Rabu, 14 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (18): Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Tangerang; Situasi dan Kondisi di Djakarta dan Sekitar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Yang jelas tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Djakarta. Para pemuda telah ‘memaksa’ Soekarno dan Mohamad Hatta untuk membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak itulah secara defacto, Indonesia telah merdeka. Lantas bagaimana situasi dan kondisi di Tangerang pada seputar hari kemerdekaan tersebut? Pertanyaan ini tentu saja sulit dijawab berdasarkan berita-berita aktual.

Het dagblad edisi perdana 23-10-1945
Sejak berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, selama pendudukan militer Jepang nyaris tidak ditemukan informasi. Surat kabar di Eropa/Belanda juga sulit mendapat akses berita. Pemerintahan pendudukan militer Jepang juga sangat membatasi perihal pemberitaan. Data dan informasi di Tangerang juga sulit diperoleh. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Surat kabar Indonesia juga sulit diperoleh. Satu-satunya surat kabar yang mengabarkan berita dari ke hari hanya surat kabar yang terbit di Djakarta Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia yang baru terbit pertama kali pada tanggal 23-10-1945.   

Satu cara untuk mengetahui situasi dan kondisi di Tangerang adalah melalui pengumpulan data yang bersifat retrospekti. Suatu berita atau tulisan yang menceritakan keadaan waktu sebelumnya. Penduduk Tangerang dan tentu saja para interniran Eropa/Belanda di Tangerang akan memberikan kontribusi. Dalam hal ini surat kabar Het Dagblad di Batavia dan surat kabar lainnya di Belanda akan memberi kontribusi. Mari kita telusuri bagaimana situasi dan kondisi di Tangerang pada saat detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Tangerang (17): Detik-Detik Akhir Belanda di Tangerang; Minta Bantuan Doa Pribumi, Takut Akan Kehadiran Jepang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini  

Hampir tiga abad keberadaan Belanda di Tangerang sejak era VOC harus berakhir pada tahun 1942. Harta benda yang mereka miliki (termasuk penduduk!) mereka anggap telah hilang sia-sia. Sebelum itu semua lenyap, berita-berita akan adanya invasi Jepang ke Hindia Belanda makin hari makin menakutkan jiwa dan pikiran mereka. Orang-orang Belanda di Hindia takut diinternir Jepang dan yang paling ditakutkan setelah itu mereka jatuh melarat. Ketakutan mereka ini sangat alamiah karena mereka tidak punya bapak-ibu lagi: Vaderland Belanda sejak bulan Mei 1940 telah dianeksasi oleh Jerman dan keluarga kerajaan Belanda telah kabur ke Inggris.

Dolf  en Jou (Bataviaasch nieuwsblad, 04-03-1942)
Surat kabar di Batavia, Bataviaasch nieuwsblad, yang setiap mengunjungi pembaca dan meliput berita di Tangerang dengan terpaksa harus tutup. Surat kabar Bataviaasch nieuwsblad yang terbit kali pertama tanggal 01-12-1885 akan segera berakhir pula. Surat kabar yang telah berumur 57 tahun ini terakhir kali terbit pada edisi 04-03-1942. Tidak ada di dalam catatan editor akan tutup dan tidak terbit lagi esoknya. Hanya sebuah karikatur yang ada, berjudul: Dolf en Jou. Si Dolf (Jerman) yang melarikan diri ingin menjangkau Matahari (Jepang) lewat tiang bendera ditebang oleh Si Jou (Belanda) dengan kapak perang. Sebuah kiasan perseteruan Belanda dengan Jerman, dan kolaborasi Jerman dan Jepang. Pada headline edisi terakhir koran sore ini berjudul: Van ons Gevechtsfront: Japanners op Geen der Drie invalspunten Gevorderd: Tien Navy-O's en Twee Watervliegtuigen buiten gevecht: Voltreffers op Twee Transportschepen: De Strijd hedenmorgen in Vollen Gang: Australische Troepen voor het Eerst in Actie. Tentu saja masih terlihat karikatur dalam bentuk lain: Iklan masih ada! Business as usual.

Lantas seperti apa kejadian-kejadian yang ada di Tangerang jelang dan hingga pada tanggal 04-03-1942? Inilah fase paling menegangkan bagi orang-orang Belanda di Tangerang. Bahkan lebih menegangkan jika dibandingkan jelang pendudukan Prancis tahun 1795 dan jelang pendudukan Inggris tahun 1811. Pada tahun 1942 yang akan menyerang bukan Prancis atau Inggris, tetapi Jepang (yang bersekutu dengan Jerman). Mari kita telusuri surat kabar Bataviaasch nieuwsblad dari tanggal 04-03-1942 hitung mundur beberapa bulan ke belakang.    

Minggu, 11 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (16): Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat dan Indische Vereeniging di Belanda; Doktor (Ph.D) Indonesia Pertama


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
 

Tidak ada kata terlambat. Demikianlah adagium dalam bidang pendidikan. Dua wilayah terbelakang dalam bidang pendidikan di era Hindia Belanda, di Banten dan di Jogjakarta, mampu bangkit dan melesat jauh ke depan. Hussein Djajadinigrat mewakili penduduk Banten untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Terbukti berhasil, Hussein Djajadinigrat adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar akademik tertinggi (Doktor) pada tahun 1915.    

St. Casajangan (duduk tengah); H. Djajadiningrat (berdiri tengah)
Kota Serang adalah suksesi kota Banten. Di kota Serang, Pemerintah Hindia Belanda mengintroduksi pendidikan modern (aksara Latin) pada tahun 1851. Seorang guru Belanda, AG van Veldhuijzen dikirim ke Serang untuk mengajar. Hanya di Serang didirikan sekolah, satu-satunya di wilayah Residentie Banten. Bahkan di Residentie Batavia (Batavia, Buitenzorg, Tangerang dan Bekasi) belum diselengggarakan pendidikan modern bagi pribumi. Beberapa tahun sebelumnya pendidikan sudah diselengarakan di sejumlah kota seperti di Soerakarta dan Fort de Kock. Bersamaan dengan penyelenggaraan pendidikan di Afdeeling Serang juga diselenggarakan di Afdeeling Mandailing en Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan), Introduksi pendidikan modern inilah yang menjadi awal bagi penduduk pribumi menuntut ilmu meski jauh ke negeri Belanda.   

Bagaimana Hussein Djajadinigrat bisa meraih pendidikan setinggi itu? Sementara penyelenggaraan pendidikan di Residentie Banten terbilang tidak berkembang. Pertanyaan ini jelas tidak mudah dijawab. Akan tetapi jawaban pertanyaan ini tetap ditunggu. Itulah tantangan pertanyaan ini. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Tangerang (15): Edward Douwes Dekker alias Multatuli dan Max Havelaar; Membela Penduduk di Natal dan Lebak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Entah darah apa yang mengalir di dalam tubuh Edward Douwes Dekker apakah tricolor atau dwiwarna. Yang jelas, banyak orang Belanda membencinya dan tidak sedikit orang Indonesia yang menghormatinya. Pada saat orang lupa siapa Edward Douwes Dekker, Mochtar Lubis dan Sanusi Pane mengambil inisiatif di Jakarta tahun 1953 untuk memperingati 66 tahun meninggalnya Multatuli. Peringatan itu dilaksanakan di Jalan Pegangsaan Timur No 56, tempat dimana 17 Agustus 1945 membacakan Proklamasi Indonesia. Mochtar Lubis dan Sanusi Pane seakan ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia, Edward Douwes Dekker alias Multatuli layak dihormati. Edward Douwes Dekker telah berjuang demi penduduk Indonesia di Natal dan di Lebak.

Rumah Multatuli di Natal 1842 (foto 1910)
Orang-orang Belanda sinis ketika orang-orang Belanda pendukung Edward Douwes Dekker menabalkan judul buku Max Havelaar sebagai nama jalan di sejumlah kota di Hindia Belanda. Namun pada era pengakuan kedaulatan Indonesia, ketika nama jalan berbau Belanda diganti dengan Indonesia hanya dua kota yang mempertahankan nama Edward Douwes Dekker sebagai nama jalan yakni di kota Medan dan di Bandung. Nama buku (jalan Max Havelaar) diubah menjadi nama orang (jalan Multatuli). Edward Douwes Dekker alias Multatuli adalah saudara sepupu Ernest Douwes Dekker alias Dr. Setia Budi (satu dari tiga pejuang Tiga Serangkai).
  
Lantas bagaimana perjuangan Edward Douwes Dekker di Lebak? Itu pertanyaannya. Lalu apa hubungannya dengan Tangerang? Nah, itu dia. Untuk mencari kejelasannya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Tangerang (14): Sejarah Layanan Kesehatan di Tangerang; Wabah Kolera 1874 Picu Penempatan Dokter di Tangerang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Dua abad kehadiran orang Eropa/Belanda di Tangerang nyaris tidak ada perhatian terhadap pengembangan sosial penduduk. Kehidupan hanya menguntungkan pemilik lahan (landheer). Penduduk tak berdaya. Jika pun ada keuntungan sosial yang diterima hanya sekadar peningkatan akses yang lebih lancar ke ibu kota (stad) Batavia. Memang penduduk menjadi kosmopolitan, tetapi tidak memiliki segalanya: tidak memiliki lahan, tidak ada sekolah dan juga tidak mendapat layanan kesehatan. Itulah riwayat kelam penduduk di wilayah Tangerang.

Mahasiswa dan Docter Djawa School di Batavia (1902)
Seperti halnya Bekasi, sejak era VOC wilayah Tangerang adalah wilayah tanah-tanah partikelir (land). Yang berkuasa adalah para tuan tanah (landheer). Intervensi pemerintah sangat minim, yang menentukan segalanya adalah para pemilik lahan. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, secara bertahap lahan dibeli pemerintah. Namun pemerintahan hanya dipimpin seorang Schout (lebih mirip Sheriff daripada bupati). Schout hanya sekadar melayani para tuan tanah (keamanan dan peradilan). Baru pada tahun 1854 Tangerang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Ini sehubungan dengan semakin meluasnya lahan pemerintah. Sejak inilah pemerintahan (yang mengedepankan penduduk) dimulai. Pejabat pemerintah dari kalangan pribumi ditambahkan (demang). Namun tupoksi pemerintahan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan dasar penduduk. Dalam pembentukan sistem pemerintahan, tata kelola bidang (dinas) pendidikan dan kesehatan berada pada urutan terakhir.
.
Penduduk yang sakit tidak tahu haru berobat kemana. Hanya penduduk yang terluka parah seperti dicakar harimau yang mendapat akses ke rumah sakit kota di Batavia. Kondisi ini selama berlangsung hingga muncul wabah kolera tahun 1874. Pemerintah bergegas memberikan  layanan kesehatan bagi penduduk. Motivasinya bersifat sekunder. Motivasi utama sesungguhnya adalah untuk melindungi ibu kota Batavia terhadap ancaman epidemik. Itulah awal riwayat layanan kesehatan di Tangerang. Bagaimana selanjutnya? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 10 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (13): Harimau Tangerang Bermigrasi ke Ujung Barat; Peta Penyebaran Habitat Harimau Jawa te Batavia en Banten


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Harimau Harimau, begitu judul roman Mochtar Lubis. Di kampungnya di Kotanopan, Tapanuli Bagian Selatan banyak ditemukan harimau, bahkan hingga ini hari. Harimau Kotanopan termasuk jenis harimau Sumatra ((Panthera tigris sumatrae). Di Jawa, harimau Jawa dinyatakan punah tahun 1970an. Namun beberapa peneliti masih meyakini harimau di pulau Jawa masih tersisa dan terjebak di Oedjoeng Koelon.

Harimau dan anaknya (illustrasi)
Harimau dunia (Panthera tigris) diduga menyebar dari daerah aliran sungai Tigris di Mesopotamia (kini Irak). Harimau Indonesia ditemukan di tiga wilayah: di Sumatra (Panthera tigris sumatrae); di Jawa (Panthera tigris sondaica) dan di Bali (Panthera tigris balica). Harimau Jawa tersebar dari ujung barat hingga ujung timur. Di sekitar ujung barat tersebar di berbagai wilayah termasuk di wilayah Batavia dan wilayah Banten. Di wilayah Batavia tersebar dari ujung timur di sungai Tjitaroem hingga ujung barat di sungai Tjijkande. Harimau Batavia ini ditemukan di daerah aliran sungai Soenter, sungai Bekasi, sungai Tjisadane dan daerah aliran sungai lainnya. Nama harimau sendiri berasal dari tigris yang dalam bahasa Inggris sebagai tiger dan bahasa Belanda sebagai tijger. Dalam bahasa Soenda disebut mejong, bahasa Jawa disebut macan loreng (membedakan dengan macan lainnya) dan di Sumatra disebut harimau.

Harimau Batavia tidak pernah punah. Harimau Batavia telah lama bermigrasi ke Banten karena tekanan populasi menusia di daerah aliran sungai Tjiliwong. Saat migrasi ke Banten ini, harimau-harimau Batavia berkumpul di persinggahan terakhir di wilayah Tangerang. Namun tekanan populasi manusia di Tangerang menyebabkan mereka terusir ke wilayah Banten. Setali tiga uang, di wilayah Banten juga mereka terdesak hingga menemukan jalan buntu di ujung barat pulau di Oedjoeng Koelon. Tampkanya mereka ingin menyeberang ke Sumatra untuk menemui kerabat mereka. Namun apa daya gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Mereka menjadi takut pergi jauh ke Sumatra. Sehubungan dengan riwayat ini, lantas kapan terkahir harimau Tangerang dijumpai? Pertanyaan ini memaksa kita membuka sumber-sumber tempo doeloe. Mari kita lacak!  

Sejarah Tangerang (12): Sejarah Mauk, Jauh di Mata Dekat di Hati; Pusat Perdagangan di Pantai Utara Tangerang Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
 

Sejarah Mauk belumlah lama, tetapi juga tidak baru. Namanya mulai dikenal di publik sejak tahun 1829. Ini sehubungan dengan perubahan perbatasan (residentie) Batavia. Mauk sebelumnya masuk wilayah Residentie Banten. Berdasarkan beslit tanggal 7 Februari 1829 No. 180 batas wilayah Batavia adalah sungai Tjikande, Mauk menjadi bagian dari wilayah Batavia. Sejak itu namanya semakin dikenal, lebih-lebih setelah dijadikan sebagai tanah partikelir (land). Namun malang terjadi pada tahun 1883, land Mauk tenggelam disapu tsunami, gelombang laut yang tinggi akibat meletusnya gunung Krakatau.

Mauk, jauh di mata dekat di hati
Sebelum dilakukan perubahan batas Batavia di sebelah barat, pada tahun 1818 telah dilakukan perubahan batas Batavia. Lahan-lahan yang berada di sebelah barat sungai Tjitaroem masuk wilayah Batavia. Lahan-lahan tersebut antara lain Tjabangboengin, Tjikarang, Kedoeng Gede, dan Tjibaroesa. Sebelumnya wilayah ini masuk Residentie Krawang. Dengan adanya penambahan wilayah Mauk maka wilayah Batavia berada diantara sungai Tjitaroem di sebelah timur dan sungai Tjikande di sebelah barat. Batas wilayah Batavia di sebalah barat ini pada masa kini menjadi batas wilayah Kabupaten Tangerang.

Pada masa ini, Mauk seakan wilayah terbelakang, padahal di masa lampau Mauk adalah wilayah terdepan. Pelabuhan Mauk bahkan pelabuhan yang setara dengan pelabuhan Tanara dan Tangerang, pelabuhan Bekasi, dan pelabuhan Tjikarang. Perubahan haluan ini seiring dengan semakin intensnya arus perdagangan di sepanjang jalan Trans-Java Daendels (Batavia-Anjer) melalui Tangerang, Balaraja, Serang dan Tjilegon. Kejayaan masa lalu tamat. Kini, Mauk hanya sebatas jauh di mata dekat di hati. Namun demikian, Mauk adalah Mauk, kota yang memiliki sejarah. Untuk memahami sejarah Mauk, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 09 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (11): Kereta Api Jalur Pendek Batavia-Tangerang; Jalur Panjang ke Anjer via Rangkasbitoeng, Serang, Tjilegon


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
Jalur kereta api ke arah barat seakan hanya sebatas stasion Tangerang. Demikian juga jalur kereta api ke arah tenggara seakan hanya sebatas stasion Rangkas Bitung. Pada masa ini dua stasion ini (stasion Tangerang dan stasion Rangkasbitung) menjadi bagian dari sistem kereta api komuter (KRL). Namun di masa lampau, stasion Tangerang dan stasion Rangkasbitung adalah bagian dari sistem moda transpoertasi umum dari Batavia ke Anjer. Hanya saja antara Tangerang dan Serang dilakukan lewat jalan raya. Sedangkan antara Rangkasbitung dan Serang dilakukan lewat jalur kereta api.

Kereta api Batavia, KRL masa kini
Jalur kereta api Tangerang adalah jalur buntu. Stasion pemberhentian terakhir dari Batavia ke arah barat hanya sampai di kota Tangerang. Jalur dari Tangerang ke kota Serang terputus. Itu bukan karena halangan sungai Tjisadane, melainkan karena alasan pertimbangan ekonomi. Jalur Batavia ke Serang dilakukan melalui Rangkasbitoeng. Jalur kereta api dari Batavia mengarah ke arah tenggara melalui Tanah Abang ke Rangkasbitoeng via Kebajoran, Serpong. Dari kota Rangkasbitoeng jalur kereta api di arahkan ke Serang. Dan dari kota Serang ke Anjer melalui Karang Antoe (kota kuno Banten) dan Tjiligon. Pembuatan jalur kereta api di Banten ini bukan karena faktor politik masa itu tetapi hanya semata-mata karena faktor ekonomi (mengikuti jalur pedagangan komoditi). Hal ini juga pada awalnya dari Batavia ke Bandoeng melalui Buitenzorg, Soekaboemi dan Tjiandjoer. Dan kemudian dari Bandoeng ke Jogjakarta.  

Lantas mengapa jalur kereta api dari Tangerang tidak langsung ke Serang (dan harus memutar jauh ke pedalaman di Rangkasbitoeng)? Bukankah lebih pendek jaraknya jika jalur yang dibangun dari Tangerang ke Serang dan lalu ke Rangkasbitoeng? Itu semua ada alasannya. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.