*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Jika kita datang
ke Bogor, kini kita disambut dengan satu monumen ‘pintu gerbang’ yang menempel
pada latar belakang Kebun Raya Bogor. Monumen ini terdiri dari sembilan pilar ‘paku
alam’ yang sejajar, yang menopang satu batang besar sebgai plakat yang
bertuliskan ‘Dinu Kiwari Ngancik Nu
Bihari, Seja Ayeuna Sampeureun Jaga’. Arti harfiahnya adalah yang ada
sekarang adalah hasil masa lampau dan yang dilakukan sekarang buat masa datang.
Semboyan ini saya paham betul artinya
dari sudut sejarah, dan saya juga paham betul geografi Kota Bogor secara rinci.
sebagai sebuuah lanskap dimana semboyan itu melekat. Saya pernah menjadi warga kota
yang indah ini dengan KTP Kota Bogor selama sepuluh tahun. Ketika saya datang
ke Kota Bogor baru-baru ini, saya tidak kaget melihat semboyan ini tetapi
justru saya menggugatnya: Mengapa monumen semacam itu tidak sejak dulu dibuat?.
Titik singgung sungai Ciliwung dan Cisadane |
Kota Bogor masa
kini adalah kota yang di masa lampau yang dipilih oleh para pendahulu sesuai
dengan anugerah alam untuk kebutuhan pertahanan, panorama dan religi. Pilihan
lanskap kota alam ini sejauh yang saya tahu terbaik di nusantara. Titik origin
kota Bogor (sebelumnya bernama Buitenzorg) yang sekarang adalah titik
persinggungan antara sungai Ciliwung dan sungai Cisadane.
Bayangkan kita
berada di tengah kota (titik origin) di masa lampau. Kita berada diantara dua
sungai besar yang sejajar yang merupakan jarak terdekat dua sungai ini (titik
singgung) yakni sungai Ciliwung dan sungai Cisadane. Diantara dua sungai besar
ini terdapat sungai kecil bernama Cipakancilan. Ke arah selatan (sisi sungai
Cisadane) terdapat panorama gunung Salak, ke arah utara panorama melandai
menuju ke laut. Ke hulu arah timur menuju pusat ibukota kerajaan Pakuan dan ke hilir
arah barat persawahan dan berbelok ke utara mengikuti aliran sungai Ciliwung
menuju laut. Titik singgung inilah pusat kota Bogor yang sekarang (Bazaar/Pasar
Bogor). Dari titik origin ini ke arah
hulu adalah kota lama (Pakuan Pajajaran) dan ke arah hilir terbentuk kota
Buitenzorg. Batas itu kini berada di Pasar Bogor dimana di pangkal jalan
Suryakencana kini dibuat gapura dengan bertuliskan ‘Lawang Suryakancana’
(lawang=pintu gerbang).
Untuk mudahnya
kita dapat membagi periode kota ini: masa kini (Kiwari), masa lalu (Bihari) dan
masa datang. Kita mulai dari nama Buitenzorg sebagai hasil kearifan lokal masa
lampau dan memproyeksi ke masa datang.