Jumat, 16 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (20): Belanda Mengakui Kedaulatan Indonesia; Republik Indonesia dan Pembentukan Kabupaten Tangerang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Sejatinya, Kabupaten Tangerang sudah terbentuk sejak era Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan kabupaten Tangerang termasuk salah satu kabupaten tertua di Indonesia. Namun pada masa ini hari jadi Kabupaten Tangerang ditetapkan pada era pendudukan militer Jepang yakni tanggal 27 Desember 1943. Boleh jadi ini karena Atik Soeardi, orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi bupati Tangerang pada era Pendudukan Militer Jepang.

Kabupaten Tangerang (Peta 1930) dan Peta RIS 1949/1950
Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, wilayah Indonesia dibagi ke dalam delapan provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Djawa Barat, Djawa Tengah, Djawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil serta dua daerah istimewa yakni Soerakarta dan Jogjakarta. Gubernur Pertama Provinsi Djawa Barat adalah Sutardjo Kertohadikusumo. Untuk Bupati Tangerang adalah Raden Achjad Penna. Namun situasi dan kondisi segera berubah setelah kembalinya Belanda (NICA).

Bagaimana selanjutnya? Banyak perubahan. Perubahan mendasar adalah wilayah Tangerang dianeksasi Belanda/NICA, terbentuknya Negara Pasoendan, dan pengakuan kedaulatan Indonesia dibentuknya RIS. Lalu yang terakhir kembali ke negara kesatuan (NKRI) dan dibentuknya Kabupaten Tangerang (hingga sekrang). Semua itu saling terkait satu sama lain. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 15 Agustus 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (24): Alip Ba Ta Gitaris Fingerstyle Mendunia; Ambassador dalam Penyusunan Sejarah Musik Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini


*Baca juga: Sejarah Jakarta (79): Orangtua EDDIE van Halen Menikah di Jakarta, 1950; Ibu Lahir di Rangkasbitung, Nenek Asli Purworejo

**Baca juga: Sejarah Bandung (46): Eddy Chatelin 1957, Pionir Musik Rock’n Roll (Crazy Rockers); Kelahiran Bandung, Nenek Moyang Padang

***Baca juga: Sejarah Kota Surabaya (25): Sech Albar--Ayah Ahmad Albar--Pionir Musik Gambus; Ucok AKA Harahap, Pionir Musik Rock

Alif Gustakhiyat dengan nama pop Alip Ba Ta di channel Youtube telah menyita perhatian publik musik Indonesia. Alip Ba Ta bermusik dengan gaya fingerstyle yang hanya mengandalkan gitar tunggal mampu membunyikan senar dengan sound yang variatif. Gaya yang memainkan senar gitar dengan variatif menjadi ciri khas Alip Ba Ta diantara para gitaris dunia. Lagu country Leaving On a Jet Plane yang diciptakan dan dinyanyikan John Denver mampu digubahnya sesuai jiwa lagu tersebut.

Dr. Karl Halusa, seorang doktor musik asal Austria pernah melakukan riset musik di Indonesia pada tahun 1936 (lihat De Sumatra post, 24-06-1936). Dr. Karl Halusa kaget menemukan begitu banyak alat musik dan begitu berlimpah nada-nada alami (unique). Dr. Karl Halusa dalm risetnya melakukan keliling Jawa dan Sumatra untuk merekam sound-sound yang menggetarkan pendengarannya. Sejak itulah musik Indonesia terdokumentasi dalam khasanah musik dunia (world music). Dalam hal ini Dr. Karl Halusa sengaja diundang para pegiat musik orang-orang Belanda di Indonesia. Orang-orang Belanda sendiri, meski masih malu-malu telah lama mengidentifikasi musik di berbagai wilayah di Indonesia yang sangat khas dan ragamnya sangat banyak.  

Lantas apa hubungannya Alif Gustakhiyat alias Alip Ba Ta dengan sejarah musik Indonesia? Alip Ba Ta telah membuka perhatian kita pada dunia musik. Sementara kita sudah sejak lama memiliki musik dunia (world music), tetapi tidak pernah mendunia. Alip Ba Ta dengan karya-karyanya diharapkan agar para musafir musik dunia kembali menyambangi Indonesia. Indonesia tidak hanya kaya sumber daya alam dan keindahan alam, juga Indonesia kaya dengan nada-nada musik dunia. Musisi Alif Gustakhiyat alias Alip Ba Ta di dalam permainan gitarnya (fingerstyle) telah mengadopsi nada-nada alamiah khas Indonesia. Oleh karena itu, sudah waktunya kita menyusun sejarah musik Indonesia, sejarah yang mempertemukan sejarah musik tradisi dengan sejarah musik dunia.

Sejarah Tangerang (19): Gudang Amunisi Jepang di Serpong dan Majoor Daan Mogot; Adakah Berita Pertempuran di Lengkong?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Nama Lengkong ada di Bandoeng juga di Tangerang. Pertempuran di Lengkong, Tangerang (di Serpong), peristiwa yang disebutkan terjadi tanggal 25 Januari 1946.menjadi peristiwa heroik dalam sejarah Tangerang. Sebanyak tiga perwira dan 34 orang taruna gugur. Salah satu perwira yang gugur, yang juga menjadi komandannya adalah Majoor Daan Mogot (yang kini namanya ditabalkan sebagai nama jalan utama antara Tangerang dan Grogol, Jakarta).

Lengkong di Serpong (Peta 1944)
Pasukan Sekutu/Inggris yang berbasis di Singapoera, setelah bernegosiasi dengan (Presiden) Soekarno masuk ke Indonesia dengan dua tugas utama: melucuti senjata militer Jepang dan membebaskan interniran Eropa/Belanda. Kedatangan pasukan Sekutu/Inggris dan tugasnya sudah dimaklumkan ke publik. Semua pihak sudah mengetahuinya. Dalam konteks inilah disebutkan dalam berbagai tulisan Majoor Daan Mogot datang ke pusat gudang amunisi Jepang di Serpong untuk melucuti senjata militer Jepang. Dalam peristiwa pelucutan senjata inilah disebutkan terjadi pertempuran: Sebanyak tiga perwira dan 34 orang taruna gugur.

Peristiwa terbunuhnya tiga perwira dan 34 orang taruna bukanlah peristiwa kecil. Bad news is good news. Pada tanggal kejadian ini sudah bercokol Belanda/NICA di Djakarta/Batavia. Surat kabar berbahasa belanda, Het Daghblad sudah terbit di Batavia sejak tanggal 23-10-1945. Surat kabar ini sangat intens memberitakan kejadian day to day di seputar Batavia. Kematian tiga perwira dan 34 orang taruna Indonesia oleh milter Jepang sudah barang tentu dapat menjadi amunisi yang bernilai tinggi bagi Belanda untuk menyoal seterunya Jepang. Untuk itu mari kita lacak di dalam surat kabar Het Daghblad.   

Rabu, 14 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (18): Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Tangerang; Situasi dan Kondisi di Djakarta dan Sekitar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Yang jelas tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Djakarta. Para pemuda telah ‘memaksa’ Soekarno dan Mohamad Hatta untuk membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak itulah secara defacto, Indonesia telah merdeka. Lantas bagaimana situasi dan kondisi di Tangerang pada seputar hari kemerdekaan tersebut? Pertanyaan ini tentu saja sulit dijawab berdasarkan berita-berita aktual.

Het dagblad edisi perdana 23-10-1945
Sejak berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, selama pendudukan militer Jepang nyaris tidak ditemukan informasi. Surat kabar di Eropa/Belanda juga sulit mendapat akses berita. Pemerintahan pendudukan militer Jepang juga sangat membatasi perihal pemberitaan. Data dan informasi di Tangerang juga sulit diperoleh. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Surat kabar Indonesia juga sulit diperoleh. Satu-satunya surat kabar yang mengabarkan berita dari ke hari hanya surat kabar yang terbit di Djakarta Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia yang baru terbit pertama kali pada tanggal 23-10-1945.   

Satu cara untuk mengetahui situasi dan kondisi di Tangerang adalah melalui pengumpulan data yang bersifat retrospekti. Suatu berita atau tulisan yang menceritakan keadaan waktu sebelumnya. Penduduk Tangerang dan tentu saja para interniran Eropa/Belanda di Tangerang akan memberikan kontribusi. Dalam hal ini surat kabar Het Dagblad di Batavia dan surat kabar lainnya di Belanda akan memberi kontribusi. Mari kita telusuri bagaimana situasi dan kondisi di Tangerang pada saat detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Tangerang (17): Detik-Detik Akhir Belanda di Tangerang; Minta Bantuan Doa Pribumi, Takut Akan Kehadiran Jepang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini  

Hampir tiga abad keberadaan Belanda di Tangerang sejak era VOC harus berakhir pada tahun 1942. Harta benda yang mereka miliki (termasuk penduduk!) mereka anggap telah hilang sia-sia. Sebelum itu semua lenyap, berita-berita akan adanya invasi Jepang ke Hindia Belanda makin hari makin menakutkan jiwa dan pikiran mereka. Orang-orang Belanda di Hindia takut diinternir Jepang dan yang paling ditakutkan setelah itu mereka jatuh melarat. Ketakutan mereka ini sangat alamiah karena mereka tidak punya bapak-ibu lagi: Vaderland Belanda sejak bulan Mei 1940 telah dianeksasi oleh Jerman dan keluarga kerajaan Belanda telah kabur ke Inggris.

Dolf  en Jou (Bataviaasch nieuwsblad, 04-03-1942)
Surat kabar di Batavia, Bataviaasch nieuwsblad, yang setiap mengunjungi pembaca dan meliput berita di Tangerang dengan terpaksa harus tutup. Surat kabar Bataviaasch nieuwsblad yang terbit kali pertama tanggal 01-12-1885 akan segera berakhir pula. Surat kabar yang telah berumur 57 tahun ini terakhir kali terbit pada edisi 04-03-1942. Tidak ada di dalam catatan editor akan tutup dan tidak terbit lagi esoknya. Hanya sebuah karikatur yang ada, berjudul: Dolf en Jou. Si Dolf (Jerman) yang melarikan diri ingin menjangkau Matahari (Jepang) lewat tiang bendera ditebang oleh Si Jou (Belanda) dengan kapak perang. Sebuah kiasan perseteruan Belanda dengan Jerman, dan kolaborasi Jerman dan Jepang. Pada headline edisi terakhir koran sore ini berjudul: Van ons Gevechtsfront: Japanners op Geen der Drie invalspunten Gevorderd: Tien Navy-O's en Twee Watervliegtuigen buiten gevecht: Voltreffers op Twee Transportschepen: De Strijd hedenmorgen in Vollen Gang: Australische Troepen voor het Eerst in Actie. Tentu saja masih terlihat karikatur dalam bentuk lain: Iklan masih ada! Business as usual.

Lantas seperti apa kejadian-kejadian yang ada di Tangerang jelang dan hingga pada tanggal 04-03-1942? Inilah fase paling menegangkan bagi orang-orang Belanda di Tangerang. Bahkan lebih menegangkan jika dibandingkan jelang pendudukan Prancis tahun 1795 dan jelang pendudukan Inggris tahun 1811. Pada tahun 1942 yang akan menyerang bukan Prancis atau Inggris, tetapi Jepang (yang bersekutu dengan Jerman). Mari kita telusuri surat kabar Bataviaasch nieuwsblad dari tanggal 04-03-1942 hitung mundur beberapa bulan ke belakang.    

Minggu, 11 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (16): Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat dan Indische Vereeniging di Belanda; Doktor (Ph.D) Indonesia Pertama


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
 

Tidak ada kata terlambat. Demikianlah adagium dalam bidang pendidikan. Dua wilayah terbelakang dalam bidang pendidikan di era Hindia Belanda, di Banten dan di Jogjakarta, mampu bangkit dan melesat jauh ke depan. Hussein Djajadinigrat mewakili penduduk Banten untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Terbukti berhasil, Hussein Djajadinigrat adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar akademik tertinggi (Doktor) pada tahun 1915.    

St. Casajangan (duduk tengah); H. Djajadiningrat (berdiri tengah)
Kota Serang adalah suksesi kota Banten. Di kota Serang, Pemerintah Hindia Belanda mengintroduksi pendidikan modern (aksara Latin) pada tahun 1851. Seorang guru Belanda, AG van Veldhuijzen dikirim ke Serang untuk mengajar. Hanya di Serang didirikan sekolah, satu-satunya di wilayah Residentie Banten. Bahkan di Residentie Batavia (Batavia, Buitenzorg, Tangerang dan Bekasi) belum diselengggarakan pendidikan modern bagi pribumi. Beberapa tahun sebelumnya pendidikan sudah diselengarakan di sejumlah kota seperti di Soerakarta dan Fort de Kock. Bersamaan dengan penyelenggaraan pendidikan di Afdeeling Serang juga diselenggarakan di Afdeeling Mandailing en Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan), Introduksi pendidikan modern inilah yang menjadi awal bagi penduduk pribumi menuntut ilmu meski jauh ke negeri Belanda.   

Bagaimana Hussein Djajadinigrat bisa meraih pendidikan setinggi itu? Sementara penyelenggaraan pendidikan di Residentie Banten terbilang tidak berkembang. Pertanyaan ini jelas tidak mudah dijawab. Akan tetapi jawaban pertanyaan ini tetap ditunggu. Itulah tantangan pertanyaan ini. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Tangerang (15): Edward Douwes Dekker alias Multatuli dan Max Havelaar; Membela Penduduk di Natal dan Lebak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Entah darah apa yang mengalir di dalam tubuh Edward Douwes Dekker apakah tricolor atau dwiwarna. Yang jelas, banyak orang Belanda membencinya dan tidak sedikit orang Indonesia yang menghormatinya. Pada saat orang lupa siapa Edward Douwes Dekker, Mochtar Lubis dan Sanusi Pane mengambil inisiatif di Jakarta tahun 1953 untuk memperingati 66 tahun meninggalnya Multatuli. Peringatan itu dilaksanakan di Jalan Pegangsaan Timur No 56, tempat dimana 17 Agustus 1945 membacakan Proklamasi Indonesia. Mochtar Lubis dan Sanusi Pane seakan ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia, Edward Douwes Dekker alias Multatuli layak dihormati. Edward Douwes Dekker telah berjuang demi penduduk Indonesia di Natal dan di Lebak.

Rumah Multatuli di Natal 1842 (foto 1910)
Orang-orang Belanda sinis ketika orang-orang Belanda pendukung Edward Douwes Dekker menabalkan judul buku Max Havelaar sebagai nama jalan di sejumlah kota di Hindia Belanda. Namun pada era pengakuan kedaulatan Indonesia, ketika nama jalan berbau Belanda diganti dengan Indonesia hanya dua kota yang mempertahankan nama Edward Douwes Dekker sebagai nama jalan yakni di kota Medan dan di Bandung. Nama buku (jalan Max Havelaar) diubah menjadi nama orang (jalan Multatuli). Edward Douwes Dekker alias Multatuli adalah saudara sepupu Ernest Douwes Dekker alias Dr. Setia Budi (satu dari tiga pejuang Tiga Serangkai).
  
Lantas bagaimana perjuangan Edward Douwes Dekker di Lebak? Itu pertanyaannya. Lalu apa hubungannya dengan Tangerang? Nah, itu dia. Untuk mencari kejelasannya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.