Laman

Selasa, 03 Oktober 2017

Sejarah Kota Padang (42): Nama-Nama Jalan Tempo Doeloe di Kota Padang; Jalan Tertua Nipah laan, Djati laan dan Hospital weg (1879)

Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Kota Padang sudah lama terbentuk. Di Kota Padang terdapat sejumlah nama kampong yang sudah terhubung oleh jalan kota. Berdasarkan peta Kota Padang 1879 hanya ada tiga jalan yang secara teknis sudah memiliki nama, yakni: Nipah laan (Jalan Nipah), Djati laan (Jalan Djati) dan Hospital weg (Jalan Hospital/Rumah Sakit) . Ruas-ruas jalan lainnya belum diberi nama atau belum memiliki nama. Meski demikian, di ruas-ruas jalan tersebut teridentifikasi nama-nama kampung/area.

Peta Kota Padang, 1879
Nama-nama kampung adalah Kampong Berok, Kampong Sablah, Kampong Djawa dan Kampong Oedjoeng Pandang. Nama-nama area adalah Zeestrand, Goeroeng, Poelo Karam, Pasar Ambatjang, Pondok, Pasar Gadang, Alang Lawas, Hiligoo,  Pingir Kollang, Olo, Belantong, Kandang, Dammar, Poeroes dan Rimbo Kloeang.

Pada peta Kota Padang tahun 1915 jumlah nama jalan semakin banyak. Tiga nama jalan yang pertama, Nipah laan, Djati laan dan Hospital weg masih eksis. Nama-nama baru jalan adalah Chinese Kerk straat, Belakang Pondok weg, Oude Cantine weg, Oedjoeng Bandar straat, Prins straat, Nieuwe weg, Zee straat, Kerk straat, Strand weg, Wilhelmina straat, School straat, Societeits weg, Djawa Dalam straat, Slinger laan, Paper laan, Willem III straat, Depot weg, Van Bosse straat, Benteng weg dan Justitie laan.

Ruas-ruas jalan yang ada di dalam kampong/area meski tidak secara tegas disebut nama jalan, tetapi nama-nama jalan diidentifikasi seseuai nama kampong/area, yakni: Kampong Baharoe, Tarandam, Kampong Djawa, Pasar Djawa, Sawahan, Moearo, Poelau Karam, Pondok, Tapi Pasang, Goeroen, Goeroen Ketjil, Oedjoeng Goeroen  Parak Karambiel, Balakang Tangsi, Alang Lawas, Ganting, Olo, Belakang Olo, Damar, Balantoeng, Balantorng Ketjil, Poeroes, Pasar Ambatjang, Hiligoo, Kandang, Kampong Sebelah, Pasar Oedik, Pasar Hilir, Batipoe, Pasar Borong, Pasar Kodja dan Greve Kade.

Peta Kota Padang, 1915
Nama-nama jalan tersebut tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan peta Kota Padang 1945. Peta ini sesungguhnya adalah peta yang direproduksi dari peta Kota Padang 1915 untuk kebutuhan perang (oleh Sekutu). Oleh karenanya, peta Kota Padang yang mengidentifikasi nama jalan (sejauh ini) hanya peta tahun 1879 dan peta 1915.

Selama pendudukan Jepang tidak ada nama jalan yang diubah. Akan tetapi di Djakarta (Batavia) ada beberapa nama jalan di Era Belanda diubah di era pendudukan Jepang, yakni Van Heutz-boulevard menjadi Djalan Imamura, Oranjeboulevard menjadi Djalan Raya Showa, Nassau-boulevard menjadi Djalan Raya Meiji dan Paleisstraat menjadi Djalan Istana (lihat De bevrijding: weekblad uitgegeven door de Indonesische Vereniging Perhimpoenan Indonesia, 26-05-1945).

Pada era kemerdekan Indonesia (utamanya pada pasca pengakuan kedaulatan RI) nama-nama jalan yang berbau Belanda (maupun yang berbau Jepang) diubah dengan nama-nama Indonesia. Penamaan baru nama jalan ini selain di Djakarta juga terjadi di berbagai kota antara lain di Padang, Medan, Bandoeng, Bogor dan Depok.

Secara khusus di Kota Medan, selain nama-nama Belanda juga cukup banyak nama-nama berbau Tiongkok. Beberapa nama yang berbau Belanda tetap dipertahankan seperti Jalan Pasteur di Bandoeng, Jalan Max Havelaar (disesuaikan menjadi Jalan Multatuli).

Di Kota Padang, seperti yang terlihat pada masa ini, nama-nama jalan yang berbau Belanda telah diubah. Nama jalan tersebut adalah Benteng weg dan Societeits weg (menjadi Jalan Bagindo Azis Chan), Kerkstraat (Jalan Wolter Monginsidi), Prins traat (Jalan Gereja), Wilhelmina straat (Jalan Diponegoro), Van Bosse straat (Jalan Pattimura), Oude Cantine weg (Jalan Karya), School straat (Jalan Bundo Kandung), Peper laan (Jalan Raden Saleh), Justitie laan (Jalan Pancasila), Slinger laan (Jalan RE Ratulangi), Hospital weg (Jalan Proklamasi), Greve Kade (Jalan Batang Arau) dan Strand weg (Jalan Samudra).

Selain itu nama-nama lokal diubah seperti Alang Lawas menjadi Jalan M. Yamin dan Jalan MH. Thamrin, Goeroen menjadi Jalan Hayam Wuruk, Kandang (Jalan H. Agus Salim), Belantoeng (Jalan Sudirman). Djati laan (Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Teuku Umar)  dan Pasar Djawa (Jalan Pasar Raya). Sementara nama-nama lokal yang tetap dipertahankan seperti Jalan Pondok, Jalan Pulau Karam, Jalan Muara, Jalan Hiligoo, Jalan Damar dan Jalan Nipah.

Dua kota besar di Sumatra tempo doeloe (1875-1880)
Berdasarkan peta sejaman, sesungguhnya baru Kota Djakarta dan Kota Padang yang menginisiasi nama jalan (layaknya sekarang). Dalam peta-peta sejaman seperti Kota Semarang, Kota Soerabaja, Kota Bandoeng dan Kota Buitenzorg ruas-ruas jalan belum ada yang diberi nama. Untuk Kota Medan nama jalan baru muncul dalam peta Kota Medan 1895 (17 nama jalan). Padahal Medan baru ditetapkan sebagai ibukota pemerintahan (Belanda) tahun 1875 setingkat kecamatan dengan menempatkan seorang Controleur. Oleh karenanya penamaan nama jalan di Kota Medan ini (dalam tempo 20 tahun) cukup drastis dari segi jumlah, sebab di Kota Padang pada Peta Kota Padang 1915 baru terdapat 12 buah (bandingkan dengan peta Kota Padang 1879 sebanyak tiga buah). Kota Medan yang terus berkembang dengan perubahan yang sangat cepat, pada peta Kota Medan 1915 nama jalan di Kota Medan sudah mencapai 77 buah (terbanyak kedua setelah Kota Batavia).

Peta Kota Medan, 1915
Kota Medan pada tahun 1915 ditetapkan sebagai ibukota provinsi (Province Sumatra’s Oostkust). Kota Medan sesungguhnya baru tahun 1875 ditetapkan sebagai ibukota kecamatan (onderafdeeling), setelah lima tahun Deli Mij yang didirikan Nienhuys beroperasi. Saat itu Afdeeling Deli beribukota di Laboehan dan ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust di Bengkalis (Siak). Kota Padang sendiri sebagai ibukota provinsi (Province Sumatra’s Westkust) bahkan sudah sejak tahun 1834. Provinsi Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga Residentie: Padangsche Benelanden (ibukota di Padang), Padangsche Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock) dan Tapanoeli. Pada tahun 1875 Kota Padang Sidempoean adalah ibukota Residentie Tapanoeli. Kota Padang Sidempoean saat itu adalah kota kedua terbesar di Sumatra, bahkan Kota Medan sendiri saat itu masih sebuah kampung. Mengapa kota Padang Sidempoean begitu besar relatif dengan kota-kota lain di Sumatra, karena Kota Padang Sidempoean adalah ibukota Residentie (secara geografis setara provinsi), tempat Residen berkantor. Di Kota Padang Sidempoean sudah terdapat sekolah guru atau kweekschool (hanya ada dua sekolah guru di Sumatra selain di Fort de Kock); juga terdapat sekolah Eropa, kelak menjadi ELS (sekolah Eropa kedua selain di Padang). Di dalam Kota Padang Sidempoean terdapat empat sekolah dasar negeri (di kota Padang baru dua buah). Saat itu di Sumatra’s Westkust, dua garnisun militer Belanda terbesar di Kota Padang dan terbesar kedua di Kota Padang Sidempoean (dalam rangka perang yang berlarut-larut melawan Sisingamangaradja). Oleh karena itu, Kota Padang Sidempoean lebih cepat berkembang jika dibandingkan Kota Fort de Kock (yang sama-sama ibukota Residentie). Jarak yang dekat antara Kota Padang dengan Kota Fort de Kock mengakibatkan orang-orang Eropa indeferen dan lebih memilih Kota Padang untuk berbagai hal yang berbau Eropa. Di Residentie Tapanoeli, Kota Padang Sidempoean menjadi pusat Eropa. Dalam perkembangannya, ibukota Residentie dipindahkan (kembali) ke Sibolga dan pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dengan Province Sumatra’s Westkust. Dalam perkembangan lebih lanjut saat Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi provinsi (Province Oost Sumatra) tahun 1915 yang beribukota di Medan, sebaliknya Province Sumatra’s Westkus dilikuidasi dan diturunkan menjadi setingkat residentie (West Sumatra). Akibatnya, Kota Medan semakin pesat berkembang (kota terbesar kedua setelah Kota Batavia), sebaliknya Kota Padang semakin melambat dan Kota Padang Sidempoean lebih lambat lagi perkembangannya (orang Padang Sidempoean yang dulunya berorientasi ke Kota Padang kemudian beralih ke Kota Medan (yang juga disusul kemudian orang Fort de Kock). Orang-orang Padang Sidempoean memainkan peran dalam coast to coast ini (Sibolga di west dan Medan di Oost); kemudian orang-orang Padang Sidempoean dan Fort de Kock secara bersama-sama memainkan peran signifikan dalam coast-to-coast yang baru (diperluas) dari Medan (di oost) ke Padang (di west).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar