Jumat, 07 Desember 2018

Sejarah Kota Padang (57): Djamaloedin Rasad dan Mahasiswa Asal Sumatra di Belanda, 1905; Peran Dja Endar Moeda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini 

Djamaloedin atau lengkapnya Baginda Djamaloedin bin Mohamad Rasad bukanlah orang biasa, tetapi pemuda luar biasa, mahasiswa pertama asal Kota Padang yang kuliah jauh di negeri Belanda. Djamaloedin tiba di Amsterdam, Belanda pada tahun 1903. Sementara itu mahasiswa pertama Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah Raden Kartono yang tiba di Belanda tahun 1896. Raden Kartono adalah abang dari Raden Adjeng Kartini.

Buku Djamaloedin (1920)
Djamaloedin sebelum berangkat studi ke Belanda adalah asisten redaktur majalah dwimingguan Insulinde yang terbit di Padang (1901-1902). Djamaloedin adalah alumni sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (kini Bukittinggi). Majalah Insulinde terbit kali pertama tahun 1900.

Nama Djamaloedin kurang dikenal, padahal Djamaloedin adalah mahasiswa pertama asal Kota Padang di Belanda. Soal popularitas adalah masalah lain, tetapi bagaimana Djamaloedin tiba di Belanda dan melanjutkan studi di perguruan tinggi menjadi hal yang penting. Saat Djamaloedin tiba di Belanda jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda masih hitungan jari. Untuk menambah pemahaman kita mari kita telusuri siapa dan bagaimana (Who is Who) kiprah Baginda Djamaloedin.

Rabu, 05 Desember 2018

Sejarah Menjadi Indonesia (10): Sejarah Bahasa Melayu dengan Aksara Latin; Buku, Surat Kabar dan Majalah


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disin

Sejarah persuratkabaran di Indonesia dimulai dari sejarah penggunaan aksara Latin. Sebelum muncul surat kabar, situasi dan kondisi di Hindia Timur hanya ditemukan dalam buku yang merupakan laporan hasil perjalanan.

Joan Nieuhofs, 1682
Sejarah tulisan aksara Latin di Indonesia (baca: Hindia Timur) dimulai dari laporan perjalanan Joan Nieuhofs ke Hindia Timur yang diterbitkan dalam buku tahun 1682.

Lantas kapan buku dan surat kabar beraksara Latin berbahasa Melayu muncul kali pertama. Pertanyaan ini tentu masih perlu dijawab. Sebab, sejauh ini tidak pernah ditulis secara kronologis kapan introduksi aksara Latin dalam bahasa Melayu. Bahasa Melayu dalam hal ini harus dipandang sebagai bahasa pengantar (lingua franca) di Hindia Timur/Hindia Belanda

Sabtu, 01 Desember 2018

Sejarah Kota Depok (51): Sejarah Lenteng Agung dan Asal Usul; Melacak Posisi ‘GPS’ Klenteng Agoeng di Land Tanah Agong


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Lenteng Agung adalah suatu nama terkenal di selatan Jakarta berbatasan dengan Depok. Nama Lenteng Agung sendiri sudah terkenal sejak dulu. Namun namanya baru populer setelah tahun 1873. Ini sehubungan dengan selesainya pembangunan jalur rel kereta api Batavia-Buitenzorg, yang mana salah satu halte/stasion disebut Lenteng Agung.

Peta Lenteng Agung, 1901
Lenteng Agung, adalah suatu kelurahan yang termasuk wilayah Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tetangga terdekatnya adalah Kelurahan Serengseng Sawah, yang juga termasuk Kecamatan Jagakarsa. Jika nama Lenteng Agung baru populer sejak 1873, nama Serengseng Sawah dengan nama penanda navigasi kuno ‘Sering Sing’ sudah teridentifikasi sejak tahun 1706. Memahami Lenteng Agung di masa lampau haruslah dikaitkan dengan Sering Sing dan Depok. Hanya dengan begitu dimungkinkan untuk mengetahui sejarah masa lampau di Lenteng Agung. Oleh karenanya, meski Lenteng Agung kemudian masuk wilayah Meester Cornelis (dan pada masa ini wilayah DKI Jakarta), tetapi secara historis, sejarah Lenteng Agung harus dilihat dari sudut Depok (Buitenzorg).

Nama Lenteng Agung bukanlah berasal dari suatu klenteng (lenteng) yang besar (agung). Namun nama Lenteng Agung berasal dari suatu proses (transfomasi) ‘klenteng di Tanah Agong’. Klenteng yang dimaksud terdapat di Tanah Agong. Dengan kata lain wilayah Lenteng Agung dulu namanya Tanah Agong. Yang sering menjadi pertanyaan pada masa ini dimana posisi GPS klenteng yang dulu pernah ada di Tanah Agong (kini Lenteng Agung). Tentu saja, kita tidak bisa melacaknya pada masa kini. Situsnya pada masa ini sudah tidak berbekas. Untuk keperluan pengetahuan masa kini, mari kita lacak dimana posisi ‘gps’ klenteng tersebut di masa lampau.

Minggu, 25 November 2018

Sejarah Bogor (26): Sejarah TPB IPB dan Mahasiswa Tingkat Keragaman Tinggi; Lulus, Bagai 'Air Mangalir Sampai Jauh'


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
**Untuk melihat artikel Sejarah Dramaga dalam blog ini Klik Ini 

Di Institut Pertanian Bogor (IPB) tempo dulu sangat dikenal dengan TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Program pendidikan TPB ini sekarang disebut Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU). Setiap mahasiswa IPB harus memulainya dari TPB, suatu program pendidikan tahun pertama sebagai persiapan untuk memasuki fakultas. Kurikulum pendidikan pada TPB ini bersifat bersama, semua mahasiswa harus mengambil mata kuliah yang seragam. Karena itulah nama program pendidikan IPB tersebut disebut Tingkat Persiapan Bersama, suatu program pendidikan yang dapat dianggap sebagai ‘hub’ antara pendidikan pasca SMA (juruan IPA) dan pendidikan pra-universitas (fakultas).

Kantor TPB-IPB dan mahassiwa (1983)
Program pendidikan TPB adalah pendidikan tahap persiapan dan dilakukan bersama ini dimulai tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1993. Program ini dibagi dalam dua semester dengan memikul 12 matakuliah yang secara keseluruhan sebanyak 36 SKS. Untuk bisa lanjut ke fakultas, setiap mahasiswa harus lulus dengan IPK minimal 2.00. Nilai IPK di bawah 2.00 harus mengulang selama satu tahun tetapi mahasiswa yang memiliki IPK kurang dari 1.25 langsung Drop Out (DO). Mahasiswa yang mengulang dan mendapat nilai IPK kurang dari 2.00 juga harus ikhlas DO. Berat memang. Tapi itulah TPB IPB.

Program pendidikan TPB-IPB yang seragam, ternyata mahasiswanya sangat beragam. Mereka diundang setelah seleksi administratif sebagai siswa terbaik di sekolahnya. Mereka datang dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, ada yang datang dari dekat tugu Monas di Jakarta ibukota Republik Indonesia, juga ada yang datang dari kota kecil terpencil di pedalaman Sumatra, seperti saya; ada yang lulusan SMA Negeri 8 Jakarta juga ada yang datang dari SMA Negeri 1 Padang Sidempuan, seperti adik kelas saya; ada yang datang dari Sabang dan ada yang datang dari Merauke, serta ada yang datang dari Sekolah Kedutaan di Paris. Tidak hanya itu, keluarga mereka juga sangat beragam, ada anak petani, seperti saya, juga ada anak Menteri dan anak Presiden; tentu saja ada anak seorang guru di pelosok kecamatan dan anak seorang guru besar di IPB. Bhineka tunggal ika di tingkat persiapan bersama. Benar-benar wujud miniatur Indonesia. Saya tahu persis karena saya termasuk di dalamnya dengan nomor identitas diri IP20.0324. Nomor ini menjadi kode navigasi untuk melacak mahasiswa pada angkatan (tahun tertentu) yang berada di Kelompok 2 dan Golongan 6.

Selasa, 20 November 2018

Sejarah Kota Medan (78): Pulau Sicanang. Teluk Belawan Hilang Akibat Sedimentasi; Dari ‘Kota Tjina’ hingga Rumah Sakit Kusta


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada Pulau Sicanang? Pada masa ini pulau tersebut tidak begitu jelas bentuk (rupa dan ukuran). Akan tetapi pada masa lalu Pulau Sicanang benar-benar ada dan dapat diidentifikasi secara jelas berada di tengah Teluk Belawan. Pertanyaan yang sama: Apakah ada Pulau Brayan? Belum jelas apakah benar-benar ada, tetapi tentu masih menarik untuk dibuktikan apakah ada atau tidak. Lantas apa keutamaan Pulau Sicanang? Pulau yang dulu berukuran kecil ini telah bertambah luas yang kemudian menutupi seluruh pemukaan air di Teluk Belawan. Keutamaan lainnya Pulau Sicanang adalah lokasi pertama dimana terdapat rumah sakit kusta.  

Teluk Belawan (Peta 1695)
Persoalan Pulau Sicanang dan Teluk Belawan belumlah terbilang kuno. Jauh sebelumnya di masa lampau sudah ada persoalan di Teluk Belawan. Persoalan tersebut adalah eksistensi Kerajaan Deli di hulu sungai Deli dan persoalan apakah benar-benar ada ‘Kota Cina’. Semua persoalan tersebut menjadi terkesan rumit dari sudut pandang masa kini. Karenanya ada yang berpendapat bahwa Kerajaan Deli adalah suksesi Kerajaan Aru. Padahal Kerajaan Deli adalah satu hal dan Kerajaan Aru adalah hal lain.  

Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, artikel ini mendeskripsikan sejarah awal di Deli. Sejarah tersebut dimulai ketika berpisahnya Sungai Deli dan Sungai Belawan yang kemudian terbentuknya Teluk Belawan. Pada daerah aliran sungai (DAS) Belawan inilah lokasi dimana ditemukan ‘Kota Tjina’. Pada perkembangan selanjutnya di hulu Sungai Deli inilah kemudian terbentuk Kerajaan Deli (kini di Deli Tua). Lambat laun di Teluk Belawan terjadi sedimentasi sehingga terbentuk Pulau Sicanang. Pulau kecil yang terdapat di tengah teluk kemudian meluas sehingga dua sisi pulau yang menghadap ke pantai terbentuk dua muara baru sungai: muara baru Sungai Belawan dan muara baru Sungai Deli. Mari kita eksplorasi!

Sabtu, 17 November 2018

Sejarah Kota Depok (50): Lukisan Asli Cornelis Chastelein; Corneille le Bruyn Pernah Berkunjung ke Sering Sing, 1706


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini 

Cornelis Chastelein sangat terkenal. Cornelis Chastelein adalah orang Eropa pertama yang membuka lahan di sisi barat sungai Tjiliwong. Lahan pertama yang diusahakan di sisi barat sungai Tjiliwong adalah lahan di Sering Sing (baca: Serengseng). Pada tahun 1706 Corneille le Bruyn pernah berkunjung ke Sering Sing. Lahan dimana Cornelis Chastelein mengusahakan pertanian.

Lukisan asli Cornelis Chastelein di Serengseng (le Bruyn, 1706)
Pada tahun 1696 Cornelis Chastelein membeli lahan baru di Depok dan Mampang. Sebelum meninggal pada tahun 1714, Cornelis Chastelein telah menjual lahan Sering Sing kepada Bupati Tjiandjoer. Sejak penjualan lahan Sering Sing, Cornelis Chastelein mulai intensif mengusahakan lahan di Depok.

Ada dua dokumen kuno yang mengindikasikan keberadaan lahan yang diusahakan Cornelis Chastelein di Sering Sing. Dokumen tersebut adalah peta lokasi Sering Sing dan lukisan lahan pertanian Cornelis Chastelein di Sering Sing. Namun yang menjadi rujukan lukisan Sering Sing yang beredar selama ini bukanlah lukisan yang asli. Replika lukisan tersebut tidak diketahui siapa pembuatnya. Lukisan yang asli dibuat sendiri oleh Corneille le Bruyn, seorang pelancong yang memiliki keahlian melukis.

Rabu, 14 November 2018

Sejarah Jakarta (31): Sejarah Ragunan dan Keluarga Hendrik Lucasz Cardeel; Dulu Taman Buah, Kini Taman Margasatwa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Popularitas nama Ragunan semakin meningkat ketika kebon binatang di Tjikini pada tahun 1966 direlokasi ke Ragunan. Nama kebun binatang di Ragunan ini kemudian pada akhirnya berubah nama menjadi Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Sejak itu nama Ragunan sangat dikenal hingga masa ini. Nama Ragunan sendiri muncul sebagai nama tempat dikaitkan dengan nama keluarga Hendrik Lucasz Cardeel.

Perkemahan Ragunan (De nieuwsgier, 15-08-1955)
Ragunan kini termasuk Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sebelum kebun binatang Tjikini direlokasi ke Ragoenan, nama desa Ragoenan sudah mulai dikenal luas sejak tahun 1955 karena menjadi lokasi jambore nasional pertama tahun 1955 (lihat De nieuwsgier, 15-08-1955).

Kisah Hendrik Lucasz Cardeel dan putrinya Christin Helena Cardeel bermula di Banten. Ayah dan anak ini masuk Islam, Hendrik Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran Wira Goena dan Christin Helena Cardeel diberi gelar Ratoe Sangkat. Ketika Gubernur Jenderal VOC mengirim ekspedisi ke Banten yang dipimpin oleh Sersan St. Martin untuk membebaskan tawanan tahun 1682, Letnan Mody seorang tawanan yang dibebaskan ‘menculik’ Helena ke Batavia dan kemudian menikahinya. Lalu kemudian, Hendrik Lucasz Cardeel menyusul putrinya ke Batavia. Ketika Sultan Hadji berkuasa kembali  meminta pangeran dan ratu mualaf itu diekstradisi ke Banten, Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman (1681-1684) menolaknya.

Selasa, 13 November 2018

Sejarah Jakarta (30): Sejarah Gang Kenari, Pusat Perjuangan Indonesia Tempo Dulu; MH Thamrin dan Parada Harahap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Gang Kenari tempo doeloe, kini Jalan Kenari. Gang Kenari tempo doeloe adalah pusat perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Gang Kenari adalah kawah candradimuka, tempat lahirnya para revolusioner Indonesia, seperti MH Thamrin, Parada Harahap, Ir. Soekarno, Dr. Soetomo, Mohamad Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Gang Kenari adalah lokasi kantor dan gedung Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI), suatu supra organisasi yang dibentuk pada tanggal 26 September 1927 untuk memayungi organisasi-organisasi kebangsaan seperti Sumatranen Bond, Kaoem Betawi, Pasoendan dan Perserikatan Nasional Indonesia. Ketuanya adalah MH Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris yang merangkap sebagai kepala kantor.

Gang Kenari (Peta 1887)
Gang/Jalan Kenari kini termasuk Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Posisi ‘gps’ Gang Kenari  di sebelah Kampus UI Salemba. Gedung PPPKI yang dibangun tahun 1927 tersebut masih eksis yang kini dikenal sebagai Gedung MH Tahmrin. Pada tahun 1927, Parada Harahap sebagai kepala kantor hanya memasang tiga foto yang menjadi idolanya: Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta.      

Lantas mengapa pada masa ini Gang Kenari kurang dikenal? Padahal di Gang Kenari justru nama Indonesia ditempa dan diperjuangkan. Di Gang Kenari konsep bangsa Indonesia disepakati. Di Gang Kenari panitia Kongres Pemuda dibentuk. Di Gang Kenari, Ir. Soekarno menghimbau Boedi Oetomo agar ikut berjuang demi Indonesia. Namun itu semua ternyata tidak cukup untuk mengangkat popularitas Gang Kenari pada masa ini. Untuk itu, mari kita susun kembali sejarah Gang Kenari agar generasi masa kini dapat memahami dan mengenal peran Gang Kenari dalam terbentuknya bangsa Indonesia.

Minggu, 11 November 2018

Sejarah Jakarta (29): Sejarah Kebun Binatang Cikini Sebenarnya; Kebun Binatang Pertama di Indonesia 1866-1966


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Kebon Binatang Ragunan adalah suksesi Kebun Binatang Cikini. Setelah satu abad, kebun binatang di Cikini direlokasi ke Ragunan. Kebun binatang di Cikini yang awalnya disebut sebagai Planten en Dierentuin dimaksudkan untuk fasiltas publik yang dapat dinikmati oleh penduduk. Namun dalam perkembangannya, kebun binatang di Cikini harus direlokasi ke lokasi yang lebih luas di Ragunan.

Kebun Binatang Tjikini (Peta 1910)
Kebon binatang Cikini pada tahun 1966 secara resmi direlokasi ke Ragunan. Kebon binatang Cikini yang telah berusia satu abad hanya tinggal kenangan. Pada masa lampau kebun binatang di Tjikini hanya disebut dengan nama Planten en Dierentuin. Lalu kemudian namya pernah dikenal sebagai Zoological Garden dan Pleasure Ground. Pada era kemerdekaan kebun binatang di Cikini disebut sebagai Keboen Binatang Tjikini. Setelah relokasi ke Ragunan, akhirnya nama diubah lagi menjadi Taman Margasatwa Jakarta.

Bagaimana kebun binatang di Tjikini muncul mudah dilacak. Namun pada masa ini sejarah kebun binatang di Tjikini ditulis simpang siur. Padahal dalam konteks sejarah, kebun binatang di Tjikini belum termasuk tua. Surat-kabar yang terbit pada tahun 1866 memberitakan setiap tahapan pada proses pembangunan kebun binatang Tjikini tersebut. Karena itu, sejarah kebun bintang di Tjikini seharusnya dapat ditulis secara benar. Untuk itu mari kita telusuri ke masa lampau.   

Jumat, 02 November 2018

Sejarah Kota Depok (49): Sejarah Ratu Jaya, Nama Kampong Terkenal Tempo Doeloe; Pemberontakan Melawan Belanda, 1869


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Ratu Jaya pada masa ini adalah nama kelurahan di Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Kelurahan Ratu Jaya bertetangga dengan Kelurahan Pondok Terong. Kedua kelurahan ini di masa lampau pernah disatukan dalan satu kawasan tanah partikelir (landerien): Pondok Terong en Ratoe Djaija di onderdistrict Paroeng, Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia.

Peta 1852
Pada tahun 1861, berdasarkan Statistik Buitenzorg luas Pondok Terong 1.221 geomiljen dan Ratoe Djaija seluas 349 geo miljen. Dua kawasan pertanian yang disatukan ini terdapat 11 kampong dengan total penduduk pribumi sebanyak 2.071 jiwa dan 93 jiwa orang Tionghoa. Sebagai pembanding, tetangga kawasan pertanian ini adalah Depok yang memiliki luas 872 geo miljen yang terdiri dari tujuh kampong yang dihuni 1.443 orang pribumi, 32 orang Tionghoa dan sebanyak 803 orang Eropa. Pada tahun 1847 penduduk Pondok Terong dan Ratoe Djaja sebanyak 1.273 jiwa yang terdiri dari dua orang Eropa, 26 orang Tionghoa dan sebanyak 1.245 orang pribumi (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 9, 1847, 2e deel). Orang Tionghoa terkonsentrasi di suatu tempat (kini disebut Kampong Lio Kelurahan Pondok Terong) di sebelah utara Setu Tjitajam (di sebelaj selatan setu adalah Bazar/Pasar Tjitajam dan sebelah timur setu adalah stasion Tjitajam sekarang).

Lantas, apa yang menjadi keutamaan Kampong Ratoe Djaja pada masa lampau? Kampong Ratoe Djaja seperti kampong-kampong lainnya, hidup dalam pertanian, tetapi di Kampong Ratoe Djaja terdapat seorang tokoh penting bernama Bapa Rama. Tokoh dari Kampong Ratoe Djaja ini secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan yang dipimpin Bapa Rama ini terjadi tahun 1869.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Sejarah Kota Depok (48): Sejarah Beji di Depok; Nama Kampong Tempo Doeloe, Kini Nama Kecamatan Dimana UI Berada


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Nama Kampong Bedji tempo doeloe kini menjadi nama Kecamatan Beji di Kota Depok. Posisi ‘gps’ Kampong Bedji tempo doeloe kini tepat berada di sisi selatan Universitas Indonesia yang dipisahkan oleh jalan tol Cijago (Cinere-Jagorawi). Kampong Bedji tempo doeloe bersama-sama Kampong Pondok Tjina dan Kampong Pondok Kemirie dibentuk menjadi Landerein Pondok Tjina.

Peta 1724 (VOC)
Kecamatan Beji dibentuk tahun 1981 sehubungan Kecamatan Depok dipromosikan menjadi Kota Administrasi Depok. Pada tahun 1999 Kota Administrasi Depok Ketika statusnya ditingkatkan menjadi Kota Depok. Bersamaan dengan pemekaran sejumlah kecamatan di Depok tahun 2007, Kelurahan Beji juga dimekarkan. Kini Kecamatan Beji terdiri dari enam kelurahan, yakni: Beji, Beji Timur, Kemiri Muka, Pondok Cina, Kukusan dan Tanah Baru.

Bagaimana sejarah Beji di Depok, dari sebuah nama kampong tempo doeloe hingga menjadi nama sebuah kecamatan pada masa ini sangat minim informasinya. Sehubungan dengan wilayah Beji sebagai bagian pusat kota Depok dan namanya semakin terkenal, sudah waktunya sejarah Beji disusun. Namun itu tidak mudah karena data tentang Beji tidak sebanyak data sejarah Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong. Meski demikian upaya pengumpulan data tetap perlu dilakukan. Mari kita telusuri.

Selasa, 23 Oktober 2018

Sejarah Kota Medan (77): Kerajaan Deli dan Kerajaan Aru; Dua Kerajaan Berbeda, Eksis Jauh Sebelum Munculnya Kesultanan Deli


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Kerajaan Aru atau Kerajaan Haru adalah kerajaan kuno yang terdapat di sekitar sungai Barumun. Keberadaan Kerajaan Haru (Daroe atau Aroe) telah disebut dalam Pararaton (1336). Laporan Tiongkok di era Cheng Ho (1411-1431) disebutkan terdapat hubungan timbal balik antara Tiongkok dan Kerajaan Aroe. Keberadaan Kerajaan Aroe juga masih dicatat oleh Tome Pires (1512-1515) dan Duarte Barbosa (1518). Mendes Pinto dalam bukunya (1535) menyebut Kerajaan Aroe sebagai Batak Kingdom. Kerajaan Aru ditaklukkan oleh Kesultanan Atjeh tahun 1619. Wilayah Kerajaan Aru (Terra d’Aru atau Terra Daru) di sekitar sungai Barumun teridentifikasi dengan jelas pada peta Portugis tahun 1619.

Aru (Aroe) dan Deli (Dilli) pada Peta 1750
Ada yang menyebut Kerajaan Aru atau Kerajaan Haru adalah cikal bakal Kerajaan Deli dan Kesultanan Deli. Bahkan ada yang menyebut nama Haru menjadi nama Karo. Namun semua itu tidak ada argumentasi atau fakta yang mengindikasikan bahwa suksesi Kerajaan Aroe/Haru adalah Kerajaan Deli. Sejauh ini klaim Kerajaan Aru atau Kerajaan Haru adalah cikal bakal Kerajaan Deli tidak dapat diverifikasi. Sedangkan eksistensi Kerajaan Aroe di sungai Barumun dapat diverifikasi (perhatikan Peta 1750). Bukti ini juga ditunjukkan pada Peta 1818. Anehnya, hingga ini hari, para sejarawan buta melihat peta-peta tersebut. Apakah mereka sengaja menutup mata untuk fakta yang kasat mata ini? Entahlah.

Sesungguhnya Kerajaan Aroe dan Kerajaan Deli adalah dua kerajaan berbeda. Kerajaan Aroe mendahului eksistensi Kerajaan Deli. Kerajaan Aroe secara eksplisit dinyatakan berada di sekitar pengaliran sungai Barumun dan Kerajaan Deli berada di hulu sungai Deli (kini Deli Tua). Kesultanan Deli baru muncul kemudian di hilir sungai Deli (kini Labuhan Deli). Kesultanan Deli yang kini terdapat di Kota Medan adalah kraton Kesultanan Deli yang relokasi dari Labuhan Deli ke Kota Medan pada tahun 1891. Suksesi Kerajaan Aroe di sungai Barumun adalah Kesultanan Kotapinang.

Jumat, 19 Oktober 2018

Sejarah Kota Medan (76): Mushaf Al Quran Tertua Dilaporkan di Medan; Sejak Kapan Pendidikan Agama Islam Dimulai di Deli?


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Belum lama ini diberitakan bahwa di Medan telah dipamerkan mushaf Al Quran kuno yang bertarih 1070 H atau tahun 1659. Mushaf Al Quran ini diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia. Bahkan disebutkan lebih tua 113 tahun dari mushaf Al Quran yang ditemukan di Ternate.

Medan, 1929
Selama ini Bayt Alquran dan Museum Istiqlal memposisikan wilayah Sumatra Utara tidak pernah memiliki mushaf Al Quran kuno. Di Indonesia bahkan hanya lima wilayah yang tidak memiliki mushaf kuno. Selain Sumatra Utara adalah Bengkulu, Gorontalo, Papua, Papua Barat dan Sulawesi Utara.

Klaim mushaf Al Quran tertua di Medan sungguh menyenangkan mendengarnya. Namun originalitas mushaf atau otentias angka tahun pembuatan mushaf tersebut ada yang mempertanyakannya. Lantas seperti apa bukti sebenarnya dari mushaf tersebut? Apakah benar-benar ditulis pada tahun 1659? Kita tunggu saja biar para ahli yang membuktikannya. Lalu bagaimana awal mula perihal pengajaran pendidikan agama Islam di Medan. Mari kita telusuri.  

Sabtu, 13 Oktober 2018

Sejarah Menjadi Indonesia (9): Sejarah TNI, Tentara Nasional Indonesia; Militer Belanda Tidak Mau Orang Batak Menjadi Tentara


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya baru dimulai pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia yang mana sebagai cikalnya adalah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama perang kemerdekaan, BKR bertransformasi menjadi TNI (seperti yang ada sekarang). Perang kemerdekaan melahirkan TNI.

Bandoeng, 1951
Pada era kolonial Belanda, militer Belanda yang jumlahnya hanya segelintir merekrut pribumi untuk menjadi tentara. Tentara pribumi ini menjadi faktor penting kekuatan militer Belanda. Pribumi yang menjadi langganan memperkuat militer Belanda terutama Ambon, Jawa dan Madura. Diantara pribumi, hanya pribumi Batak yang tidak disertakan dalam militer Belanda. Tidak hanya itu, pemerintah Belanda juga tidak pernah menyertakan pemimpin Batak dalam struktur pemerintahan. Pemerintahan di Residentie Tapanoeli (sejak 1840) adalah satu-satunya pemerintahan di wilayah di Hindia yang tidak menyertakan pemimpin lokal. Itu semua karena rekomendasi Dr. FW Jung Huhn yang mengatakan orang Batak sangat cinta tanah air dan jiwa mereka ada di kepala. Penduduk Batak yang demokratis (tidak ada radja/sultan) diasumsikan bertentangan dengan prinsip koloni. Karena itu, pemerintahan di Tapanoeli langsung berada dibawah pusat (Gubernur Jenderal).

TNI adalah pengawal NKRI. Lantas bagaimana sejarah tentara nasional Indonesia berlangsung. Itu sudah banyak ditulis. Akan tetapi penulisan sejarah tentara nasionak Indonesia sudah sedemikian rupa dibuat tetapi hanya terkesan ringkas. Artikel ini hanya sekadar memperkaya sejarah militer agar bisa melihat detail-detail yang memang masih diperlukan. Lantas seperti apa peran penting tentara asal Batak dalam menjaga NKRI? Mereka telah bertransformasi ke seluruh wilayah Indonesia dengan spirit cinta tanah air. Sperti kita lihat nanti, orang Jawa dan orang Batak umumnya tetap menyukai profesi militer. Mari kita telusuri.

Kamis, 11 Oktober 2018

Sejarah Kota Surabaya (24): Sejarah Gempa Bumi di Madura; Gempa Besar di Pulau Sapudi, Sumenep Pernah Terjadi 1891


*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini

Peristiwa gempa bumi kembali terjadi setelah beberapa waktu yang lalu terjadi di Donggala, Sigi dan Palu. Hari ini gempa bumi terjadi di Kabupaten Sumenep, Madura. Goncangan gempa terberat terjadi di pulau Sapudi, Kecamatan Sumenep. Kekuatan gempa yang terjadi 6.3 SR dan telah menyebabkan korban jiwa juga mengalami kerusakan rumah sebanyak 246 unit. Kejadian gempa bumi Sapudi tercatat pernah terjadi pada tahun 1891.

Di pulau Sapoedi, Residentie Madoera, pada tanggal 26 Februari 1891, sebuah gempa bumi yang menakutkan diamati dari arah Barat ke Timur (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-03-1891).

Sejauh ini catatan gempa di Madura sulit ditemukan. Catatan gempa penting untuk melihat riwayat kegempaan di wilayah tersebut. Catatan gempa, vulkanik atau tektonik, di suatu wilayah juga penting untuk bahan dalam memprediksi kemungkinan terjadi (berulang) di masa yang akan datang. Informasi dari catatan gempa dapat berguna untuk tetap menjaga kewaspadaan masyarakat. Untuk itu, mari kita telusuri riwayat gempa di wilayah Madura.

Jumat, 05 Oktober 2018

Sejarah Kota Medan (75): Sejarah Gempa Bumi di Medan dan Deli, Tercatat Sejak 1883; Apakah Kota Medan Langka Gempa?


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Gempa bumi di Medan pernah terjadi pada bulan Oktober 2016 dengan kekuatan 3.5 SR. Laporan terbaru gempa bumi di Medan terjadi pada Januari 2017 dengan kekuatan 5.6 SR. Guncangan gempa ini sempat membuat warga Kota Medan panik. Menurut BMKG pusat gempa berada 26 Km barat daya Deli Serdang pada kedalaman 10 Km. Gambaran ini sudah cukup menjelaskan bahwa Medan dan Deli bukan wilayah bebas gempa.

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 13-05-1886
Sulit menemukan catatan sejarah gempa di Medan dan Deli. Riwayat gempa di suatu wilayah dapat berguna untuk memahami perilaku kegempaan di wilayah tersebut. Selain untuk peringatan agar tetap waspada, catatan sejarah gempa dapat dijadikan sebagai data pendukung untuk memperkirakan kejadian gempa di masa datang.

Kejadian gempa di Medan dan Deli sudah dilaporkan sejak 1883. Laporan kejadian gempa tahun 1883 menjadi penting karena menjadi informasi awal untuk memahami gempa di Medan dan Deli sudah pernah ada jauh sebelumnya. Lalu gempa bumi juga pernah dilaporkan pada tahun 1886. Catatan inilah yang menginformasikan bahwa gempa bumi pada masa ini (2016 dan 2017) bukan hal yang baru atau langka. Lantas masih adakah kejadian gempa di Medan dan Deli dalam rentang waktu 130 antara tahun 1886 dan 2016? Untuk keperluan pengetahuan, mari kita telusuri.

Sabtu, 29 September 2018

Sejarah Makassar (15): Sejarah Gempa di Sulawesi; Gempa Tsunami Palu Donggala (1927) Kembali Menyeret Korban Banyak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Pada hari Kamis tanggal 1 Desember 1927 pukul 12.45 telah terjadi gempa dahsyat di Donggala. Gempa ini juga cukup keras dirasakan di Palu. Kantor Asisten Residen di Donggala runtuh sebagian. Di Palu dua pasar runtuh dan sebagian bangunan dermaga hancur. Sebuah gelombang pasang (baca: tsunami) di Teluk Paloe menyebabkan kehancuran rumah-rumah di daratan. Sebanyak 14 orang tewas terbunuh dan sekitar lima puluh orang luka. Nilai kerusakan diperkirakan sekitar f50.000. Gubernur Jenderal mendelegasikan wewenang kepada Asisten Residen di Dongala untuk menyelidiki bantuan dimana ia dapat menggunakan uang kas daerah yang tersedia.

Bataviaasch nieuwsblad, 03-12-1927
Berita di atas ditransmisikan oleh dari Manado yang dikutip oleh surat kabar yang terbit di Soerabaija, Soerabaja Handelsblad yang kemudian dilansir oleh surat kabar yang terbit di Batavia yakni Bataviaasch nieuwsblad edisi 03-12-1927.

Peristiwa gempa yang diikuti tsunami kembali terjadi kemarin sore (28-09-2018) di Palu dan Donggala. Gempa yang berkekuatan 7.4 SR dan perkiraan tsunami 1.5-2 meter. Menurut berita terakhir hari ini korban meninggal telah melampaui angka 400 orang. Suatu angka yang sangat besar. Ini adalah suatu bencana nasional. Kita semua bangsa Indonesia sangat prihatin dan turut berduka. Jika dulu tahun 1927 hanya ditangani oleh Asisten Residen dengan anggaran daerah, kini penanganannya haruslah lintas kementerian dengan anggaran pusat.

Sabtu, 08 September 2018

Sejarah Menjadi Indonesia (8): Lukman Hakim, dari De Javasche Bank hingga Bank Indonesia; Sejarah Awal Bank di Indonesia


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bank Indonesia sejatinya dicatat secara keliru. Sejarah Bank Indonesia seoralh-olah dimulai tanggal 1 Juli 1953 (seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953). Sementara pengakuan (kemerdekaan) Indonesia oleh Belanda sudah berlangsung sejak 27 Desember 1949 (hasil perjanjian KMB di Den Haag). Periode antara 27 Desember 1949 hingga 1 Juli 1953 tidak dicatat Bank Indonesia sebagai bagian sejarahnya Bank Indonesia. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada bagian penjelasan Bab-VIII, Pasal 23 tentang Keuangan dinyatakan akan membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia.

Gedung Bank Indonesia (eks Javasche Bank)
Dalam catatan sejarah Bank Indonesia, eksistensi De Javasche Bank (sejak 1828) dibedakan dengan eksistensi Bank Indonesia (sejak 1953). Dalam hal ini, pimpinan tertinggi De Javasche Bank disebut Presiden (Komisaris) dan pimpinan tertinggi Bank Indonesia disebut Gubernur. Akibatnya nama Sjafroeddin Prawiranegara dicatat dengan dua judul jabatan, yakni sebagai Presiden Javasche Bank antara tahun 1951 hingga 1953 dan sebagai Gubernur Bank Indonesia antara 1953 hingga tahun 1958. Dengan kata lain, Sjafroeddin Prawiranegara adalah Presiden Javasche Bank terakhir dan Gubernur Bank Indonesia yang pertama.

Pertanyaannya: Mengapa pimpinan bank sentral Indonesia Sjafroeddin Prawiranegara seolah-olah baru dimulai tahun 1953 padahal secara defacto Sjafroeddin Prawiranegara sudah bertanggungjawab penuh sejak 1951? Lantas kemudian mengapa fase transisi ini tidak dianggap penting, dan sejarah Bank Indonesia baru dianggap penting sejak diberlakukannya Undang--Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Padahal esensi fase transisi ini justru seharunya lebih penting sebagai bagian sejarah Indonesia jika dibandingkan dengan sejarah fase Javasche Bank dan sejarah fase Bank Indonesia. Akibat keliru dalam mencatat esensi sejarah yang penting, peran Lukman Hakim menjadi tenggelam dan peran Sjafroeddin Prawiranegara seakan segalanya. Padahal, Lukman Hakim adalah orang Indonesia yang paling berperan penting dalam membidani peralihan Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Lukman Hakim adalah pelopor Bank Indonesia. Inilah sejarah Bank Indonesia yang sebenarnya.

Minggu, 26 Agustus 2018

Sejarah Kota Medan (74): Pesawat Pribadi Presiden Indonesia Pertama Bernama Dolok Martimbang; Ir. Soekarno Resmikan USU


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Universitas Sumatera Utara (USU) diresmikan sebagai universitas negeri pada tanggal 20 November 1957 oleh Presiden Soekarno. Kedatangan Presiden Soekarno ke Medan menggunakan pesawat pribadi dengan nama Dolok Martimbang. Lantas mengapa nama universitas diberi nama Universitas Sumatera Utara dan mengapa penegeriannya telat dilakukan? Dan, mengapa pula nama pesawat kepresiden Indonesia Ir. Soekarno diberi nama Dolok Martimbang?

Pesawat Kepresidenan Pertama 'Dolok Martimbang' (1957)
Dolok Martimbang, suatu gunung (dolok) yang bernama Martimbang terdapat di Kabupaten Tapanuli (Utara), Provinsi Sumatera Utara. Di kaki gunung ini terdapat lembah (rura) Silindoeng yang subur yang dipenuhi sawah-sawah yang luas.

‘Air Force One’ Dolok Martimbang adalah pesawat hadiah pemberian Presiden Uni Soviet Nikita Kruschev kepada Presiden Soekarno. Saat pesawat jenis IL-14 buatan Uni Soviet mendarat kali pertama di Pangkalan Udara Halim (Tjililitan) tanggal 10 Mei 1957. Presiden Soekarno langsung meninjau ke bandara dan spontan memberi nama Dolok Martimbang. Semua orang yang hadir ‘molohok’.

Rabu, 22 Agustus 2018

Sejarah Kota Padang (56): Sejarah Pendirian Universitas Andalas di Sumatra Tengah; Perguruan Tinggi Pantjasila di Kota Padang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini 

Pada tanggal 13 September 1956 Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta meresmikan pembukaan Universitas Andalas di Bukittinggi. Ini menandai berdirinya universitas negeri (PTN) di Sumatra. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan tiga PTN yang semuanya berada di Jawa, yakni Universitas Gadjah Mada yang berpusat di Djogjakarta (didirikan tahun 1949), Universitas Indonesia yang berpusat di Djakarta (didirikan tahun 1950) dan Universitas Airlangga di Soerabaja (didirikan tahun 1954). Bersamaan dengan pendirian Universitas Andalas di Bukittinggi juga didirikan PTN baru di Sulawesi yang berpusat di Makassar yang diberi nama Universitas Hasanoeddin.

Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D (1951)
Gagasan pendirian universitas di Sumatra pada awalnya (1953) mencakup tiga kota dimana di kota-kota tersebut sudah eksis perguruan tinggi yakni di Padang (fakultas hukum, 1951), di Medan (fakultas kedokteran, 1952) dan di Palembang (fakultas ekonomi, 1953). Gagasan ini direspon Kementerian Pendidikan tahun 1954 dengan melakukan reorganisasi pendidikan tinggi. Dari dua universitas negeri (PTN) yang sudah didirikan di Djogjakarta (Universitas Gadjah Mada) dan di Djakarta (Universitas Indonesia) akan ditambah satu PTN di Soerabaja serta dua buah PTN lagi di Sumatra dan di Sulawesi. Nama-nama PTN akan disesuaikan. Selain mempertahankan nama Universitas Gadjah Mada, nama Universitas Indonesia akan diubah menjadi Universitas Poernawarman. Untuk PTN di Soerabaja diberi nama Universitas Airlangga, sementara PTN di Sumatra diberi nama Universitas Adityawarman, sedangkan nama PTN di Sulawesi diberi nama Universitas Hasanoeddin. Foto Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D (De vrije pers: ochtendbulletin, 31-12-1951)

Lantas mengapa gagasan pendirian universitas di Sumatra yang berbasis tiga kota tidak terlaksana? Lalu mengapa usulan nama universitas di Sumatra dengan nama Universitas Adityawarman tidak terwujud?  Dan, mengapa universitas di Sumatra dipusatkan di Bukittinggi dan kemudian namanya disebut Universitas Andalas? Semua pertanyaan ini sepintas tidaklah terlalu penting, tetapi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini justru menjadi berguna untuk menjelaskan peta awal pembentukan universitas (PTN) di Indonesia, di Sumatra dan di Sumatra Tengah. Universitas Andalas yang berada di Sumatra Tengah inilah kelak yang menjadi cikal bakal Universitas Andalas di Kota Padang yang sekarang.