Land Depok tidak hanya koloni warga pendatang di tengah penduduk asli. Warga pendatang yang awalnya merupakan tenaga kerja Cornelis Chastelein juga menjadi koloni pengguna bahasa Melayu di tengah penduduk asli yang berbahasa Sunda (lihat Depok en Depokkers door JN Grimmius, 1852).
Bataviasche courant, 13-04-1825
|
Setelah sekian abad, Land Depok yang dulu hanya segelintir warga sebagai pengguna
bahasa Melayu, pada masa kini, bahasa Melayu yang telah bertransformasi menjadi
Bahasa Indonesia dan kota yang semakin meluas menjadi Kota Depok sekarang,
warga kota terbilang pengguna Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari
tertinggi di Indonesia. Bagaimana itu semua terjadi, mari kita telusuri dari
awal (sejak adanya komunitas pendatang di Land Depok di masa lampau).
Pusat Penggunaan Bahasa Melayu
di Tanah Sunda
Bahasa Melayu sebagai lingua franca di nusantara sudah berlangsung sejak kehadiran
Belanda, bahkan di era Portugis yang datang seabad lebih awal sudah menjadikan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dengan penduduk pribumi terutama
penduduk yang berada di pantai-pantai. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar di pantai-pantai begitu luas mulai dari kepulauan Andaman hingga
kepulaaun Maluku dan mulai dari pulau Rote hingga pulau Luzon.
Bagaimana bahasa
pengantar sejak jaman kuno disebut menjadi bahasa Melayu (bukan bahasa
Sanskerta) sulit diketahui. Pedagang-pedangan dari India, Arab (termasuk Mesir)
dan Persia diduga yang menularkan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar ke
berbagai titik perdagangan pantai. Barus sebagai pusat perdagangan awal
terkenal dengan pusat perdagangan komoditi kuno seperti emas, kemenyan,
benzoin, kamper (kapur barus) dan getah damar. Menurut ahli bahasa, salah satu
kosa kota bahasa Melayu yang masuk dalam kitab suci Alquran dan Injil adalah
kapur barus, melalui bahasa Persia kuno (kafura).
Keberadaan bahasa Melayu tersebutlah yang digunakan Belanda (VOC) sebagai
bahasa pengantar. Dalam laporan ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de
Houtman sudah mengidentifikasi bahwa bahasa yang kerap digunakan di
pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi adalah bahasa Melayu. Sebagaimana diketahui
ekspedisi pertama Belanda ini juga menyertakan ahli linguistik. Ketika mereka
di darat berinteraksi dengan penduduk asli yang bukan pengguna bahasa Melayu
berbicara (menggunakan beberapa kosa kata bahasa Melayu) ternyata dapat dipahami.
Ini mengindikasikan penggunaan bahasa Melayu tidak hanya di pantai-pantai
Sumatra tetapi juga di pantai utara Jawa termasuk pelabuhan Banten dan
pelabuhan Sunda Kalapa.
Sebagian penduduk
asli di hulu sungai Tjiliwong, sudah tentu banyak yang mengetahui kosa kota
atau mengerti sepenuhnya bahasa Melayu ketika mereka melakukan interaksi di
pantai (Sunda Kalapa) dalam transaksi perdagangan dengan orang luar. Dalam
kumpulan pepatah orang Sunda yang dikumpulkan oleh KF Holle (1863)
teridentifikasi banyak kosa kota yang diduga terserap dari bahasa Melayu. Ini
mengindikasikan bahwa penduduk asli Sunda di hulu sungai Tjiliwong tidak asing
dengan bahasa Melayu (paling tidak mereka mengetahui di pantai khususnya di
pelabuhan Sunda Kalapa digunakan bahasa Melayu.
Namun demikian, pengguna bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari di Tanah
Sunda sudah barang tentu (hanya) terdapat di Land Depok. Hal ini karena
komunitas tenaga kerja Cornelis Chastelein termasuk yang terbilang banyak. Satu
hal yang tidak boleh dilupakan saat itu Land Depok adalah area terjauh dimana
ada transaski penjualan lahan yang digunakan oleh investor Eropa.
Sejak terbentuknya
komunitas warga Depok (eks tenaga kerja Cornelis Chastelein) bahasa Melayu
mulai tersebar bagi penduduk asli di sekitar. Penggunaan bahasa Melayu di Land
Depok semakin intens ketika VOC sejak 1714 sudah mengintroduksi pendidikan di
Land Depok. Di beberapa pelabuhan yang menjadi awal koloni VOC seperti di
Padang sudah diintroduksi pendidikan namun gagal karena penduduk asli tidak
terlalu berminat. Hal ini kontras dengan di Land Depok yang secara sosial
(politik) sudah berafiliasi dengan asing (VOC/Belanda).
Nederlandsche Zending Genootschap mulai melakukan aktivitas di Batavia. Hal
yang pertama dilakukan adalah menerjemahkan Injil yang dilakukan oleh zendeling
J. Akersloot ke dalam bahasa Melayu yang digunakan kali pertama di Depok en
Toegoe (Javasche courant, 12-06-1828). Nederlandsche Zending Genootschap mulai
tertarik dengan komunitas (Kristen) di Land Depok, maka sejak itu Land Depok
dijadikan sebagai basis zending yang kemudian jemaatnya dikenal sebagai Inlandsche
Christenen Gemeente van Depok.
J. Akersloot menjadi pendeta di Depok antara tahun 1825 hingga 1830 (lihat
Grimmius, 1852). Salah satu pendeta terkenal di Gemeente Depok en Toegoe adalah
JRPF Gonggrijp. Setelah sekian tahun Gonggrijp
kembali ke Belanda (Delf) tahun 1866 (lihat Nederlandsche staatscourant,
25-05-1866). Posisinya digantikan oleh asistennya Biekhof.
Penulisan kamus
bahasa Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu pada era VOC hanya digunakan untuk
kalangan orang-orang Belanda/VOC. Sejak terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda
(yang menggantikan VOC) merilis kamus bahasa Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu
tahun 1803. Kamus ini kemudian diedarkan secara luas termasuk di dalam
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Kamus ini juga digunakan oleh
para misionaris.
Dalam perkembangan lebih lanjut Nederlandsche Zendelinggenootschap mulai
melakukan penulisan buku-buku pelajaran dan buku-buku agama (Kristen). Beberapa
buku yang ditulis yang dibiayai Nederlandsche Zendelinggenootschap, antara lain:
1. Kitâb Malájuw 'åkan meg’âdjar hêdjà güna segala 'Anakh
Jang baháruw memulâij dengan peladjâran.
2. Kitab Malajuw jang kaduwa, 'åkan meng’âdjar hêdjâ, gūna
segala 'ánakh jang sudah belâdjar sedikit sâdja.
3. Kitàb Midras jag dålamnja 'ada ter simpan babarapa fatsal
jag Pendekh dán bergüna, 'åkan debatjåkan; terkårang dålam bahása Wolandâwij,
güna segala 'Anakh Midras, 'awleh tuwan pema Rentah Midras dàn tersâlin kapada
bahása Malájuw 'awleh R. Le Bruyn, Pandita 'Indjil di pùlaw Timor.
4. Sawàtu perkatà dan natsilhat.
5. Tjeritera Ihikajet Isãj 'Elmesêlh jang 'Anakh 'Allah dan
Muchalits segala 'awrang berdawsa.
6. Perg’adjàran jang pendekh 'åkan segala Kabenâran 'Agama
Mesêlhij, terkårang 'awleh A. Brink, tersâlin deri pada bahàsa Wolandâwij
kapada bahása Malâjuw 'awleh J. Akersloot, jang pada màsa hidopmja Surôhan
'Indjil ditánah Depok, dekàt Bâtawijah.
Buku-buku tersebut kali pertama di gunakan di Gemeente van Depok. Buku-buku
lainnya yang ditulis oleh para pendeta di lingkungan sekolah yang dikelola
misionaris juga muncul. Pendeta JRPF Gonggrijp juga penulis buku-buku umum (sekolah)
yang produktif. Bukunya yang berbahasa Melayu juga diterjemahkan ke dalam
bahasa daerah seperti bahasa Batak. Salah buku JRPF Gongrijp yang disadur ke dalam bahasa Batak yang diberi
judul Barita na Marragam (Diterbitkan di Batavia 1868).
Ini mengindikasikan
bahwa penulisan buku-buku pelajaran lebih ditujukan kepada kalangan penduduk
yang bersekolah. Buku-buku pelajaran yang berbahasa Melayu umumnya hanya di
tempat-tempat tertentu seperti di Batavia, Padang dan (land Depok). Sedangkan
di daerah lain buku-buku ditulis dalam bahasa daerah seperti di Residentie Tapanoeli,
Preanger dan Buitenzorg (minus land Depok) dan Jawa.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Penggunaan Bahasa di Depok Masa
Ini
Kota Depok adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada umumnya masyarakat
Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari di rumah. Kecuali
di Land Depok yang sejak dari doeloe sudah diintroduksi bahasa Melayu (cikal
bakal Bahasa Indonesia). Lantas bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia di Kota
Depok pada masa ini?
Grafik penggunaan bahasa sehari-hari, 2010 |
|
Lantas bagaimana di kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat? Ternyata
penggunaan Bahasa Indonesia sehari-hari tertinggi terdapat di Kota Depok
(bandingkan dengan di Kota Bekasi yang hanya 72.18 persen). Di Kota Bandoeng
hanya terdapat sebanyak 26.91 persen.
Mengapa begitu
tinggi penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari di Kota Depok
jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Jawa Barat? Tentu saja itu bukan
karena di Land Depok introduksi bahasa Melayu lebih awal di Tanah Sunda. Itu
hanya satu hal. Tingginya penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari di Kota Depok pada masa kini adalah hal yang lain.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar