Kamis, 30 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (6): Surat Kabar Sumatra Courant di Padang; Orang Mandailing dan Angkola Ikut Berlangganan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Jacobus Anthonie Meessen pada tahun 1867 dan 1870 telah memberi kontribusi besar untuk pengetahuan tentang Kota Padang melalui kegiatan fotografi. Kegiatan serupa juga telah dilakukan perusahaan Woodbury en Page (Walter B. Woodbury dan James Page).

Edisi terakhir Sumatra Courant (1900)
Tentang Kota Padang sebelumnya hanya bersumber dari surat kabar-surat kabar yang terbit di Belanda, seperti di Amsterdam, Haarlem, Rotterdam dan Leyden. Namun intensitas berita tentang Kota Padang hanya terbatas dan muncul tidak menentu. Surat kabar-surat kabar yang terbit di Hindia Belanda semakin intens mengenai situasi dan kondisi local termasuk di Kota Padang. Surat kabar di Hindia Belanda tersebut antara lain Het Bataviaasch Advertentieblad dan De Java Bode di Batavia; De Locomotief di Semarang dan Het Soerabaijasch Handelsblad di Surabaya.

Kota Padang terus tumbuh dan berkembang karena komoditi primadona, kopi yang mengalir deras dari Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Pada tahun-tahun ini volume perdagangan kopi di Kota Padang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan harga yang terus meningkat di pasar dunia (Eropa dan Amerika Utara). Saat pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang inilah muncul surat kabar bernama Sumatra Courant di Kota Padang.

Senin, 27 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (5): Lukisan, Sketsa, Peta, Foto Kota Padang Tempo Doeloe; Mesin Waktu Kembali ke Masa Lampau

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Banyak sumber data untuk mengolah dan merekonstruksi sejarah kota-kota, termasuk sejarah Kota Padang. Yang paling umum digunakan adalah buku. Informasi dari buku menjadi terbatas karena data dan informasi telah mengalami reduksi (oleh penulisnya). Untuk mengatasi masalah tersebut surat kabar, majalah dan publikasi statistik sangat berguna. Secara khusus, data dan informasi yang bersumber dari surat kabar sangat jarang digunakan penulis-penulis Indonesia masa kini, padahal data surat kabar bagaikan data ‘real time’ yang mampu menyediakan informasi dalam memahami perubahan setiap tahapan waktu.

Lukisan tertua Kota Padang (1846)
Penulis-penulis Indonesia, lebih mengandalkan buku-buku, padahal buku-buku yang ditulis adalah kompilasi dari surat kabar, majalah dan statistik berkala. Uniknya, para penulis menganggap bahwa semakin langka sebuah buku (sulit diakses) maka semakin dikultuskan. Oleh karena hanya dia yang memiliki buku tersebut, maka dia merasa sebagai pionir. Padahal buku itu sendiri telah mengalami reduksi terhadap suatu peristiwa atau suatu momen yang sesungguhnyanya. Solusi terbaik adalah mengkombinasikan semua sumber agar mendapat gambaran yang utuh.

Sumber data lainnya yang bisa dimaksimumkan adalah lukisan, sketsa, peta dan foto. Sumber data lukisan atau foto dapat memberikan gambaran vertical (visual) masa lalu yang lebih kompak, sedangkan sketsa atau peta dapat memberikan gambaran horizontal tentang spasial yang lebih luas. Kedua sumber ini dapat saling melengkapi. Baik foto/lukisan atau peta/sketsa jika masing-masing diurutkan sesuai waktu akan menyediakan ‘data panel’ yang dapat menghasilkan informasi yang maksimum (akurat dan lengkap). Time series data (verbatim, visual dan metric) adalah syarat perlu dalam penulisan sejarah. Namun itu tidak cukup dan harus didukung ruang spasial. Dengan demikian, untuk memahami suatu peristiwa atau momen semakin teruji.

Minggu, 26 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (4): Nama-Nama Kampong Tempo Doeloe di Kota Padang; Dari Rural (Etnik) Hingga Urban (Wijk)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Cikal bakal Kota Padang berawal dari suatu tempat yangt berada pada sisi barat muara sungai Batang Arau, suatu perkampuangan yang diduga dihuni oleh para migran orang-orang Nias. Di tempat inilah pelaut-pelaut Eropa mulai membangun pos perdagangan karena posisinya yang strategis terlindung dari lautan India.

Sketsa Kota Padang, 1879
Seiring dengan perkembangan pos perdagangan tersebut dan kebutuhan bangunan yang semakin banyak, lambat-laun areal permukiman orang-orang Nias tersebut terokupasi dan para pemukim menyingkir ke area kosong di belakang. Para migran ini tidak merasa dirugikan karena dengan kehadiran pos perdagangan tersebut mereka juga mendapat pekerjaan.

Pada tahun 1819 ibukota Padang dihuni oleh berbagai (suku) bangsa. Penduduk Eropa sebanyak 150 orang, Melayu sekitar 6.000-7.000 jiwa, Tionghoa sebanyak 200 orang, Bengalen sebanyak 200 orang dan Nias sebanyak 1.500 jiwa (lihat PJ Veth, 1869).

Bangunan-bangunan utama terdapat di sepanjang sisi barat sungai Batang Arau. Bangunan-bangunan yang sudah ada sejak lama adalah benteng benteng yang melindungi kota, penjara, kantor pabean, gudang impor, gudang ekspor rempah-rempah, barak, rumah sakit militer besar, kantor pemerintah, dan beberapa beberapa gudang lainnya.

Sejarah Kota Padang (3): Kota Padang, Kota Tiga Lurah, Kota Melting Pot; Berkembang Pesat Selama Periode ‘Booming’ Kopi

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Kota Padang adalah rantau orang Minangkabau, juga rantau orang Kerinci dan rantau orang Bengkulu. Kota Padang juga adalah rantau orang-orang Mentawai dan orang-orang Nias. Tentu saja jangan lupa, Kota Padang juga adalah rantau orang-orang Tapanuli, Baros, Singkel, Mandailing dan Angkola.

Muaro, cikal bakal Kota Padang
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1837 Kota Padang adalah ibukota Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Ibukota dari pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatra dari kota-kota pantai mulai dari Bengkulu hingga Singkel seperti Moco-moco, Indrapoera, Priaman, Air Bangies, Natal, Tapanoeli dan Baros.

Kota Padang juga ibukota dari sentra-sentra produksi pertanian dan kehutanan mulai dari Komering hingga Alas seperti Kerintji, Solok, Fort de Kock, Bondjol, Rao, Mandailing, Angkola, Silindoeng, Toba dan Dairi.

Orang Minangkabau dan Orang Batak Bukan Pelaut

Orang Minangkabau bukanlah pelaut, demikian juga orang Batak bukan juga pelaut. Orang Minangkabau adalah petani yang ulet; dan orang Batak juga adalah petani yang ulet.

Rabu, 15 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (2): Padang, Ibukota 'Pantai Barat Sumatra'; AV. Michiels, A. van der Hart dan AP. Godon

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Kota Padang adalah ibukota Provinsi Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Kota Padang baru dikenal sebagai sebuah pos perdagangan di era VOC (1660) dan baru tumbuh dan berkembang pada Pemerintah Hindia Belanda (pasca Traktat London, 1824). Lalu pertumbuhan dan perkembangannya semakin cepat pada saat Pantai Barat Sumatra ditetapkan sebagai Provinsi dengan menaikkan status Residen yang berkedudukan di Kota Padang menjadi Gubernur.

Monumen AV Michiels di Kota Padang (foto 1910)
Kota Padang awalnya dijadikan sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust yang meliputi Bengkulu dan Padangsche (Bovenlanden dan Benelanden). Ketika wilayahnya diperluas ke utara (hingga ke Singkel) statusnya dinaikkan menjadi Province yang terdiri dari empat residentie: Padangsche Benelanden, Padangsch Bovenlanden, Bencoelen dan Tapanoeli. Namun dalam perkembangannya, Bengkulu dipisahkan dari Sumatra’s Westkust dan kemudian Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1905 Provice Sumatra’s Wetskust hanya tinggal Padangsche Benelanden dan Padangsch Bovenlanden (yang menjadi wilayah Provinsi Sumatra Barat yang sekarang).

Perubahan administrasi pemerintahan di Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) terjadi secara gradual sesuai dengan perkembangan geopolitik dan penetapan suatu wilayah sebagai region ekonomi kolonial. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut berdampak langsung pada pasang surut pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang sebagai pusat pengembangsan sosial, ekonomi dan budaya yang utama di Pantai Barat Sumatra. Sementara itu, perubahan yang terjadi di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Ooskust) juga memberi kejutan terhadap dinamika perkembangan Kota Padang. Semakin intensnya industry perkebunan kolonial di Sumatra Timur,  kota Padang secara perlahan perkembangannya melambat dan kemudian tertinggal jauh dari Kota Medan, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kolonial yang baru. Dalam hubungan ini, sebagaimana agen-agen pembangunan dari Tapanoeli, agen-agen pembangunan kota Padang juga melakukan eksodus ke Kota Medan. Aset-aset pengusaha, baik orang-orang Eropa, Tionghoa atau pribumi juga turut direlokasi dari Kota Padang ke Kota Medan.

Selasa, 14 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (1): Muaro, Perkampungan Migran Orang Nias; Origin Perkembangan Kota Padang

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Cikal bakal Kota Padang berawal dari suatu tempat yangt berada pada sisi barat muara sungai Batang Arau, suatu perkampuangan yang diduga dihuni oleh para migran orang-orang Nias. Di tempat inilah pelaut-pelaut Eropa mulai membangun pos perdagangan karena posisinya yang strategis terlindung dari lautan India. Seiring dengan perkembangan pos perdagangan tersebut dan kebutuhan bangunan yang semakin banyak, lambat-laun areal permukiman orang-orang Nias tersebut terokupasi dan para pemukim menyingkir ke area kosong di belakang. Para migran ini tidak merasa dirugikan karena dengan kehadiran pos perdagangan tersebut mereka juga mendapat pekerjaan.

Foto Hoofd uit Nias te Padang1865
Bagaimana asal mula adanya orang-orang Nias di muara Batang Arau tersebut adalah suatu hal, bagaimana orang-orang Eropa memulai okupasi adalah hal yang akan ditelusuri lebih lanjut. Sebab awal okupasi orang-orang Eropa inilah yang dapat dijadikan sebagai starting point untuk mengidentifikasi kapan Kota Padang yang sekarang mulai terbentuk di masa lampau.

Penelusuran ini akan dapat memperjelas asal-usul Kota Padang yang sekarang. Agak sedikit membingungkan mengapa hari jadi Kota Padang ditabalkan sebagai hari yang mana terjadi penyerangan yang dilakukan penduduk Pauh dan Kota Tengah terhadap VOC pada 7 Agustus 1669. Hal serupa ini tidak hanya Kota Padang, juga ditemukan dalam penetapan hari jadi Kota Medan, hari jadi Jakarta, hari jadi Kota Bogor, hari jadi Kota Bandung dan beberapa kota utama lainnya.

Serial artikel Sejarah Kota Padang ditulis atas permintaan seorang kawan yang ingin mendapatkan gambaran sejarah kota tempat kelahirannya dengan seutuhnya, karena dirasakannya kronologis dan deskripsi sejarah yang ada dirasakannya kurang mengena. Permintaan beliau ini terdorong karea beliau sudah lama mengetahui saya menulis artikel-artikel tentang perkembangan awal sejarah kota. Awalnya saya enggan, karena saya tahu kawan-kawan dari Kota Padang banyak yang lebih paham dari saya tentang sejarah, dan saya sendiri bukan ahli sejarah, melainkan seorang ekonom yang membutuhkan aspek sejarah dalam pemahaman ekonomi dan bisnis Indonesia.

Rabu, 01 Maret 2017

Sejarah Bandung (36): Faisal bin Abdul Azis, Raja Arab Saudi Pernah ke Bandung (1955); Kini, Raja Salman bin Abdul Azis ke Bogor


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

De nieuwsgier, 25-04-1955
Radja Arab Saudi tiba di Indonesia tanggal 1 Maret 2017. Kunjungan bersejarah ini diagendakan berakhir tanggal 9 Maret 2017. Saya berangkat tanggal 2 Maret 2017 ke Arab Saudi dan pulang tanggal 10 Maret 2017 di Indonesia, Saya dalam rangka melaksanakan umroh, Radja Saudi dalam tugas kenegaraan. Jumlah hari kami sama—sembilan hari. Ketika Raja Arab Saudi datang saya masih ada di Indonesia, ketika dia selesai berkunjung saya masih ada di Arab Saudi. Jadi, saya seakan harus menunggu kedatangannya dan juga saya baru pulang setelah berakhir kunjungannya di Indonesia. 

Dalam kunjungan Raja Salman, di hari kedatangan (2 Maret) di Istana Bogor langsung dilakukan penandantanganan MoU yang dilakukan para menteri kedua Negara di hadapan Raja Salam dan Presiden Jokowi. Kesepatatan mencakup peningkatan hubungan kedua negara di antaranya mencakup kerja sama hubungan luar negeri, kesehatan, kebudayaan, transportasi, perdagangan, keagamaan serta pendidikan. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah menteri kedua negara turut serta di dalamnya. Dari Indonesia, hadir Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan (detik.com).

Artikel ini tidak dalam membicarakan tentang kewajiban saya sebagai hamba Allah dan juga tidak dalam mendiskusikan tugas Raja Arab Saudi sebagai pemimpin Negara Arab Saudi. Artikel ini sekadar menelusuri hubungan antara Negara Arab Saudi dengan Negara Indonesia di masa lampau, spesifiknya saling mengunjungi antara Raja Arab Saudi dan Presiden Indonesia.

Hubungan antara Indonesia dengan Arab Saudi sesungguhnya sudah terjalin sejak masa lampau, terutama pada penggal sejarah antara era Batavia dan Jeddah. Pada masa ini terus berlangsung antara hubungan Jakarta dan Jeddah dan hubungan Arab Saudi dan Indonesia.

Sejarah Bandung (35): Sungai Cikapundung, Air Mengalir Dari Curug Dago Sampai Dayeuh Kolot; Riwayatmu Kini

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

Curug Dago, Lukisan Groneman 1860
Sungai Tjikapoendong adalah sungai terbesar di Kota Bandoeng yang mengalir dari utara ke selatan. Batas paling utara dari sungai Tjikapoendong adalah Tjoeroeg Dago dan batas paling selatan dari sungai Tjakopendoeng adalah Kampong Dajeuh Kolot.

Kota Bandoeng dalam hal ini adalah kota yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1829 ketika kali pertama Controleur ditempatkan di Bandoeng. Lalu dalam perkembangannya, sejak 1946, ketika Asisten Residen Bandoeng ditempatkan, kota Bandoeng berkembang semakin pesat. Saat itu, sungai Tjikapoendoeng sebagai sungai terbesar di Kota Bandoeng masih tampak deras, jernih dan indah. Sungai Tjikapoendoeng saat itu airnya disodet di hulu dengan membangun kanal-kanal untuk mengairi perkebunan dan persawahan yang dikerjakan oleh penduduk di bawah arahan Bupati Bandoeng.

Selasa, 28 Februari 2017

Sejarah Bandung (34): Kampung Cicendo; Kampung Terpencil, Tempat Makam Belanda Hingga Peristiwa Bom Panci

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Kampung Cicendo di Bandoeng sudah dikenal sejak masa Daendels. Nama kampong yang berada di area lebih tinggi di utara cekungan Bandoeng ini bahkan sudah dipetakan sebagai nama kampong yang dilalui jalan pos trans-Java (Peta 1818). Pada tahun 1829, jalan pos digeser ke area lebih rendah (jalan lurus) yang kemudian disebut Groote post weg. Akibatnya, Kampong Tjitjendo semakin jauh dari jalan pos dan kampong tersebut tampak semakin terpencil. Sementara di jalan pos yang baru, Lambat laun tampak semakin ramai dan terus berkembang yang menjadi sebagai pusat kota Bandoeng. Bahkan ketika area jalan pos yang baru ini telah menjadi kota besar, Kampong Tjitjendo tetap terpencil dan sunyi.

Peta 1818
Sesungguhnya embrio kota Bandung mulai terbentuk tahun 1829 saat mana Controleur Bandoeng ditempatkan kali pertama yang berkedudukan (ibukota) persis di sisi utara jalan pos dan sebelah timur sungai Tjikapoendong. Dalam perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1846 Asisten Residen Bandoeng ditempatkan dan istana Bupati Banndoeng dibangun di sisi selatan jalan pos dan sebelah barat sungai Tjikapoendoeng.

Sejak nama Tjitjendo muncul dalam peta  (1818) kabar berita tentang kampong Tjitjendo tidak pernah terdengar. Namanya baru terdengar tahun 1880an sebagai wilayah administratif yang berstatus desa di dalam distrik Odjoeng Brung Koelon, Afdeeling (Kabupaten) Bandoeng, Residentie (Province) Preanger Regentshappen. Desa Tjitjendo terdiri dari beberapa kampong, selain kampong Tjitjendo juga termasuk kampong Tjikokak dan kampong Tjitepoes. Di desa Tjitjendo ini kerap terbaca di surat kabar tentang adanya transaksi jual-beli lahan.

Senin, 27 Februari 2017

Sejarah Bandung (33): Novel Karya F. Springer ‘Bandung, Bandung’; Bukti Orang Belanda Tetap Cinta Bandung

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Semua orang Belanda boleh jadi ingat nama Bandung. Bahkan para veteran Belanda sangat merindukan Kota Bandung. Hemat kata: ‘orang-orang Belanda selalu membicarakan Bandung. Akan tetapi dari mereka semua hanya satu orang yang mengabadikannya dalam bentuk novel, yakni F. Springer. Novel karya kelahiran Batavia 1932 ini diberi judul: ‘Bandung, Bandung’. Karya ini terbit tahun 1993 yang masuk nominasi AKO Literatuur Prijs (Nederlands dagblad : gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling ... [et al.], 25-10-1994). AKO Literatuur Prijs adalah Hadiah Sastra bergengsi di Belanda).

De Telegraaf, 16-04-1993
Novel yang berbau nostalgia ini digarap dengan bahasa apa adanya, Namun sangat menyentuh, karena penulisnya yang bernama asli Carel Jan Schneider mengalami hidup di negeri tropis termasuk di Bandung bahkan ikut dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi Jepang. F. Springer adalah nama samaran karena ia adalah seorang diplomat yang di waktu luangnya menulis buku fiksi. Karya fenomenal ‘Bandung, Bandung’ boleh dikata merupakan hasil karya terbaik Carel Jan Schneider alias F. Springer (De Telegraaf, 16-04-1993).

Judu karya F. Springer sangat simple, pengulangan nama kota Bandung. Ini mengindikasikan bahwa Bandung ya Bandung.  F. Springer seakan ingin membatasi ruang imajinasi pembaca hanya tertuju ke Bandung, tetapi dengan pengulangan nama (dibaca dua kali) dapat dianggap sebagai hal yang tersirat Bandung sebagai nama yang sangat special dan begitu penting.