Sabtu, 06 Juni 2020

Sejarah Pulau Bali (3): Perang Bali 1846-49 dan AV Michiels; Perang Jawa (1825-30), Perang Padri Bonjol dan Portibi (1833-38)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Tidak ada yang ditakutkan AV Michiels dalam hidupnya, kecuali satu hal: masa tuanya terganggu. AV Michiels lahir di Maastricht, Belanda, 30 Mei 1797 datang ke Hindia untuk menguji keberanian, meraih kehormatan dan menikmati kemakmuran. Semua tahapan mencapai tujuan hidup itu, AV Michiels telah melewatinya dengan sukses. Apa yang mengganggu hidup AV Michiels di akhir masa tua itu? Perang Bali. AV Michiels ini tidak ada kaitannya dengan fans Bali United yang menginginkan Diego Michiels bergabung dengan Bali United FC.

AV Michiels tidak sendiri. Riwayat Alexander van der Hart mirip dengan komandannya, AV Michiels. Alexander van der Hart adalah militer profesional yang terus setia membantu AV Michiels dalam Perang Palembang (1819-1821), Perang Jawa ((1825-1830) dan Perang Padri di Bondjol dan Portibi (1833-1838). Sukses komandan dan anak buah ini seakan menjadi satu paket ketika Kolonel AV Michiels dipromosikan menjadi Gubernur pertama Pantai Barat Sumatra 1838 dan Majoor Alexander van der Hart menjadi Residen pertama Tapanoeli 1845. Alexander van der Hart adalah anak buah terbaik AV Michiels. Alexander van der Hart adalah komandan detasemen yang berhasil masuk ke jantung pertahanan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol (1837). Tidak sampai di situ, komandan dan anak buah ini dari benteng Portibi juga berhasil menaklukkan benteng Daloe-Daloe yang dipimpin Tuanku Tambusai (1838).

Kolonel AV Michiels telah mendapatkan semuanya yang dapat diraih oleh seorang militer profesional. Kolonel AV Michiels promosi kenaikan pangkat menjadi Majoor Generaal bersamaan dengan jabatannya sebagai status Residen menjadi Gubernur di Pantai Barat Sumatra (Province Sumatra’s Westkust). Satu kehormatan besar atas prestasinya Guibernur Jenderal mendirikan patung besar dirinya di depan Markas Militer di Weltevereden (lapangan Banteng Jakarta yang sekarang). AV Michiels tidak terganggu oleh Perang Bali. AV Michiels terganggu karena tidak ada komandan militer yang berhasil menaklukkan Bali. Lantas apakah pasca turun tangan dalam Perang Bali, AV Michiels masih terganggu masa tuanya? Tidak lagi. Mengapa? Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pulau Bali (2): Bali, Klein Java pada Era VOC; Perseteruan Belanda, Portugis, Prancis, Inggris dan Perang di Selat Bali


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Setelah kontrak Belanda pertama dengan (kerajaan) Bali tahun 1597 tidak ada aktvitas Belanda yang cukup berada di Bali. Emanuel Rodenburgh (bersama Jacob Claesz van Delft, dan Jan Janes de Roy) yang tinggal selama dua tahun di Bali (1597-1599) tentu saja sudah mengenal secara mendalam potensi ekonomi dan perdagangan di Bali. Tampaknya kehadiran Belanda di Bali secara kebetulan (random), di luar rencana, terpaksa dan tidak ada pilihan. Arus perdagangan utama berada di titik utama di Atjeh, Banten dan Maluku. Meski demikian, Belanda masih menganggap Bali suatu kenangan, lebih-lebih jalur perdagangan Belanda antara Banten-Maluku masih tetap menggunakan jalur jalur temuan mereka Bali, Lombok, Sumbawa, Timor, Banda dan Maluku (Malaka, Gowa, Boeton, Maloekoe adalah jalur utama Portugis).

Pulau Bali (Peta 1724)
Pada tahun 1619 Belanda (VOC) di pulau Ontong Java melakukan invasi ke Soenda Kalapa dan membuat perjanjian dengan pangeran Kerajaan Jacatra. Sejak ini Jan Pieterszoon Coen dengan jabatan Gubernur Jenderal mulai membangun benteng (Kasteel) dan membangun kota (Batavia). Dengan demikian pos perdagangan utama dipindahkan dari Amboina ke Batavia Jabatan Gubernur diposisikan di Amboina. Oleh karena Batavia-Amboina tetap melalui jalur tradisional via Bali, maka Bali tetap dikenang dan tentu saja tetap ada hubungan diplomatik (politik) dengan Radja Bali tetapi tidak dalam urusan ekonomi perdagangan. Bali sebagai teman lama Belanda tetap dianggap penting, meski Amboina telah diduduki Belanda, tetapi Timor tetap dianggap Belanda sebagai hak Portugis (tidak menarik buat Belanda). Persaingan antara Belanda dan Portugis menjadi faktor penting hubungan Bali-Belanda (VOC) tetap dijaga. Bali dan Timor adalah dua tempat di garis terluar dimana dua bendera Eropa dikerek ke puncak tiang.

Lantas jika tidak ada aktivitas Belanda yang penting (urusan perdagangan) di Bali, apa saja yang terjadi di Bali dalam hubungannya dengan kepentingan Belanda? Kontrak yang dilakukan Belanda dengan Radja Bali tahun 1597 dengan menempatkan Emanuel Rodenburgh dan dua lainnya tetap menjadi dasar legitimasi hubungan bilateral antara Belanda dan Bali. Dengan kata lain, hubungan Belanda-Bali di Bali bukanlah ruang kosong yang tidak memiliki dimensi waktu. Nah, untuk menambah pengetahuan tentang situasi dan kondisi di Bali (selama era VOC), mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 05 Juni 2020

Sejarah Pulau Bali (1): Sejarah Awal Pulau Bali Bukan di Denpasar; Ekspedisi Cornelis de Houtman (1595) dan Rodenburgh (1597)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
 

Sejarah modern Bali tidak bermula di Denpasar. Nah, itu dia. Lalu dimana? Perlu menggali data lebih dalam dan menganalisis lebih luas. Apa keutamaan Bali pada masa kini? Tidak perlu dijawab, semua orang sudah mengetahuinya. Tapi, apa hebatnya Bali di masa lampau? Sangat beragam jawabannya. Namun jika Cornelis de Houtman dihubungkan dengan Bali, nama Bali termasuk sejarah tua di Indonesia. Ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) dapat dianggap sebagai titik tolak penulisan sejarah modern Bali.

Raja Bali dan Ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597)
Serial Artikel Sejarah Bali adalah bagian dari penulisan sejarah kota-kota dan tempat-tempat penting di Indonesia. Dalam blog ini sudah dimulai dengan sejarah Depok, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bogor, Sukabumi, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya. Sebelum memasuki sejarah Bali, juga sudah dimulai dengan sejarah Makassar, Ambon, Palembang, Padang, Medan, Bukittinggi, Air Bangis, Sibolga dan Padang Sidempuan. Tentu saja, setelah sejarah Bali ke Lombok, Manado, Kalimantan, Pekanbaru, Aceh dan Banten. Seperti kata ahli sejarah bahwa sejarah adalah narasi fakta dan data, maka metode itu yang digunakan dalam penulisan Sejarah Bali. Dalam penyajian serial artikel dilakukan secara tematik dan urutannya acak (random) agar pembaca tidak sekadar membaca tetapi turut meluangkan waktu dalam (mem)belajar(i) Sejarah Bali (yang sebenarnya). Sejarah Indonesia harus dibangun dengan pondasi yang kaut. Sejarah Bali salah satu dari pondasi tersebut.

Orang Eropa pertama yang tinggal di Bali adalah Rodenburgh. Tapi jangan salah sangka dulu. Yang jelas bukan Overste Rodenburgh, komandan militer Bali ketika Jepang melakukan invasi tahun 1942 tetapi Rodenburgh pada tahun 1597. Itu berarti sejarah modern Bali dimulai dari Rodenburgh dan juga berakhir di tangan Rodenburgh pula. Nama Rodenburgh jaman kuno adalah bagian dari ekspedisi Cornelis de Houtman (yang dimulai dari Texel 1595). Ketika Cornelis de Houtman dan sisa rombongannya kembali ke Belanda, Rodenburgh ditinggal sorangan di Bali (sebagai penghubung) untuk ekspedisi Belanda berikutnya. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 03 Juni 2020

Sejarah Padang Sidempuan (8): Marga dan Transformasi Pembentukan Marga Secara Formal; Sejarah Marga-Marga Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
 

Pada masa ini marga menjadi kata generik untuk nama keluarga (family name). Tidak hanya untuk orang Batak, untuk orang Arab, orang Tionghoa tetapi seluruh bangsa Indonesia. Penggunaan nama marga di Indonesia secara administratif  awalnya muncul pada era kolonial dan semakin intens dipraktekkan di Indonesia. Namun demikian, jika diperhatikan ke belakang, asal-usul pembentukan marga berbeda satu sama lain.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) marga diartikan secara berbeda-beda. Secara khusus marga diartikan sebagai berikut: (1) binatang liar (tidak diternakkan atau dipelihara) seperti terminologi margasatwa; (2) kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal; (3) bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra Selatan); (4) satuan taksonomi di antara suku dan jenis, serta merupakan wadah yang mempersatukan jenis-jenis yang erat hubungannya, huruf depan nama marga ditulis dengan huruf kapital dan selalu tercantum dalam nama jenis; (5) jalan dasar yang dipakai sebagai pegangan hidup, bekerja, dan sebagainya seperti saptamarga dan jasamarga. Dalam artikel ini hanya fokus pada no (2).

Praktek penggunaan marga sesungguhnya secara sosial jauh sebelum orang-orang Eropa/Belanda mempopulerkannya diantara orang-orang non-Eropa di Indonesia (baca: Hindia Belanda). Namun, bagaimanapun, orang-orang Eropa/Belanda yang mendorong kebutuhan marga di belakang nama untuk orang-orang non-Eropa terutama Arab, Tionghoa dan pribumi. Lalu muncul gagasan pembentukan marga baru (yang harus disahkan oleh pemerintah) termasuk diantara orang-orang yang Batak yang telah memiliki marga. Nah, untuk menambah pengetahuan mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 02 Juni 2020

Sejarah Yogyakarta (41): Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito, Defacto Raja Sejak Muda; Sri Sultan Hamengkubuwana X


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito, kelak dikenal sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana X (sekarang). Sultan Hamengkubuwana IX sang ayah dan Sultan Hamengkubuwana IX sang anak adalah dua pemimpin modern di Kesultanan Djogjakarta. Antara ayah dan anak hanya beda-beda tipislah, 11, 12. Secara dejure Hamengkubuwana IX masih menjadi sultan hingga tahun 1988 (sejak 1940), tetapi secara defacto Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sejak 1973 sudah menjadi Sultan Yogyakarta. Apa, iya?

Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito
Pada tahun 1965 adalah tahun paling kritis di Indonesia. Terjadi peristiwa penting di Indonesia yang puncaknya disebut G 30 S/PKI. Dimana-mana di seluruh Indonesia terjadi ketegangan dan bahkan kerusuhan. Jenderal Abdoel Haris Nasoetion nyaris terbunuh di rumahnya, tetapi tak disangka anaknya Ade Irma Soerjani yang menjadi korban. Secara psikologis, tamat riwayat Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (dihentikan). Saat itu Presiden Soekarno yang merangkap Perdana Menteri hanya sendiri (tidak ada Wakil Presiden, sejak 1956) namun masih dibantu oleh generasi 45 (Republiken). Hamengkubuwana IX sebagai Menteri/Ketua BPK. Menteri-menteri lainnya, antara lain (yang berasal dari Mandailing en Angkola) adalah Adam Malik (Menteri Koordinator Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin); Arifin Harahap (Menteri Negara bidang perdagangan); Jenderal TNI Abdoel Haris Nasoetion (Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata). Saat terjadi genting, di Djokjakarta aman dan terkendali. Mengapa bisa aman? Keris poesaka Kiai Selamat dibawa berkeliling Djokjakarta untuk menangkal kudeta komunis. (lihat De Volkskrant, 22-04-1967). Siapa yang memerintahkan Kiai Selamat dikeluarkan untuk menjaga kota dan kraton sementara Hamengkubuwana IX berada di Djakarta? Saat itu, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sudah berumur 19 tahun (belum lama kuliah di Universitas Gadjah Mada). Foto (De Volkskrant, 22-04-1967).

Bendoro Raden Mas (BRM) Herdjoeno Darpito gelar KPH Mangkubumi pada tahun 1973 sudah berumur 27 tahun. Saat itu, sang ayah, Hamengkubuwana IX diangkat menjadi Wakil Presiden RI (kosong sejak Mohamad Hatta mengundurkan diri tahun 1956). Tahun 1973 adalah era baru Wakil Presiden. Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden (1973-1978) dilanjutkan oleh Adam Malik (1978-1983). Dua wakil presiden pertama era baru ini adalah generasi 1945 (Djokjakarta). Lantas seperti apa sejarah awal Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito yang melanjutkan jabatan historis Sultan Hamengkubuwana IX? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Sejarah Yogyakarta (40): Dr Parlindoengan Loebis, Sahabat Setia Goesti Raden Mas Dorodjatoen; Bebas Kamp NAZI ke Djokja


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Keluarga Loebis terdapat dimana-mana. Tokoh-tokohnya tidak hanya terkenal dan pintar juga berani. Tokoh Loebis di Djokjakarta tidak hanya Kolonel Zoelkifli Loebis dan Kapten Karim Loebis ada juga yang bernama Parlindoengan. Ketika Goesti Raden Mas Dorodjatoen diterima di fakultas hukum di Universitei Leiden tahun 1934, Parlindoengan Loebis yang menyambutnya. Goesti Raden Mas Dorodjatoen lebih dikenal sebagai pangeran mahkota dari Djokjakarta sedangkan Parlindoengan Loebis mahasiswa di fakultas kedokteran Universiteit Leiden adalah Ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) di Belanda.

Goesti Raden Mas Dorodjatoen, kelak pada tahun 1940 lebih dikenal sebagai Soeltan Hamengkoeboewono IX (menggantikan sang ayah). Parlindoengan Loebis lulus dan mendapat gelar dokter tahun 1940 (lihat De Standard, 26-10-1940). Dr Parlindoengan Loebis tidak segera pulang ke tanah air dan membuka dokter praktek di Amsterdam. Ketika terjadi invasi Jerman ke Belanda, Dr Parlindoengan Loebis ditangkap militer Jerman dan dimasukkan ke Kamp Konsentrasi NAZI (satu-satunya orang Indonesia yang pernah di kamp NAZI). Apa pasal, ketika PI dipimpin Parlindoengan Loebis adalah anti fasis. Sehubungan dengan pembebasan Belanda, Dr Parlindoengan Loebis juga dibebaskan. Namun sebaliknya Indonesia masih dikuasai Jepang. Dr Parlindoengan Loebis di Belanda memimpin orang-orang Indonesia melawan Jepang (fasis). Dr Parlindoengan Loebis didukung habis pemimpin Perhimpoenan Indonesia FKN Harahap (anak Depok, kelahiran Depok yang pernah mengalahkan juara catur Belanda). Setelah Indonesia merdeka (17 Agustus 1945) pulang ke tanah air, tidak ke kampong halamannya di Batangtoroe, Padang Sidempoen) tetapi langsung ke ibu kota RI yang baru di Djokjakarta (menjadi kepala dinas kesehatan kota). Dua sahabat lama kembali bersua: Goesti Raden Mas Dorodjatoen dan Parlindoengan Loebis.

Bagaimana kisah Dr Parlindoengan Loebis? Tentu saja sudah ditulis. Bagaimana pertemuan kembali Parlindoengan Loebis dengan Goesti Raden Mas Dorodjatoen di Djokjakarta belum pernah ditulis. Yang jelas keduanya sama-sama tidak punya hutang ke Jepang dan juga Republiken sejati. Tempat tinggal Dr Parlindoengan Loebis tidak jauh dari kraton Djokjakarta. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Senin, 01 Juni 2020

Sejarah Yogyakarta (39): M Karim Loebis, Pengawal Pribadi Sultan Jogjakarta, 1949; Detik-Detik Belanda Akui Kedaulatan RI


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kapten (infantri) M Karim Loebis adalah orang yang paling dipercaya Soeltan Djokjakarta pada saat Indonesia genting akhir tahun 1949. Soeltan Djokjakarta Hamengkoeboewono IX dan Soekarno di Jogjakarta, sementara Mohamad Hatta dan Abdoel Hakim Harahap di Belanda (KMB). Soeltan Djokjakarta sebagai pemangku kepentingan di wilayah ibu kota RI di Jogjakarta mengirim utusan pribadi untuk menemui Mohamad Hatta dan delegasi lainnya di Belanda. Utusan itu, tidak yang lain, tetapi orang yang paling dipercainya, ajudannya sendiri: Kapten M Karim Loebis.

Situasi genting di Jogjakarta dimulai ketika Perjanjian Roem-Royen ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Hal penting terkait perjanjian itu adalah Jogjakarta yang dikuasai (militer) Belanda dikembalikan sebagai ibu kota Republik Indonesia untuk persiapan dipulangkannya para pemimpin Indonesia dari pengasingan (seperti Soekarno dan Mohamad Hatta). Menjelang evakuasi militer Belanda dari Jogjakarta, Hamengkoeboewono IX mulai khawatir dan di Djokjakarta akan terjadi kerusuhan (chaos). Dari sekian banyak komandan TNI di sekitar Jogjakarta hanya Kolonel TB Simatoepang yang dicari Soeltan. Pencarian itu dilakukan lewat radio Jogja dan mengirim banyak utusan ke berbagai basis pertempuran. Akhirnya TB Simatoepang ditemukan di Front Banaran (Semarang) sedang memimpin gerilya bersama Kolonel Zoelkifli Loebis. Kedatangan Kolonel TB Simatoepang dan Kelonel Zoelkifli Loebis di Jogjakarta disambut Soeltan Hamengkoeboewono IX dengan perasaan sukacita dan lega. Hal kedua adalah persiapan dan pelaksanaan konferensi di Belanda (Konferensi Meja Bundar di Den Haag). Konferensi ini sangat enenentukan nasib Indonesia dan juga posisi Jogjakarta. Delegasi Indonesia ke KMB di Den Haag dipimpin Mohamad Hatta dan sebagai penasehat ekonomi Abdoel Hakim Harahap (Residen Tapanoeli). Bersamaan dengan KMB ini utusan dikirim ke sidang PBB (di Amerika Serikat) yang dipimpin oleh Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D [(mantan Menteri Pendidikan RI kedua, pendiri Universitas (negeri) Gadjah Mada. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, kelahiran Padang Sidempoean adalah guru (onderwijzer) Indonesia pertama bergelar adat akdemik doktor (Ph.D, 1933)].

Lantas mengapa urusan yang penting dan genting, saat berlangsungnya KMB, Soeltan Djogjakarta Hamengkoeboewono IX hanya mengirim utusan seorang militer setingkat Kapten? Tentu saja Hamengkoeboewono IX tahu apa yang dipikirkan dan siapa yang dipercayai. Para sejarawan boleh jadi membaca fakta dan data sejarah ini sepele, tetapi tidak bagi Hamengkoeboewono IX. Abdoel Karim Loebis tampaknya satu-satunya yang bisa dipercaya di Jokjakarta. Siapa sesungguhnya M Karim Loebis?  Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Minggu, 31 Mei 2020

Sejarah Yogyakarta (38): Goesti Raden Mas Dorodjatoen dan Perhimpoenan Indonesia, 1930; Riwayat Djogjakarta dan Tapanoeli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Goesti Raden Mas Dorodjatoen bukanlah orang biasa. Meski pembawaannya biasa-biasa saja tetapi cara berpikirnya sangat terbuka dan luar biasa. Pangeran mahkota Jogjakarta ini sejak dini sudah mendapat pergaulan Eropa, sejak ELS dan HBS (internasional). Ketika melanjutkan pendidikan tinggi di Belanda tahun 1930, pangeran muda dari Djokjakarta ini bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia. Teman-teman baru yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia membuatnya paham tentang Indonesia yang sebenarnya. Pengalaman itulah yang menjadi bekalnya ketika menjadi salah satu pemimpin Indonesia kelak. Siapakah pangeran mahkota tersebut? Hamengkoeboewono IX.

Hamengkoeboewono IX (1940an)

Dr. Soetomo sepulang berdinas selama dua tahun di Tandjoeng Morawa, Deli pada tahun 1915 meminta diadakan rapat umum Boedi Oetomo di Afdeeling (cabang) Batavia. Saat itu dipimpin oleh golongan muda terpelajar. Ketuanya adalah Dr. Sardjito. Dalam rapat umum tersebut Dr. Soetomo meminta perhatian para hadirin: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri. Di luar Jawa di Deli orang Jawa sangat menderita. Banyak orang Tapanoeli yang terpelajar. Mereka ada dimana-mana. Kita tidak bisa lagi hidup sendiri. Tugas kita lebih luas dari yang kita pikirkan’.

Ada satu hal yang unik tentang Hamengkoeboewono IX yakni terbuka ke semua orang tetapi begitu dekat dengan orang-orang Pantai Barat Sumatra terutama orang-orang Tapanoeli. Mengapa? Nah, itu dia. Tentu saja saja itu bukan mengikuti perkataan Dr. Soetomo. Seberapa dekat kedekatannya? Tentu hal itu mudah ditebak. Ketika ibu kota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tahun 1946 Soeltan Hamengkoeboewono memfasilitasi secara serius Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Kolonel Zulkifli Loebis untuk mendesain pertahanan. Selanjutnya, pada saat militer Belanda evakuasi dari Djogjakarta Juni 1949 yang diminta Hamengkoeboewono IX untuk dicari adalah Kolonel TB Simatoepang untuk mengamankan Djokjakarta. Lantas mengapa yang menjadi ajudan pribadi yang dipilihnya Kapten M Karim Leobis? Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Hamengkoeboewono IX adalah salah satu pemimpin Indonesia terbaik di jamannya.

Sabtu, 30 Mei 2020

Sejarah Yogyakarta (37): Raden Noto Soeroto dan Indische Vereeniging (1913; Pangeran Pakoe Alam van Djokjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Raden Noto Soeroto termasuk salah satu pangeran (Pakoe Alam) dari Djokjakarta yang terbilang terpelajar di awal era pendidikan tinggi. Seperti halnya penyair, gagasannya penuh dan beragam. Ini juga tergambar pada perjalanan hidupnya yang pasang-surut. Raden Noto Soeroto adalah sosok seorang pemimpin, paling tidak pernah menjadi Ketua Indische Vereeniging di Belanda (1912-1914), namun dalam urusan pendidikannya, Raden Noto Soeroto tidak sepenuhnya berhasil. Padahal semua ketua-ketua Indische Vereeniging berhasil dalam pendidikannya. Mengapa demikian? Untuk menambah pengetahuan, dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Kakek moyang Raden Noto Soeroto bekerjasama dengan Inggris (1811-1816), lahirlah Kadipaten Pakoealaman. Jaman telah berubah, Raden Noto Soeroto di Belanda justru lebih mempererat hubungan pribumi dengan Belanda. Visi Noto Soeroto ini berbeda dengan yang diusung oleh Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat di tanah air yang ingin memisahkan Hindia dari Belanda (tetapi bekerjasama dengan orang-orang Indo) yang kemudian lahir Indische Partij (1913). Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.

Raden Noto Soeroto tetap dipandang sebagai mantan ketua Indische Vereeniging di Belanda. Suatu organisasi pelajar-mahasiswa pertama di Belanda. Sejak kepengurusan Hoesein Djajadingrat (Ketua Indische Vereeniging yang kedua), orientasi Indische Vereeniging mulai sedikit bergeser rel. Mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra yang dimotori Sorip Tagor Harahap sedikit agak gusar yang lalu membentuk sub organisasi Indische Vereeniging dengan nama Soematra Sepakat. Rel Indische Vereeniging baru betul-betul terselesaikan pada tahun 1922 pada era kepemimpinan Dr. Soetomo dkk (dengan nama baru Indonesische Vereeniging). Organisasi nasional mahasiswa yang diinisiasi oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Kasajangan di Leiden 1908 ini lebih disempurnakan oleh Mohamad Hatta dkk tahun 1924 dengan nama Perhimpoenan Indonesia.