Laman

Kamis, 04 Mei 2017

Sejarah Kota Padang (24): Pers Pribumi Bermula di Kota Padang; Dja Endar Moeda, Raja Persuratkabaran di Sumatera

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Hari ini, tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day 2017). Tahun ini yang menjadi tuan rumah adalah Indonesia.  Peringatan Kebebasan Pers sedunia ini dari tanggal 1-4 Mei dipusatkan di JCC, Senayan, Jakarta. Jumlah delegasi yang hadir hampir 1.000 insan pers dari lebih 100 negara.

Surat kabar 'Pertja Barat' di Kota Padang
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1993 menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memeringati prinsip dasar kemerdekaan pers. Sejak itu, 3 Mei diperingati. Kebebasan pers di Indonesia dimulai tanggal 23 September 1999 sehubungan dengan pengesahan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang didalamnya mencabut wewenang pemerintah untuk menyensor dan membredel pers.

Pers pribumi (baca: Pers Indonesia) dimulai di Kota Padang (1897). Ini bermula ketika kali pertama orang pribumi menjabat sebagai editor surat kabar. Pers internasional Indonesia juga juga dimulai di Kota Padang (1905). Ini bermula ketika orang pribumi menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda agar bisa dibaca oleh orang asing (Eropa) di Kota di Kota Padang.

Pengekangan pers Indonesia juga kali pertama terjadi di Kota Padang (1907). Ini bermula ketika pemerintah Hindia Belanda di Kota Padang menerapkan pasal delik pers terhadap insan pers pribumi. Sang editor dikenakan hukuman dan denda. Lantas kapan, menyuarakan kebebasan pers Indonesia dimulai? Kapan kebebasan pers internasional di Indonesia dimulai? Mari kita lacak.

Pers Pribumi dan Delik Pers

Di Kota Padang terbit surat kabar berbahasa Melayu, bernama Pertja Barat. Surat kabar yang diterbitkan oleh Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Bauner & Co) pada tahun 1897 meminta Dja Endar Moeda, seorang guru di Padang untuk menjadi editor (Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 04-12-1897). Sejak Dja Endar Moeda menjadi editor Pertja Barat, surat kabar Sumatra-courant berbahasa Belanda yang terbit di Kota Padang kerap menguktip kolom editorial yang ditulis yang ditulis oleh Dja Endar Moeda. Ini mengindikasikan bahwa Dja Endar Moeda memiliki kapasitas menjadi editor Pertja Barat dan pendapatnya yang tertulis dalam Pertja Barat serta hasil wawancara menunjukkan Dja Endar Moeda memiliki kemampaun intelektual yang baik.

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898 memberitakan isi esai Dja Endar Moeda mengusulkan di dalam korannya, Pertja Barat, menginginkan agar di sekolah pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda. Alasannya adalah bahwa sangat sulit bagi pribumi untuk bisa berbahasa Belanda. Pernyataan Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran Sumatra Courant juga memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang menanyakan langsung Menteri. Koresponden: ‘Apakah penggunaan bahasa kita (maksudnya Belanda) dalam pendidikan akan dihentikan?”. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang terjadi di sekolah guru’. Dja Endar Moeda berpendapat, bahasa Melayu sebagai pengantar di sekolah, tetapi bahasa Belanda juga perlu dan mengusulkan adanya pelajaran bahasa Inggris atau Prancis di sekolah pribumi. Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-11-1898 memberitakan Dja Endar Moeda yang mengkritisi penghematan dan pemotongan anggaran pendidikan untuk sekolah-sekolah pribumi (termasuk kweekschool). Itulah awal kiprah Dja Endar Moeda sebagai editor pribumi di dalam pers Belanda. Disebut pers Belanda karena pemilikan surat kabar tersebut masih di tangan orang Eropa/Belanda. Dari penyataan-pernyataan Dja Endar Moeda menunjukkan Dja Endar Moeda tengah memperjuangkan bangsanya (baca: Indonesia).

Dja Endar Moeda sudah sejak muda berperilaku sosial. Ketika masih sekolah dia mempelopori pengumpulan sumbangan dari warga kota untuk diberikan kepada warga kota lain yang miskin agar mampu membiayai sekolah anak mereka. Dja Endar Moeda juga aktif membantu penduduk yang terkena bencana. Dja Endar Moeda juga ternyata aktif membantu penduduk yang membutuhkan keadilan. Daftar kebajikan social ini masih panjang. Yang jelas, Dja Endar Moeda sangat sadar bagaimana membangkitkan bangsanya di bawah tekanan colonial, dimanapun dia berada dan siapa pun yang benar-benar membutuhkannya. Dja Endar Moeda adalah sosok penduduk pribumi terpelajar yang langka.

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884: ‘Ada dua anak murid Kweekschool Padang Sidempuoen yang bernama Si Saleh dan Si Doepang melakukan kebajikan mengumpulkan dana untuk membantu orang yang membutuhkan pendidikan’. Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 11-07-1898: ‘Dja Endar Moeda dari Pertja Barat mendorong partisipasi penduduk untuk membantu korban gempa di Bengkoelen’. Algemeen Handelsblad, 02-11-1898: ‘Dalam suatu pengadilan di Padang, seorang terdakwa pribumi tidak diwakili (oleh pengacara) di pengadilan. Mr. Dja Endar Moeda, editor Pertja-Barat, tertarik dan mengusulkan dirinya menjadi berada di belakang terdakwa. Permintaan ini dikabulkan. Si terdakwa mendapat hukuman yang lebih ringan dan hanya dijatuhi hukuman kerja paksa satu tahun karena yang bersangkutan membantu narapidana melarikan diri dari penjara’.

Dja Endar Moeda juga berjuang melawan pihak Belanda dengan opini. Dja Endar Moeda gerah dengan sikap orang-orang Belanda yang membantu menyumbang dana untuk Transvaal di Afrika sementara penduduk pribumi di Hindia Belanda sangat kesusahan. Penyumbang ini jika diperhatikan di dalam list yang terbit secara berkala di surat kabar tidak sedikit orang-orang yang bernama pribumi di dalam daftar penyumbang. Dja Endar Moeda tidak mau membantu, malah sebaliknya mengkritik orang-orang Belanda, Tionghia dan juga menyindir orang-orang pribumi yang turut menyumbang sementara di sekitar sendiri penduduk terpuruk dalam kehidupan.

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-12-1899 (pembaca menulis): ‘saya ingin memulai dengan apa yang telah diketahui yang disebut: Transvalomanie (bantuan untuk Belanda di Afrika). Ketika semua orang terdengar simpati di Belanda dan di diniuntuk kepentingan chariti ordonante. Dalam Ind. Revuew, November 1899 kita membaca, kata-kata yang sangat tepat berikutnya: .... bawah Transvalomanie untuk  menunjukkan bahwa dari Belanda di sini uang datang dalam jumlah banyak untuk Transvaal. Tujuannya baik. Tapi sama seperti cinta tanpa pengetahuan adalah fatal, mungkin amal tanpa menyalip tujuan. Sampai saat ini (9 November) hanya dari beberapa tempat penting di Nusantara telah terkumpul jumlah f37.115,28. Untuk berperang di Belanda sudah dikumpulkan f220.000. Ayo ke sana, ketika India adalah dalam kesulitan (yang kronis terjadi) yang itu sangat besar buat di sini. Bagaimana terpuji itu, bantuan untuk diberikan penghasilan sementara di sini terancam, di sini miskin dan juga terlihat di sekitar. Yang susah payah uang dari Timur dikirim, sedangkan tempat kami tinggal masih begitu banyak kemiskinan dan banyak air mata terlalu kering. Panti Asuhan dan pendirian amal lainnya memiliki kesulitan terbesar untuk tetap di tempat. The Transvaal didukung oleh seluruh beradab Hindia dunia bahkan ibu pertiwi. Transvaal akan menjadi kegagalan senegara tertekan kami. Dja Endar Moeda, Editor sini muncul lembar Melayu Pertja-Barat, baru ini menunjukkan yang pasti tidak hangat dan tidak tulus mengeluarkan hati simpati untuk Transvaal. Sekarang saya peduli sangat sedikit untuk sering membabi buta meniru Transvaal Transfigurasi membuat banyak kebodohan tentu tidak biasa dilakukan. Editor ini melaporkan dalam Koran melayu, bahkan dia mengaku putih, mengganggu, mereka makan wooiden dalam Melayu: Nenek Mojang, kurang digunakan untuk berarti: nenek moyang atau mengejek rangka mengutuk. Dan saya hanya bertanya: di mana perlu untuk memarahi, dan apa yang membantu para petani?’.

Dja Endar Moeda juga mendukung penduduk yang mampu untuk pergi jauh untuk melakukan ibadah hadji. Namun melihat selama ini banyak permasalahan yang dihadapi oleh calon dan jemaah haji, seperti sakit, meninggal, dirampok selama di perjalanan dan kehabisan uang dan tidak bisa kembali mencoba memandu dengan dengan menulis semacam buku panduan haji. Buku saku ini ternyata kemudian diadopsi oleh pemerintah untuk disebarkan di seluruh Hindia Belanda. Haji Dja Endar Moeda adalah penulis buku panduan haji pertama.

Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1900: ‘Untuk tujuan Mekkah yang dikeluarkan oleh Pemerintah banyak dan beragam persyaratan. Aturan-aturan ini jarang dibawa ke orang-orang yang terlibat dalam pengetahuan, atau dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka yang bisa menarik bagiannya taruhan yang paling menguntungkan, tetap tidak menyadari daripadanya. Dja Endar Moeda yang juga bernama Haji Mohamad Saleh telah menulis manuicript yang isinya 44 paragraf tentang semua informasi yang diperlukan untuk calon hadji yang akan berangkat dari Hindia Belanda berziarah ke Mekkah. Dja Endar Moeda berniat bahwa naskah itu akan dikirimkan kepada Direktur Pendidikan, Agama dan Budaya untuk ditawarkan agar bisa diadopsi lalu dicetak dan didistribusikan. Tujuannya adalah dimaksudkan untuk setiap para pejabat dapat meneruskan panduan tersbut kepada calon hadji ke depan. Kita berharap ini panduan pertanda baik bagi mendatang yang akan ke Mekkah dan berharap kepada pemerintah agar upaya Dja Endar Moeda agar dapat dihargai. (Padanger)’. [Dilansir De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-11-1900]

Dja Endar Moeda, pensiunan guru yang mendapat gaji pension, pemilik sekolah di Kota Padang, pemilik copyright novel yang dikarangnya ternyata yang menjadi pemiliki surat kabar Pertja Barat (De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901). Di dalam berita ini, Dja Endar Moeda juga telah menerbitkan dua media berbahasa Melayu lainnya, Insulinde (majalah) dan Tapian Na Oeli (surat kabar). Juga disebutkan bahwa Dja Endar Moeda dengan tiga media (berbahasa Melayu) plus percetakan memiliki banyak karyawan. Disebutkan dalam edisi pertama Insulinde, Dja Endar Moeda mengatakan bahwa diperlukan banyak media bagi bangsa pribumi untuk memberikan atau pengetahuan pembacanya ide yang lebih baik untuk berkenalan dengan isu-isu yang berbeda, tidak melulu dalam hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semata. Dja Endar Moeda berpendapat sekolah dan media sama pentingnya.

Nieuwe Rotterdamsche courant, 18-02-1856)
Sebelum ada Pertja Barat, sudah terbit surat kabar Pelita Ketjil, namun tidak lama. Pada tahun 1893, surat kabar Pelita Ketjil menjadi semacam ‘corong pemerintah’ untuk terus memuat isi Plakat Pandjang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-10-1908). Dengan terkooptasinya surat kabar Pelita Kecil ini untuk kepeluan mengingatkan kembali isi Plakat Pandjang, boleh jadi mendapat resistensi dari masyarakat sehingga surat kabar ini mati dengan sendirinya. Jauh sebelumnya, sudah terbit surat kabar berbahasa Melayu ‘Bintang Timoer’ di Padang. Surat kabar Bintang Timoer terbit pertama kali sejak Januari 1865. Surat kabar ini diterbitkan oleh van Zadelhoff en Fabritius (lihat  Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-01-1866). Namun surat kabar ini tidak terbit lagi pada akhir tahun 1866 karena tiras yang mencukupi lagi dan pada awal Januari 1867 penerbitan dihentikan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-01-1867). Jauh sebelumnya lagi sudah terbit surat kabar Bintang Oetara tahun 1856 (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 18-02-1856). Surat kabar berbahasa Melayu yang kemudian eksis selain Pertja Barat adalah Warta Brita dan Tjahaja Sumatra. Surat kabar Pertja Barat diterbitkan oleh Chatelin en Co; Warta Brita diterbitkan oleh R. Edward vsn Muijen; dan Tjahaja Sumatra diterbitkan oleh K. Baumer (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 08-07-1899). Sebagaimana telah disebutkan surat kabar Pertja Barat kemudian diakuisisi oleh Dja Endar Moeda.

Pertja Barat, setelah di tangan Dja Endar Moeda, profilnya drastis berubah dengan isi yang memihak (pribumi) menjadi media yang terus direspon dengan baik oleh penduduk. Pertja Barat tidak hanya menjadi rujukan bagi pribumi, juga menjadi rujukan bagi surat kabar Sumatra Courant. Dengan memperhatikan kiprahnya tersebut dan berbagai pendapatnya, Dja Endar Moeda dengan sendirinya telah memulai pers pribumi: ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. Dalam hal ini, Dja Endar Moeda boleh dikata adalah pionir pers pribumi. Dikatakan pers pribumi, karena Pertja Barat berbahasa Melayu, editornya pribumi, pemiliknya juga orang pribumi. Yang lebih penting surat kabar ini secara sadar menyuarakan ‘suara orang pribumi’.

Dja Endar Moeda adalah pribumi multi talenta: pendidik, jurnalis, dan novelis. Karyanya yang sudah diterbitkan tahun 1900, antara lain: Kitab Sariboe Pantoen: Ibarat dan Taliboen, Volumes 1-2 (terbit 1900); Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni toean (terbit 1900); Kitab boenga mawar: pembatjaan bagi anak2 (terbit 1902); Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar (terbit 1902); Hikajat sajang taq sajang: riwajat Nona Geneveuva (terbit 1902); buku terkenal Riwajat Poelau Sumatra (terbit 1903); Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar (terbit 1903); dan Kitab kesajangan: bergoena oentoek anak-anak jang baharoe beladjar membatja hoeroef Belanda (terbit 1904). Dja Endar Moeda dengan sendirinya sebagaii pribumi yang berhasil menjadi ‘konglomerat’ di Kota Padang. Dja Endar Moeda juga telah memiliki penerbitan berbahasa Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 06-06-1905). Surat kabar berbahasa Belanda tersebut adalah Sumatrasche Nieuwsblad (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1905: ‘Dja Endar Moeda, penerbit Sum. Nieuwtblad dan Pertja Barat’)..Diduga Dja Endar Moeda memperkaya medianya di segmen berbahasa Belanda untuk menjangkau opininya dapat dibaca oleh orang Eropa/Belanda dan juga untuk menyasar orang-orang elit pribumi yang lebih fasih berbahasa Belanda dibandingkan dengan berbahasa Melayu.

Dja Endar Moeda mulai menyadari betul arti berbangsa yang sepenuhnya melalui dunia jurnalistik. Benar apa yang pernah dikatakannnya ‘pendidikan dan media sama pentingnya’. Seorang pejabat di Kajoetanam yang membunuh orang pribumi diangkat Dja Endar Moeda sebagai laporan. Dja Endar Moeda ingin membela kaumnya yang tidak berdaya dan ingin menghukum pejabat Belanda yang lalim. Namun laporan tersebut telah membuat Dja Endar Moeda dipermasalahkan dengan pasal delik pers dan mendapat hukuman cambuk.   

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-11-1905 memberitakan delik pers di Pengadilan Padang dimana dua orang redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Koran ini menulis bahwa Si Saleh gelar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh, (menyebut nama Dja Endar Moeda sebagai demikian) editor koran berbahasa Melayu, Pertja Barat mendapat hukuman cambuk dan mengakibatkan cedera. Sementara, K. Baumer, editor Sumatraasch Nieuwsblad (berbangsa Belanda) hanya didenda f15.

Dja Endar Moeda tidak hanya mendapat hukuman yang menghina (dicambuk) juga Dja Endar Moeda diusir dari Kota Padang. Lantas apakah Dja Endar Moeda kapok? Ternyata tidak. Dja Endar Moeda hijrah ke Atjeh sambil mengembangkan sayap bisnis di Kota Medan. Surat kabar Pertja Barat dialihkan kepada adiknya Dja Endar Bongsoe. Sedangkan koran Sumatraasch Nieuwsblad dengan mengangkat editor baru bernama heer CA van Deutekom (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-07-1906).

Kasus delik pers kembali menimpa Dja Endar Moeda. Namun yang memiliki kasus bukan dirinya, tetapi editornya CA van Deutekom. Kasus ini terjadi bulan September 1906. Setelah kasus delik pers yang kedua ini, Dja Endar Moeda menutup Sumatraasch Nieuwsblad di Padang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1907) dan Dja Endar Moeda mulai mengembangkan bisnisnya ke Kotaradja dan menerbitkan surat kabar Pembrita Atjeh di Kota Radja dan menhidupkan kembali Sumatraasch Nieuwsblad di Kota Medan.

Dja Endar Moeda dengan berat hati meninggalkan Kota Padang. Di kota inilah Dja Endar Moeda memiliki sekolah sendiri (sekolah swasta) untuk memenuhi pendidikan pribumi yang tidak tertampung di sekolah pemerintah. Di kota ini pula Dja Endar menjadi jurnalis sejati yang juga menghantarkannya menjadi ‘konglomerat’. Di Kota Radja, Dja Endar Moeda dengan surat kabar baru, Pembrita Atjeh.

Mengapa Dja Endar Moeda hijrah ke Atjeh dan bukan ke Sibolga (Tapanoeli) agar lebih dekat dengan kampong halamannya di Padang Sidempuan? Hal ini boleh jadi karena saat itu wilayah hukum Province Sumatra’s Westkust termasuk Residentie Tapanoeli. Dengan sendirinya ini menjelaskan bahwa Dja Endar Moeda tidak hanya terusir dari Kota Padang, tetapi juga terusir dari kmpung halamannya di Tapanoeli. Saat itu, Residentie Tapanoeli termasuk Afdeeling Singkel.

Dja Endar Moeda di Kota Radja, sebagaimana di Kota Padang tetap berjuang untuk mencerdaskan bangsa dan juga melaporkan kelalilam pejabat dan juga bertindak untuk menjadi pembela rakyat di pengadilan. Dja Endar Moeda menjadi tidak ada takutnya lagi.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909 memberitakan bahwa Dja Endar Moeda, editor surat kabar Pembrita Atjeh membantu seorang terdakwa secara hukum dan bebas. Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa dan sikap adil, Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f 5.000, melalui pengacara, tetapi Dja Endar Moeda menolaknya. Ini satu indikasi Dja Endar Moeda telah berfungsi ganda dalam membantu penduduk dengan tulus dan tidak mengejar fulus.

De Sumatra post, 30-12-1909
Surat kabar Dja Endar Moeda maju pesat di Kotaradja karena tidak ada saingan. Dja Endar Moeda boleh dibilang adalah perintis surat kabar di Atjeh. Sementara di Medan, Sumatraasch Nieuwsblad kalah bersaing dengan Deli Courant dan Sumatra Post. Untuk koran berbahasa Melayu, Pertja Timor sulit tertandingi di Medan. Akan tetapi sejak Pertja Timor tidak diasuh oleh editor Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe, koran bertiras tinggi ini mulai melorot. Dja Endar Moeda melihat peluang ini, sementara Sumatraasch Nieuwsblad terus kalah bersaing. Akhirnya Dja Endar Moeda menutup Sumatraasch Nieuwsblad dan menerbitkan Pewarta Deli (1910) di bawah bendera NV. Sjarikat Tapanoeli. Awalnya yang menjadi editor Pewarta Deli adalah Dja Endar Moeda. Boleh jadi hanya sekadar memulai dan karena kesibukan dalam mengelola bisnisnya di Kota Padang, Kota Sibolga, Kota Radja dan Kota Medan editor Pewarta Deli diberikan kepada Panoesoenan gelar Soetan Sori Moeda. Untuk sekadar catatan: motto surat kabar Pertja Barat di Kota Padang dan Pewarta Deli di Kota Medan persis sama: ‘Oentoek Sagala Bangsa’, tidak hanya Minangkabau, Nias, Batak, Melayu, Atjeh tetapi suku bangsa yang lainnya. Dja Endar Moeda, Dja Endar Bongsoe, Mangaradja Salamboewe dan Soetan Sorie Moeda adalah mantan-mantan guru yang sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean (suksesi Kweekschool Tanobato yang didirikan oleh Willem Iskander tahun 1861).

De Sumatra post edisi 29-05-1908 yang terbit di Medan menulis dalam editorial (yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad di Batavia) mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik disbanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering membela insan dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh koran Bataviaasch nieuwsblad. Editor Sumatra Post ini melanjutkan: ‘Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.  Ini suatu indikasi baru, setelah Dja Endar Moeda lalu Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe merupakan pejuang pers pribumi.

Dja Endar Moeda adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Mangaradja Salamboewe adalah alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempoean (1893). Sekolah guru yang dibuka tahun 1879 tersebut harus ditutup tahun 1893 karena penyusutan anggaran pemerintah. Untuk siswa-siswa asal Tapanoeli disarankan menuju Kweekschool Fort de Kock. Meski demikian adanya, Kweekschool Padang Sidempoean (sejak 1879) dan Kweekschool Tanobato (sejak 1862) telah memberi pengaruh yang besar di Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli.

Guru terkenal di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen yang berdinas selama delapan tahun yang mana selama lima tahun terakhir menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempoean. CA van Ophuijsen anak dari mantan Controleur di Natal memulai karir guru di Padang Sidempuan yang mempelajari bahasa Batak dan bahasa Melayu yang kelak dikenal sebagai penyusun Tata Bahasa Melayu dengan nama ejaan Ophuijsen (menjadi Profesor bahasa Melayu di Universiteit Leiden).

Sumatra-courant, 08-04-1874
Semua guru-guru alumni dua sekolah tersebut menulis buku dan novel, semua murid-muridnya memahami tiga bahasa (Batak, Belanda dan Melayu). Oleh karenanya penduduk cukup banyak yang fasih berbahasa dan menulis Bahasa Melayu. Para penduduk tidak hanya biasa berbahasa Melayu diantara mereka tetapi juga mengirim tulisannnya di surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Padang. Pembaca menulis di surat kabar adalah bagian dari pers. Sejak awal 1870an warga Padang Sidempuan sudah kerap menulis di surat kabar Sumatra Courant yang terbit di Padang. Tulisan mereka yang dimuat sebagian berbahasa Belanda dan sebagian yang lain menggunakan bahasa Melayu (meski koran tersebut berbahasa Belanda). Tidak hanya guru-guru yang menulis, tetapi juga banyak penduduk yang menulis iklan (seperti iklan dari ayah Soetan Casajangan, Maharadja Soetan, murid dari Willem Iskander di Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 08-04-1874).

Mengapa penduduk Mandailing dan Angkola lebih terbiasa berbahasa Melayu dialek Riau dibanding dialek Minangkabau karena boleh jadi secara historis penduduk di Angkola dan Mandailing sudah sudah sejak lama terhubung dengan perdagangan di selat Malaka dimana di pantai-pantai cukup banyak dan tersebar komunitas Melayu.  

Itulah awal pertama adanya pers pribumi yang dimulai di Kota Padang. Dja Endar Moeda adalah pionir. Namun pada waktunya nanti, perjuangan pers Dja Endar Moeda dikerdilkan dan Tirto Adhi Soerjo digelembungkan. Kelak, Tirto Adhi Soerjo ditabalkan pemerintah sebagai Bapak Pers Indonesia.

Riwayat awal Tirto Adhi Soerjo tidak terlalu dikenal (sejauh yang bisa ditelusuri). Namanya muncul pertamakali pada tahun 1902. Disebutkan Tirto Adhi Soerjo diangkat sebagai editor Pembrita Betawi, majalah yang diterbitkan oleh firma Albrecht en Co, suatu perusahaan yang memiliki percetakan dan toko (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-05-1902). Dja Endar Moeda lebih awal lima tahun (sejak 1897). Nama Tirto muncul kembali tahun 1904 yang mana disebutkan Tirto adalah editor majalah Soenda Berita yang akan melakukan kerjasama dengan Koningin-Wilhelmina School dimana siswa-siswa dengan berbagai topik dapat dimuat dalam media tersebut (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-08-1904). Pada tahun 1907 majalah baru diterbitkan dengan nama Medan Prijaji. Majalah berbahasa Melayu ini adalah organ dari Boedi Oetomo dengan administrateur majalah, Mas Arsad (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1908). Sedangkan editornya adalah Tirto yang kini Medan Prijaji jauh lebih populer daripada mantan Pewarta Prijaji (Soerabaijasch handelsblad, 21-11-1908). Tirto mulai beraksi dengan pemberitaan yang lebih kontras yang akhirnya editor Medan Prijaji mendapat cobaan karena melakukan penghinaan (Soerabaijasch handelsblad, 19-12-1908). Setelah Tirto pulang dari Negeri Belanda, proses delik persnya terus berlangsung. Di pengadilan dinyatakan bersalah dan harus dihukum. Tirto setelah habis masa hukumannya diasingkan ke Lampung (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-05-1910). Setelah dari pengasingan, Tirto kembali ke Batavia dan mulai aktif kembali dengan Medan Prijaji. Pada tahu 1911 Tirto Adhi Soerjo berpolemik dengan pengurus Sarikat Militer Boemi Poetra. Kemudian tahun 1912 Tirto Adhi Soerjo, editor Medan Prijaji berpolemik (delik pers) karena memfitnah dan pencemaran nama baik (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1912). Tirto dan kawan-kawan dihukum penjara tetapi menebus dengan uang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-12-1912). Tirto ‘berjuang’ hanya efektif sejak 1910 hingga 1912. Sejak akhir tahun 1912 kabar berita Tirto tidak pernah terdengar. Setelah kasus yang menimpanya (delik pers), Tirto Adhi Soerjo, juga soal perdata dengan para kreditornya  semakin merperburuk hal yang harus dihadapi olehnya. Tirto Adhi Soerjo hidupnya boleh jadi menjadi tidak menentu, karena asetnya di Medan Prijaji terus tersandera dan boleh jadi harus dijual untuk menebus para kreditor (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-02-1914). Tirto Adhi Soerjo tidak diketahui entah dimana, Ketika namanya muncul kembali, Tirto Adhi Soerjo dikabarkan telah meninggal dunia di Batavia tanggal 7 Desember 1918 dalam bentuk artikel obituari yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo.

Mungkin anda tidak akan membayangkan bahwa Medan Prijaji akan berhenti secepat itu, dan mungkin anda tidak membayangkan Tirto Adhi Soerjo tersandera kasus perdata, lalu aset harus dijual dan juga mungkin anda tidak membayangkan siapa yang akan 'membeli' nama Medan Prijaji ini. Yang membeli nama itu untuk sekadar diketahui diantaranya adalah anak-anak Kota Padang Sidempoean dan anak-anak Kota Padang (yang sebagian besar alumni STOVIA) yang kini (1915) berada di Medan.

Sumatera post, 18-01-1915: ‘Dalam pertemuan terakhir pengurus Medan Prijaji terpilih. Hal ini terdiri sebagai berikut: Abdul Rashid, Inlandsch arts, Presiden, J. Salim sebagai Wakil Presiden, Mohd Yusuf, kepala sekolah sebagai sekretaris-1, Harazah sebagai skretaris-2, St. Guru, sebagai bendahara. Anggota komisaris terdiri Baginda Djoendjoengan, Dt. Raja Angat, Sjamsoeddin, Dt. Noordin, ARC Salim  dan Abd. Wahab Siregar.

Dalam dunia pers, bobot tema perjuangan Dja Endar Moeda jauh lebih kuat dibandingkan dengan Tirto Adhi Soerjo. Perkara pertama yang menimpa dirinya dalam delik pers yang dikenakan adalah pasal penghinaan, yang mana Tirto Adhi Soerjo di dalam Medan Prijaji edisi Juni 1908 No 24 menyebut wakil controleur Poerwedadi sebagai ;ingus-monyet dari aspirant controller; (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909). Kemudian kasus yang kedua menimpa Tirto Adhi Soerjo adalah juga pasal finah yang mana Adhisoerjo melakukan fitnah di dalam korannya terhadap dua pegawai negeri sipil yang mengakibatkan dirinya dapat hukuman empat bulan pemberhentian ke tempat pengasingan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1912).

Hal penghinaan dan fitnah bukanlah esensi perjuangan pers pribumi. Kalau ada kesalahan kutip atau interpretasi adalah lumrah bagi seorang jurnalistik dan manusiawi. Tetapi jika menghina dan menfitnah itu namanya bukan menghadapi risiko, tetapi membuat konyol. Coba kita bandingkan dengan tema-tema yang diajukan Dja Endar Moeda sehingga isinya dimuat koran-koran Eropa/Belanda. Jangan lupa, Dja Endar Moeda adalah pendidik dan mantan guru yang terus peduli bangsanya. Mari kita simak kiprahnya di dunia pendidikan dan jurnalistik, sebagaimana dikatakannya pendidikan dan pers sama pentingnya.

Debat Dja Endar Moeda di Sumatra Courant, 1899.
Riwayatnya juga tidak terlalu dikenal. De waarheid, 04-03-1989: ‘Tentang Tirto ini sampai sekarang sangat sedikit yang diketahui, meskipun ia dianggap di masa sekarang Indonesia sebagai ‘Bapak Pers Nasional’.  Pada tahun 1973, pemerintah menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional.
Untuk sekadar mengingat kembali bahwa surat kabar Bintang Timoer yang (juga) pernah terbit di Kota Padang pada tahun 1865 (tetapi kemudian tutup), hingga tahun 1878 hanya terdapat tujuh buah surat kabar berbahasa Melayu di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) yang mana enam buah beraksara Latin dan satu buah aksara karakter Arab. Yang beraksara Latin terdapat tiga buah di Batavia dan masing-masing satu buah di Semarang, Soerabaja dan Menado. Yang beraksara karakter Arab tedapat di Batavia (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 11-11-1878). Namun perlu diketahui semua surat kabar berbahasa Melayu tersebut dimiliki oleh ‘investasi asing’ (non pribumi). Semua editor dari tujuh surat kabar tersebut adalah non-pribumi kecuali (pernah) satu orang berinisial WI asal Sumatra (WI, een inlander van Sumatra). Siapa yang berinisial WI sulit terlacak, tetapi pribumi terpelajar saat itu (yang pandai menulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu) adalah Willem Iskander. Apakah inisial WI adalah Willem Iskander? Sebab pada era-era awal pers berbahasa Melayu hanya Willem Iskander yang terbilang sebagai penulis dari golongan pribumi, sebagai penulis buku umum dan penulis buku pelajaran seperti buku De Braven Hendrik yang terkenal di Eropa diterjemahkannnya dalam bahasa Batak (Angkola Mandailing) dicetak dan diterbitkan di Batavia tahun 1862. Sementara itu sebelum tahun 1900 di Kota Padang hanya ada dua surat kabar berbahasa Melayu yakni Warta Brita dan Pertja Barat. Kedua surat kabar ini investasi asing (non-pribumi) yang kemudian pada tahun 1897 Pertja Barat yang menjadi editor diangkat Dja Endar Moeda. Dan, tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya. Ini dengan sendirinya, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah orang pertama di dalam pers pribumi (editor dan pemilik). Nama-nama seperti Mahjoeddin di Padang, Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe (1902 di Medan) dan Tirto Adhi Soerjo (1903 di Batavia) hanyalah editor semata. Editor yang naik kelas menjadi pemilik hanyalah Dja Endar Moeda (sejak akhir 1999). Dengan demikian, pers pribumi (editor sebagai jiwa dan pemilik sebagai badan), jika dan hanya jika itu yang dimaksud pers pribumi, pionirnya adalah Dja Endar Moeda (bukan siapa-siapa dan juga bukan Tirto Adhi Soerjo).
Dja Endar Moeda tidak hanya piawai untuk urusan pers pribumi (berbahasa Melayu), Dja Endar Moeda juga jago dalam beropini dengan wartawan Belanda di Sumatra Courant tahun 1899 dalam kasus transvaal (bantuan orang-orang Belanda terhadap golongan putih de Boer di Afrika, sementara di Hindia Belanda, pribumi dilanda kemiskinan). Ini juga berarti Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang mampu beropini (polemik) di dalam pers Balanda. Singkat fakta: semua perihal awal pers dan perjuangannya adalah milik dan hak Dja Endar Moeda, bukan milik Tirto Adhi Soerjo sebagaimana dipahami selama ini. Semua yang diperjuangkan Dja Endar Moeda dimulai dari Kota Padang. 
Kebebasan Pers dan Pers Internasional. Isu kebebasan pers dimulai oleh Parada Harahap; isu pers internasional oleh Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Dua topik ini akan dibuat dalam dua artikel dalam serial Sejarah Kota Padang ini..

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar