Laman

Rabu, 10 April 2024

Sejarah Padang Lawas (14):Soal Kilas Balik NavigasiPelayaran Perdagangan Kuno;Cina, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku, Pasifik


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini

Kapan bermula (kerajaan) Sriwijaya? Pertanyaan ini akan membawa ke pertanyaan bagaimana sejarah nusantara di masa lampau (sebelum) terbentuknya kerajaan Sriwijaya. Satu yang jelas sebelum nama Sriwijaya terinformasikan dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) dimana djuga disebut nama Minanga/Binanga, sudah ada navigasi pelayaran perdagangan ke Sumatra bagian utara. Dalam konteks inilah perlu wilayah Padang Lawas dipahami.


Sudah ada navigasi pelayaran perdagangan di masa lampau yang telah menghubungkan pantai timur Mesir (laut merah dan laut Mediterani) dan pantai timur Tiongkok (Canton). Dalam hal inilah posisi nusantara pemenjadi sangat penting dan strategis. Wilayah nusantara terutama pulau Sumatra menjadi hub antara barat dan timur dalam navigasi pelayaran perdagangan.

Lantas bagaimana sejarah kilas balik navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno? Seperti disebut di atas sebelum terinformasikan nama Minanga/Binanga dan Sriwijaya sudah terinformasikan navigasi pelayaran perdagangan dari dan ke Sumatra bagian utara. Tiongkok, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku dan Pasifik. Lalu bagaimana sejarah kilas balik navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Kilas Balik Navigasi Pelayaran Perdagangan Zaman Kuno; Tiongkok, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku, Pasifik 

Tunggu Tidak banyak bukti tentang sejarah navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno. Oleh karena itu sulit menyusun narasinya. Namun sejarah zaman kuno tetaplah sejarah zaman kuno. Sebab sejarah seharusnya memiliki permulaan. Dalam hal inilah navigasi pelayayaran zaman kuno penting di nusantara, wilayah yang banyak pulau. Sumber tertua yang telah diidentifikasi sebagai berikut:

1.      Catatan geografis Ptolomeus pada abad ke-2 dimana di Eropa sudah diketahui pulau Sumatra sebagai Aurea Chersonesus dan pulau Kalimantan sebagai Taprobana (dua pulau yang dekat dengan daratan Asia). Di pantai barat pulau Sumatra bagian utara diidentifikasi nama Tacola yang diduga Angkola. Dalam catatan juga disebut kamper diimpor dari Sumatra bagian utara.

2.      Catatan Tiongkok abad ke-2 menyebutkan utusan Raja Ye-tiao dari laut selatan menemuai Kaisar Tiongkok di Peking untuk membukan pos perdagangan. Yeh-tiao diduga wilayah Sumatra bagian utara.

3.      Terdapat prasasti beraksara Brahmi ditemukan di Vietman pada abad ke-3, di Kalimantan Timur abad ke-4 dan prasasti Tugu di Jawa Barat abad ke-5. Aksra Brahmi berasal dari sebelah barat India..

4.  Catatan Eropa pada abad ke-5 disebut kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Barousse (yang diduga nama Barus, Tapanuli di pantai barat Sumatra).

5.      Catatan Tiongkok pada abad ke-6 dinasti Leang (502-556 disebut nama-nama tempat seperti Tu-k'un (diduga Tiku), Pien-tiu of Pan-tiu (Panti), Mo-chia-man (Pasaman) dan Pi-song (Hepesong/Sipisang) serta Kiu-li of Ktu-tchiu (Puli). Semua nama-nama tempat tersebut berada di pantai barat Sumatra.

6.      Prasasti abad ke-7 ditemukan di pantai timur Sumatra yang menyebut nama Sambau, Minanga dan Sriwijaya. Nama Sriwijaya adalah nama kerajaan dan nama Sambau dan Minanga/Binanga adalah nama-nama tempat di Padang Lawas. Dalam teks prasasti bertarih 682 juga ada indikasi perjalanan juga dilakukan dengan pelayaran dari Minanga ke Matayap.

7.      Dalam catatan Tiongkok awal abad ketujuh, para pedagang asing sudah membentuk koloni di Canton dan juga di Ch'üan-chow serta Yang-chow. Sejumlah pedagang Arab sudah masuk di Canton yang menjadi awal siar agama Islam di Tiongkok. Antara tahun 618 dan 626 M empat pengikut Muhammad yang membawa Islam di Tiongkok. Satu mengajar di Canton, satu di Yang-chow dan dua lainnya di Ch'üan-chow. Dalam teks P'an-yü-hsien-chih bab 53 disebutkan bahwa: ‘Ketika perdagangan laut dibuka pada Dinasti T'ang, Muhammad, raja (nabi) Muslim di Medina mengunjungi koloni Muslim di Canton’. Orang-orang Muhammad membentuk pemukiman besar di pelabuhan-pelabuhan Tiongkok, orang Tiongkok menyetujui orang asing yang tinggal dalam kelompok di wilayah mereka, semacam pemerintahan sendiri, Orang asing diizinkan untuk menggunakan hukum mereka sendiri dan mengamati kebiasaan dan kebiasaan mereka sendiri begitu lama karena mereka bisa hidup tertib dan damai dengan orang Tiongkok. Pihak berwenang Tiongkok tidak akan mempertimbangkan untuk ikut campur dalam hal-hal yang menyangkut orang asing, kecuali bila hal itu perlu’. Catatan: tahun Hijrah dimulai tahun 622 M. Boleh jadi dari sejarah inilah diketahui adanya hadis yang menyatakan ‘tuntutlah ilmu itu walau jauh ke negeri Tiongkok’

8.      Masih pada abad ke-7 I’tsing dalam laporannya menyebutkan tahun 671 dalam pelayarannya dari Che-li-fo-si (diduga nama Sungai Musi) selama 15 hari tiba di Moloyu dan berdiam selama dua bulan. Nama Moloyu diduga Malea/ Maleya/Moloyu di wilayah Padang Lawas. I’tsing juga menyebut nama Kun-lun (pulau emas) dan nama Seng-ho-lo. Nama Kun-lun diduga nama Kuntu atau Kunkun dan nama Seng-ho-lo diduga Sangkilon (di Padang Lawas). Catatan: Moloyu, Seng-ho-lo dan Kun-lun berada di wilayah pertambangan emas di Sumatra bagian utara. 

Bagaimana navigasi pelayaran perdagangan tersebut terwujud adalah kemampuan membuat kapal dan memiliki kemampuan navigasi. Tingkat teknologi kapal dalam hal navigasi ini adalah teknologi yang sudah mampu mengarugi lautan (bukan sampan dengan teknologi sederhana yang umumnya digunakan di sungai/danau).


Tingkat teknologi kapal laut dapat diperhatikan sebagaimana digambarkan dalam relief candi Borobudur di Jawa (candi yang dibangun pada abad ke-9). Kapal yang digambarkan pada relief telah memiliki teknologi layer gulung dan elemen penyeimbang kapal di kiri dan kana (cadik).

Sumber lain yang dapat dijadikan sebagai indikasi adanya pelayaran perdagangan adalah keberadaan aksara Batak. Schröder, seorang Jerman menemukan ada kemiripan aksara Fenisia dengan aksara Batak (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Aksara Aramaik menurunkan aksara Arab dan aksara Brahmi. Adanya pertukaran ilmu pengetahuan dalam aksara diduga karena factor adanya navigasi pelayaran perdagangan. Aksara Batak berbeda dengan aksara Jawa.


Aksara Fenesia menurunkan aksara Yunini (alfabet); Aksara Arab adalah aksara abjad, sedangkan aksara Brahmi adalah aksara abugida. Aksara Yunani menurunkan aksara Latin, sedangkan aksara Brahmi menurunkan aksara Pallawa yang kemudian diadopsi di Jawa dalam pembentukan aksara Jawa. Aksara Batak bersifat abjad (seperti aksara Arab), tetapi aksara yang digunakan aksara Batak mengikuti bentuk aksara Fenesia (alfabet). Oleh karena itu aksara Batak berbeda asal-usul dengan aksara Fenesia. Aksara Jawa yang sekarang disebut baru terbentuk abad ke-17. Sementara itu aksara Batak diduga sudah sejak zaman kuno terbentuk. Mengapa? Aksara Fenesia sudah punah di zaman kuno seiring dengan lebih populernya aksata Yunani dan aksara Arab. Hal itulah mengapa aksara Batak diduga sudah sangat tua, karena aksara pendahulunya sudah punah di zaman kuno.

Dalam konteks pertukaran zaman kuno, komoditi, bahasa, aksara, budaya dan ilmu pengetahuan pelayaran adalah factor penting yang mendukung dalam perkembangan peradaban diantara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Seperti disebut di atas, prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 diduga menggunakan aksara Pallawa (turunan aksara Brahmi) dengan menggunakan dua bahasa (bahasa Sanskerta dan bahasa Batak).

 

Dalam prasasti abad ke-7 di pantai timur Sumatra (prasasti Kedoekan Boekut 682) selain menyebut nama Sambao dan Minanga di Padang Lawas, aksara yang digunakan adalah aksara Pallawa yang mana dapat diidentifikasi bahasa Batak seperti kata mengalap, marlapas dan marbuat yang merupakan awalan dan kosa kata dalam bahasa Batak. Juga terdapat akiran na dalam bahasa Batak. Dalam teks juga teridentifikasi sebutan bilangan dalam bahasa Batak yakni sampulu dua yang maksudnya 12.

Bahasa adalah warisan, bahasa yang berlangsung turun temurun. Oleh karena itu bahasa dapat dianggap sebagai suatu warisan yang dalam hal ini dapat dijadikan sebagai data yang bersifat warisan (data non fisik yang masih eksis).

Tunggu deskripsi lengkapnya 

Tiongkok, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku, Pasifik: Jalur Penyebaran dan Bahasa dan Budaya

Perpindahan populasi menjadi penting dalam navigasi pelayaran perdagangan. Dalam kegiatan perdagangan dan navigasi pelayaran diduga telah terjadi perpindahan populasi dari satu tempat ke tempat lain. Dengan berbagai sebab telah terjadi kolonisasi penduduk pendatang di suatu wilayah. Mereka yang berkolonisasi terkait dengan navigasi pelayaran perdagangan tersebut. Perpindahan populasi dapat diperhatikan karena ada kemiripan bahasa, aksara dan budaya serta ilmu pengetahuan lainnya. Pada masa ini hasil-hasil studi genom (DNA) dapat digunakan untuk memperkuat dugaan adanya perpindahan populasi.


Kelompok-kelompok populasi yang ada di nusantara (khususnya wilayah Indonesia sekarang) dapat dibedakan atas perbedaan signifikan DNA populasi Austronesia, Melanesia (Papua) dan Austo Asiatik (Indo China). Kelompok populasi Batak lebih cenderung bersifat Austronesia yang berbeda dengan kelompok populasi Jawa (pengaruh Austro Asiatik sangat kuat).  Dalam kelompok populasi Batak juga ada elemen Indo Eropa dan India.

Studi genom (DNA) juga dapat digunakan untuk memperkuat dugaan adanya perpindahan populasi diantara kelompok populasi di nusantara dengan kelompok populasi di Filipina, Indochina dan dipantai timur Tiongkok. Demikian juga sebaliknya pola perpindahan dari daratan Asia ke wilayah kepulauan (nusantara).


Dalam kelompok populasi di pantai timur Tiongkok (seperti Canton) yang dominan adalah genom Asiatik (China) yang berwana hijau. Juga ada genom Austro Asiatik di Indo China (warna kuning) genom Austronesia berwarna biru muda. Pola di pantai timur Tiongkok relatif mirip dengan kelompok populasu di Vietnam. Bagaimana dengan di Filipina genom yang kuat adalah gabungan antara DNA Asiatik (China) dengan DNA negroid (kulit berwarna gelap). Lalu bagaiman di wilayah Malaysia? Adanya genom negroid di Malaysia diduga karena keberadaan populasi asli di Semenanjung (orang Semang). Bandingkan dengan di Sumatra dan Jawa kontribusi genom negroid ini nyaris tidak ada. Golong negroid terdekat dari Sumatra terdekat berada di Semenanjung dan di kepulauan Andaman,

Seberapa tua percampuran populasi terjadi tidak diketahui secara pasti. Yang jelas dari studi genom didapat gambaran percampuran populasi berbeda antara satu kelompok populasi dengan kelompok populasi lainnya (misalnya antara Batak dan Jawa). Tua mudanya percampuran tersebut dapat dihubungkan dengan adanya pertukaran dalam bahasa dan aksara.


Seperti disebut di atas aksara Jawa yang sekarang belum lama terbentuk dibandingkan dengan aksara Batak. Aksara Jawa yang sekarang yang berasal dari garis aksara Brahmi berbeda dengan aksara Batak yang merujuk pada akasara Fenesia. Oleh karena ada unsur genom Indo Eropa dalam kelompok populasi Batak maka dimungkinkan pertukaran aksara pada kelompok populasi Batak diduga sudah tua. Satu gambaran tentang kelompok populasi dapat diperhatikan pada relief candi Borobudur. Tampak profil yang ditampilkan orang-orang berambut keriting yang umumnya topical kelompok populasi berkulit gelap. Lalu apakah populasi di Jawa pada era pembangunan candi Borobudur berbeda dengan populasi Jawa yang sekarang? Yang jelas dari studi genom kelompok populasi Jawa pengaruh Austo Asiatik sangat kuat. Dengan kata lain tipologi populasi di Jawa pada relief Borobudur tidak merefleksikan populasi Jawa yang sekarang. Sebaliknya adanya DNA dari Indo Eropa di dalam genom Batak diduga terkait dengan kehadiran pendatang di masa lalu yang bertukar dalam berbagai aspek termasuk dalam hal aksara. 


Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar