Rabu, 22 Januari 2020

Sejarah Kota Sibolga (4): Sejarah Bandara Pinangsori, Bermula di Padang Sidempuan; FL Tobing dan Sejarah Bandara di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sibolga dalam blog ini Klik Disini

Nama Ferdinand Lumban Tobing dan Bandara Pinangsori tidak terpisahkan. Peran FL Tobing pada awal pembangunan bandara di Pinangsori begitu penting. Itu terjadi pada era perang kemerdekaan. Celakanya, sebelum bisa difungsikan yang pertama menggunakan adalah NICA/Belanda. Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tepatnya pada saat hangat-hangatnya perlawanan Sumatra Tengah terhadap pusat (Djakarta), kembali FL Tobing mengurus perbaikan bandara di Pinang Sori. Sejak itulah bandara di Pinangsori secara bertahap dioperasikan. Kelak nama FL Tobing ditabalkan menjadi nama bandara di Pinangsori.

De Sumatra post, 04-11-1935
Pesawat pertamakali mendarat di Indonesia adalah di Medan. Dari Medan ke Singapura dan dari Singapura ke Batavia. Itu terjadi pada tahun 1924. Penerbangan pertama ini merupakan langkah radikal dalam transportasi Belanda (Nederland) dengan Indonesia (baca: Hindia Belanda). Jalur perdana Medan-Singapoera-Batavia ini kemudian menjadi jalur internasional dari Batavia ke Eropa/Belanda. Namun demikian, penerbangan domestik justru dimulai di Jawa baru kemudian menyusul di Sumatra. Rencana baru dimulai tahun 1926 yakni membangun jalur baru: Batavia, Telok Betong, Moeara Bliti, Pajacombo, Padang Sidempoean dan Medan terus ke Kota Radja. Namun dalam perkembangan rencana berubah dengan membuat dua rute (timur dan barat Sumatra). Pada tahun 1934 jalur Batavia-Padang akan diteruskan ke Medan melalui Padang Sidempoean dan (sekitar danau) Toba. Rencana pembangunan bandara Padang Sidempuan ini ternyata mendapat penolakan dari sebagian penduduk sebagaimana dilaporkan oleh De tribune: soc. dem. Weekblad, 16-12-1935. Alasannya jika ada bandara diPadang Sidempoean (yang hanya terbatas untuk orang Eropa/Belnada) akan mempromosikan penerbangan militer di wilayah, sementara di sisi lain penduduk banyak yang lapar dan kesusahan.

Menjelang selesainya bandara di Padang, pada tahun 1938 kembali muncul gagasan membuat bandara penghubung untuk jalur Batavia, Padang dan Medan, tidak lagi di Padang Sidempoean tetapi dipilih di Sibolga (lihat De Sumatra post, 23-04-1938). Namun sebelum rencana baru benar-benar dilaksanakan mulai terjadi pendudukan militer. Di Sibolga terjadi pemboman militer Jepang pada tanggal 20 Janari (lihat De Sumatra post, 21-01-1942). Rencana bandara kembali masuk laci (selama pendudukan militer Jepang). Untuk lebih memhami secara keseluruhan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Kota Sibolga (3): Asal Usul Nama dan Hari Jadi Kota; Sibolga, Sibogha, Siboga, Sibogah, Sibalga dan [Sie]bolga


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sibolga dalam blog ini Klik Disini

Nama Sibolga dijadikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1843 sebagai nama ibu kota Residentie Tapanoeli. Nama ibu kota ini mengambil nama kampong Sibolga, karena kota baru dibangun di dekat kampong Sibolga. Sebelum ibu kota dipindahkan ke Sibolga, ibu kota berada di (kampong) Tapanoeli. Nama kampong Tapanoeli, meski tidak lagi menjadi ibu kota, tetapi namanya ditabalkan sebagai nama Residentie tahun 1843.

Sibolga, Residentie Tapanoeli berada di wilayah Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda di Pantai Barat Sumatra tahun 1821, ibukota berada di (kampong) Tapanoeli, suatu kampong yang sudah eksis sejak era Inggris. Lalu kemudian ibu kota direlokasi ke (kampong) Padang di kaki gunung Padang sisi timur sungai Batang Araoe. Dalam perkembangannya, nama ibu kota (Padang) dijadikan nama wilayah: Residentie Padangsche Benelanden (ibu kota di Padang) dan Residentie Padangsche Bovenlanden (ibu kota di Fort de Kock). Pada tahun 1837 wilayah Pantai Barat Sumatra dibentuk menjadi provinsi dengan mengangkat AV Michiels sebagai Gubernur. Pada tahun 1845 Provinsi Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga residentie: Padangsche Benelanden (ibu kota di Padang), Residentie Padangsche Bovenlanden (ibu kota di Fort de Kock) dan Tapanoeli (ibu kota di Sibolga). Kelak tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Provinsi Sumatra’s Westkust menjadi berdiri sendiri. Pada tahun 1915 Provinsi Sumatra’s Westkust dilikuidasi dan dua residentie yang tersisa digabung lalu dijadikan setingkat residentie dengan nama baru: West Sumatra (bukan Sumatra’s Westkust) beribu kota di Padang.

Lantas bagaimana asal-usul nama Sibolga? Itu satu hal. Hal lain lagi yang sangat penting adalah soal penulisan nama Sibolga. Nama Sibolga pada era Inggris sudah eksis. Namun dalam era Pemerintah Hindia Belanda, penulisan nama Sibolga banyak ragamnya. Keragaman penulisan nama Sibolga ini sangat penting. Hal ini karena mempengaruhi dalam pencarian data dalam penulisan sejarah Sibolga. Sehubungan dengan itu, kapan hari jadi Kota Sibolga? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 21 Januari 2020

Sejarah Kota Sibolga (2): Nama-Nama Jalan Tempo Dulu di Kota Sibolga; Jalan Tertua Heerenstraat (Kini Jalan Brigjen Katamso)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sibolga dalam blog ini Klik Disini

Pada masa kini, jaringan jalan di kota bagaikan jaring laba-laba. Begitu banyaknya ruas jalan di dalam kota sulit menentukan kota bermula dimana. Bagi pendatang identifikasi jalan sangat penting, juga tentu bagi warga kota. Kegunaan mengidentifikasi jalan adalah untuk menentukan posisi GPS kita sedang berada di dalam kota. Penanda navigasi terpenting dalam menentukan posisi GPS adalah mengetahui jalan tertua di dalam kota. Jalan tertua adalah petunjuk awal bagaimana kota bermula.

Kota Sibolga (Peta 1906) dan Kantor Residen (1867)
Jaringan jalan di Kota Jakarta bermula di jalan Kali Besar (Kota), suatu jalan yang terbentuk karena kanal Kali Besar. Di Bandoeng jaringan jalan bermula dari jalan Postweg (kini jalan Asia Afrika) dan Asisten Residenweg (kini jalan Braga). Di Medan jaringan jalan bermula di Cremerstraat (kini jalan Balai Kota/Putri Hijau) dan Deli Mij straat (kini jalan M Yamin). Di Depok jalan bermula di Kartiniweg (jalan Kartini) dan Kerkstraat (kini jalan Pemuda). Di Padang Sidempuan jaringan jalan bermula di Julianastrat (jalan Jend. Sudirman) dan Asisten Residenstraat (jalan Gatot Subroto).

Lantas jalan apa yang menjadi jalan tertua di Kota Sibolga? Dalam berbagai tulisan disebuit jalan Zainul Arifin dan jalan S Parman yang sekarang. Itu jelas keliru. Jalan tertua sebenarnya adalah Heerenstraat (kini jalan Brigjen Katamso). Dari namanya (Heeren) menunjukkan nama jalan utama di masa lampau. Ketika kota Sibolga mulai dibangun pada tahun 1842 jalan Katamso inilah yang pertama dibangun (lihat Peta 1867). Bagaimana selanjutnya? Jumlah jalan yang terus bertambah adalah gambaran dari perrkembangan kota darimana menuju kemana. Itulah arti penting memahami jaringan jalan dalam menyusun sejarah kota. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 20 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (35): Pemusik Indonesia, Dari Follower Menjadi Leader; Alip Ba Ta Buka Jalan Musik Dunia Maya


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Pada era dunia maya sekarang ini ada yang disebut follower dan ada juga yang disebut leader. Dalam musik dunia (world music) dan dunia musik, fingerstyler Alip Ba Ta dapat dianggap sebagai leader Indonesia. Paling tidak Alip Ba Ta sudah memiliki follower di seluruh belahan dunia. Bagaimana Alip Ba Ta menjadi leader sulit dijelaskan. Hukum alam(iah) berlaku, hukum alam yang mengatur. Dalam bahasa ilmu sosial, yang mengatur disebut invisible hand (diatur oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan). Dalam bahasa dunia maya yang sekarang, bukan ‘hukum rimba’ yang berlaku, tetapi ‘hukum pasar’ di dunia maya. Tentu saja situasi dan kondisi masa kini berbeda dengan tempo doeloe.

Dulu, ketika Apollo, pesawat ruang angkasa akan diluncurkan menuju bulan sejumlah hal dipersiapkan. Pilot tentu saja sudah dipilih Neil Amstrong yang dibantu Michael Collins dan Edwin Aldrin. Dalam persiapan itu dari sejumlah elemen-elemen bumi, hanya elemen musik yang belum dipilih. Kandidat musik yang akan dibawa ke bulan adalah musik klasik (pemilik portofolio tertinggi). Sejak itulah musik dunia, musik klasik diperdengarkan di bulan. Apa hasilnya? Tidak pernah dilaporkan. Lantas bagaimana dengan musik tradisi kita macam gamelan, degung dan gondang? Tentu saja tidak diperhitungkan. Akan tetapi, bumi terus berputar mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi hingga ini hari. Sementara di bumi, kehidupan berputar bagai roda pedati ada kalanya di bawah dan ada juga waktunya di atas (exchange: take and give). Hukum alam perputaran terus bekerja yang dalam bahasa bumi diatur oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (Invisible Hands). Semakin kencang tingkat perputaran (exchange) itu, putarannya seakan diam (seakan tidak berputar). Situasi inilah yang disebut titik keseimbangan (equilibrium) yang baru. Pada era dunia maya yang sekarang akan terbentuk ekuilibrium yang baru, tidak terkecuali dalam hal musik. Musik klasik adalah masa lampau, musik pop akan segera berakhir dan musik tradisi akan eksis di masa dekat (ingat Javaansche Rhapsody door Paul Seelig lebih dari satu abad yang lalu, 1909). Dalam soal musik tradisi, Alip Ba Ta telah memulainya. Leader tidak lagi ditentukan oleh tingkat portofolio yang tinggi tetapi sangat ditentukan oleh talenta (bakat-bakat yang tidak kelihatan). Dalam bahasa viral, untuk menciptakan pesawat terbang di udara tidak hanya insinyur.

Pada masa lampau, pemusik (musisi) kita cenderung follower. Arus utama musik dunia adalah musik Eropa/Amerika, sebut saja misalnya musik klasik, musik blues dan musik rock. Musik kroncong produk asli Indonesia sulit bersaing dengan musik-musik yang telah mendunia tersebut. Alih-alih memajukan musik kroncong, justru pemusik kita hanyut dengan musik-musik Eropa/Amerika. Meski demikian (cara belajar meniru), faktanya itulah awal musik modern Indonesia. Dari proses peniruan itu, lahirlah penyanyi-penyanyi berbakat dan muncul grup-grup band seperti Koes Plus, AKA Group, The Mercy’s, The Lloyd, Panber's, Bimbo dan sebagainya. Di antara genre-genre musik yang populer terselip satu genre musik produk alam Indonesia, yakni dangdut. Lantas bagaimana itu semua terjadi secara estafet hingga kita menemukan leader musik Indonesia Alip Ba Ta? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.    

Minggu, 19 Januari 2020

Sejarah Kota Sibolga (1): Pembangunan Kota Sibolga dan Pembentukan Residentie Tapanoeli (1845); Riwayat Pulau Poncan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sibolga dalam blog ini Klik Disini

Kota Sibolga adalah kota tua. Sebelum terbentuk kota Medan, kota Sibolga sudah eksis sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli. Kota Sibolga dibangun pada tahun 1842 sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli. Penetapan Sibolga sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli, bersamaan dengan penetapan Panjaboengan sebagai ibu kota Afdeeling Mandailing en Angkola. Residen Tapanoeli berkedudukan di Sibolga dan Asisten Residen Mandailing en Angkola berkedudukan di Panjaboengan. Tempat kedudukan pejabat tertinggi di suatu wilayah menjadi ibu kota (hoofdplaat). Pada tahun 1870 ibu kota Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli dipindahkan ke Padang Sidempoean.

Ibu Kota Pantai Barat di Pulau Pocan (1821) dan Kota Sibolga (1867)
Sebagaimana di tempat lain, Pemerintah Hindia Belanda membangun ibu kota tidak mengakuisisi (per)kampong(an) lama, tetapi membangun baru di suatu area kosong yang tidak jauh dari kampong lama. Prinsip ini dijalankan karena penduduk asli (pribumi) adalah patner. Model pembentukan serupa ini bahkan sudah diterapkan seperti di Batavia, Semarang, Soerabaja, Padang, Bandoeng, Medan, Panjaboengan dan Padang Sidempoean. Ibu Kota wilayah Pantai Barat Sumatra pernah di (kampong) Tapanoeli (1821).  

Bagaimana sejarah Kota Sibolga? Tentu saja belum pernah ditulis secara komprehensif. Apa hebatnya sejarah Kota Sibolga? Itulah hebatnya. Tidak jauh dari Kota Sibolga yang sekarang di sebuah pulau, Pontjan Ketjil pernah menjadi pos perdagangan penting di wilayah Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) pada era Inggris. Tidak jauh pula dari Sibolga terdapat kota Barus, kota kuno. Dalam hal ini seperti dapat dibaca dalam blog ini, penulisan sejarah Kota Sibolga adalah bagian dari rangkaian penulisan sejarah kota-kota di Indonesia seperti serial artikel sejarah Jakarta, Semarang, Soerabaja, Padang, Medan, Bandoeng dan lainnya. Untuk memulai memahami sejarah Kota Sibolga, seperti kota yang lainnya kita perlu menelusuri sumber-sumber tempo doeloe. Mari kita mulai menyusun sejarah Kota Sibolga dengan artikel pertama.

Sabtu, 18 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (34): Ni Hoe Kong, Konglomerat Asal Cina Pertama; Ini Lho Konglomerat Tionghoa Sejak Era VOC


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam daftar orang-orang terkaya (konglomerat) Indonesia dewasa ini hampir seluruhnya adalah orang Tionghoa. Tentu saja tidak di Indonesia tetapi juga ditemukan di Hong Kong, Taiwan dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Mereka ini bukan warga negara Cina tetapi sudah menjadi warga negara setempat. Aset mereka yang besar telah mengikat mereka menjadi warga negara tempatan. Di Indonesia (baca: Hindia) orang Cina pertama terkaya adalah Ni Hoe Kong.

Ni Hoe Kong adalah orang terkaya pertama di Hindia pada era VOC. Ni Hoe Kong tinggal di Batavia. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa yang muncul sebagai konglomerat semakin bertambah di berbagai tempat seperti di Soerabaja, Semarang dan Medan. Mereka yang berbasis di Hindia (Belanda) dan Semenanjung termasuk Singapoera (Inggris) ini terhubung dengan Tiongkok karena mereka memiliki dua kewarganegaraan (Tiongkok dan Belanda/Inggris). Hal ini karena waktu itu masih menganut sistem bertatanegara diizinkan untuk memiliki dua kewarganegaraan.   

Siapa Ni Hoe Kong dan bagaimana Ni Hoe Kong membangun bisnisnya menjadi inspirasi bagi orang-orang Tionghoa lainnya untuk menjadi konglomerat. Mereka tentu saja tidak mudah untuk meraihnya. Mereka kerja keras berusaha di tengah-tengah para pengusaha Eropa/Belada dan juga berusaha keras diantara kelemahan penduduk pribumi. Pemerintah mendukung mereka. Pemerintah Hindia Belanda tidak membedakan Eropa, Tionghoa, Arab dan pribumi asal bersedia (bekerjasama) untuk membangun ‘jalan’ dan ‘jembatan’. Bagaimana itu berproes? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Konglomerat Tionghoa yang sekarang di Indonesia adalah garis continuum antar gnereasi sejak era VOC.

Sejarah Menjadi Indonesia (33): Sebut Aku Tionghoa, Dia Adalah Orang Tiongkok; Sejarah Awal Orang Cina di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah orang-orang Cina di Indonesia (baca: Hindia) sudah sedari doeloe, bahkan jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa. Namun penggunaan nama Tionghoa dan Tiongkok belumlah lama. Penggunaan terminologi baru pada era Hindia Belanda sehubungan dengan gerakan orang-orang Cina untuk menjadi Indonesia (sebagaimana orang-orang Arab untuk menjadi Indonesia).

Dalam hal ini kita tidak sedang membahas klain Pemerintah Cina terhadap laut Natuna Utara, tetapi soal terminologi Tionghoa dan Tiongkok. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 telah mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keputusan tahun 2014 ini ingin mengembalikan sebutan Tionghoa untuk masyarakat Cina dan Tiongkok untuk negara Cina. Dalam bahasa sehari-hari dari sudut pandang Indonesia: ‘Sebut aku Tionghoa, dia adalah orang Tiongkok’.   

Bagaimana sejarah introduksi dan penggunaan nama Tionghoa dan Tiongkok tentu saja sudah pernah ditulis. Namun tentu saja itu masih belum cukup. Memahami sejarah introduksi dan penggunaan nama Tionghoa dan Tiongkok diharapkan akan memperkaya pemahaman kita tentang gerakan menjadi Indonesia di era Hindia Belanda. Bagaimana itu bisa terwujud? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 16 Januari 2020

Sejarah Bandung (45): Fakta Sejarah Radio Malabar, Diresmikan 5 Mei 1923; Misteri Kematian Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

Di Bandung tempo doeloe terdapat stasion radio. Lokasi stasion radio berada di pegunungan Malabar. Stasion radio terkuat di dunia ini diresmikan oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock pada tanggal 5 Mei 1923. Namun sebelum diresmikan, pada tanggal 1 Mei antena stasion radio disebutkan disambar petir. Oleh karenanya dalam peresmian tanggal lima tersebut, Gubernur Jenderal hanya bisa mengirim telegram kepada Ratu dan Menteri Koloni (lihat De Preanger-bode,  05-05-1923). Apakah telah terjadi sabotase? Beberapa bulan sebelum proyek diresmikan terbit peraturan pemerintah bahwa penerimaan pesan oleh radio-radio amatir dilarang dan akan dipidana.

Stasion Malabar, CJ de Groot dan monumen di Bandoeng
Orang penting di belakang maha karya stasion radio Malabar ini adalah Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot. Dalam pembangunan stasion radio ini, sang arsitek de Groot didukung habis oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock. Tidak lama setelah berakhirnya jabatan Dirk Fock sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1826, Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot dikabarkan meninggal mendadak tanggal 1Agustus 1927. Kematian de Groot dianggap suatu misteri. Meski demikian, banyak pihak yang mengapresiasi Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot sebagai orang Belanda yang berhasil menghubungkan Belanda dan Hindia. Suatu komite telah dibentuk untuk penggalangan dana untuk membangun monumen di Bandoeng (lihat Haagsche courant, 29-12-1927).

Sejarah stasion Malabar tentu saja sudah banyak ditulis. Namun diantara tulisan-tulisan tersebut banyak keterangan yang berbeda dengan fakta dan informasi yang sebenarnya. Siapa sesungguhnya Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot kurang terinformasikan secara baik. Padahal maha karya stasion Malabar dan si jenius de Groot tidak terpisahkan satu sama lain. Sehubungan dengan itu, untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri (kembali) sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 15 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (32): Hubungan Jepang dan Indonesia Tidak Pernah Putus; Parada Harahap dan Akhir Tragis Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Secara defacto tidak pernah putus hubungan antara Jepang dan Indonesia. Kekalahan Jepang terhadap Sekutu (Eropa dan Amerika Serikat) hanya menyebabkan Jepang tidak bisa bernuat banyak ketika Belanda (NICA) kembali tahun 1945. Secara dejure, pasca perang kemerdekaan, ketika pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, dibubarkannya RIS dan kembalinya ke kittah NKRI (1950) serta kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahan Belanda (1957), Presiden Soekarno mengundang kembali ‘kawan lama’ Jepang yang diresmikan sebagai Penandatanganan Perjanjian Perdamaian antara Jepang dan Republik Indonesia pada bulan April 1958. Disebut ‘kawan lama’ karena faktanya tidak pernah pemimpin Indonesia berselisih dengan pemimpin Jepang (hanya Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang membenci Jepang).

Hubungan baik bangsa Indonesia dan bangsa Jepang dimulai ketika, seorang revolusioner Indonesia yang anti Belanda, Parada Harahap memimpin rombongan tujuh revolusioner Indonesia berkunjung ke Jepang pada tahun 1933. Parada Harahap di Jepang disambut bagaikan raja, sementara di Indonesia orang-orang Belanda serasa kebakaran jenggot. Media-media Jepang menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press. Selain Parada Harahap, rombongan tujuh revolusioner ke Jepang tersebut antara lain adalah pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan, Abdullah Lubis; ekonomi Dr. Sastra Widagda, Ph.D, guru di Bandoeng dan Drs. Mohamad Hatta (yang belum lama pulang studi dari Belanda). Kepergian tujuh revolusioner Indonesia ini karena Ir. Soekarno ditahan dan akan diasingkan. 

Pemimpin Indonesia hanya berselisih dengan Belanda. Ketika Jepang menduduki Tiongkok, Pemerintah Hindia Belanda mendorong orang Cina di Indonesia untuk membantu Tiongkok. Sementara Soekarno dan Mohamad Hatta di pengasingan, pemimpin Indonesia menyambut baik kerjasama yang ditawarkan Jepang pada tahun 1938. Dalam program Jepang ini, MH Thamrin diproyeksikan sebagai pemimpin Indonesia. KonsulatJepang di Batavia mulai mengambil langkah berpartisipasi dalam pembentukan surat kabar berbahasa Melayu (sebagai corong propaganda Jepang). Bagaimana kisah itu berlangsung sebelum terjadi pendudukan militer Jepang? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 14 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (31): Sejarah Radio, Radio Republik Indonesia (RRI); Bataviasche Radio dan Tokyo Hoso Kyoku


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Radio Indonesia tidaklah dimulai dari Radio Republik Indonesia (RRI) tetapi jauh sebelum RRI didirikan tahun 1945. RRI adalah ujung dari sejarah perjuangan radio di Indonesia. Lahirnya RRI adalah hasil proses belajar orang-orang Indonesia sejak era kolonial Belanda hingga era pendudukan militer Jepang. Semua itu bermula ketika perhimpunan radio dibentuk tahun 1925 yang disebut Bataviasche Radio Vereeniging di Batavia (kini Jakarta).

Sementara itu Tokyo Hoso Kyoku, radio Jepang pertama yang kali pertama mengudara pada tangga 22 Maret 1925 di Tokyo, Jepang. Tokyo Hoso Kyoku dan dua radio (hoso kyoku) yang muncul berikutnya di Osaka dan Nagoya bergabung dengan membentuk radio nasional tahun 1925 dengan  nama Nippon Hoso Kyokai, (Broadcasting Corporation of Japan, semacam RRI sekarang). Pada saat pendudukan militer Jepang, Nippon Hoso Kyokai (NHK) mendirikan cabang di Bandoeng. Ketika kemerderkaan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 crew Radio Bandoeng Hoso Kyoku berinisiatif menyiarkan teks proklamasi yang dikirim oleh Adam Malik Batubara dari Djakarta yang dibawa oleh Mochtar Lubis ke Bandoeng dengan naik kereta api. Pada pukul 19 malam, penyiar Bandoeng Hoso Kyoku Sakti Alamsyah Siregar membacakan teks tersebut sehingga kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat ditangkap (didengar) di Jogjakarta dan Australia. Sakti Alamsyah dalam pengantarnya, memulai intro sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik Indonesia alias RRI. Inilah awal sejarah Radio Republik Indoensia (RRI) yang terus eksis hingga ini hari.

Lantas bagaimana perjuangan orang Indonesia belajar dan memperjuangkan radio bagi rakyat Indonesia tentu saja belum pernah di tulis. Itu bermula ketika orang-orang Indonesia ingin memasukkan konten pribumi di radio Bataviasche Radio Vereeniging yang hanya cenderung bernuansa Eropa/Belanda sementara sasaran radio untuk semua penduduk. Proses belajar dan berjuang ini pada akhirnya diselesaikan di Radio Bandoeng Hoso Kyoku pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagaimana itu semua berlangsung? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.