Laman

Minggu, 04 Februari 2024

Sejarah Bahasa (279): Peta Bahasa dan Peta Genetik di Nusantara; Sebutan Bilangan dan Peta Navigasi Pelayaran Perdagangan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Peta genetik (studi DNA) adalah satu hal. Peta bahasa adalah lain lagi. Dalam peta bahasa terdapat peta (sebutan) bilangan. Singkatnya selain peta DNA dan peta bahasa, masih banyak peta-peta sejarah lainnya. Bagaimana dengan peta navigasi pelayaran (perdaganga) diantara tiga benua? Benua Asia, benua Amerika dan benua Australia. Apakah peta bahasa dan peta bahasa dapat disandingkan? Fokus dalam hal ini hanya peta bilangan.

 

DNA dari Kerabat Manusia yang Punah Mungkin Telah Membentuk Sistem Kekebalan Tubuh Orang Papua Modern. Freda Kreier. 8 Desember 2022. Penelitian baru bahwa sisa-sisa DNA dari spesies manusia yang telah punah, Denisovan, dalam genom orang Papua modern mungkin telah membantu membentuk sistem kekebalan tubuh mereka. Ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia modern bertemu dan kawin dengan Neandertal--dan juga dengan sepupu dekat mereka, Denisovan. Meskipun Neandertal dan Denisovan kemudian punah (kemungkinan Denisovan masih bertahan hingga 15.000 tahun yang lalu), miliaran orang di seluruh dunia masih membawa bukti interaksi ini dalam DNA mereka. Studi baru, yang diterbitkan pada hari Kamis di PLOS Genetics, bahwa resistensi penyakit mungkin menjadi penyebabnya. Penelitian tersebut—yang dilakukan oleh Irene Gallego Romero, ahli genetika evolusi manusia di Universitas Melbourne—menunjukkan bahwa mutasi tertentu dari Denisovan yang telah lama hilang dapat membantu masyarakat Papua saat ini melawan infeksi virus. (https://www.scientificamerican.com/)

Lantas bagaimana sejarah peta bahasa dan peta genetik di Nusantara? Seperti disebut di atas ada peta bahasa dan ada peta genetic. Apakah ada relasi. Sebutan bilangan dan peta navigasi pelayaran perdagangan. Lalu bagaimana sejarah peta bahasa dan peta genetik di Nusantara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Peta Bahasa dan Peta Genetik di Nusantara; Sebutan Bilangan dan Peta Navigasi Pelayaran Perdagangan  

Studi bahasa sudah intens dilakukan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pencatatan bahasa dan dikumentasi bahasa-bahasa di nusantara sudah dilakukan sejak era Portugis/VOC Belanda. Oleh karena itu sudah tergambar peta bahasa di Indonesia. Kini, topik terbaru telah mulai dipetakan asal usul penduduk berdasarkan genetic (DNA). Mari kita perhatikan relasi peta bahasa dan peta genetik.


Peta genetik sudah ada yang mempublikasikan yang dapat diakses di internet. Dalam peta ini kita batasi wilayah (kepulauan) nusantara antara lautan India di barat dan lautan Pasifik di timur; antara daratan Asia di utara dan daratan Australia di selatan. Dalam peta genetic warna hijau muda sebagai ras Austronesia dan hijau tua sebagai ras Melanesia (Papua). Dalam grafik tampak penduduk di Mentawai di barat sangat dominan warna hijau muda (Austronesia), sebaliknya penduduk di wilayah Melanesia di Pasifik di timur dominan warna hijau tua (Papua).

Dengan mengacu pada wilayah genetic populasi penduduk warna dominan hijau muda dan warna dominan hijau tua, dalam (perkembangannya) warna hijau muda bercampur dengan warna hijau tua; selaras dengan itu warna hijau muda bercampur dengan warna merah. Warna merah dalam hal ini sebagai pengidentifikasi ras Austro-Asiatic (ras Asia Selatan/India). Dalam hal penduduk yang bertetangga lebih dimungkinkan lebih cepat dan lebih banyak bercampur. Tampak di Jawa warna merah lebih dominan dari pada warna hijau muda. Sebaliknya mulai dari wilayah Toradja kea rah timur (Papua/Pasifik) warna hijau tua cenderung dominan.


Yang menjadi pertanyaan bagaimana terbentuk ras Austronesia (warna hijau muda) yang terkesan wilayahnya merupakan wilayah dengan komposisi warna yang sangat beragam (berbanding terbalik dengan warna hijau muda yang lebih homogen). Apakah dalam hal ini semua penduduk nusantara mulau dari Sumatra di barat dan Papua di timur awalnya berwarna hijau tua/Melanesia? Sebagai ilustrasi perhatikan wujud yang digambarkan dalam relief candi Borobudur di Jawa, yang mana tipikal rambut penduduk (sejaman) tidak ada perbedaan dengan tipikal rambut di Papua masa kini. Bukankah pada masa ini di wilayah barat di Semenanjung Malaya (orang Semang) dan kepulauan Andaman (orang Jarawa) masih tersisa penduduk dengan tipikal rambut di Papua?

Idem dito dengan ras Austronesia, di wilayah India (utara) terbentuk ras Austroasiatik yang berkulit lebih putih bercampur dengan ras Austronesia di Sumatra dan Jawa, semenanjung Malay dan Kalimantan. Secara khusus di semenanjung Malaya dan Sumatra tercampur dengan ras Dravidian (India selatan) yang berkulit lebih gelap dan ras pitih dari Eropa (Indo European). Dalam grafik diantara warna hijau muda di Sumatra dan semenanjung Malaya, bersaing antara warna merah di satu sisi dan warna biru muda (Dravidian) dan warna kuning gelap (Indo Eiropean) di sisi lain.


Dengan mengacu pada warna hijau (Austronesia) dominan di (pulau) Mentawai yang kurang tercampur dengan warna lainnya, wilayah Sumatra terkesan lebih beragam dari berbagai warna dari arah barat. Dalam hal ini, di Sumatra dan Jawa awalnya haruslah diartikan awalnya mirip dengan di Mentawai. Namun yang tetap menjadi pertanyaan adalah mengapa warna hijau terbelah (hijau muda dan hijau tua)? Apakah kedua warna ini pada dasarnya mirip atau pada mulanya sama?  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sebutan Bilangan dan Peta Navigasi Pelayaran Perdagangan: Pertukaran Komoditi Atas Dasar Nilai Tukar Bilangan (Barter)

Pada masa lampau, salah satu wujud pertukaran (exchange) diantara penduduk yang berjauhan adalah melalui perdagangan komodiri berharga (barter). Oleh karena jauh jarak yang ditempuh navigasi dilakukan dengan pelayaran (kapal). Pelayaran tidak hanya dapat dicapai wilayah pesisir di tempat yang jauh, pelayaran juga dapat memasuki wilayah pedalamam lewat sungai-sungai. Artinya dengan adanya perdagangan (pertukaran komoditi) juga terjadi petukaran bahasa sebagai bahasa komunikasi. Dalam hal ini menarik diperhatikan perihal sebutan bilangan dan perihal ukuran takaran.


Bilangan adalah perbedaan relative antara yang sedikit dengan banyak yang dinyatakan dalam bahasa sebagai sebutan bilangan dan juga dituliskan dalam aksara bahasa dan lambang bilangan (satuan mulau dari angka satu, puluhan, ratusan dst). Sedangkan takaran adalah ukuran satuan (unit) pada pengukuran (perkiraan) panjang, luas dan isi serta timbangan, seperti buah, ekor, depa (kedalaman air), rantai (ukuran luas tanah), pikul (timbangan) dan kati (volume). Lupakan dulu satuan meter, gram dan liter karena belum ditemukan.

Sebutan bilangan yang sudah terbilang kuno dan masih lestari dalam bahasa-bahasa di nusantara diantaranya terdapat dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa: satu dalam bahasa Batak disebut sada, sementara dalam bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua (loro), 3=tolu (telu), 4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada (sebelas), 12=sapulu dua (dua belas), 100=saratus (serratus), 1000=saribu (seribu). Dari sebutan bilangan tersebut kemudian membentuk sebutan bilangan dalam bahasa Melayu: satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan dan sepuluh.


Pada populasi hijau muda (Austronesia) yang dominan di Mentawai (barat). 1=sara, 2=rua/dua/ruwa, 3=telu, 4=epat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=balu, 9=siba, 10=pulu, 11=pulu sara, 12=pulu ruwa. Tampak sebutan bilangan bahasa Mentawai mirip bahasa Batak dan Jawa tetapi ada pergerseran dalam beberapa angka: sara=sada (Batak), telu (tolu), epat (opat), enem (onom), balu (walu), siba (sia). Dalam bahasa Jawa: Jawa 1=sidji: 2=loro, 9=sanga,11=sebelas. Dapat ditambahkan untuk kosa kata elementer: ibu dalam bahasa Mentawai adalah ina yang juga dalam bahasa Batak ina; ayah=ukkuy (ama), kakek=bubua (ompung), kepala=ute (ulu), lidah-jalay (dila), gigi=sonn (ipon), darah=logaw (mudar), merah=bonan (rara)

Bagaimana dengan sebutan bilangan dalam bahasa Alor dan Manggarai? Sebutan bilangan dalam bahasa Adang di pulau Alor: 1=nu, 2=alo/ al q, 3=t u, 4=ut, 5=ivihi, 6=t la, 7=itit, 8=turl, 9=ti nu, 10=aimu, 11=aimu fali nu, 12=aimu fali alo. Sementara dalam bahasa Manggarai 1=sa, 2=sua, 3=telu, 4=pat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=alo, 9=siok, 10=sempulu, 11=sempulu sa, 12=sempulu sua. Wilayah bahasa Adang di pulau Alor tidak berjauhan dengan wilayah Manggarai din pulau Flores, tetapi sebutan bilangan sangat berbeda. Meski ada perubahan fonetik, sebutan bilangan bahasa Manggarai mirip bahasa Batak.


Sebutan bilangan di pulau Alor berbeda dengan di wilayah barat, tetapi tampaknya lebih mirip ke rumpun bahasa-bahasa di timur. Sebutan bilangan di wilayah bahasa Lamaholot di pulau Solor sebagai berikut: tou = 1, rua = 2, telo = 3, pat = 4, lema = 5, nemu = 6, pito = 7, buto = 8, hiwa = 9, pulo = 10, pulok tou = 11, pulok rua = 12. Sebutan bilangan mirip sebutan bilangan bahasa Manggarai. Dalam salah satu bahasa di Papua sebutan bilangan dalam bahasa Marind (Malind/Merauke) sebagai berikut: 1=zak d, 2=ina, 3=inay zak d, 4=inaha ina, 5=bala saŋga 'tangan', 6=bala san ga zak dm 7=bala sanŋga ina, 8=bala sa ga inahaŋ zak d, 9=bala sa ga inaha ina, 10=sa ga balen, 11=sa ga balen zak d, 12=sa ga balen ina. Dengan menambahkan daftar bahasa-bahasa ke arah timur seperti bahasa Makian, tampak sangat heterogeny (semakin berbeda dengan bahasa Batak dan bahasa Jawa). Namun ada pengecualian dalam bahasa di pulau Kei sebutan bilangan mirip bahasa Batak sebagai berikut (ada pemenggalan hurug/suku kata): 1=ain(mehe)/(ain)sa; 2=(ain)ru; 3=(ain)tel; 4=(ain)faak; 5=(ain)lim; 6=(ain)nean; 7=(ain)fit; 8=(ain)wau; 9=(ain)siuw; 10=(ain)vut. Untuk pengylangan bilangan dalam belasan sebagai berikut: 11=vut ainsa; 12=vut ainru; 13=vut aintel

Sebutan bilangan semakin ke timur semakin beragam. Namun ada beberapa bahasa di timur seperti bahasa Manggarai dan bahasa Kei lebih mirip ke bahasa Batak. Persamaan linguistic ini tampaknya bersesuaian dengan peta genetic. Bagaimana dengan keberadaan ras Austroasiatik pada populasi di wilayah Manggarai (wilayah terjauh warna merah di timur di wilayah hijau tua/Melanesia). Apakah hal itu dapat dijelaskan oleh peta pelayaran perdagangan?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar