Kota Padang, selain rawan gempa, sesungguhnya
rawan banjir. Dampak gempa terbesar yang dialami Kota Padang akibat gempa
adalah munculnya tsunami pada tahun 1797. Sedangkan banjir sendiri di Kota
Padang dikhawatirkan dapat muncul kapan saja. Curah hujan yang tinggi dengan Kota
Padang yang relatif datar, kapan saja bisa muncul banjir Bandang dari hulu yang
memiliki kemeringan yang tajam. Kota Padang memiliki riwayat banjir yang
cukup panjang.
Peta Kota Padang (kanal), 1929
|
Untuk memahami banjir di Kota Padang, mari
kita telusuri riwayat banjir yang pernah terjadi di Kota Padang. Catatan banjir
di Kota Padang sesungguhnya cukup tersedia, namun sejauh ini belum pernah
dikompilasi. Upaya pengumpulan data banjir ini diperlukan untuk memahami
pola-pola banjir di Kota Padang dan bagaimana solusi-solusi yang pernah
diterapkan. Pola-pola banjir dan solusi yang pernah ada di masa lampau dapat
dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam perencanaan penanggulangan bahaya
banjir di Kota Padang. Mari kita lacak!
Warga Kota Padang Sumbang
Korban Banjir di Belanda
Kota Padang mulai berkembang sejak kehadiran Pemerintahan
Hindia Belanda tahun 1819. Kota Padang saat itu masih di sekitar Moearo, hilir
sungau Batang Arau. Luapan sungai saat terjadi hujan lebat maupun air kiriman
dari hulu tidak sampai meluber ke pemukiman di sepanjang sisi kiri sungai.
Dengan kata lain, Kota Padang awal perkembangannya tidak pernah dilaporkan
adanya banjir.
Peristiwa tahun 1797 (era VOC) saat terjadi tsunami, kota
Padang tersapu habis dengan munculnya terjangan air laut yang tingginya 5-10
meter. Peristiwa ini bukan banjir tetapi tsunami, yang menghancurkan kota
Padang. Bagi penduduk kota Padang, kewaspadaan hanya tertuju pada tsunami,
bukan banjir akibat hujan lebat dan luapan sungai Batang Arau.
Bahaya banjir justru sebaliknya kerap terjadi
di Belanda (Moederland). Banjir di Belanda adalah momok, warga selalu was-was
dan banjir terbilang suatu hal yang mengkhawatirkan. Banjir yang terjadi di
Belanda tahun 1861 adalah banjir yang sangat besar. Banyak korban jiwa dan
kerugian materi. Warga kota Padang turun prihatin dan dari kota Padang
dikirimkan sumbangan oleh Schellenbach cs. Sebesar f650 dan manajemen
muzijkgezelschap sebesar f1250. Sumbanga-sumbangan tersebut dikirim melalui
Kementerian Dalam Negeri (Nederlandsche staatscourant, 24-10-1855). Total
sumbangan dari seluruh Hindia Belanda sebesar f251.723 (Padangsch nieuws- en
advertentie-blad, 04-05-1861).
Meski demikian, wilayah di sekitar kota Padang
sesungguhnya kerap terjadi banjir. Oleh karena wilayah-wilayah yang terkena
banjir terutama luapan sungai Batang Arau berada di luar kota, peristiwa banjir
dianggap bukan persoalan. Wilayah-wilayah yang terkena banjir di luar kota
tersebut, menyisakan genangan air dan terbentuknya rawa-rawa. Wilayah rawa-rawa
tersebut, kini berubah menjadi bagian kota metropolitan Padang.
Warga/Penduduk Padang Menantang Banjir
Lanskap cikal bakal Kota Padang, 1890 |
Sketsa Kota Padang, 1879 |
Pada fase ini, warga/penduduk Kota Padang seakan
menantang banjir, rawa-rawa yang kerap terjadi banjir, yang sewaktu-waktu
banjir meninggi sehingga menggenangi pemukiman penduduk. Saat itu, warga/penduduk
Kota Padang yang mendiami area rawa-rawa tersebut adalah orang-orang pribumi
yang terus berdatangan dari segala penjuru di Pantai Barat Sumatra, termasuk
dari pedalaman di dataran tinggi yang pada akhirnya terbentuk kampong-kampung.
Nama-nama kampong yang terbentuk seperti Kampong Berok, Kampong Nipah, Kampong
Seblah, Poeloe Ambatjang, Goeroen, Pondok dan sebagainya.
Kanalisasi di Kota Padang
Pada tahun 1850an Kota Padang yang masih
terkonsentrasi di sepanjang sisi barat sungai Batang Arau mulai merasakan perlunya
pengembangan pemukiman Eropa/Belanda. Jumlah orang Eropa.Belanda semakin banyak
lalu membutuhkan lahan baru peruntukan bangunan (rumah dan bangunan lainnya).
Sejumlah pemukiman penduduk pribumi mulai digusur terutama di area yang menjadi
kampong Nipah. Ini dengan sendirinya area orang-orang Eropa/Belanda semakin
meluas ke belakang sisi barat sungai Batang Arau.
Area orang-orang Eriopa/Belanda ini mulai dikeringkan
dengan meningkatkan sistem drainase yakni membuat kanal besar. Pembuatan kanal
ini tampaknya untuk dua fungsi: yang pertama untuk sistem drainase untuk
penampungan/pengaliran air ke laut; fungsi yang kedua adalah untuk memisahkan
pemukiman orang-orang Eropa/Belanda dengan penduduk pribumi.
Kota Padang sebagai ibukota Province Sumatra’s
Westkust, wilayah provinsi di sisi pantai mulai dari Moko-moko hingga Singkel dan
dari pulau-pulau hingga ke pedalaman, arus penduduk (urbanisasi) terus
mengalir, akibatnya perkembangan kota menjadi tidak pernah berhenti. Pemerintah
lambat laun mulai merasakan permasalahan social dan spasial. Semakin banyak
penduduk, semakin banyak pula penduduk yang berada di area pemukiman yang tidak
layak (rawa-rawa) yang kerap banjir.
Residen/Asisten Residen Padangsche (Benelanden) mulai
merencanakan kota yang lebih luas dengan mengubah permasalahan social (tempat
tinggal) dengan tantangan spasial. Perencanaan kota ini melahirkan konsep
kanalisasi Kota Padang (membuat kanal). Ada pengeluaran ekstra pemerintah
(membuat kanal) dan potensi pendapatan pemerintah dengan menerapkan pajak lahan
tempat tinggal.
Untuk mengatasi tata ruang Kota Padang
tersebut muncul ide pembuatan kanal seiring dengan
rencana pembangunan rel kereta api (lihat Ingenieur JL. Cluijsenaer, 1876). Kanal yang dimaksud adalah kanal yang
merupakan pembuatan sungai (kali) dengan menyodet sungai Batang Arau di hulu
dan mengalirkannya ke sisi barat lalu berbelok ke selatan menuju laut melewati
area pemukiman penduduk (kampong-kampong). Kanal ini sangat besar dan cukup
dalam yang kini dikenal sebagai Banda Bakali.
Ide kanal baru ini sesungguhnya tidak
hanya berfungsi untuk menopang sistem drainase tata ruang kota (muara sungai-sungai
kecil, pengeringan rawa-rawa, saluran pembuangan), tetapi kanal ini dari sisi
pemerintah dapat dipandang sebagai barier, semacam garis pertahanan kota. Ide ini setelah direalisasikan, kelak dalam
perang kemerdekaan, kanal yang dibangun pada tahun 1911 ini menjadi batas pemisah area pertempuran antara militer Belanda dan pejuang RI.
Peta Kota Padang 1916 (belum ada kanal) |
Perencanaan tata ruang kota yang terintegrasi dengan
pertahanan pada era VOC pernah dibuat di Batavia yakni dengan menyodet sungai
Kali Tjiliwong ke arah sisi barat (Jl. Djuanda/Gadjah Mada yang sekarang) dan
pada fase berikutnya menyodet kembali sungai Kali Tjiliwong ke arah timur/utara
(Jl. Soetomo Pasar Baroe/Goenoeng Sahari). Sungai Tjiliwong yang asli
dihilangkan antara Stasion Djoeanda dan Stasion Mangga Doea. Kanal baru akan
bertemu di Glodok. Pada fase selanjutnya dibuat kanal baru dengan menyodet
sungai Kroekoet di Tanah Abang menuju sungai Kali Angke (drainase dan
pertahanan). Pada era pemerintahan Hindia
Belanda, pada tahun 1918 kanal (banjir) barat dibuat dengan menyodet sungai
Tjiliwong di Manggarai (dan dihubungkan dengan kanal Tanah Abang) hanya semata-mata
untuk penanggulangan banjir ke istana (di Konings Plein). Pada era kemerdekaan
(masa kini) pembangunan kanal banjir timur untuk penanggulangan banjir.
Namun demikian, perencanaan kanal ini di Kota
Padang tidak segera direalisasikan karena membutuhkan dana dan daya yang sangat
besar. Oleh karena itu pemerintah daerah (gewest) tidak akan cukup alokasi dana
untuk membangun kanal di dalam kota, sementara wilayah pembangunan begitu luas.
Untuk itu diperlukan suatu pemerintahan kota yang mampu mengkonsolidasikan
pengeluaran dana yang besar untuk infrastruktur dengan penciptaan pendapatan
baru berupa (ekstensifikasi) pajak (pajak baru).
Banjir menerjang jembatan kereta api di Anai, 1892 |
Banjir Besar di Kota Padang Memicu Pembangunan Kanal
Algemeen Handelsblad, 26-10-1907). |
Peta Padang, 1929 (sudah ada kanal) |
Pada tahun 1911 bandjir-kanal di Kota Padang benar-benar
mulai direalisasikan (lihat M. Joustra, 1923). Pembangunan kanal ini diharapkan
agar air di waktu hujan lebat berada di bawah kampong-kampung
(pemukiman-pemukiman). Selama ini hujan lebat yang lama menjadi momok bagi
warga yang selalu air menggenangi tempat-tempat pemukiman penduduk.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-01-1912:
‘…Di Pasar Gsdang pedagang inlandsen di dalam air tidak bisa menjaga
keseimbangan dan dia diseret oleh air yang mengalir kuat untuk di Pulau Ayer,
di mana untuk mengambil orang itu berhasil tiang lampu di samping rel kereta
api, sehingga kerusakan lebih lanjut dicegah. Diharapkan bahwa pekerjaan bandjir
kanaal yang mendesak dilanjutkan sehingga Padang setiap muncul hujan lebat
dapat terhindar dari banjir’.
Proses pembangunan kanal ini cukup lama. Hal
ini karena kanal ini cukup lebar dan dasar kanal dengan permukaan tanah cukup
tinggi. Ini dimaksudkan agar terjadi sinkronisasi antara arus air dari Batang
Arau dengan air laut. Selama proses pembuatan kanal ini beberapa kali terjadi
banjir di Kota Padang. Beberapa kejadian banjir yang penting adalah banjir pada
tahun 1914 dan 1915.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie: ‘Banjir.
Padang, 12 Mei 1914. Padang kemarin setelah hujan lebat tampak sebagian
terendam. Di kampong Cina dan sekitarnya, air lebih dari satu meter. Koneksi
rel Poeloe Ajer-Emmahaven rusak oleh bandjir. Layanan telepon harus terhenti. Banyak
pohon tumbang di dekat pemukiman. Kerusakan materil cukup besar.
Awal pengoperasian banjir kanal Kota Padang, 1916 |
Kanal ini dimaksudkan untuk mencegah banjir.
Namun ada dua kejadian yang tidak perlu terjadi. Pertama, konstruksi kanal di
area Djati yang tidak sesuai dengan potensi ketinggian arus air dengan tinggi
permukaan kanal yang saat terjadi arus air besar membuat tanggul jebol
mengakibatkan banjir (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1915).
Kedua, adanya luapan air kanal mengakibatkan banjir ke tempat pemukiman. Padahal
tidak ada angin tidak ada hujan. Hal ini terjadi karena pintu air kanal di
sungai Batang Arau jebol (Bataviaasch nieuwsblad, 23-10-1915). Peristiwa banjir
ini seakan ‘banjir kiriman’, hujan lebat di hulu yang mengakibatkan arus sungai
Batang Arau menerjang pintu kanal.
Dua peristiwa yang terjadi pada tahun 1915 ini
mengindikasikan bahwa banjir kanal yang sudah mulai rampung dibuat belum
efektif beroperasi. Perencanaan teknis kanal adalah satu hal, tetapi perilaku
alam yang muncul dalam perilaku arus air adalah hal yang lain. Dua peristiwa
itu seakan menguji desain dan konstruksi banjir kanal Kota Padang sebelum
benar-benar mampu efektif beroperasi.
Banjir Pasca Banjir Kanal
Banjir kanal (banda bakali) adalah upaya
pemerintah kota (gemeenteraad) untuk mewujudkan Kota Padang bebas banjir memang
perlu tetapi tidak cukup. Karena, kenyataannya, setelah adanya kanal, Kota
Padang masih terjadi banjir. Berikut adalah daftar banjir yang pernah terjadi
di Kota Padang.
Tanggal Kejadian Banjir di Kota Padang
|
||
Tanggal
|
Keterangan
|
Sumber
|
28-12-1915
|
Bandjir te Padang: Padang, 28 Desember. Terjadi
bandjir besar di distrik komersial dan campongs sekitarnya di Padang sekitar 80
sentimeter air. Sekarang air sudah surut.
|
Bataviaasch nieuwsblad, 28-12-1915
|
03-11-1923
|
Bandjir te Padang. Padang, 3 Nov. v.
(Aneta) Oleh bandj di Cineesche Kamp berada di bawah air. Jembatan di atas
bandjir kanaal telah rusak.
|
Bataviaasch nieuwsblad, 03-11-1923
|
16-04-1926
|
Di Padang tanggal 16 April banjir.
|
Tilburgsche courant, 17-04-1926
|
09-12-1926
|
Banjir. Padang, 9 (Aneta). Suatu bandjir di
Batang Harau membanjiri bagian bawah Padang dan Ommelanden
|
De Indische courant, 09-12-1926
|
30-06-1931
|
Banjir di Padang. Kerusakan itu ƒ110. 000..
|
De Telegraaf, 30-06-1931
|
07-09-1931
|
Suatu banjir di Padang. Aneta kita untuk
Padang mentransmisikan sekarang ada banjir lagi. Di kampong Cina dan
daerah-daerah rendah air adalah setengah meter tinggi.
|
De Sumatra post, 07-09-1931
|
Serentetan te Padang. Padang hujan terus
berlanjut. Di beberapa tempat bandjir. Pasaroesang beberapa rumah melayang;
dari 11 orang yang hanyut masih belum diketahui.
|
De Indische courant, 18-11-1938
|
|
27-12-1938
|
Bandjir te Padang. Banjir berat muncul
kemarin di dataran rendah bagian dari Padang. Daerah kamp Cina terendam
setengah meter. Tidak ada kecelakaan diri.
|
Bataviaasch nieuwsblad, 28-12-1938
|
Tidak semua data ditampilkan
|
Banjir Darah Banjir Kanal
Sebagaimana di kota lain, banjir kanal
dirancang Belanda tidak hanya untuk penanggulangan banjir tetapi juga untuk
fungsi pertahanan. Pada perang
kemerdekaan wilayah Kota Padang di dalam area banjir kanan menjadi pusat
Belanda, sementara di luar TRI bergerilya terutama pada malam hari. Banjir
kanal menjadi semacam batas pemisah antara Belanda dengan republiken dan banjir
kanal menjadi barier.
Pasukan TRI terus mengincar jembatan di atas banjir kanal baik jembatan kereta api maupun jembatan oto. Pertempuran kerap terjadi di seputar jembatan di atas banjir kanal. Pada malam tanggal 11 dan 12 Agustus serangan TRI terhadap kereta api tidak ada kerugian sementara pada malam tanggal 12 seorang TRI menyusup dan dapat diatasi (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 20-08-1946). Pada tanggal 18 Januari 1947 mortir-mortir TRI telah menghantam dua jembatan di atas banjir kanal (Provinciale Drentsche en Asser courant, 25-01-1947).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
TERIMAKASIH CUKUP INFORMATIF, TERUTAMA YANG SEDANG MEMPELAJARI POLA BANJIR DI KOTA PADANG SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA YANG TERNYATA SUDAH DIMULAI SEJAK JAMAN KOLONIAL BELANDA DAHULU
BalasHapussangat bermanfaat
BalasHapusterima kasih banyak
BalasHapus