Laman

Rabu, 17 Januari 2024

Sejarah Bahasa (243):Bahasa Arandai Orang Arandai Teluk Bintuni; Sungai Wariaga dan Daerah Aliran Sungai Sebyar Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Arandai atau Yaban merupakan suku yang mendiami sebelah barat sungai Wariaga dan sekitar daerah aliran Sungai Sebyar (Timoforo) di bagian tenggara Kepala Burung Papua, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Suku ini memiliki populasi sekitar 900 jiwa yang mendiami desa Aranday, Kiambo, Yakora, Sakauni, Botare, dan Tomu.


Bahasa Arandai adalah gugus dialek Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat. Di Kabupaten Teluk Bintuni digunakan di distrik Aranday, Kamundan, dan Weriagar. Perlakuan di Ethnologue tampaknya tidak konsisten. Kode ISO ditetapkan ke dua bahasa, "Arandai" dan "Kemberano", yang terakhir juga disebut Arandai. Dikatakan bahwa mereka memiliki 85% kesamaan leksikal, yang menjadikannya dialek dalam satu bahasa. Namun, dua dialek yang diberikan untuk Arandai, juga disebut Kemberano dan Arandai (alias Tomu dan Dombano), dikatakan hanya memiliki 71% kesamaan leksikal, sehingga menjadikannya bahasa yang berbeda. Dialek Kemberano (Weriagar) terdaftar sebagai Weriagar (Kemberano) dan Barau. Nama alternatif tambahan Arandai/Kemberano/Dombano–Tomu diberikan sebagai Jaban (Yaban), Sebyar, Sumuri. Nama tambahan Kemberano/Arandai/Barau–Weriagar diberikan sebagai Kalitami. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Arandai Orang Arandai di teluk Bintuni? Seperti disebut di atas bahasa Arandai dituturkan di teluk Bintuni. Sungai Wariaga dan Daerah Aliran Sungai Sebyar tempo doeloe. Lalu bagaimana sejarah bahasa Arandai Orang Arandai di teluk Bintuni? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Arandai Orang Arandai di Teluk Bintuni; Sungai Wariaga dan Daerah Aliran Sungai Sebyar Tempo Doeloe

Arandai adalah nama kampong yang juga menjadi nama sungai. Pada masa lampau ada satu keistimewaan sungai Arandai di wilayah teluk Bintuni. Sungai Arandai juga disebut sungai Sebjar. Dalam hal ini sungai Arandai, tempat pengambilan air dimana kapal-kapal jarak jauh mendapatkan air minum dari sungai Arandai memiliki keistimewaan yaitu sangat segar tidak jauh dari muara sungai. Nama teluk disebut Maccluir Golf (kemudian disebut teluk Bintuni).


Kampung Arandai, Korindam dan Rewangi letaknya berdekatan di tepi sungai utama (sungai Sebjar). Raja pertama tinggal di tempat yang lebih tinggi di Irira pada tahun 1902; dua tahun kemudian saya menemukan rumahnya disana ditinggalkan; setelah satu tahun lagi dia punya rumah baru disana. (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1907). Peta 1935: Kampong Arandai di sungai Sebjar

Hingga tahun 1937 di bagian dalam teluk belum ada cabang pemerintahan yang dibentuk. Wilayah yang sudah memiliki pemerintahan terdekat sesuai Stbls No 613 tahun 1937 adalah onderafdeeling Inanwatan yang terdiri tiga distrik (Inanwatan, Kampong Baroe dan Teminaboean) dan onderafdeeling Fakfak (terdiri Fakfak, Kokas, Babo, Kaimana dan Mandiwa). Meski demikian nama Arandai sudah cukup dikenal sejak lama yang berada di antara Inanwatan dan Steenkol.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sungai Wariaga dan Daerah Aliran Sungai Sebyar Tempo Doeloe: Nama Arandai Masa ke Masa

Nama suku Arandai pada masa ini juga disebut Yaban mendiami sebelah barat sungai Wariaga dan daerah aliran sungai Sebyar (Timoforo). Suku ini memiliki populasi sekitar 900 jiwa yang mendiami desa Aranday, Kiambo, Yakora, Sakauni, Botare, dan Tomu. Masih pada masa ini, suku Sebyar salah satu suku di teluk Bintuni populasi sekitar 3,000 jiwa. Suku Sebyar merupakan bagian dari orang Bintuni, suku besar yang mendiami wilayah teluk Bintuni.


Bahasa Barmá sepenuhnya mirip dengan bahasa Sébjar tingkat rendah. Lebih jauh lagi terdapat banyak kampung yang terletak di atau dekat dua sumber sungai. Pertemuan keduanya, Timaworré (kiri) dan Rawara (kanan), berada tepat di atas Barmá. Dari Rawara seseorang dapat melintasi pegunungan menuju daerah aliran sungai Wirjagar dan Kamoedan (lihat Reizen in West-Nieuw-Guinea, 1905-1907 door JW van Hille).

Seperti disebut di atas, Sebyar adalah nama sungai, sementara Arandai adalah nama kampong di daerah aliran sungai Sebjar. Bahasa Sebjar cukup luas di daerah aliran sungai Sebjar bahkan hingga ke wilayah hulu di Barma. Bagaimana dengan nama bahasa Arandai? Seperti disebut di atas, pada masa ini penutur bahasa Arandai juga ada di sisi barat daerah aliran sungai Wariaga (Wiriagar).


JW van Hille dapat dikatakan orang Eropa/Belanda pertama yang memahami wilayah teluk Bintuni. JW van Hille adalah Asisten Residen West Nieuw-Guinea yang berkedudukan di Fakfak. Seperti disebut di atas, bagaimana tingkat pemahamannya West Nieuw-Guinea tentang wilayah secara keseluruhan dapat dibaca dalam bukunya berjudul Reizen in West-Nieuw-Guinea, 1905-1907.

Sungai Wariaga tampaknya kurang penting jika dibandingkan sungai Sebjar. Mengapa? Yang jelas kedua sungai ini bertetangga, sungai Sebjar di timur dan sungai Wariaga di barat. Pada peta yanh dibuat JW van Hille, semua kampong yang diidentifikasi mulau dari muara sungai Sebjar hingga ke hulu di Barma umumnya berada di sisi barat. Di sisi timur sungai Sebjar adalah hutan (yang mana di bagian muara sungai vegetasi mangrove).


Sungai Sebjar adalah sungai besar yang dapat dinavigasi hingga jauh ke hulu bahkan hingga Barama, sementara sungai Wariaga adalah sungai yang lebih kecil dan sulit dinavigasi. Oleh karena itu daerah aliran sungai Sebjar adalah wilayah yang telah berkembang sejak lama, pertemuan populasi asli dari pedalaman dan para pendatang dari muara sungai. Apakah ini yang menyebabkan ada perbendaan bahasa di daerah aliran sungai Sebjar (bahasa Sebjar dan bahasa Arandai). Pada masa ini disebut suku Arandai mendiami sebelah barat sungai Wariaga dan daerah aliran sungai Sebyar (Timoforo). Dalam peta Hille, salah satu cabang sungai Sebjar di selatan Arandai berhulu di sebelah barat ke arah sungai Wariaga dimana diindentifikasi nama kampong Tomoe.

Seperti disebut di atas populasi bahasa Sebajar jauh lebih banyak daripada behasa Arandai. Bahasa Sebjar diduga kuat bahasa utama di daerah aliran sungai Sebjar mulau dari hilir hingga ke hulu. Sebagaimana disebut Hille bahwa bahasa Barmá (hulu) sepenuhnya mirip dengan bahasa Sébjar (hilir) tingkat rendah.


Sebjar adalah nama sungai dan Arandai adalah nama kampong. Biasanya jika tidak ditemukan sebagai nama kampong, nama sungai diduga adalah nama lama/kuno. Seperti umumnya nama sungai merujuk pada nama kampong utama. Sebjar sebagai nama kampong tidak ditemukan. Yang ditemukan adalah nama kampong Arandai. Oleh karena itu nama Arandai diduga adalah nama baru di daerah aliran sungai Sebjar, dimana bahasa yang luas digunakan adalah bahasa Sebjar. Lantas bagaimana perbedaan bahasa Arandai dengan bahasa Sebjar?

Pada masa ini bahasa Arandai disebut memiliki lima dialek: Barau, Weriagar, Sebyar. Tarof, dan Kasuweri. Dalam daftar CL Voorhoeve (1975) bahasa Arandai dapat dibandingkan dengan kosa kata dialek-dialek tersebut.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar