Laman

Senin, 20 Agustus 2012

Cagar Alam Depok, Pertama Sejak Era Hindia Belanda: Mengapa Sekarang Disebut 'Taman Hutan Raya"


Buga juga Sejarah Cagar Alam terbaru dalam blog ini Klik Disini

Cagar Alam (Tahura) Depok di tengah pemukiman padat
Cagar Alam Depok sudah ditetapkan sejak era Hindia Belanda. Kini, cagar alam pertama tersebut sering disebut Taman Hutan Raya (Tahura). Cagar alam/tahura Depok ini berada di Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok (dekat dengan stasiun kereta api Depok Lama). Hutan yang dulu luasnya 30 Ha, kini hanya tersisa seluas 6 Ha. Hutan ini adalah hutan peninggalan di Depok sejak abad-17. Waktu itu, wilayah Depok masih memiliki hutan yang luas, namun lambat laun hutan tersebut beralih menjadi areal pertanian. Khawatir dengan menyusutnya luas hutan, maka hutan yang masih tersisa oleh Nederlands Indische Vereniging Tot Natuur Berscherming (Perhimpunan Perlindungan Hutan Alam Hindia Belanda) bekerja sama dengan kota praja (Gemeente) Depok ditetapkan sebagai cagar alam (natuur reservaat). Konon, penetapan cagar alam ini dilaporkan kepada Prof Porsch di Wina, Austria dan dinyatakan secara resmi sebagai cagar alam pertama di Hindia Belanda. Peruntukkan hutan  cagar alam merupakan hibah dari seorang partikelir bernama Cornelis Castelein seluas 30 ha. Ini berbeda dengan pembangunan Kebun Raya Bogor di Buitenzorg (Bogor) yang dimaksudkan untuk menghutankan kembali dengan mengumpulkan pohon langka (forest). Cagar Alam Depok sendiri justru ditetapkan untuk tetap mempertahankan keasliannya sebagai asli hutan belantara (jungle).

Penetapan hutan ini menjadi cagar alam tidak saja karena semakin menipisnya areal hutan asli di Depok kala itu, tetapi juga karena hutan ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta dapat berfungsi sebagai resapan air. Awalnya di hutan ini terdapat berbagai jenis flora dan fauna langka yang perlu dilestarikan. Pepohonan yang rindang dan menjulang tinggi, merupakan habitat yang nyaman bagi berbagai jenis burung. Sementara di dalam semak belukar  menjadi habitat bermacam sarangga, berbagai hewan seperti kijang, harimau Jawa, monyet, kancil, rusa, bangau putih, dan kelinci hutan. Namun semua kekayaan hayati tersebut hanya tinggal kenangan masa lampau. Hingga tahun 2000 di hutan ini masih ditemukan monyet, biawak dan ular. Kini, yang tersisa hanya hewan melata serta sejumlah jenis burung. Keadaannya sudah tak ada bedanya dengan sebuah lahan yang dengan mudah disulap menjadi hutan beton.































Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi dijelaskan bahwa konservasi eksitu adalah konservasi tumbuhan dan atau satwa yang dilakukan di luar habitat alaminya. Bentuk-bentuk konservasi eksitu antara lain kebun binatang, kebun raya, arboretum, taman hutan raya, taman safari, kebun botani, taman burung, taman kupu-kupu, dan berbagai penangkaran satwa. Konservasi eksitu dimaksudkan untuk ikut mendorong pengembangan konservasi flora dan fauna dengan cara :



1)    Pada periode tertentu flora dan fauna hasil konservasi eksitu dapat dilepaskan kembali ke habitat alaminya untuk memelihara jumlah dan variabilitas genetik (terpeliharanya keanekaragaman genetik) di dalam populasinya di alam atau biasa disebut restocking.

2)    Hasil-hasil penelitian dari populasi eksitu dapat memberikan manfaat sebagai dasar-dasar biologi untuk menentukan strategi atau upaya-upaya konservasi baru.

3)    Populasi eksitu dapat digunakan untuk atraksi satwa, seperti di kebun binatang atau taman safari.

4)    Hasil pengembangan populasi di kawasan konservasi eksitu dapat digunakan untuk berbagai keperluan penelitian sehingga tidak perlu mengganggu populasi di alam.
5)    Kawasan konservasi eksitu juga dapat digunakan sebagai tempat atau media pendidikan dan penelitian bagi masyarakat.

Meskipun konservasi eksitu memberikan manfaat dalam membantu perlindungan jenis, namun ada beberapa keterbatasan/kekurangan jika dibandingkan dengan konservasi insitu, yaitu :

1.     Ukuran populasi dalam kawasan konservasi eksitu biasanya terbatas.
2.     Variasi genetis (keanekaragaman genetis) terbatas karena populasi yang kecil.
3.   Kemampuan spesies (jenis) agar tetap bertahan hidup berkurang karena biasanya segala kebutuhan hidupnya tersedia sehingga tidak ada kemampuan mencari (berjuang) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4.   Mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan buatan sehingga ketika dilepas ke alam yang sebenarnya maka daya hidupnya sangat menurun.
5.     Biasanya terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu saja, sehingga lebih tahan terhadap gangguan dan mudah terancam akan perubahan atau tekanan lingkungan
6.    Untuk menjaga keberlanjutan konservasi eksitu, maka diperlukan dana dan biaya yang besar, fasilitas yang memadai, dan tenaga terlatih. Ketiga hal tersebut seringkali menjadi masalah utama pelaksanaan konservasi eksitu, terutama biaya pengelolaannya yang sangat besar.



2 komentar:

  1. 20 tahun tinggal di daerah sini tapi baru sekarang tau latar belakang Cagar Alam..nice post!

    BalasHapus
  2. Tahun 1975 an masih banyak monyet di dalam hutan...

    BalasHapus