Senin, 01 April 2019

Sejarah Yogyakarta (31): Kabinet RI di Jogjakarta 1950, Penyelamat NKRI; Apakah Ir. Soekarno dan Sultan Jogjakarta Ragu?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah suatu distorsi dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Usia RIS hanya 261 hari (dari tanggal 20 Desember 1949 hingga tanggal 6 September 1950). Jika ada yang menginginkan Indonesia pada masa kini berbentuk federal (semacam RIS) maka secara spontan akan dijawab oleh yang lain dengan ‘NKRI adalah harga mati’. Lantas apa yang membuat Negara Kesatuan begitu sakral dalam perjalanan sejarah Indonesia? Pertanyaan ini sepintas terkesan sepele, tetapi yang jelas kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan adalah suatu koreksi bangsa Indonesia dalam bernegara.

Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan adalah proses yang berlangsung lama. Perjuangan para pemimpin Indonesia, sejak era kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,adalah untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Memang harus diakui bahwa Belanda yang mempersatukan Indonesia, tetapi pasca perang kemerdekaan Indonesia, Belanda mengingkarinya dengan menawarkan dan memaksakan bentuk Negara Serikat yang kemudian terbentuklah RIS (Republik Indonesia Serikat).    

Republik Indonesia Serikat adalah suatu pengingkaran terhadap perjuangan para pemimpin Indonesia, sejak era kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kekeliruan itu segera disadari dan segera terkoreksi. Sebab Republik Indonesia sempat tidak memiliki pemerintahan selama 20 hari hingga terbentuknya Kabinet RI di Jogjakarta pada tanggal 21 Januari 1950. Kabinet inilah yang kemudian menjadi penyelamat NKRI, suatu kabinet yang dapat dianggap sebagai penyambung terputusnya NKRI karena adanya distorsi RIS. Lantas apakah Ir. Soekarno dan Sultan Jogjakarta juga sempat ragu dengan negara kesatuan? Mari kita lihat fakta-fakta yang ada.

Minggu, 31 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (30): 'Jogja Kembali', Dua Kali Ir. Sukarno Kembali ke Jogjakarta; Pengasingan Parapat, Djakarta Ibukota RIS


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Presiden Soekarno dan tokoh Indonesia lainnya ditangkap di Jogjakarta. Para pemimpin militer lebih memilih mengungsi untuk melakukan perang gerilya. Sementara Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin wilayah Jogjakarta ditahan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta. Namun dalam perkembangannya, pasca Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 para pemimpin Indonesia dan pemimpin militer kembali ke Jogjakarta. Kembalinya mereka inilah yang sering diasosiasikan dengan sebutan Jogja Kembali.

De vrije pers : ochtendbulletin, 11-07-1949
Pada tanggal 22 Desember 1948 Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta serta tokoh Indonesia lainnya ditangkap dan kemudian diasingkan. Ir. Soekarno diasingkan ke Brastagi di Sumatra Timur. Setelah 10 hari kemudian tanggal 1 Januari 1949 Ir. Soekarno dengan dua tokoh Indonesia dipindahkan ke Parapat di pinggir danau Toba. Setelah perjanjian Roem-Royen, Ir. Soekarno pada tanggal 6 Juli 1949 kembali ke Jogjakarta.

Bagi Ir. Soekarno kembali ke Jogja (Jogja Kembali) tidak hanya sekali, tetapi sebanyak dua kali. Namun selama ini hanya dihitung sekali, padahal faktanya dua kali. Kembalinya Ir. Soekarno ke Jogjakarta untuk yang kedua kali terjadi pada tanggal 12-06-1950. Itu dilakukan setelah Ir. Soekarno tidak menginginkan Indonesia sebagai negara dalam bentuk RIS dan kembali ke Jogjakarta yang disambut meriah oleh para Republiken. Inspirasi Ir. Soekarno ini muncul setelah adanya Kongres Rakyat di Sumatra Timur yang sebagian besar penduduk menginginkan Indonesia kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagaimana itu terjadi? Mari kita lihat faktanya.

Jumat, 29 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (29): Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta 19 Desember 1948; Ir. Soekarno Ingin Pindah Ibukota ke India?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ibukota RI pindah ke Jogjakarta adalah satu hal, sedangkan pembentukan negara-negara federal adalah hal lain lagi. Namun dua hal itu selalu dikaitkan. Itulah latar belakang dilakukannya aksi polisional ke wilatah RI menurut versi Belanda atau agresi militer Belanda oleh para Republiken, Dalam konteks spasial ada dua wilayah kerajaan di Indonesia yang berada dalam balapan: wilayah kerajaan Jogjakarta dan wilayah kerajaan Sumatra Timur. Di dua wilayah yang berseberangan inilah pertarungan politik antara Belanda dan RI paling sengit: Jogjakarta pro RI dan Sumatra Timur pro Belanda.

Sidempuan, Bukittinggi dan Jogja (Trouw, 23-11-1948)
Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta 19 Desember 1948 hanyalah satu titik penting dari berbagai titik penting peristiwa yang terjadi apakah sebelum dan sesudahnya. Secara defacto, wilayah RI semakin menyusut dan memusat di wilayah Pantai Selatan Jawa di Jogjakarta dan Soeracarta dan di wilayah Pantai Barat Sumatra di Tapanoeli dan Sumatra Barat. Sementara secara dejure pusat RI di Jogjakarta dan Soeracarta telah ditekan dari dua sisi negara federal: Negara Pasoendan di barat dan Negara Jawa Timur di timur; sedangkan di pusat RI di Tapanoeli dan Sumatra Barat juga telah ditekan dari dua sisi negara federal: Negara Sumatra Timur di timur dan Negara Sumatera Selatan di selatan. Itulah mengapa ketika pemimpin RI ditangkap dan dibunuh pada serangan 19 Desember 1948 muncul Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi.   

Peristiwa Agresi Militer Belanda II di ibukota RI di Jogjakarta dan wilayah-wilayah RI lainnya yang dimulai tanggal 19 Desember 1948 tidak sepenuhnya tanggungjawab Belanda tetapi juga para pemimpin lokal negara-negara federal juga. Demikian sebaliknya, reward juga tidak sepenuhnya dimiliki Jogjakarta tetapi juga wilayah-wilayah RI lainnya terutama di Pantai Barat Sumatra. Bagaimana itu bisa terjadi? Itulah pertanyaannya. Suatu pertanyaan yang selama ini kurang terinformasikan. Mari kita sarikan beritanya menurut surat kabar sejaman.

Rabu, 27 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (28): Lapangan Terbang Maguwo dan Adi Sucipto; Berita Pesawat Dakota dari Singapura 1947 di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta kini disebut bandara Adi Sucupto. Nama lapangan bandara ini mengambil nama Adi Soetjipto yang turut dalam penerbangan dari Singapoera yang jatuh di dekat Jogjakarta pada tanggal 29 Juli 1947. Peristiwa ini menjadi polemik karena pihak RI melalui Radio Jogjakarta membawa obat-obatan atas nama palang merah, tetapi pihak Belanda menduga jatuh karena kelebihan beban yang terbang rendah dan menambrak pohon kelapa. Pihak Inggris di Singapoera pesawat tidak menjalankan prosedur penerbangan normal dan Belanda berhak menembak pesawat di wilayahnya.

Berita Dakota dan Adi Soetjipto, 1947
Saya tadi malam berangkat tepat waktu pukul 08.20 dari bandara Adi Sucipto dan tepat waktu pula tiba di bandara Sukarno- Hatta di Cangkereng dengan penerbangan dari maskapai Batik Air. Ketika keluar dari bandara saya juga tepat waktu sebagai penumpang terakhir yang tepat berada di dalam bis yang segera membawa saya ke Depok. Selama perjalanan bis Damri trayek bandara-Depok ini tampaknya tidak pernah berhenti bahkan di persimpangan di Depok yag selalu lampu lalu lintas dalam posisi lampu hijau. Saya yang dijemput di jalan Margonda Raya tepat waktu tiba di rumah pukul 11 malam. Pagi ini saya coba merenung ketepatan waktu ini dengan mencoba membaca surat kabar tempo doeloe apa yang menjadi hubungan Adi Soetjipto dengan lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta.

Lantas bagaimana sesungguhnya duduk soal jatuhnya pesawat Dakota yang dimiliki sebuah maskapai di India yang membawa obat-obatan dari Singapoera ke Jogjakarta? Tentu saja kejadian tersebut sudah banyak ditulis dan dapat dibaca dalam berbagai versi di internet. Bacaan-bacaan tersebut tentu saja berguna, tetapi artikel ini coba menyarikan berita-berita yang ada pada seputar waktu dan tempat kejadian. Mari kita telusuri beritanya pada surat kabar pasca kejadian.

Kamis, 21 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (27): Fakultas Ekonomi UGM 1955; Para Ahli Ekonomi dan Sejarah Fakultas Ekonomi di Indonesia Mulai 1948


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada bukanlah yang tertua di Yogyakarta. Yang tertua terdapat di Makassar baru di Jakarta (FEUI). Akan tetapi pada masa ini Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada adalah yang pertama di Indonesia yang memperoleh pengakuan akreditasi internasional yakni AACSB Accreditation. Dalam hal inilah keutamaan Fakultas Ekonomi (dan Bisnis) Universitas Gajah Mada dalam sejarah fakultas ekonomi di Indonesia. Fakultas Ekonomi tertua sendiri di Yogyakarta terdapat di Universitas Islam Indonesia (UII).

Para ekonom pertama Indonesia
Pada era kolonial Hindia Belanda, studi ekonomi baru diadakan pada level sekolah menengah atas (HBS) di Prins Hendrik School di Batavia (baca: Indonesia). Lulusan Afdeeling-A (jurusan ekonomi) HBS Prins Hendrik School dapat langsung melanjutkan studi ke Universiteit Rotterdam atau cukup dengan mengikuti pendidikan lebih lanjut sebagai kursus bidang ekonomi yang diadakan pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk langsung dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah.

Lantas bagaimana sejarah awal pendirian Fakultas Ekonomi di Indonesia dan mengapa studi ekonomi diadakan di Universitas Gajah Mada di Jogjakarta yang menjadi cikal bakal Fakultas Ekonmi UGM? Sepintas pertanyaan ini tidak terlalu penting, tetapi peran pembentukan fakultas ekonomi ini sangatlah penting pada fase awal Pemerintahan Republik Indonesia. Para ekonom-ekonom Indonesia saat itu (1948-1955) memainkan peran dan mulai menggantikan para ekonom Belanda yang secara bertahap pulang (kembali) ke Belanda. Pembentukan Fakultas Ekonomi di Universitas Gajah Mada dalam hal ini dimaksudkan untuk memperkokoh kedaulatan Indonesia di bidang pengajaran dan studi ekonomi di perguruan tinggi di Indonesia.

Selasa, 19 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (26): Societeit, Klub Sosial di Jogjakarta; Inspirasi Pembentukan Organisasi Modern Kebangsaan Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Di kota Jogjakarta tempo doeloe didirikan sebuah societeit yang diberi nama De Vereeniging, suatu klub sosial kemayarakatan bagi orang Eropa/Belanda. Klub sosial ini membangun gedung pertemuan sendiri di dekat Kantor Residen. Societeit Vereeniging di Jogjakarta terkenal karena memiliki cabang kegiatan dalam penggalian sosial budaya di seputar Residentie Djocjocarta. Gedung bekas Societeit Vereeniging hingga ini hari masih eksis yang dijadikan sebagai Taman Budaya yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Societeit 'De Vreeniging' di Jogjakarta, 1910
Societeit didirikan di semua kota-kota penting di Hindia Belanda, kota-kota dimana ditemukan cukup banyak (komunitas) orang Eropa/Belanda. Societeit terkenal di Batavia adalah Societeit Harmonie; Societeit Concordia di Bandoeng dan Soerabaja  Societeit dan gedung societeit ini berfungsi untuk pertemuan sosial, tempat pertemuan umum, tempat pagelaran musik, seni dan sebagainya dan juga untuk acara perkawinan. Societeit juga menampung para peminat-peminat tertentu yang menjadikan societeit memiliki cabang-cabang kegiatan seperti musik, kegiatan olahraga seperti pacuan kuda dan sebagainya.

Adanya societeit di sejumlah kota-kota besar di Hindia Belanda telah menginspirasi kalangan pribumi untuk membentuk societeit sendiri. Salah satu societeit pribumi tertua di Hindia Belanda (baca: Indonesia) adalah Medan Perdamaian di Kota Padang. Societeit Medan Perdamaian ini adalah organisasi kebangsaan Indonesia yang pertama didirikan tahun 1900. Societeit Boedi Oetomo sendiri didirikan tahun 1908. Lantas bagaimana riwayat Societeit Vereeniging di Jogjakarta yang juga menginspirasi munculnya klub sosial di kalangan pribumi di Jogjakarta? Mari kita telusuri.

Minggu, 17 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (25): Kota Jogjakarta Tidak Pernah Berstatus Gemeente (Kota), Mengapa? Inilah Daftar Residen Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Kota Jogjakarta di era kolonial Belanda pantas jadi Kota (Gemeente), tetapi itu tidak pernah terjadi. Kota-kota yang telah menjadi gemeente antara lain kota Semarang dan kota Tegal, Seperti halnya Jogjakarta, Kota Soerakarta juga tidak pernah menjadi Kota (Gemeente). Kedua kota di vorstenlanden ini hanya dibina oleh masing-masing seorang Asisten Residen. Setali tiga uang, kedua kota ini juga tidak memiliki dewan kota (gemeenteraad) sendiri.

Batas kota Jogjakarta, 1890
Kota yang pertama menjadi Kota (Gemeente) adalah Batavia sejak 1903. Kemudian diiikuti oleh tiga kota tahun 1905 yakni Soerabaja, Butenzorg dan Chirebon. Kota-kota lainnya yang berstatus gemeente pada tahun 1906 adalah Bandoeng, Tegal, Pakalongan, Semarang, Palembang dan Magelang. Di (pulau) Sumatra, setelah Palembang adalah Medan pada tahun 1909. Setelah itu bertambah lagi yang secara keseluruhan hingga tahun 1921 sebanyak 31 kota. Satu hal yang unik, kota Padang Sidempoean tidak berstatus gemeente tetapi memiliki dewan tersendiri.

Lantas mengapa kota Jogjakarta tidak pernah berstatus gemeente? Padahal pantas berstatus gemeente. Lalu mengapa kota Padang Sidempoean memiliki dewan sendiri tetapi tidak pernah berstatus gemeente? Itulah pertanyaannya. Suatu pertanyaan sepele tentang gemeente dan gemeenteraad, tetapi memiliki dampak besar terhadap penataan (dinamika) kota selama era kolonial Belanda. Uniknya, di dua kota ini pula pada akhir perang kemerdekaan terjadi serangan umum: di Jogjakarta 1 Maret 1949 dan di Padang Sidempoean Mei 1949.

Jumat, 15 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (24): Mayor Prawiro Koesoemo, Anggota Pasukan Sentot Ali Basya yang Jadi Perwira Militer Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Oerip Soemohardjo selama ini dianggap sebagai pribumi berpangkat tertinggi (Mayor) di dalam kesatuan militer Belanda (KNIL). Ternyata itu keliru. Jauh sebelum Oerip Soemohardjo mendapat pangkat Mayor tahun 1935, Prawiro Koesoemo sudah mendapat pangkat tertinggi Mayor pada tahun 1859. Prawiro Koesoemo sebelum menjadi bagian dari militer Belanda adalah anggota pasukan Sentot Ali Basa, sayap militer Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda di wilayah Jogjakarta pada Perang Jawa (1825-1830).

Nama Oerip Soemohardjo terehabilitasi, karena Oerip Soemohardjo berpatisipasi aktif dalam perang kemerdekan Republik Indonesia (1945-1948). Pada era perang kemerdekaan, Oerip Soemohardjo adalah mantan tentara berpangkat tertinggi apakah yang berasal dari KNIL (Belanda) maupun PETA (Jepang), Dalam jajaran militer Indonesia Oerip Soemohardjo adalah Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jenderal. Oerip Soemohardjo meninggal di Jogjakarta tanggal 17 November 1948 pada usia 55 tahun. Pada tahun 1964, Oerip ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.  

Bagaimana Prawiro Koesoemo berpindah haluan dan menjadi bagian dari militer Belanda yang melawan bangsanya sendiri? Itu tidak pernah ditulis karena tidak ada yang menulis. Padahal Prawiro Koesoemo memiliki karir yang cemerlang hingga mencapai pangkat Mayor (pangkat tertinggi untuk pribumi). Sangat beruntung Oerip Soemohardjo karena riwayatnya telah ditulis panjang lebar. Untuk itu, ada baiknya riwayat Prawiro Koesoemo ditulis. Mari kita telusuri.

Sejarah Yogyakarta (23): Ismangoen Danoe Winoto, Willem Iskander Asal Mandailing; Para Pelajar Perintis Studi ke Luar Negeri


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ismangoen Danoe Winoto (1850-1895) adalah seorang perintis dari Jogjakarta, tetapi riwayat hidupnya nyaris dilupakan (asimetris sejarah). Orang di Jogjakarta hanya mengenal Dr. Sardjito (mantan Rektor UGM). Harry A. Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 yang diterbitkan pada tahun 2008 mengangkat kembali nama Raden Ismangoen Danoe Winoto. Sebelum itu nama Raden Ismangoen Danoe Winoto tidak ada yang mengingatnya, padahal Raden Ismangoen Danoe Winoto adalah seorang cucu Sultan Jogjakarta.

Ismangoen Danoe Winoto
Jauh sebelum Ismangoen Danoe Winoto tiba di Belanda tahun 1864, Sati Nasution alias Willem Iskander dari Mandailing (Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli) tiba di Belanda tahun 1857. Setelah selesai studi dan mendapat akte guru tahun 1861, Willem Iskander kembali kampung halaman dan membuka sekolah guru (kweekschool) tahun 1862 di Tanobato (Onderafdeeling Mandailing). Willem Iskander menulis buku yang terkenal ‘Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek’ yang diterbitkan di Batavia tahun 1872. Buku ini hingga ini hari masih digunakan di sekolah-sekolah di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel). Itulah sebab Willem Iskander masih diingat dan dikenang. Warisan serupa ini tidak dimiliki Ismangoen meski kedudukannya sampai ke level Inspektur Pendidika yang menyebabkan nama Ismangoen terabaikan. Siapa Willem Iskander, jika ditarik garis silsilah ke atas, Willem Iskander terbilang sebagai kakek buyut Prof. Andi Hakim Nasution (Rektor IPB 1978-1987).

Bagaimana nama Raden Ismangoen Danoe Winoto terlupakan tidak jelas. Padahal Ismangoen Danoe Winoto adalah seorang perintis dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi di luar negeri. Tentu saja itu tidak adil. Untuk itu kiranya perlu ditulis kembali riwayat Ismangoen Danoe Winoto agar kita mengetahui lebih banyak bagaimana kiprah Ismangoen Danoe Winoto pada masa lampau. Mari kita telusuri.