk mengriminalisasi pers (https://kumparan.com/)

Lantas bagaimana sejarah delik pers? Seperti disebut di atas, soal delik pers ini sudah berlangsung pada era Pemerintah Hindia Belanda. Namun status delik pers saat itu bersifat sumir. cenderung memberatkan pihak yang lemah. Peta delik pers bagi jurnalis pribumi dimulai dari Pertja Barat di Padang yang kemudian memiliki kesinambungan dengan Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan Bintang Timoer di Batavia. Lalu bagaimana sejarah delik pers? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.