Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia tidak dibangun dalam tempo singkat. Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia mengikuti jalan evolusi. Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia diproklamasikan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dinyatakan sebagai hasil keputusan Kongres Pemuda. Meski Bahasa Indonesia sudah dinyatakan sebagai bahasa persatuan (nasional) orang Indonesia, tetapi dalam kenyataannnya di awal proklamasi Bahasa Indonesia belum diterima sepenuhnya dalam kehidupan nyata. Kini, Bahasa Indonesia tidak terbantahkan lagi. Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa nasional Republik Indonesia tetapi juga telah menjadi bahasa internasional.
Sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean (sejak 1879) |
Lantas bagaimana awal
mula pembentukan Bahasa Melayu sehingga pada akhirnya terbentuk Bahasa
Indonesia. Sudah barang tentu, dinamika penggunaan Bahasa Melayu di Kota
Padang memainkan peran penting dalam mewujudkan promosi Bahasa Melayu menjadi Bahasa
Indonesia. Namun satu hal, ternyata orang Mandailing dan Angkola (Padang
Sidempoean) tidak sedikit perannya dalam mempromosikan Bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional dan Bahasa Melayu (daerah) menjadi Bahasa Indonesia (Nasional).
Bagaimana itu terjadi? Mari kita telusuri. Kronologis ringkasnya sebagai berikut:
Penyusun Tata Bahasa Melayu (Maleische spraakkunst) yang terkenal adalah Charles Adrian van Ophuijsen yang diterbitkan pada tahun 1910. Beberapa tahun sebelumnya (1902) ejaan yang diusulkannya diadopsi pemerintah yang dikenal sebagai ejaan van Ophujisen. Pada tahun 1904 van Ophuijsen diangkat sebagai dosen (guru besar) di Universitas Leiden dalam bidang bahasa Melayu. Charles Adrian van Ophuijsen sebelumnya adalah Inspektur Pendidikan di Provinsi Pantai Barat Sumatra (Province Sumatra’s Westkust) yang selama delapan tahun menjadi guru di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoen dari tahun 1881-1889) yang mana lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Salah satu mantan murudnya, guru di Padang Sidempoenan, Soetan Casajangan menyusulnya ke Belanda tahun 1905 untuk studi dalam mendapatkan akta guru sekolah. Sambil kuliah Soetan Casajangan turut membantu van Ophuijsen dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universitas Leiden. Revitalisasi studi dan pengajaran Bahasa Melayu ini didorong oleh Dr. A. Fokker yang datang ke Padang pada tahun 1903 untuk membicarakan soal media dengan Dja Endar Moeda. Dalam tahun itu Fokker mengajak Dja Endar Moeda dan Dr. A. Rivai, dua pribumi terpelajar berkunjung ke Belanda. Sepulang dari Belanda Dja Endar Moeda berpartner dengan Fokker, sebagai koresponde surat kabar (bulanan) Bintang Hindia yang dikelola Fokker di Amsterdam. Saat itu Dja Endar Moeda sudah memiliki tiga media di Pantai Barat Sumatra (Pertja Barat, Tapian Na Oeli dan Insulinde). Sementara Dr. A. Rivai langsung menetap di Belanda untuk menggantikan Fokker sebagai editor Bintang Hindia. Dja Endar Moeda, mantan guru dan pemilik sekolah swasta di Padang (1895) adalah mantan murid Charles Adrian van Ophuijsen dan kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda, sebagai editor Pertja Barat yang terbit di Padang tahun 1898. Sebagaimana dilaporkan surat kabar Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898 Dja Endar Moeda mengusulkan agar di sekolah pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda. Pernyataan Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran Sumatra Courant mengkonfirmasi Menteri Pendidikan di Batavia. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang terjadi di sekolah guru’. Ini mengindikasikan bahwa Charles Adrian van Ophuijsen, Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan adalah pegiat generasi pertama dalam pengajaran Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Ayah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan adalah murid-murid Willem Iskander di Kweekschool Tanobato (Afdeeling Mandailing en Angkola). Sebagaimana diketahui, Willem Iskander adalah siswa pertama pribumi studi ke Belanda tahun 1857 dan setelah lulus dan mendapat akta guru tahun 1861 kembali ke kampung halaman dan mendirikan Kweekschool Tanobato (1862). Kweekschool pertama di Sumatra berada di Fort de Kock didirikan tahun 1856 (setahun sebelum Willem Iskander berangkat ke Belanda). Pendiri Kweekschool Fort de Kock adalah JAW van Ophuijsen (ayah Charles Adrian van Ophuijsen), mantan Controleur Natal yang kemudian menjadi Asisten Residen berkedudkan di Fort de Kock. Pada tahun 1864, Inspektur Pendidikan Nasional (JA van der Chijs) berkunjung ke Kweekschool Tanobato. Laporan Chijs dari Tanobato membuat heboh di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) karena Kweekschool Tanobato terbaik dan Kweekschool Fort de Kock tidak pantas menyandang nama sebagai kweekschool. Satu hal dalam laporan ini, menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola. Singkat kata: atas prestasi Willem Iskander, pemerintah di Batavia menetapkan untuk membimbing tiga guru (Soerono dari Soerakarta, Sasminta dari Madjalengka dan Barnas dari Tapanoeli) untuk studi ke Belanda sementara Willem Iskander melanjutkan studinya untuk mendapatkan akta kepala sekolah yang akan diproyeksikan menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1879. Namun keempat pribumi ini tidak kembali karena satu persatu meninggal dunia. Sementara itu, pada November 1876 seorang alumni Belanda diangkat sebagai panitera di kantor Controleur di Panjaboengan, Afdeeling Mandheling en Ankola. Di tempat baru ini Charles justru jatuh hati dan belajar sendiri (otodidak) dalam bidang sastra dan kebudayaan Batak. Rupanya perilaku dan kemampuan belajar otodidak Charles ini diketahui oleh Menteri Buijs yang tengah berkunjung ke Panjaboengan lalu menawarkan apakah Charles dengan bakat dan kemampuannya itu bersedia untuk menjadi guru di sekolah Kweekschool. Sekolah yang dimaksud Pak Menteri membutuhkan guru Eropa yang akrab dengan satu atau lebih bahasa asli dan etnologi di Nederlandsche Indie. Profesi ini sangat jarang dan Charles tidak keberatan, malah sangat bersemangat. Jalan hidup Charles yang sebenarnya kini muncul ke permukaan di daerah terpencil di Mandheling en Ankola. Lalu Charles Adriaan van Ophuijsen diuji sebagai guru di depan komisi pendidikan (1879). Laporan yang dipertahankannya di depan sidang komisi pendidikan berjudul 'Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Kehidupan Kekeluargaan Orang Batak). Setelah dinyatakan lulus Charles ditempatkan di Probolinggi. Pada tahun ini juga (1879) Kweekschool Padang Sidempoean akhirnya dibuka dengan direktur pertama LK Harmsen (pengganti Willem Iskander). Harmsen sebelumnya ditempatkan kali pertama (guru dari Belanda) di Kweekschool Fort de Kock sambil menunggu penempatan permanen ke Kweekschooll Padang Sidempoean. Charles Adriaan van Ophuijsen sebagai peneliti dan guru muda bahkan diangkat menjadi anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (semacam perhimpunan ilmu dan pengetahuan) di Batavia tahun 1880. Pada tahun 1881 Charles Adriaan van Ophuijsen lalu dipindahkan dari Probolinggo ke ke Kweekschool Padang Sidempoean (sebagaimana yang diinginkannya). Saat itu JW van Haastert adalah direktur Kweekschool Padang Sidempoean yang untuk sementara menggantikan Mr. Harmsen yang sudah beberapa waktu sakit (dan kembali ke Belanda). Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-09-1882: ‘C.A. van Ophuijzen mengajar bahasa Melayu di Kweekshool Padang Sidempoean dengan mendapat tunjangan sebesar 50 Gulden per bulan di atas gajinya’. Pada tahun 1883 Mr. Haastert dimutasi ke Probolinggi, dan posisi yang ditinggalkannya dipromosikan Charles Adriaan van Ophuijsen menjadi Direktur Kweekshool Padang Sidempoean. Salah satu alumni pertama di sekolah guru Padang Sidempoean ini adalah Saleh Harahap yang kelak dikenal sebagai Dja Endar Moeda (Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda). Sebagaimana kelak kita lihat guru-guru asal Padang Sidempoean memainkan peran dalam promosi Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia: Radja Goenoeng berhasil melakukan reformasi pendidikan pribumi di Sumatra (1915) yang diangkat menjadi penilik sekolah di Sumatra Timur yang berkedudukan di Medan (1916-1920) dan pribumi pertama di Sumatra anggota dewan di gemeenteraad Kota Medan; Mohammad Taif (ayah SM Amin Nasoetion, Gubernur pertama Sumatra Utara) sebagai penilik sekolah di Riau yang berkedudukan di Tandjong Pinang); Emil Harahap, mantan murid Soetan Casajangan yang menjadi guru di Depok yang menulis buku Arti Logat Bahasa Melajoe (terbit 1917); Soetan Casajangan, Direktur Normaal School di Meester Cornelis (1920-1929); Armijn Pane dan Sanusi Pane (anak guru Soetan Pangoerabaan Pane di Padang Sidempoean); Soetan Goenoeng Moelia (anak seorang guru di Padang Sidempoean) yang menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua (menggantikan Ki Hadjar Dewantara) dan Madong Loebis, Ketua Panitia dan guru senior Bahasa Indonesia dalam Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan tahun 1954.
Studi Awal Bahasa
Melayu di Mandailing dan Angkola
Bahasa
Melayu sudah sejak lama menjadi bahasa pengantar di pusat-pusat keramaian
seperti pusat transaksi dagang dan pelabuhan. Bahasa Melayu yang sudah menjadi
lingua franca juga dengan sadar diadopsi oleh Belanda sebagai bahasa pengantar
agar komunikasi orang-orang Belanda dengan penduduk pribumi yang berlainan
etnik (dan bahasa) menjadi efektif.
Pada fase
permulaan ini, penggunaan Bahasa Melayu baru sekadar komunikasi lisan, sangat
jarang digunakan sebagai bahasa tulisan karena belum adanya tata bahasa
(grammar) yang dijadikan rujukan dalam penulisan. Bahkan dalam buku Almanak
tahun 1811 hanya terdapat sebatas kosa kata (dictionary) dan terjemahannya
dalam Bahasa Belanda. Daftar kosa kata di dokumen Belanda diduga kuat bersumber
dari buku William Marsden. Singkat kata: Bahasa Melayu belum ada yang
mempelajarinya secara mendalam (komprehensif).
Studi
tentang bahasa (etnik) di Hindia Belanda sesungguhnya baru dimulai di Tanah Batak. Ini sehubungan
dengan kebutuhan lembaga misionaris untuk menerjemahkan Injil ke dalam Bahasa
Batak. Tugas ini dilakukan oleh N. Van der Tuuk tahun 1850an yang diawali
dengan pembuatan kamus dan tata Bahasa Batak dalam aksara Latin. Tata bahasa
hasil karya van der Tuuk ini boleh jadi merupakan tata bahasa (etnik) pertama
yang sudah dipelajari dan terdokumentasi untuk digunakan lebih luas.
Ada dua aspek
yang diintroduksi dalam hal ini yakni penyalinan kosa kata dari aksara Batak ke
aksara Latin dan penyusunan pedoman dalam berbahasa (tata bahasa). Saat itu
sangat umum dimana-mana bahasa etnik ditulis dalam aksara lama: aksara Batak di
Tanah Batak, aksara Arab di Ranah Minangkabau, aksara Jawa di Tanah Jawa dan
Tanah Sunda. Penulis-penulis atau peneliti-peneliti Belanda boleh dikatakan
sebagai pionir dalam introduksi dan pengalihan aksara bahasa-bahasa (etnik) ke
dalam aksara Latin, seperti halnya di Tanah Batak oleh N. van der Tuuk.
Penerapan
aksara Batak dan tata bahasa Batak besar kemungkinan terjadi di afdeeling
Mandailing dan Angkola. Sebagaimana diketahui, pada fase studi van der Tuuk ini sudah tersedia sekolah (aksara Latin) di Mandailing dan Angkola dan van der
Tuuk sendiri kerap datang dan boleh dikatakan cukup intens van der Tuuk di
afdeeling Mandailing dan Angkola. Sebab saat itu, orang Eropa hanya terdapat di
Mandailing dan Angkola (Asisten Residen di Panjaboengan dan Controleur di
Padang Sidempoean).
Penerapan aksara
Latin di sekolah-sekolah di afdeeling Mandailing dan Angkola dikatakan
terbilang sukses karena pada tahun 1854 sudah ada dua siswa asal afdeeling
Mandailing dan Angkola (Si Asta dan Si Angan) yang mengikuti sekolah kedokteran
di Batavia (kelak disebut Docter Djawa School). Dua siswa ini merupakan siswa
pertama yang diterima dari luar Jawa. Pada tahun 1857 Si Sati berangkat studi
ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Sebagaimana diketahui, Si Sati (yang
mengubah namanya menjadi Willem Iskander) lulus tahun 1861 dan kembali ke tanah
air. Di kampong halamannnya di Tanobato (Onderafdeeling Mandailing) Willem
Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) tahun 1862. Sekolah guru ini
mengasuh calon guru, siswa-siswa terbaik dari sekolah-sekolah yang ada di
Afdeeling Mandailing dan Angkola.
Sumatra-courant, 20-09-1871 |
Buku-buku yang berkaitan dengan
sastra dan tata bahasa Melayu sesungguhnya sudah ada. Buku tata bahasa Melayu
yang ada masih terbatas (khusus) dan baru ditujukan bagi orang Belanda yang
akan bertugas di Hindia Belanda. Pada tahun 1861 terbit kamus bahasa
(Melayu-Belanda) dan Tata Bahasa Melayu (Maleische Spraakkunst) di Belanda (lihat
Opregte Haarlemsche Courant, 22-07-1861). Buku-buku ini diduga menjadi bahan
rujukan Willem Iskander mengajarkan bahasa Melayu di Kweekschool Tanobato sejak
1862..
Nieuwe Rotterdamsche courant:
staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya
mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah
ini (Afdeeling Mandaling dan Angkola) telah banyak berubah, perbaikan
perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah
membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali ke kampungnya.
Ketika saya tiba (di Tanobato) disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah
dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk
di atas kuda dengan pakaian Eropa, murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya
tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa
datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam,
prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa
Batak dan bahasa Belanda…. Di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan
oleh orang non-Melayu di negara (daerah) non-Melayu dengan sangat baik... (selain
itu) buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Mandailing/Angkola. saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.
Keberhasilan Willem
Iskander dalam bidang pengajaran penduduk pribumi menyebabkan dirinya diminta
pemerintah untuk membimbing tiga guru muda untuk studi ke Belanda: Raden
Soerono dari Soerakarta, Raden Sasmita dari Madjalengka dan Barnas Lubis dari
Tapanoeli.
Para pegiat pendidikan di Padangsch
mulai gelisah karena mutu Kweekschool Fort de Kock tidak pernah membaik. Lalu
para pegiat ini meminta pemerintah untuk mengangkat Radja Medan, kepala sekolah
swasta di Padang untuk diangkat sebagai kepala sekolah di Kweekschool Fort de
Kock. Namun permintaan ini ditolak pemerintah.
Namun sangat disayangkan
tiga guru muda yang dikirim ke Belanda meninggal dunia dan juga Willem
Iskanders sendiri. Lalu kemudian Kweekschool Padang Sidempoean dibuka tahun
1879. Untuk menggantikan posisi Willem Iskander, pemerintah mendatangkan guru
dari Belanda LK Harmsen. Sebelum melakukan tugas di Kweekschool Padang
Sidempoean (sambil menunggu pembukaan), LK Harmsen terlebih dahulu bertugas
sebagai kepala sekolah di Kweekschool Fort de Kock.
Pada saat Kweekschool Tanobato yang ditutup
sejak 1874 (sambil menunggu dibukanya sekolah
guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun 1879) pada November 1876
seorang alumni Belanda diangkat sebagai panitera di kantor Controleur di
Panjaboengan, Afdeeling Mandheling en Ankola. Di tempat baru ini Charles justru
jatuh hati dan belajar sendiri (otodidak) dalam bidang sastra dan kebudayaan
Batak. Rupanya perilaku dan kemampuan belajar otodidak Charles ini diketahui
oleh Menteri Buijs yang tengah berkunjung ke Panjaboengan lalu menawarkan
apakah Charles dengan bakat dan kemampuannya itu bersedia untuk menjadi guru di
sekolah Kweekschool. Sekolah yang dimaksud Pak Menteri membutuhkan guru Eropa
yang akrab dengan satu atau lebih bahasa asli dan etnologi di Nederlandsche
Indie. Profesi ini sangat jarang dan Charles tidak keberatan, malah sangat
bersemangat. Jalan hidup Charles yang sebenarnya kini muncul ke permukaan di
daerah terpencil di Mandheling en Ankola. Lalu Charles Adriaan van Ophuijsen
diuji sebagai guru di depan komisi pendidikan (1879). Laporan yang
dipertahankannya di depan sidang komisi pendidikan berjudul 'Kijkjes in Het Huiselijk
Leven Volkdicht (Pengamatan Kehidupan Kekeluargaan Orang Batak). Setelah
dinyatakan lulus Charles ditempatkan di Probolinggi.
Pada tahun 1879 Kweekschool
Padang Sidempoean akhirnya dibuka dengan direktur pertama LK Harmsen (pengganti
Willem Iskander). Harmsen sebelumnya ditempatkan kali pertama (guru dari
Belanda) di Kweekschool Fort de Kock sambil menunggu penempatan permanen ke
Kweekschooll Padang Sidempoean.
Charles Adriaan van Ophuijsen
sebagai peneliti dan guru muda bahkan diangkat menjadi anggota Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (semacam perhimpunan ilmu dan
pengetahuan) di Batavia tahun 1880.
Pada tahun 1881 Charles
Adriaan van Ophuijsen dipindahkan dari Probolinggo ke ke Kweekschool Padang
Sidempoean (sebagaimana yang diinginkannya). Saat itu JW van Haastert adalah
direktur Kweekschool Padang Sidempoean yang untuk sementara menggantikan Mr.
Harmsen yang sudah beberapa waktu sakit (dan kembali ke Belanda).
Java-bode: nieuws, handels-en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-09-1882: ‘C.A. van Ophuijzen
mengajar bahasa Melayu di Kweekshool Padang Sidempoean dengan mendapat
tunjangan sebesar 50 Gulden per bulan di atas gajinya’.
Pada tahun 1883 Mr.
Haastert dimutasi ke Probolinggi, dan posisi yang ditinggalkannya dipromosikan
Charles Adriaan van Ophuijsen menjadi Direktur Kweekshool Padang Sidempoean.
Salah satu alumni pertama di sekolah guru Padang Sidempoean ini adalah Saleh
Harahap yang kelak dikenal sebagai Dja Endar Moeda (Saleh Harahap gelar Dja
Endar Moeda).
Lantas bahasa apa yang digunakan di
Kweekschool Padang Sidempoean? Yang digunakan adalah Bahasa Melayu dan Bahasa
Belanda. Salah satu mata pelajaran adalah Bahasa Batak. Pada saat inilah
Charles Adrian van Ophuijsen terus mempelajari Bahasa Melayu dengan
perbandingan Bahasa Batak beserta askara Batak dan Bahasa Minangkabau (aksara
Arab).
Charles Adrian van
Ophuijsen sendiri terhitung selama delapan tahun menjadi guru di Padang
Sidempoean, lima tahun terakhir sebagai direktur Kwekshool Padang Sidempoean. Alasan
Charles Adrian van Ophuijsen tidak lagi menjadi direktur sekolah karena
diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Pantai Barat (Sumatra Sumatra’s Westkust)
yang berkedudukan di Padang. Pengajaran bahasa Melayu yang sistematis dan
komprehensif di Kweekschool Padang Sidempoean (yang notabene juga sebagai
lanjutan dari pengajaran bahasa Melayu di Kweekschool Tanobato) dapat dianggap
berhasil. Ini terbukti banyaknya guru alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang
menjadi penulis (sebagaimana guru-guru alumni Kweekschool Tanobato yang juga banyak
menjadi penulis).
Beberapa mantan siswa Charles Adrian
van Ophuijsen yang kelak menjadi penulis dan terkenal adalah Dja Endar Moeda
(penulis buku pelajaran, pengarang novel dan editor surat kabar), Dja Endar
Bongsoe (penulis buku pelajaran dan editor surat kabar), Soetan Casajangan
(penulis makalah, editor surat kabar dan penulis buku umum), Soetan Martoewa
Radja (penulis buku pelajaran, buku umum dan novel) dan Mangaradja Salamboewe
(penulis di kantor Residen dan editor surat kabar).
Dja Endar Moeda: Bahasa Melayu vs
Bahasa Belanda
Meski sebagai pejabat,
namun Charles Adrian van Ophuijsen tidak lupa terhadap studi Bahasa Melayu.
Dengan pengalaman dalam studi Bahasa Batak dan (kemudian) studi Bahasa
Minangkabau, Charles Adrian van Ophuijsen merintis penulisan tata bahasa Bahasa
Melayu. Saat Charles Adrian van Ophuijsen menjadi pejabat Inspektur Pendidikan
Pantai Barat Sumatra di Padang, salah satu mantan muridnya di Kweekschool
Padang Sidempoean, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda hijrah ke Kota Padang
untuk membuka sekolah swasta karena terbatasnya sekolah pemerintah tahun 1895. Menjadi
editor sejak 1897. Saat ini (1897) Dja Endar Moeda mengajukan usul agar Bahasa
Melayu dijadikan sebagai pengantar di sekolah-sekolah. Usulan ini mendapat
reaksi dari Gubernur Jenderal di Batavia.
Dja Endar Moeda mengakuisisi surat
kabar Pertja Barat dan percetakannya pada tahun 1900. Pada tahun akuisisi ini
juga Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu Tapian na Ooeli
dan majalan Insulinde. Pada tahun 1902 salah satu siswanya di Kweekschool
Padang Sidempoean, Hasan Nasoetion gelar Mengaradja Salamboewe diangkat menjadi
editor surat kabar berbahasa Melayu di Medan, Perja Timor. Ini berarti dua
mantan murid Charles Adrian van Ophuijsen menjadi dua orang pribumi pertama
yang menjadi editor surat kabar (Dja Endar Moeda tahun 1897 dan Mangaradja
Salamboewe tahun 1902).
Dengan berbekal
pengalaman sebagai guru, kepala sekolah dan peneliti bahasa (Batak, Melayu dan
Minangkabau) menjadi password Charles Adrian van Ophuijsen yang kemudian
diangkat menjadi dosen di Universiteit Leiden.
Salah satu hasil karya Charles
Adrian van Ophuijsen sebelum berangkat ke Belanda untuk menjadi dosen adalah
pengenalan ejaan baku yang dikenal sebagai ejaan van Ophuijsen (1902).
Beberapa tahun setelah
Charles Adrian van Ophuijsen mengajar di Universiteit Leiden, pada tahun 1905
tiba di Belanda salah satu muridnya di Kwekshool Padang Sidempoean, Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan. Keberangkatan Soetan Casajangan ke Belanda
untuk studi lebih lanjut untuk mendapatkan akta kepala sekolah, suatu akta yang
dulu tidak berhasil dicapai Willem Iskander (karena meninggal sebelum selesai
studi).
Di Universiteit Leiden Soetan
Casajangan, selain studi juga turut membantu gurunya Charles Adrian van
Ophuijsen dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Sebagaimana
diketahui Soetan Casajangan juga aktif berorganisasi dan bahkan menggagas
didirikannya Perhimpoenan (Pelajar) Hindia Belanda (Indisch Vereeniging) tahun
1908.
Charles Adrian van
Ophuijsen sebagai guru besar di Universiteit Leiden kemudian menghasilkan sejumlah
karya. Hasil karya yang spektakuler adalah buku berjudul Maleische Spraakkunst
(Tata Bahasa Melayu) yang diterbitkan tahun 1910. Charles Adrian van Ophuijsen
dan Soetan Casajangan telah mempelopori pengajaran Bahasa Melayu secara
terstruktur di Eropa (Belanda).
Soetan Casajangan lulus tahun 1912.
Sebelum pulang ke tanah air, Soetan Casajangan sempat mengajar Bahasa Melayu di
sekolah di , Den Haag (lihat Algemeen Handelsblad, 18-08-1910). Berita ini juga
dilansir surat kabar De Sumatra post, 13-09-1910 yang dengan sendirinya berita
itu tersiar di kampung halamannya di Padang Sidempoean. Namun berita itu
menyebutkan sebagai guru di sekolah Bahasa Melayu pada tingkat HBS di Handelsschool
di Haarlem. Ini mengindikasikan bahawa Soetan Casajangan merupakan guru pribumi
pertama berlisensi Eropa yang mengajar di Eropa. Saat-saat inilah besar
kemungkinan Soetan Casajangan membantu gurunya Charles Adriaan van Ophuijsen
dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Satu karya Soetan
Casajangan adalah yang terbit tahun 1913 di Barn. Pada tahun 1914 Soetan
Casajangan pulang ke tanah air. Sebelum penempatannya, sempat mengajar di
sekolah Eropa di Buitenzorg dan pada tahun 1915 dipindahkan ke Fort de Kock
sebagai guru (dan pada tahun yang sama menerbitkan surat kabar Poestaha di
Padang Sidoempoean).
Pada saat Soetan
Casajangan mengajar di Buitenzorg tahun 1914/1915 salah satu muridnya (di
sekolah dasar Simapil-Apil Padang Sidempoean) bernama Emil Harahap sudah
beberapa tahun sebagai guru di Depok. Emil Harahap setelah lulus sekolah dasar
melanjutkan studi ke Depok. Besar kemungkinan guru dan murid ini secara intens
berdiskusi apakah di Buitenzorg atau di Depok. Pada tahun 1915 Emil Harahap
bersama koleganya di Depok D. Iken menerbitkan buku berjudul Arti Kitab Logat Melajoe
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-01-1915).
Buku-buku yang berkaitan dengan
sastra dan tata bahasa Melayu sesungguhnya sudah lama bahkan jauh sebelum
Charles Adriaan van Ophuijsen studi Bahasa Melayu di Padang Sidempoean. Pada
tahun 1861 sudah terbit kamus bahasa (Melayu-Belanda) dan Tata Bahasa Melayu (Maleische
Spraakkunst) di Belanda (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 22-07-1861). Buku
ini diduga menjadi bahan rujukan Willem Iskander mengajarkan bahasa Melayu di
Kweekschool Tanobato tahun sejak 1862. Sementara tata bahasa Melayu pertama
pernah muncul tahun 1824 karya George Henrik Wenrlij dan telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu oleh penerjemah pemerintah C. Van Angelbeek (lihat Bataviasche
courant, 10-01-1824). Sedangkan pada saat Charles Adriaan van Ophuijsen
merampungkan studi bahasa di Padang Sidempoean, penulis tata bahasa Melayu yang
ada saat itu adalah AHL Badings dengan judul bukunya ‘Nieuw Hollandsch-Maleisch
en Maleisch-Hollandsch Woordenboek’ dan ‘Spraakkunst der Maleische Taal’ (lihat
Het nieuws van den dag: kleine courant, 25-02-1891).
Charles Adriaan van
Ophuijsen dikabarkan meninggal dunia di Leiden pada tanggal 15 Februari 1917. Charles
Adriaan van Ophuijsen lahir di Solok tahun 1856. Charles Adriaan van Ophuijsen
adalah anak seorang Controleur di Natal
bernama RAW Ophuijsen. Lalu RAW Ophuijsen kemudian menjadi Asisten Residen di
Padangsch Bovenlanden yang berkedudukan di Fort de Kock. Saat di Fort de Kock,
RAW Ophuijsen mendirikan Kweekschool Fort de Kock tahun 1856 (setahun sebelum
Si Sati alias Willem Iskander berangkat studi untuk mendapat akte guru ke
Belanda tahun 1857).
Provinciale Overijsselsche en
Zwolsche courant, 16-02-1917: ‘Profesor Ch. A. van Ophuysen meninggal tadi
malam. Almarhum adalah Komisaris Tinggi dalam Bahasa dan Sastra Melayu dan
Berbagai Bahasa Nusantara di Nederlandsch Indie. Prof. van Ophuysen lahir 31 Desember
1854 di Solok (Sumatera) dan menjadi guru pendidikan pribumi di Padang
Sidempoean. Setelah mengajar beberapa lama Charles A. Van Ophuijsen mengajar diangkat
sebagai Direktur Sekolah Guru Pribumi di Kweekschool Padang Sidempoean dan
kemudian sebagai Inspektur Pendidikan di Pantai Barat Sumatra di Padang. Dalam perkembangannya,
ia lalu ditawari kesempatan untuk mengajukan studi perbandingan bahasa Melayu
dan bahasa lainnya. Pada tahun 1904, ia menerima posisinya sebagai dosen (di
Universiteit Leiden) dengan alasan kapasitas pengajar dan peneliti bahasa Melayu.
Ada juga banyak karya dan artikel yang dihasilkannya, antara lain Tata Bahasa
Melayu (1910) dan buku teks Melayu dengan glossary (1912). Prof. van Ophuysen
adalah seorang yang mendapatkan bintang orde Orange-Nassau’.
Kabar meninggalnya Charles
Adriaan van Ophuijsen sangat ditangisi oleh penduduk di Pantai Barat Sumatra
terutama orang-orang Padang Sidempoean (Mandailing dan Angkola). Charles
Adriaan van Ophuijsen tidak hanya banyak kontribusi dalam pendidikan di
Mandailing dan Angkola (Padang Sidempoean), juga selama karirnya sebagai guru
tidak berhenti meneliti dan mengajar Bahasa Melayu. Tentu saja, saat pemakaman
ini turut hadir seorang mahasiswa asal Padang Sidempoean di Belanda, namanya
Sorip Tagor Harahap.
Sorip Tagor baru sebulan yang lalu mempelopori
didirikannya Sumatranen Bond di Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1917,
Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri
dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan
Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim
Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan
organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena
tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang
tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra
dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang,
Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain
di Soematra (lihat De Sumatra post,
31-07-1919).
Charles Adriaan van
Ophuijsen adalah kelahiran Sumatra. Sejak berumur delapan tahun telah
meninggalkan rumah orangtuanya di Palembang, pindah sekolah ke negeri Belanda.
Charles masuk sekolah dasar berasrama (kostschool) van den Heer Van der Kamp di
Hees dekat Nijmegen. Pada umur 11 tahun diterima di sekolah tinggi Hoogere
Burgerschool di Nijmegen. Di sekolah ini ada guru fisika terkenal P. Van der
Burg. Lalu pada kelas keempat dilanjutkan di Nijmeegsche gymnasium untuk
belajar de rechten of in de letteren namun tidak tuntas. Hal ini karena Charles
diminta negara untuk mengikuti pelatihan kedokteran untuk ditugaskan di
Nederlansch Indie. Sebelum mengikuti ujian akhir, Charles selama tiga tahun
(September 1872 sampai Desember 1875) melakukan penelitian ‘médecin malgré
lui’.
Parada Harahap, Sanusi Pane dan
Armijn Pane
Kongres Pemuda 1928: Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Proklamasi RI 1945: Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Resmi
Tunggu deskripsi lengkapanya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar