Minggu, 11 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (15): Edward Douwes Dekker alias Multatuli dan Max Havelaar; Membela Penduduk di Natal dan Lebak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Entah darah apa yang mengalir di dalam tubuh Edward Douwes Dekker apakah tricolor atau dwiwarna. Yang jelas, banyak orang Belanda membencinya dan tidak sedikit orang Indonesia yang menghormatinya. Pada saat orang lupa siapa Edward Douwes Dekker, Mochtar Lubis dan Sanusi Pane mengambil inisiatif di Jakarta tahun 1953 untuk memperingati 66 tahun meninggalnya Multatuli. Peringatan itu dilaksanakan di Jalan Pegangsaan Timur No 56, tempat dimana 17 Agustus 1945 membacakan Proklamasi Indonesia. Mochtar Lubis dan Sanusi Pane seakan ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia, Edward Douwes Dekker alias Multatuli layak dihormati. Edward Douwes Dekker telah berjuang demi penduduk Indonesia di Natal dan di Lebak.

Rumah Multatuli di Natal 1842 (foto 1910)
Orang-orang Belanda sinis ketika orang-orang Belanda pendukung Edward Douwes Dekker menabalkan judul buku Max Havelaar sebagai nama jalan di sejumlah kota di Hindia Belanda. Namun pada era pengakuan kedaulatan Indonesia, ketika nama jalan berbau Belanda diganti dengan Indonesia hanya dua kota yang mempertahankan nama Edward Douwes Dekker sebagai nama jalan yakni di kota Medan dan di Bandung. Nama buku (jalan Max Havelaar) diubah menjadi nama orang (jalan Multatuli). Edward Douwes Dekker alias Multatuli adalah saudara sepupu Ernest Douwes Dekker alias Dr. Setia Budi (satu dari tiga pejuang Tiga Serangkai).
  
Lantas bagaimana perjuangan Edward Douwes Dekker di Lebak? Itu pertanyaannya. Lalu apa hubungannya dengan Tangerang? Nah, itu dia. Untuk mencari kejelasannya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Tangerang (14): Sejarah Layanan Kesehatan di Tangerang; Wabah Kolera 1874 Picu Penempatan Dokter di Tangerang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Dua abad kehadiran orang Eropa/Belanda di Tangerang nyaris tidak ada perhatian terhadap pengembangan sosial penduduk. Kehidupan hanya menguntungkan pemilik lahan (landheer). Penduduk tak berdaya. Jika pun ada keuntungan sosial yang diterima hanya sekadar peningkatan akses yang lebih lancar ke ibu kota (stad) Batavia. Memang penduduk menjadi kosmopolitan, tetapi tidak memiliki segalanya: tidak memiliki lahan, tidak ada sekolah dan juga tidak mendapat layanan kesehatan. Itulah riwayat kelam penduduk di wilayah Tangerang.

Mahasiswa dan Docter Djawa School di Batavia (1902)
Seperti halnya Bekasi, sejak era VOC wilayah Tangerang adalah wilayah tanah-tanah partikelir (land). Yang berkuasa adalah para tuan tanah (landheer). Intervensi pemerintah sangat minim, yang menentukan segalanya adalah para pemilik lahan. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, secara bertahap lahan dibeli pemerintah. Namun pemerintahan hanya dipimpin seorang Schout (lebih mirip Sheriff daripada bupati). Schout hanya sekadar melayani para tuan tanah (keamanan dan peradilan). Baru pada tahun 1854 Tangerang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Ini sehubungan dengan semakin meluasnya lahan pemerintah. Sejak inilah pemerintahan (yang mengedepankan penduduk) dimulai. Pejabat pemerintah dari kalangan pribumi ditambahkan (demang). Namun tupoksi pemerintahan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan dasar penduduk. Dalam pembentukan sistem pemerintahan, tata kelola bidang (dinas) pendidikan dan kesehatan berada pada urutan terakhir.
.
Penduduk yang sakit tidak tahu haru berobat kemana. Hanya penduduk yang terluka parah seperti dicakar harimau yang mendapat akses ke rumah sakit kota di Batavia. Kondisi ini selama berlangsung hingga muncul wabah kolera tahun 1874. Pemerintah bergegas memberikan  layanan kesehatan bagi penduduk. Motivasinya bersifat sekunder. Motivasi utama sesungguhnya adalah untuk melindungi ibu kota Batavia terhadap ancaman epidemik. Itulah awal riwayat layanan kesehatan di Tangerang. Bagaimana selanjutnya? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 10 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (13): Harimau Tangerang Bermigrasi ke Ujung Barat; Peta Penyebaran Habitat Harimau Jawa te Batavia en Banten


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Harimau Harimau, begitu judul roman Mochtar Lubis. Di kampungnya di Kotanopan, Tapanuli Bagian Selatan banyak ditemukan harimau, bahkan hingga ini hari. Harimau Kotanopan termasuk jenis harimau Sumatra ((Panthera tigris sumatrae). Di Jawa, harimau Jawa dinyatakan punah tahun 1970an. Namun beberapa peneliti masih meyakini harimau di pulau Jawa masih tersisa dan terjebak di Oedjoeng Koelon.

Harimau dan anaknya (illustrasi)
Harimau dunia (Panthera tigris) diduga menyebar dari daerah aliran sungai Tigris di Mesopotamia (kini Irak). Harimau Indonesia ditemukan di tiga wilayah: di Sumatra (Panthera tigris sumatrae); di Jawa (Panthera tigris sondaica) dan di Bali (Panthera tigris balica). Harimau Jawa tersebar dari ujung barat hingga ujung timur. Di sekitar ujung barat tersebar di berbagai wilayah termasuk di wilayah Batavia dan wilayah Banten. Di wilayah Batavia tersebar dari ujung timur di sungai Tjitaroem hingga ujung barat di sungai Tjijkande. Harimau Batavia ini ditemukan di daerah aliran sungai Soenter, sungai Bekasi, sungai Tjisadane dan daerah aliran sungai lainnya. Nama harimau sendiri berasal dari tigris yang dalam bahasa Inggris sebagai tiger dan bahasa Belanda sebagai tijger. Dalam bahasa Soenda disebut mejong, bahasa Jawa disebut macan loreng (membedakan dengan macan lainnya) dan di Sumatra disebut harimau.

Harimau Batavia tidak pernah punah. Harimau Batavia telah lama bermigrasi ke Banten karena tekanan populasi menusia di daerah aliran sungai Tjiliwong. Saat migrasi ke Banten ini, harimau-harimau Batavia berkumpul di persinggahan terakhir di wilayah Tangerang. Namun tekanan populasi manusia di Tangerang menyebabkan mereka terusir ke wilayah Banten. Setali tiga uang, di wilayah Banten juga mereka terdesak hingga menemukan jalan buntu di ujung barat pulau di Oedjoeng Koelon. Tampkanya mereka ingin menyeberang ke Sumatra untuk menemui kerabat mereka. Namun apa daya gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Mereka menjadi takut pergi jauh ke Sumatra. Sehubungan dengan riwayat ini, lantas kapan terkahir harimau Tangerang dijumpai? Pertanyaan ini memaksa kita membuka sumber-sumber tempo doeloe. Mari kita lacak!  

Sejarah Tangerang (12): Sejarah Mauk, Jauh di Mata Dekat di Hati; Pusat Perdagangan di Pantai Utara Tangerang Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
 

Sejarah Mauk belumlah lama, tetapi juga tidak baru. Namanya mulai dikenal di publik sejak tahun 1829. Ini sehubungan dengan perubahan perbatasan (residentie) Batavia. Mauk sebelumnya masuk wilayah Residentie Banten. Berdasarkan beslit tanggal 7 Februari 1829 No. 180 batas wilayah Batavia adalah sungai Tjikande, Mauk menjadi bagian dari wilayah Batavia. Sejak itu namanya semakin dikenal, lebih-lebih setelah dijadikan sebagai tanah partikelir (land). Namun malang terjadi pada tahun 1883, land Mauk tenggelam disapu tsunami, gelombang laut yang tinggi akibat meletusnya gunung Krakatau.

Mauk, jauh di mata dekat di hati
Sebelum dilakukan perubahan batas Batavia di sebelah barat, pada tahun 1818 telah dilakukan perubahan batas Batavia. Lahan-lahan yang berada di sebelah barat sungai Tjitaroem masuk wilayah Batavia. Lahan-lahan tersebut antara lain Tjabangboengin, Tjikarang, Kedoeng Gede, dan Tjibaroesa. Sebelumnya wilayah ini masuk Residentie Krawang. Dengan adanya penambahan wilayah Mauk maka wilayah Batavia berada diantara sungai Tjitaroem di sebelah timur dan sungai Tjikande di sebelah barat. Batas wilayah Batavia di sebalah barat ini pada masa kini menjadi batas wilayah Kabupaten Tangerang.

Pada masa ini, Mauk seakan wilayah terbelakang, padahal di masa lampau Mauk adalah wilayah terdepan. Pelabuhan Mauk bahkan pelabuhan yang setara dengan pelabuhan Tanara dan Tangerang, pelabuhan Bekasi, dan pelabuhan Tjikarang. Perubahan haluan ini seiring dengan semakin intensnya arus perdagangan di sepanjang jalan Trans-Java Daendels (Batavia-Anjer) melalui Tangerang, Balaraja, Serang dan Tjilegon. Kejayaan masa lalu tamat. Kini, Mauk hanya sebatas jauh di mata dekat di hati. Namun demikian, Mauk adalah Mauk, kota yang memiliki sejarah. Untuk memahami sejarah Mauk, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 09 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (11): Kereta Api Jalur Pendek Batavia-Tangerang; Jalur Panjang ke Anjer via Rangkasbitoeng, Serang, Tjilegon


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
Jalur kereta api ke arah barat seakan hanya sebatas stasion Tangerang. Demikian juga jalur kereta api ke arah tenggara seakan hanya sebatas stasion Rangkas Bitung. Pada masa ini dua stasion ini (stasion Tangerang dan stasion Rangkasbitung) menjadi bagian dari sistem kereta api komuter (KRL). Namun di masa lampau, stasion Tangerang dan stasion Rangkasbitung adalah bagian dari sistem moda transpoertasi umum dari Batavia ke Anjer. Hanya saja antara Tangerang dan Serang dilakukan lewat jalan raya. Sedangkan antara Rangkasbitung dan Serang dilakukan lewat jalur kereta api.

Kereta api Batavia, KRL masa kini
Jalur kereta api Tangerang adalah jalur buntu. Stasion pemberhentian terakhir dari Batavia ke arah barat hanya sampai di kota Tangerang. Jalur dari Tangerang ke kota Serang terputus. Itu bukan karena halangan sungai Tjisadane, melainkan karena alasan pertimbangan ekonomi. Jalur Batavia ke Serang dilakukan melalui Rangkasbitoeng. Jalur kereta api dari Batavia mengarah ke arah tenggara melalui Tanah Abang ke Rangkasbitoeng via Kebajoran, Serpong. Dari kota Rangkasbitoeng jalur kereta api di arahkan ke Serang. Dan dari kota Serang ke Anjer melalui Karang Antoe (kota kuno Banten) dan Tjiligon. Pembuatan jalur kereta api di Banten ini bukan karena faktor politik masa itu tetapi hanya semata-mata karena faktor ekonomi (mengikuti jalur pedagangan komoditi). Hal ini juga pada awalnya dari Batavia ke Bandoeng melalui Buitenzorg, Soekaboemi dan Tjiandjoer. Dan kemudian dari Bandoeng ke Jogjakarta.  

Lantas mengapa jalur kereta api dari Tangerang tidak langsung ke Serang (dan harus memutar jauh ke pedalaman di Rangkasbitoeng)? Bukankah lebih pendek jaraknya jika jalur yang dibangun dari Tangerang ke Serang dan lalu ke Rangkasbitoeng? Itu semua ada alasannya. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Tangerang (10): Sejarah Awal Pendidikan di Tangerang, Bukan di Banten Tetapi di Serang; Mengapa Telat Tangerang?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Sebelum ada (kota) Serang, kota (pelabuhan) Banten sudah ada sejak jaman kuno. Kota Tangerang bediri jauh sebelum lahirnya kota Serang. Namun introduksi pendidikan modern (aksara Latin) tidak selalu mengikuti tingkat kosmopolitan sebuah kota. Bahkan untuk urusan pendidikan bagi pribumi, introduksi pendidikan modern justru lebih awal di kota Serang dibandingkan di kota metropolitan Batavia dan kota satelit Tangerang. Mengapa? Itulah pertanyaan pentingnya. Pertanyaan yang sejauh ini belum pernah ditanyakan.

Pendidikan bagi pribumi di Hindia Belanda belumlah lama. Pada era VOC tidak pernah terdeteksi pendidikan modern apakah untuk orang Eropa/Belanda maupun orang pribumi. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda (setelah 1816), pendidikan juga belum menjadi prioritas. Baru beberapa tahun kemudian pendidikan bagi anak-anak orang Eropa/Belanda dimulai dan hanya terbatas di beberapa tempat, terutama di tempat-tempat utama dimana banyak berdomisili orang Eropa/Belanda seperti di Batavia, Soerabaja, Semarang dan Padang. Pada tahun 1822 pemerintah menyelenggarakan prndidikan bagi anak-anak pribumi seperti di Batavia, Soerabaja dan Padang dengan menyedikan guru-guru Belanda yang mampu berbahasa Melayu. Namun minim peminat (boleh jadi dianggap tidak berguna). Akhirnya program ini tidak jelas. Program top-down tidak jalan. Yang kemudian secara perlahan-lahan adalah program bottom-up pada level daerah yang diinisiasi oleh Asisten Residen atau Controleur. Di beberapa tempat program bottom-up ini jalan seperti di Soeracarta dan Fort de Kock.

Afdeeling Tangerang dipimpin oleh seorang Schout (setingkat Controleur). Schout Tangerang tidak bisa berbuat banyak karena wilayahnya  hampir seluruhnya terdiri dari land-land partikelir dimana di setiap land yang berkuasa adalah tuan tanah (landheer). Pemerintah (dalam hal ini Schout) tidak bisa melakukan intervensi di dalam land. Akibatnya, Schout hanya mengurusi masalah keamanan dan peradilan. Sementara para landheer hanya berpikir tentang  pembangunan (ekonomi dan pertanian) dan kurang peduli terhadap bidang sosial seperti kesehatan dan pendidikan penduduk. Semua ini menjadi sebab awal mengapa introduksi pendidikan modern di Afdeeling (district) Tangerang seakan terlantar. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 08 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (9): Sejarah Serpong dan Transportasi Sungai, Jalan dan Kereta; Fort VOC Sampoera Hingga Perumahan BSD


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Ada tiga tempat terpenting di daerah aliran sungai Tjisadane tempo doeloe: Moeara (de Qual), benteng Tangerang dan benteng Sampoera (Serpong). Dua yang pertama dapat dilihat pada artikel sebelum ini; sedangkan benteng Sampoera di Serpong akan ditinjau lebih lanjut dalam artikel ini. Tiga tempat ini pada era VOC adalah pusat-pusat pertumbuhan wilayah terawal di Tangerang. Dari tiga tempat inilah Tangerang berkembang seperti yang sekarang.

Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kota Tangerang Selatan
Pada masa ini wilayah Tangerang telah menjadi tiga wilayah administratif: Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Origin Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sejatinya merujuk pada kampong Serpong. Pada era VOC, di kampong inilah benteng (fort) Sampoera dibangun. Pada masa ini Kota Tangerang berbatasan dengan sungai Tjisadane di sebelah barat dan sungai Pesanggrahan di sebelah timur. Kampong Serpong berada di sisi barat sungai Tjisadane.  
  
Lantas apa hebatnya kampong Serpong? Pada masa ini tidak jauh dari kampong Serpong ini dibangun mega perumahan Bumi Serpong Damai (BSD). Perumahan BSD sebagai icon Kota Tangerang Selatan sudah dikenal secara luas. Namun tidak banyak orang mengetahui bahwa area BSD ini di masa lampau adalah pusat perdagangan terpenting di hulu sungai Tjisadane. Dalam hubungan inilah kita perlu meninjau kembali sejarah Serpon sebagai origin Kota Tangerang Selatan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Senin, 05 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (8): Bendungan di Pasar Baroe dan Sluis di Mookervaart; Jalan Tol Sungai Hingga Bendungan Irigasi Pertanian


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Di Kota Tangerang, salah satu situs tua yang penting adalah bendungan Tangerang di sungai Tjisadane. Tentu saja jangan dilupakan situs kono di Kota Tangerang yakni kanal Mookervaart. Dua situs ini saling terhubung bagaikan bapak-anak: kanal Moekervaart adalah ayah dan bendungan Tangerang adalah anak. Oleh karenanya membicarakan yang satu, juga harus membicarakan yang satunya lagi. Itulah dua situs tua di Tangerang yang masih eksis hingga ini hari.

Kanal dan dam di sungai Tjisadane, Tangerang (Foto udara 1940)
Bendungan Tangerang memiliki banyak nama. Pada masa kini bendungan di Tangerang ini adakalanya disebut bendungan Pintu Sepuluh. Juga sering namanya disebut sebagai bendungan Pasar Baru. Bendungan Tangerang juga dulu ada yang menyebut namanya sebagai bendungan Tjisadane. Namun nama bendungan Tjisadane menghilang karena duplikasi dengan bendungan yang lain di Bogor yang juga disebut bendungan Tjisadane. Untuk sekadar catatan sungai Tjisadane mengalir di kota Buitenzorg (kini Bogor). Lambat laun nama bendungan Tjisadane menghilang apakah yang di Buitenzorg atau yang di Tangerang. Bendungan Tjisadane di Buitenzorg kemudian dikenal dengan nama bendungan Empang (di kampong Empang) dan bendungan Tjisadane di Tangerang disebut bendungan Pasar Baroe (di kampong Pasar Baroe). Ketika nama bendungan Tangerang dan bendungan Tjisadane (meng) hilang, belakangan ini muncul nama lain: Sangego. Nama ini aneh dan tidak ditemukan dalam catatan sejarah. Ada-ada saja.

Lantas seperti apa kisah situs tua ‘bapak-anak’ ini di Tangerang? Tentu saja sejauh ini belum pernah ada yang menulis hubungan kedua situs legendaris ini. Dalam hubungan inilah mengapa sejarah bendungan Pasar Baroe dan kanal Mookervaart disatukan dalam satu artikel. Kanal Mookervaart sendiri selesai dibangun tahun 1687 dan bendungan Pasar Baroe mulai digagas pada tahun 1925. Usia mereka berjarak sekitar dua setengah  abad. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.