Laman

Kamis, 02 Februari 2017

Sejarah Bandung (16): Hadji Preanger dan Buku Panduan Haji; ‘Himpoenan Soedara’ dan Supra Organisasi PPPKI



Hadji Preanger adalah kafilah hadji yang menjadi bagian dari Hadji Hindia Belanda. Penyelenggaraan perjalanan hadji dari Hindia Belanda diselenggarakan oleh pemerintah dengan empat ‘embarkasi’ menggunakan satu kapal besar dari Soerabaja, Semarang, Batavia dan Padang yang disewa dari perusahaan kapal Inggris atau Belanda. Penyelenggaraan hadji ini sudah dimulai sejak 1870.

Haji-haji dari Hindia Belanda sebelumnya berangkat sendiri-sendiri dengan menggunakan kapal-kapal dagang Arab, Persia dan Inggris melalui Singapoera atau Penang. Perjalanan haji dengan kapal-kapal dagang ini tidak teratur dan adakalanya harus dilakukan transit di kota pelabuhan tertentu. Demikian juga sebaliknya. Akibatnya lama perjalanan haji membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karena jumlah haji ini lambat laun semakin banyak dari waktu ke waktu, lalu pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi perjalanan haji ini dengan menyelenggarakan perjalanan haji secara regular setiap tahun dan diselenggarakan dengan pengaturan tertentu, seperti tes kesehatan sebelum tiba di Jeddah dan sebelum tiba di pelabuhan asal untuk menghindari terbawa penyakit. Di Batavia sterilisasi kesehatan ini dilakukan di Pulau Onrust sebelum masuk Batavia. Poster angkutan haji, 1935

Hadji Preanger

Di Bandoeng, sejak 1846 pemimpin lokal mulai disertakan dalam pemerintahan di Regentschap (Kabupaten) Bandoeng dengan mengangkat secara resmi Bupati Bandoeng, Raden Atipadi Wira Nata Koesoema. Untuk melengkapi sistem pemerintahan lokal diangkat djaksa dan penghoeloe. Jabatan kepala djaksa diresmikan tahun 1852, sedangkan jabatan penghoeloe (hoofdpangoeloe) diresmikan tahun 1856 dengan mengangkat Raden Hadji Moehammad Ardi (lihat Regering Almanak berbagai tahun).

Raden Hadji Moehammad Ardi adalah termasuk ‘kloter’ haji yang berangkat sebelum adanya penyelenggaraan haji. Jumlah haji dari Hindia Belanda terus meningkat sejak 1850an hingga jelang tahun 1900.

Pemimpin umat Islam yang dalam hal ini penghoeloe, Kepala Penghoeloe seakan menjadi ‘Kepala Kantor Agama’ pada masa ini yang berfungsi ke dalam untuk menyelenggarakan siar Islam (fikih, ibadah dan muamalah) dan ke luar sebagai wakil pemerintah untuk menyeimbangkan tuntutan pemerintah kolonial dan kebutuhan penduduk pribumi yang menganut agama Islam. Kepala penghoeloe juga menjadi penyelenggara haji pada tingkat lokal (kabupaten). Hadji-hadji dari Bandoeng, sebagaimana di tempat lain, seperti yang terdekat di Tjiandjoer melakukan pemberangkatan hadji yang diorganisir dalam kafilah yang pada saat ini disebut ‘kloter’. Raden Atipadi Wira Nata Koesoema (foto 1860)

Hadji dari Bandoeng berangkat dalam ‘kloter’ (kafilah) yang disebut Hadji Preanger. Dari daerah lain berangkat dengan nama ‘kloter’ Malang, Pasuruan, Atjeh, Ambon dan Bugis. Sementara daerah lainnya dengan nama ‘kloter’ Painan, Sambas, Straits Settlements (semenandjoeng Malaya, termasuk pantai timur Sumatra), Mandailing en Angkola (Tapanoeli), Selajar, Banten, Pontianak, Makassar, Lampung, Bugis, Pekalongan, Batjan, Atjeh, Tjianjur, Banjarmasin, Baros, Preanger, Palembang, Pidie, Sambas, Bengkoelen, Ternate, Martapaura, Banda, Idie, Mandar, Soekopoera (Garoet dan sekitarnya). Singkat kata, perjalanan haji dari Hindia Belanda menjadi lebih terorganisir, Haji dari Preanger di Mekka, 1890

Namun persoalan tetap ada. Banyak hadji dari Hindia Belanda yang tidak kembali, karena berbagai alasan: meninggal selama perjalanan atau selama di Mekkah, kehabisan uang dan juga ada yang hilang yang diduga dirampok dalam perjalanan haji dari Jeddah ke Mekkah serta tentu saja ada yang ingin berdiam (menetap) di Mekkah apakah karena alasan ekonomi atau karena alasan ingin memperdalam pengetahuan agama Islam. Hal-hal yang terkait dengan itu, boleh jadi karena tidak adanya panduan haji, tidak tersedianya pemandu selama perjalanan maupub selama menyenggarakan ibadah haji di Mekkah. Para Penghoeloe hanya mengkoordinasikan di tempat asal (tidak ikut dalam perjalanan haji), pemerintah Hindia Belanda hanya sekadar menyediakan kapal dan menjadwalkan pelayaran dan proses pabean (imigrasi) dan tentunya mengutip pajak atau retribusi. Masjid Bandoeng, 1901

Melihat banyaknya persoalan yang mencul selama persiapan, selama perjalanan dan selama menunaikan haji di Mekkah (dan bagaimana kembalinya ke kampong halaman), seorang haji yang berasal dari Tapanoeli yang pernah ke Mekkah bernama Dja Endar Moeda mencoba melakukan inisiatif. Untuk mengatasi persoalan apa yang harus dipersiapkan, bagaimana situasi dan kondisi yang dihadapi selama perjalanan maupun selama menunaikan ibadah haji di Mekah dan Madinah, Dja Endar Moeda pada tahun 1900 menerbitkan buku kecil yang berisi panduan naik haji. Panduan naik haji ini sudah pernah dimuat di berbagai media yang ditulis oleh Dja Endar Moeda sendiri, seperti surat kabar Pertja Barat, miliknya yang beroplah wilayah Sumatra dan majalah Bintang Hindia yang terbit di Belanda yang bertiras nasional, yang dapat dibeli di Bandoeng. Kantor majalah Bintang Hindia di Bandoeng 1900

Pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengadopsi buku ini sebagai ‘Buku Panduan Haji Nasional’. Buku ini diperbanyak dan disebarluaskan oleh pemerintah melalui pemerintah setempat, Asisten Residen, Controleur, Bupati dan Penghoeloe (di daerah-daerah dimana selama ini banyak mengirim calon jemaah haji ke Mekah). Buku karya Dja Endar Moeda ini terbilang buku panduan haji pertama di Nusantara (Hindia Belanda). Para Hadji di Bandoeng sudah berpartisipasi dalam dewan, 1903

Buku panduan haji yang disusun Dja Endar Moeda yang telah diterbitkan dan telah disebarluaskan di Hindia Belanda merupakan sebuah dedikasi Dja Endar Moeda bagi umat Islam khususnya kepada calon jemaah haji (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1900). Dengan terbitnya buku panduan haji tersebut, Dja Endar Moeda kerap diminta pemerintah menjadi pemandu haji selama di kapal dan dari Jeddah ke Mekah, karena sulitnya menemukan pribumi yang berpengalaman dalam menunaikan ibadah haji yang bisa berbahasa Belanda.

Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda lahir di Padang Sidempuan 1860. Menyelesaikan sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempuan tahun 1884. Setelah pension jadi guru, Dja Endar Moeda menunaikan haji ke Mekah. Setelah pulang dari Mekah, Dja Endar Moeda tinggal di Kota Padang. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda mendirikan sekolah swasta di Kota Padang. Pada tahun 1897, Dja Endar Moeda yang kerap menulis buku pelajaran sekolah, buku umum dan buku roman (novel) diangkat menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Barat di Padang (editor peribumi pertama). Pada tahun 1900, Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya. Sejak itu, Dja Endar Moeda menerbitkan sejumlah media dan toko buku. Surat kabar dan majalah yang dimiliki Dja Endar Moeda diterbitkan di Padang, Sibolga, Medan dan Kota Radja (kini Banda Aceh). Dja Endar Moeda dijuluki sebagai Radja Persuratkabaran Sumatra.

Kita bisa bayangkan bagaimana perjalanan haji pada tahun 1900 meski sudah ada buku panduan haji yang ditulis oleh Hadji Dja Endar Moeda. apalagi sebelum adanya buku panduan tersebut. Bahkan kita sulit membayangkan perjalanan haji yang begitu maha sulit apalagi sebelum pemerintah Hindia Belanda terlibat dalam penyelenggaraan haji. Haji di Mekah 1917-1921

Kini, untuk menunaikan ibadah haji sudah sangat mudah, selain dengan penerbangan udara yang cepat juga dipandu oleh para pemandu haji yang terlatih. Meski demikian, namun untuk menjadi haji tidak mudah, harus menunggu lama untuk mendapat tiket haji. Waktu tunggu dari waktu ke waktu semakin lama.  

Sarikat Pedagang Bandoeng ‘Himpoenan Soedara’

Kesadaran berbangsa yang sejak dari dulu ada dimana-mana, di Bandoeng mulai bersemai. Kesadaran berbangsa ini mulai menguat di luar kraton (Bupati) utamanya di kalangan umat Islam yang ‘dimotori’ oleh para haji yang jumlahnya semakin banyak di Preanger khususnya di kota Bandoeng. Kesadaran berbangsa ini muncul karena semakin senjangnya kehidupan (ekonomi) antara orang-orang Eropa/Belanda dan orang-orang Tionghoa dengan kaoem pribumi di Bandoeng. Di pasar Bandoeng, dominasi orang-orang Tionghoa sudah sangat dirasakan. Para pedagang pribumi yang sebagian diantaranya telah haji mencoba bangkit secara kolektif (tidak sediri-sendiri seperti selama ini).

Paguyuban kaoem pribumi di Bandoeng mulai mengorganisir kolektif perdagangan agar mampu bersaing dengan orang-orang Tionghoa yang secara tradisional sangat dekat satu sama lain. Paguyuban ini kemudian disebut ‘Himpoenan Soedara’. Himpunan persaudaraan di antara kalangan pribumi di Bandoeng juga mencakup orang-orang Arab yang mulai ekspansi bisnisnya ke Preanger khususnya di Bandoeng (setelah lebih dulu berkembang di Buitenzorg/Empang). Organisasi yang berbasis Islam ini, ‘Himpoenan Soedara’ terus memperluas keanggotaannya hingga ke seluruh Preanger dan memperkuaat kemampuan para anggotanya. De Preanger-bode, 07-10-1913

Sebagai pembanding saja: Nun jauh di Medan, orang-orang Tapanoeli (yang umumnya berasal dari afdeeling Mandailing dan Angkola) membuat perkumpulan untuk merespon jaringan perdagangan orang-orang Tionghoa (Medan, Penang, Singapoera). Perkumpulan tersebut disebut Sarikat Tapanoeli yang digagas oleh dua orang haji tahun 1905 yang ketuanya Hadji Dja Endar Moeda dan wakilnya Sjech Ibrahim. Hadji Dja Endar Moeda (kampongnya di Angkola) sudah mulai memperluas usahanya dari Padang ke Kota Radja (kini Banda Aceh dan Medan). Sjech Ibrahim (kampongnya di Mandailing) saat itu adalah kepala kampong pertama di Kota Medan (sejak kota Medan menjadi Gemeente 1905). Sarikat Tapanoeli ini lalu disahkan sebagai Vereeniging Sarikat Tapanoeli. Kemudian sarikat ini membentuk perusahaan yang namanya sama NV. Sarikat Tapanoeli. Untuk mengoptimalkan orang-orang Tapanoeli dalam persaingan bisnis dengan orang-orang Tionghoa lalu mendirikan surat kabar Pewarta Deli akhir tahun 1909. Surat kabar ini didirikan untuk mengefektifkan promosi dagang orang-orang Tapanoeli yang umumnya beragama Islam dengan menyediakan layanan iklan yang lebih murah. Surat kabar ini juga menjadi sumber berita-berita bisnis. Juga menjadi ujung tombak untuk menyasar pribumi dalam mencerdaskan berbagai suku bangsa (karenanya motto surat kabar ini Oentoek Sagala Bangsa yang persis mottonya dengan surat kabar Pertja Barat di Padang). Yang menjadi editor pertama adalah Dja Endar Moeda (sebagaimana editor Pertja Barat). Sarikat ini juga membentuk klub sepakbola pribumi untuk kalangan muda yang disebut Tapanoeli Voetbalclub yang ikut kompetisi di bond sepakbola Medan sejak tahun 1907. Bidang lain dari Sarikat Tapenoeli selain media, sepakbola, juga sekolah swasta, lembaga keuangan (simpan-pinjam) dan juga klinik kesehatan. Koran Pewarta Deli di Medan, 1910

Akhirnya ‘Himpoenan Soedara’ dilegalkan (sebagaimana telah lebih dahulu dilakukan Sarikat Tapanoeli di Medan) dengan mengajukan permohonan kepada pemerintah. Pada bulan Oktober 1913 status ‘Himpoenan Soedara’ secara resmi disahkan oleh pemerintah (lihat De Preanger-bode, 07-10-1913). Seperti dilaporkan De Preanger-bode, 02-11-1913 ‘Himpoenan Soedara’ bertujuan untuk memberikan dukungan kepada anggotanya dalam kegiatan bidang komersil (bisnis: perdagangan dan keuangan) dan melakukan (kepedulian) tolong menolong terhadap anggotanya yang meninggal. Yang bertindak sebagai direktur asosiasi ini adalah sebagai berikut: Presiden: Mas Adiwinata, Sekretaris-Bendahara: Hadjie Domerie, Komisaris; Hadjie Badjoerie. Mereka semua adalah pedagang di Bandung. Selanjutnya pada tahun 1914 Anggaran Dasar ‘Himpoenan Soedara’ megalami perubahan pada pasal 2, pasal 3 dan pasal 7 (Bataviaasch nieuwsblad, 14-10-1914). De Preanger-bode, 02-11-1913

Sarikat Tapenoeli terus mengembangkan sayapnya ke berbagai tempat utama di Sumatra’s Oostkust termasuk ke kampong halaman mereka di afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya bernama afd. Mandailing en Angkola). Di Pematang Siantar, pada tahun 1920 Sarikat Tapanoeli mendirikan bank sebagai perluasan bidang keuangan, simpan-pinjam yang sudah ada sejak lama (lihat De Telegraaf, 28-12-1920). Bank yang disebut Bataksch Bank ini dimaksudkan untuk memfasilitasi pengusaha menengah yang berkiprah di bidang perkebunan. Pengusaha-pengusaha perkebunan yang umumnya orang Padang Sidempuan di Tapanoeli memperluas usahanya di Sumatra’s Oostkust utamanya di afdeling Simaleongoen, Pematang Siantar dan Asahan.

Pendirian bank ini juga untuk alternatif karena begitu sulitnya para pengusaha pribumi akses ke Kesawan Bank (Tionghoa) dan Java Bank (Eropa/Belanda). Untuk sekadar diketahui, sesungguhnya bank pribumi pertama, yang benar-benar bank (bukan koperasi) adalah Bataksch Bank di Pematang Siantar. Direktur (presiden) Bataksch Bank adalah Dr. Ali Moesa (alumni sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg, 1912); sekretaris Soetan Pane Paroehoem (notaries pertama di Sumatra). Salah satu komisaris adalah Dr. Mohamad Hamzah (alumni Docter Djawa School/STOVIA 1903, saudara sepupu Soetan Casajangan), dan administrator adalah Mohammad Soetan Hasoendoetanm seorang mantan guru dan pengarang. De Telegraaf, 28-12-1920

‘Himpoenan Soedara’ Mulai Berpolitik

Lokasi kantor 'Himpoenan Soedara' Bandoeng (Peta 1910)
Vereening ‘Himpoenan Soedara’ yang beralamat di Moskeeweg (Jalan Masjid) No. 7 Bandoeng sebagai organisasi peribumi terbesar di Bandoeng, makin lama maki besar dan memiliki gedung yang cukup besar. Sarikat para pedagang muslim ini tidak hanya aktif membina para anggotanya, tetapi juga sudah mulai melihat dinamika kebangsaan yang terjadi di berbagai tempat di Hindia Belanda. Gedung sarikat yang cukup besar juga telah dimanfaatkan oleh sarikat-sarikat pribumi lainnya untuk tempat pertemuan (rapay besar). Salah satu yang menggunakan gedung tersebut adalah sarikat guru.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-12-1927: ‘Pertemuan Propaganda (politik). Pada tanggal 1 Januari, Afdeeling PGHB Bandoeng (Perserikatan Guru Hindia Belanda), yang pusatnya berada di Jokjakarta akan melakukan rapat besar. Pertemuan akan diadakan di gedung ‘Himpoenan Soedara’ di Moskeeweg. Yang akan berpidato adalah guru Rd. Poeradimadja dan Mas Partawinata’.

Rapat-rapat besar serupa tersebut makin kerap dilakukan di berbagai tempat di Hindia Belanda. Hal ini sehubungan dengan bersatunya sarikat-sarikat kebangsaan yang diikat dengan nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dilakukan pada tahun 1927 di Batavia. Supra organisasi kebangsaan ini meliputi Bataksch Bond, Boedi Oetomo, Pasoendan, Kaoem Betawi dan sebagainya.

Supra Organisasi Kebangsaan ini yang disebut PPPKI awalnya pendiriannya digagas oleh Parada Harahap. Ketua PPPKI adalah M. Husni Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Parada Harahap adalah tokoh penting di Sumatrabond, pemilik surat kabar Bintang Timoer.  Parada Harahap adalah seorang revolusioner sejati yang pada usia 17 tahun pada tahun 1917 membongkar kasus ‘poenali sanctie’ di Deli, mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan tahun 1919. Pada tahun 1923 hijrah ke Batavia dan menerbitkan surat kabar Bintang Hindia dengan Dr. Abdul Rivai, mendirikan kantor berita Alpena (editor dan wartawannya adalah WR Supratman), mendirikan surat kabar Bintang Timoer 1926 (bertiras paling tinggi di Batavia). Radja delik pers, sudah puluhan kali dimejahijaukan dan beberapa kali dibui. Pada tahun 1927 Parada Harahap membentuk himpoenan pengusaha (semacam KADIN) di Batavia, dimana Parada Harahap sebagai ketuanya.

PPPKI adalah inisiator diadakannya Kongres Pemuda. Pada tanggal 31 Agustus 1928 organisasi ini melakukan pertemuan publik pertama (kongres). Hadir dalam kongres antara lain: Parada Harahap, Tjokroaminto, Dr. Soetomo, Ir. Soekarno. M. Thamrin. Dalam kongres ini Parada Harahap mengomentari sikap pasifnya wakil Minahasa dan Ambon. Setelah kongres ini Parada Harahap segera memperluas cakupan korannya dengan menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang (untuk Jawa Tengah) dan edisi Surabaya (untuk Jawa Timur). Tidak lama setelah kongres PPPKI, juga akan dilakukan pertemuan para pemudanya yang akan melakukan kongres pada tanggal 28 Oktober 1928. Salah satu panitia Kongres Pemuda adalah Amir Sjarifoeddin yang bertindak sebagai bendahara. Hubungan Parada Harahap dan Amir Sjarifoeddin sangatlah dekat.

Parada Harahap adalah orang yang multitask. Parada Harahap tidak hanya memiliki tujuh media, tetapi sangat sibuk di PPPKI yang berkantor pusat di Gang Kenari. Parada Harahap yang juga adalah Ketua Himpunan Pengusaha (semacam Kadin) pribumi yang berpusat di Batavia juga sangat sibuk melakukan konsolidasi di bidang perdagangan pribumi. Dalam suatu rapat besar para pedagang pribumi Batavia, Parada Harahap menggarisbawahi eksistensi himpunan pengusaha dari Bandoeng “Himpoenan Soedara’. Mari kita simak pidato Parada Harahap yang dimuat oleh surat kabar De Indische courant.

De Indische courant, 17-09-1929: ‘Minggu pagi di sini di bawah kepemimpinan Pak Parada Harahap pertemuan publik organisasi pedagang pribumi. Ada hadir seratus orang, termasuk Bapak Thamrin. Mr. Parada Harahap, mengambil tempat di podium lantai, kemudian pidato secara rinci makna dan tujuan dari sarikat kelas menengah (maksudnya: para pedagang). Bahwa sejauh ini sarikat-sarikat pedagang kelas menengah menunjukkan antara lain bahwa belum begitu paham tentang perdagangan besar di rumah sendiri (di tanah air sendiri). Di mana-mana orang mendengar masa-aksi politik. Selain itu, menurut pembicara, masih dapat ditemukan di daerah lain, yang hanya bekerja untuk kepentingan Negara (pemerintah kolonial) dan rakyat. Padahal masih banyak yang harus dilakukan di bidang ekonomi. Masyarakat pribumi tidak terorganisir secara keseluruhan. Pembicara berharap, ini (saatnya) harus menjadi perubahan. Jika seseorang melihat orang Eropa dan Cina, kita melihat bagaimana mereka melakukan segalanya untuk selalu mencari cara suatu kegiatan untuk memajukan ekonomi komunitasnya. Kita merindukan ke Indonesia. Pembicara, melanjutkan, berpendapat bahwa kelas menengah pribumi tidak dalam satu (kesatuan), hanya mengutuk dan mendesah saja. Untuk (ke arah) tingkat yang (lebih) baik, kita masih membutuhkan. Di Eropa, mereka mulai primitif, tetapi dengan organisasi yang baik apa yang bisa kita lihat di tengah masyarakat kita sekarang, mereka begitu kuat, untuk mencapai tujuan itu kita dapat meniru mereka. Kita akan kerja sampai mereka juga akan melihat kita bahwa organisasi kita adalah tulang punggung dari keberadaan kita. Jika (orang-orang) Eropa dapat mengorganisasikan kelas menengah, saya sendiri meminta semua kita seperti itu. Mengapa kita (berada) di sini, hal tersebut adalah untuk inisiatif dan pengetahuan yang masih kurang dan belum kita miliki. Di Batavia, di toko-toko utama (orang) Eropa banyak penduduk asli (pribumi) yang bekerja, justru yang melakukan pekerjaan yang sebenarnya, sementara (orang) Eropa (sebagai pengusaha) hanya melakukan control saja. Lihat di seluruh Kali Besar, Paser Baru dan Noordwijk kita hanya dapat menemukan toko-toko Eropa dan Cina yang besar dan di antara mereka hanya beberapa perusahaan pribumi. Bukankah mereka itu ada di negara kita sendiri? tanya pembicara. Untuk menuju ke situ, pembicara menyarankan patut dicontoh pengusaha kita, Abdul Gani, yang karyanya (hasil produksi sepatu) juga mendapat penghargaan besar (apresisi kualitas) dari kalangan (orang-orang) Eropa. Kita juga punya contoh yang baik, yakni kinerja ‘Himpoenan Soedara’ di Bandung, yang awalnya sangat kecil dan kini termasuk organisasi kelas menengah yang kita harapkan akan tumbuh lebih besar lagi, pungkas pembicara’.

Parada Harahap telah berhasil menyatukan semua organisasi kebangsaan (yang sebelumnya berjalan sendiri-sendiri dan bahkan cenderung bersifat kedaerahan). Organisasi kebangsaan telah bersatu dan telah memiliki visi yang sama: kesatuan dan persatuan. Parada Harahap juga di dalam, di satu sisi ingin memperkuat organisasi pribumi tidak hanya di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi. dan di sisi lain menarik garis pemisah antara pribumi dengan Eropa/Belanda dan Tionghoa. Misi serupa itu sudah lama didengungkan oleh Parada Harahap, tidak hanya dengan memberi nama surat kabarnya Sinar Merdeka, tetapi juga ingin mencapai harapan seperti nama surat kabarnya yang baru: Bintang Timoer. Sebelumnya, bahkan Parada Harahap pernah berpolemik dengan pers orang-orang Belanda yang semua opininya ditulis di surat kabar (berbahasa Belanda) Java Bode yang pada salah satu artikelnya terdapat satu frase ‘menyerang orang-orang Eropa’ dengan pernyataan keras: ‘ini tanah, bumi, bukan milik nenek moyangmu, ini tanah dan bumi adalah warisan nenek moyang kami’.

Parada Harahap boleh jadi sangat dekat dengan perkembangan di Bandoeng. Surat kabar miliknya Bintang Timoer juga memiliki oplag yang signifikan di Bandoeng. Di Bandoeng, Parada Harahap punya adik kandung bernama Panangian Harahap, seorang guru (lihat De Preanger-bode, 10-09-1923). Pada tahun 1927, Panangian Harahap diangkat sebagai penilik sekolah di Bandoeng. Sudah barang tentu, Panangian ikut dalam kongres sarikat guru di Bandoeng tahun 1927 yang dilaksanakan di gedung ‘Himpoenan Soedara’. Boleh jadi kinerja sarikat pedagang Bandoeng ini diketahui Parada Harahap melalui adiknya, Panangian Harahap.

‘Himpoenan Soedara’ eksistensinya terus terjaga hingga berakhirnya kekuasaan Belanda (sampai datangnya pendudukan Jepang). ‘Himpoenan Soedara’ secara organisasi terus tumbuh, para anggota terus bertambah. Nama mereka terus makin popular, tidak hanya karena gedung mereka kerap dijadikan tempat pertemuan-pertemuan (rapat umum) bagi berbagai sarikat. Mereka juga telah berafiliasi dengan PSII.


Sarikat ‘Himpoenan Soedara’, Para Haji Sudah Mulai Lengser?

 ‘Himpoenan Soedara’ telah berkiprah tiga puluh tahun pada tahun 1936. Untuk mengenang tiga dasawarsa organisasi para haji tersebut, pengurus menerbitkan sebuah buku peringatan, dicetak di atas kertas halus dan diilustrasikan dengan serikat itu sendiri, bahan foto berharga, yang member gambaran yang jelas tentang apa yang dilakukan oleh ‘Himpoenan Soedara’ selama tiga puluh tahun, dan dalam sejarah organisasi yang harus dianggap cukup lama. Banyak pejabat dari dunia asli (pribumi) dan ETI (Eropa/Belanda) juga turut menulis sebuah kontribusi pendek atau panjang dalam memoar ini. Buku ini menjadi tampak cukup tebal (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1936).

‘Himpoenan Soedara’ di Bandoeng, yang didirikan tahun 1906 (dan disahkan legalitasnya 1913) seumuran dengan ‘Sarikat Tapanoeli’ di Medan yang didirikan oleh orang-orang afdeeling Padang Sidempuan (nama sebelumnya afd. Mandailing dan Angkola) tahun 1905 dengan ketua Hadji Dja Endar Moeda dan wakil Sjech Ibrahim. Sebagaimana diketahui, Hadji Dja Endar Moeda adalah penulis buku Panduan Haji pertama tahun 1900 yang digunakan di seluruh Hindia Belanda. Dalam urusan organisasi, Dja Endar Moeda adalah pionir. Pada tahun 1902 Dja Endar Moeda telah mendirikan sarikat bernama ‘Medan Perdamaian’ di Padang dengan direkturnya Dja Endar Moeda. ‘Medan Perdamaian’ adalah organisasi kebangsaan bersifat nasional yang cabangnya terdapat di beberapa tempat di Sumatra dan juga di Batavia. Pada tahun 1903 ‘Medan Perdamaian’ memberikan bantuan dalam pembangunan sekolah di Semarang. Berbeda dengan sarikat dagang ‘Himpoenan Soedara’ di Bandoeng (1906) dan ‘Sarikat Tapenoeli’ di Medan (1905) yang focus dalam dunia perdaganga, ‘Medan Perdamaian’ mengusung misi kebangsaan (dalam arti luas), yang juga meliputi organisasi-organisasi bidang, seperti sarikat dagang, sarikat guru dan sebagainya. Pada tahun 1908 sarikat kebangsaan bernama ‘Boedi Oetomo’ didirikan, namun ruang lingkupnya terbatas dan cenderung bersifat kedaerahan. Pergeseran haluan di Jawa tersebut direspon mahasiswa di Belanda untuk tetap mewujudkan kesatuan dan persatuan yang dimotori oleh Soetan Casajangan dengan nama Indisch Vereeniging (Perhimpunan Mahasiswa Hindia Belanda). ‘Boedi Oetomo’ yang disokong oleh pemerintah colonial, di satu sisi memperkuat kehadiran Boedi Oetomo (kedaerahan) dan di sisi lain membuat kiprah organisasi nasional  ‘Medan Perdamaian’ dan ‘Indisch Vereeniging’ ingin dihilangkan dan paling tidak dikerdilkan. Ini tentu politik devide et impera. Tampaknya kemudian pemerintah sumringah, karena popularitas ‘Boedi Oetomo’ yang terus meroket, daerah-daerah lain juga mengikuti misi kedaerahan baik yang berhaluan mendukung maupun yang berhaluan menentang. Itulah yang menyebabkan munculnya organisasi daerah seperti Sumatrabond, Pasoendan, Kaoem Betawi, Minahasa, Jong Ambon dan sebagainya. Sejak itu, organisasi berjalan sendiri-sendiri dan hanya ‘Indisch Vereeniging’ yang terus mengusung visi nasional (yang pada tahun 1922 diperbarui oleh Mohamad Hatta dan kawan-kawan). Melihat organisasi kebangsaan yang tercerai berai, seorang muda revolusioner yang di tahun 1919 mendirikan surat kabar bernama Sinar Merdeka merupakan tokoh Sumatrabond, bernama Parada Harahap di Batavia, mulai melakukan terobosan baru dan boleh jadi Parada Harahap mendapat dukungan dari Soetan Casajangan yang saat itu menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Jatinegara) dan Husein Djajadinigrat di Rechtschool Batavia. Parada Harahap lalu menghubungi dua vokalis Pedjambon (kini Senayan) yang menjadi anggota Volksraad yakni M. Husni Thamrin dan Mangaradja Soangkoepon. Akhirnya pada bulan Mei 1927, disepakati pembentukan supra organisasi kebangsaan di rumah Husein Djajadiningrat yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (disingkat PPPKI) dengan ketua M. Hoesni Thamrin dan sekretaris Parada Harahap dan kantor ditetapkan di Gang Kenari. Sekadar diketahui, awalnya Boedi Oetomo ogah bergabung, namun Parada Harahap meminta kawannya Dr. Radjamin Nasoetion mempengaruhi Dr. Soetomo (keduanya dulu sekelas di STOVIA). Sejak pendirian PPPKI inilah greget Indonesia mulai terbentang hingga ke masa depan (hingga mencapai kemerdekaan RI). Catatan: Dja Endar Moeda (alumni Kweekschool Padang Sidempuan), Soetan Casajangan (alumni Belanda), Parada Harahap (hanya tamat sekolah dasar), Mangaradja Soangkoepon (alumni Belanda) dan Radjamin Nasoetion (Alumni Stovia) bukan kebetulan berasal dari kampong yang sama di Padang Sidempuan, melainkan mereka memiliki visi yang sama dengan yang lainnya seperti Husein Djajadiningrat, MH. Thamrin dan (kemudian menyusul) Soetomo.

Pada saat Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Keberadaan ‘Himpoenan Soedara’ di Bandoeng makin hari makin popular dan terhormat. Gedung ‘Himpoenan Soedara’ di jalan Masjid (Moskeeweg) kerap dijadikan rapat-rapat sarikat baik sarikat kebangsaan maupun sarikat-sarikat fungsional (guru, pedagang, kaum perempuan).

Beberapa kongres yang dilakukan di gedung ‘Himpoenan Soedara’ adalah: Kongres PSII (De Indische courant, 24-03-1937), Parindra cabang (De Sumatra post, 24-09-1937), pers pribumi (De Sumatra post, 23-04-1938), Muhammadiyah (De Sumatra post, 10-10-1938), Parindra pusat (De Indische courant, 21-11-1938), PNI (De Indische courant, 27-01-1939), guru (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1939), PII (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-08-1939) dan sebagainya. Tentu saja oleh Perhimpoenan Persaudaraan Istri (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1939).

Dalam perjalanannya ‘Himpoenan Soedara’, sarikat yang mengusung sarikat dagang telah menjadi pusat kebangkitan kebangsaan di Bandoeng. Pada awalnya dimotori oleh para haji (para pedagang), namun tampaknya belakangan telah digantikan oleh generasi yang lebih muda (kalangan terpelajar). Pada tahun 1933 ‘Himpoenan Soedara’ memformat ulang system pembiayaan dengan mendirikan Pusat Kredit Bandoeng (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1938). Pada kesempatan ulang tahun ke lima tahun dari Pusat Kredir Bandung tersebut menyelenggarakan perayaan yang berlangsung di gedubg Himpoenan Soedara di jalan Moskeeweg.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1938: ‘…Perayaan peringatan ini dihadiri oleh sekitar 250 pihak yang berkepentingan, termasuk vie menemukan diri mereka controller dari Bandung, Administrator dan Wakil Administrator Umum Bank Kredit Rakyat, pengawas dari Volksiredietwezen dan Kerjasama, yang Volksraadsid, Mr. Otto Iskandar di Nata, yang wethouder Atma di Nata dan perwakilan daerah masing-masing. Rapat dibuka oleh Ketua Komite, Bapak Niti Soemantri, setelah kata disahkan oleh presiden asosiasi, Mr. R. Gandasapoetra yang menceritakan sejarah pembentukan asosiasi. Setelah istirahat, minuman disajikan, dan kemudian dilanjutkan ceramah yang diberikan oleh Bapak RS Soeriaatmadja dan Mr. I. Soeriaatmadja pada sistem sewa beli dan RM Margono Djojohadikoesoemo tentang perjalanannya di kawasan industri di Eropa selama bekerja di Departemen Kolonien’.

Pusat Kredit Bandoeng ini terus berkembang. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1939 melaporkan bahwa  dalam laporan setengah tahun pusat kredit Bandoeng ‘Himpoenan Soedara’ telah menunjukkan bahwa pada periode setengah tahun yang lalu, sebanyak 182 anggota baru telah bergabung, sehingga jumlah anggota per 1 Juli 1939 telah meningkat menjadi 1.204 orang. Sementara dana yang dipinjamkan per 30 Juni sebesar ƒ365,746, sedangkan tabungan sebesar ƒ368,236.
Demikianlah sekadar info tentang riwayat ‘Himpoenan Soedara’, suatu sarikat yang awalnya dimotori oleh para haji di Bandoeng yang berprofesi sebagai pedagang. Sarikat ini terus berkembang dan para pelakukanya tampaknya telah digantikan oleh para generasi muda yang lebih terpelajar yang lebih sesuai dengan eskalasi kebangkitan kebangsaan dan perkembangan politik. Seperti disebut di dalam berbagai tulisan, jejak ‘Himpoenan Soedara’ masih terlihat di masa kini yang muncul sebagai Bank Saudara.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar