Laman

Kamis, 18 Januari 2018

Sejarah Kota Medan (59): Penduduk Melayu [Deli] di Medan; Anomali Distribusi Etnik Melayu [Saja] di Provinsi Sumatera Utara

*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini. (Artikel 1-56 Klik Disana)


Penduduk Indonesia terdiri dari 1.338 etnik. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP-2010) penduduk Kota Medan yang banyaknya 2.109.339 jiwa terdiri dari 202 etnik, termasuk etnik Melayu Deli.

Grafik-1. Distribusi etnik Melayu Deli di Sumatera Utara, 2010
Identifikasi etnik Melayu di Indonesia terdiri dari Melayu (kode 107), Melayu Riau (kode 37), Melayu Banyuasin, Melayu Lahat, Melayu Semendo (Lampung), Melayu Asahan (kode 23) dan Melayu Deli (kode 24).

Persentase etnik Melayu di Provinsi Sumatra Utara sebesar 4.42 persen (sekitar 573.219 jiwa). Persentase etnik Melayu Deli adalah 0.69 persen (sekitar  90.258 jiwa). Persentase etnik Melayu Asahan sebesar 0.37 persen (sekitar   48.798 jiwa).

Selain etnik Melayu Deli dan etnik Melayu Asahan, juga diidentifikasi etnik Asahan (kode 13). Persentase etnik Asahan di di Provinsi Sumatera Utara tidak signifikan, hanya sebesar 0,0016 persen.

Dari 90.258 jiwa penduduk etnik Melayu Deli di Provinsi Sumatera separuhnya (45.608 jiwa) berada di Kabupaten Deli Serdang (lihat Grafik-1). Di Kota Medan sendiri yang merupakan populasi terbanyak kedua hanya sebanyak 20.822 jiwa. Populasi terbanyak ketiga etnik Melayu Deli terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 7.791 jiwa, kemudian disusul di Kabupaten Langkat (3.749 jiwa) dan Kabupaten Batubara (2.098 jiwa).  Populasi terbanyak etnik Melayu Deli berikutnya bukan di Kota Binjai, juga bukan di Kota Tebingtinggi dan juga bukan di Kabupaten Asahan, akan tetapi justru di Kabupaten Tapanuli Utara (sebanyak 1.185 jiwa).

Etnik Melayu Asahan, populasi terbanyak ternyata bukan di Kabupaten Asahan, tetapi justru di Kabupaten Batubara (sebanyak 22.197 jiwa). Di Kabupaten Asahan sendiri, populasi etnik Melayu Asahan hanya sebanyak 10.793 jiwa. Populasi etnik Melayu Asahan ketiga terbanyak berada di Kota Tanjung Balai (sebanyak 6.668 jiwa). Di Kota Medan, etnik Melayu Asahan, yang juga merupakan populasi terbanyak keempat hanya sebanyak 2.006 jiwa.

Anomali Penduduk Etnik Melayu di Provinsi Sumatera Utara

Grafik-2. Distribusi etnik Melayu di Sumatera Utara, 2010
Penduduk Provinsi Sumatera Utara mengidentifikasi diri (atau diidentifikasi) sebanyak 90.258 jiwa sebagai etnik Melayu Deli dan sebanyak 48.798 jiwa sebagai etnik Melayu Asahan. Sementara sebanyak 573.219 jiwa penduduk Provinsi Sumatera Utara berafiliasi (mengidentifikasi diri atau diidentifikasi) sebagai etnik Malayu. Jika etnik Melayu adalah bukan etnik Melayu Deli dan juga bukan etnik Melayu Asahan, lantas siapa yang disebut etnik Melayu (saja).

Di Provinsi Sumatera Utara tidak ada yang mengidentifikasi diri atau diidentifikasi sebagai etnik Batak (saja). Akan tetapi penduduk Provinsi Sumatera Utara mengidentifikasi diri atau diidentifikasi sebagai etnik Batak Angkola (kode 14); Batak Karo (kode 15); Batak Mandailing (16); Batak Pakpak Dairi (17); Batak Simalungun (18); Batak Tapanuli (19); dan Batak Toba (kode 20). Etnik Batak Tapanuli, bukan etnik Toba, juga bukan etnik Mandailing, dan juga bukan etnik Angkola. Etnik Batak Tapnuli terkonsentrasi di Kabupaten Tapanuli Tengah.  

Grafik-3. Perbandingan Distribusi etnik Melayu dan Batak di Sumatera Utara, 2010
Populasi etnik Melayu terbanyak di Provinsi Sumatera Utara terdapat di Kabupaten Batubara, yakni sebanyak 131.106 jiwa (lihat Grafik-2). Populasi etnik Melayu terbanyak kedua sebanyak 120.805 jiwa terdapat di Kota Medan. Populasi etnik Melayu terbanyak berikutnya berada di  Kabupaten Langkat (76.338 jiwa) dan Kabupaten Deli Serdang (69.852 jiawa). Populasi etnik Melayu yang terbilang signifikan jumlahnya terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai (48.645 jiwa); Kabupaten Labuhan Batu (34.813 jiwa); Kabupaten Asahan (24.565 jiwa).

Berdasarkan identifikasi etnik di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang sekarang terdapat lima etnik yang dikategorikan sebagai penduduk asli, yakni: Batak, Nias, Melayu, Ulu, Lubu, Siladang, Pesisir, Asahan dan Dairi. Populasi yang signifikan jumlahnya hanyalah etnik Batak, Melayu dan Nias. Penduduk etnik Nias tampak terkonsentrasi di (pulau) Nias: Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabutan Nias Barat dan Kabupaten Nias Utara. Etnik Batak dan etnik Melayu terdistribusi lebih luas jika dibandingkan etnik Nias di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Etnik Batak cukup dominan jika dibandingkan dengan etnik Melayu di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara (lihat Grafik-3). Etnik Melayu tercatat lebih banyak jika dibandingkan dengan etnik Batak di Kabupaten Batubara. Populasi etnik Melayu di Kabupaten Batubara sebanyak 155.401 jiwa sedangkan etnik Batak sebanyak 65.143 jiwa. Dengan kata lain etnik Melayu di Kabupaten Batubara dua kali lebih banyak jika dibandingkan dengan etnik Batak. Semenetara itu terdapat satu kabupaten yang memiliki perimbangan antara etnik Melayu dengan etnik Batak yakni di Kabupaten Nias Selatan: 1.334 jiwa etnik Melayu dan 1.105 jiwa etnik Batak.   

Sejarah Awal Etnik Malayu di Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara

Tidak banyak sumber kependudukan masa lampau yang dapat diperoleh mengenai jumlah dan distribusi penduduk di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia), khususnya berdasarkan etnik menurut wilayah. Beberapa data kependudukan terawal dapat ditemukan dalam laporan orang Inggris, Anderson (1822) di Pantai Timur Sumatra. Anderson telah melakukan ekspedisi tahun 1820-1823 dan mendeskripsikan pantai Timur Sumatra, Atjeh dan juga termasuk di dalamnya Bataklanden di dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1848 dibawah judul ‘Atjeh dan Pelabuhan-Pelabuhan di Sebelah Pantai Utara dan Timur  Sumatra’. Anderson telah melakukan perjalanan ke Karo dan Toba.

'Anderson menemukan beberapa orang Melayu yang tinggal di pesisir Sumatera Timur dan, apa yang ia sebut, Karau mendominasi dataran rendah dan dataran tinggi. Orang-orang di pedalaman melakukan pembakaran hutan dan menggunakan untuk ladang pertanian untuk menanam tanaman seperti padi, sayuran, lada, tebu dan pisang. Beberapa tanaman ini digunakan sebagai barang perdagangan. Mereka tidak melakukan perlawanan (sebagaimana di dataran tinggi) dan bahkan memiliki kesan bahwa penduduk lokal mengharapkan lebih banyak kontak dengan para pendatang baru terutama pedagang'.

Laporan orang Belanda di Pantai Barat Sumatra (yang dimuat dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839. Laporan populasi di pantai barat Sumatra ini cukup lengkap.

Kota Singkel adalah wilayah Taroemon yang menjadi pelabuhan tujuan penduduk Batak Alas. Kota Tapoes, 20 mil dari Singkel, suatu pemukiman orang-orang Atjeh yang berbatasan dengan pemukiman Batak (di selatannya). Baros berada di selatan Tapoes. Pelabuhan ini di bawah pimpinan seorang Radja, bandara dan empat Datoe. Pada masa ini (1839) di Baros terdapat 3.000 jiwa penduduk diantaranya terdapat 200 Atjeh. Di bagian hulu Baros terdapat seorang Radja (Batak) dan delapan Penghoeloe. Beberapa mil di selatan Baros terdapat Sorkam yang terdiri dari 1.000 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja dan dua Datoes. Di arah selatan Sorkam, terdapat Posthouder van Tapanoeli yang dihuni oleh penduduk Batak yang umumnya dari (marga) Pasariboe. Di arah selatan Tapanoeli terdapat Kolang yang dihuni oleh 200 jiwa penduduk Batak. Lalu di arah selatan terdapat Samawang yang dihuni oleh 200 orang Melayu. Di teluk terdapat Pontjang, pulau yang memiliki populasi 300 orang yang di bawah dua Datoes. Sibogha berada di  teluk Tapanoeli yang dihuni oleh 300 orang penduduk Batak di bawah pimpinan seorang Radja. Lanskap Sibogha ini berbatasan dengan Toekka, penduduk yang didominasi penduduk Batak sebanyak 3.000 jiwa; Si Boeloean dihuni oleh 1.000 orang Batak; Kalangan dengan 300 orang Melayu di bawah satu datoe; Papas yang dihuni oleh 3.000 jiwa penduduk Batak dengan empat Radja; Badieire dengan total penduduk 600 jiwa yang meliputi penduduk Batak dan Melayu; satu kampung berikutnya dihuni 2.000 orang Batak; Pinangsorie dengan 2.000 jiwa; Batangtoroe tidak diketahui jumlah populasinya (masuk wilayah yurisdiksi Inggris di Natal). Singkowang terdiri dari penduduk Mandailing, Melayu dan Batak yang total sebanyak 3.000 jiwa; Batoemoendam dengan populasi 2.000 orang penduduk Mandailing; Taboejong sebagian besar penduduk Batak; Koenkoen dengan populasi 600 orang di bawah otoritas seorang Radja. Berdasarkan Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839, Kota Natal sendiri adalah penduduk melting pot dengan jumlah populasi 3.000 jiwa yang dipimpin oleh seorang Radja dengan enam Datoe. Umumnya penduduk adalah pendatang yang awalnya berdagang lalu menetap. Di Kota Natal terdapat enam suku: Soekoe Menangkabauw. Menangkabausche stam; Soekoe Barat, Westelijke stam; Soekoe Padang, stam van Padang; Soekoe Bandar Sepoeloe, stam uit de plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen; Soekoe Atje, stam van Atjin; dan Soekoe Rauw, stam van Rauw. Di wilayah atas Natal terdapat Linggabajoe yang dihuni oleh sebanyak 3.000 jiwa penduduk Mandailing. Linggabajoe dipimpin oleh seorang Radja dengan enam panglima. Di selatan Natal adalah Batahan dengan penduduk Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja. Wilayah Batahan ini termasuk pulau Tamang.

Teritorial Batak: Melayu Sebagai Pendatang?

Teritorial Batak disebutkan membatasi Atjeh dan Minangkabau. Di Pantai Barat antara Singkel di utara  dan Batahan di selatan, di Pantai Timur antara Ambuaru di utara dan Aru di selatan. Di bagian dalam di utara dibatasi oleh Alas dan di selatan dibatasi oleh Rao. Dalam peta-peta kuno di teritori ini terdapat sejumlah kerajaan yang diidentifikasi, yakni Aru di sungai Baroemoen, Batahan di sungai Batahan, Singkel di sungai Singkel, dan Ambuaru di sungai Ambuaru.

Dokumen Belanda menyebut di teritori Batak, terdapat tiga kerajaan yakni Kerajaan Simamora, Kerajaan Silindoeng dan Kerajaan Boetar. Kerajaan-kerajaan ini memiliki jalur ke pantai timur yang dihuni oleh penduduk asli (lihat Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der kunsten en weetenschappen, 1787). Kerajaan Simamora, yang memiliki tanah di timur, sejumlah Negeri besar termasuk Batong, Ria, Allas, Batadera, Kapkap, sebagai tanah penghasil campher dan benzoin. Di Bataholberg, Kotta Tinggi berkedudukan Raja, dan dari sana terdapat dua negeri yakni Suitara dan Jamboe Ayer. Kerajaan Batasalindong juga memiliki banyak Negeri besar, dimana beberapa dari mereka terdapat emas yang sangat tinggi. Kedudukan Raja ada di Silindong, Négeri Bato Hopit di kaki gunung yang menghasil banyak sulfur yang dijadikan mesiu. Kerajaan Boetar terletak di timur laut dari yang sebelumnya, dan meluas ke pantai timur Sumatera, tetapi tidak memiliki hasil kamper atau benzena atau emas, dan penghuni hanya hidup dari buah-buahan. Negeri Boetar adalah kedudukan para Raja. Negeri Poelo Serony dan Batoe Bara, merupakan tempat pelabuhan besar untuk perdagangan, terletak di ujung timur. Lontoeng dan Siregar terleatk di sepanjang pantai timur, di mulut sungai besar bernama Assahang. Kerajaan-kerajaan ini muncul setelah dua kerajaan besar meredup, Kerajaan Aru di sungai Baroemoen dan Kerajaan Deli di hulu sungai Deli. Pelabuhan Jamboe Ayer tidak lain adalah Ambuaru.

Kerajaan kuno Ambuaru yang juga disebut Jamboe Ayer telah menjadi bagian dari Kerajaan Simamora. Jamboe Ayer adalah pelabuhan penting Kerajaan Simamora. Kerajaan Boetar memiliki pelabuhan Batoebara, dan Kerajaan Silindoeng memiliki pelabuhan Asahan.

William Marsden dalam bukunya The history of Sumatra (1784) menyebutkan Batoebara menjadi titik perdagangan orang-orang China ke pedalaman. Batak lebih dominan dari Malayu, yang diduga datang melalui laut.

Dalam perkembangannya, pantai timur menjadi wilayah lalu lintas perdagangan Kesultanan Atjeh dan Kesultanan Siak. John Anderson dalam laporannya (1823) menyebut Kerajaan Laboehan di muara sungai Deli telah donobatkan oleh Sultan Siak kepada Radja Labiehan dengan gelar Sultan. Saat John Anderson berada di Deli, Kerajaan Pulau Brayan sedang berperang dengan Kesultanan Laboehan (Deli). Kesultanan Deli memiliki otoritas di seputra Laboehan dan Pertjoet. Dalam perang tersebut, menurut John Anderson Sultan Laboehan (Deli) dibantu oleh seorang kapten Inggris yang tengah berlibur dari Penang. Sedangkan Kerajaan Pulau Braijan dibantu oleh para hulubalang Kerajaan Batak di pedalaman yang memiliki populasi 40.000.

Pemerintah Hindia Belanda melakukan invasi ke Laboehan (Deli) pada tahun 1863 yang dipimpin oleh Residen Riau Elisa Netscher atas persetujuan Sultan Siak. Saat Elisa Netscher berada di atas kapal mengundang dua Radja Batak ke atas kapal dengan memperlihatkan persenjataan modern. Menurut Laporan Elisa Netscher (1875) di Laboehan (Deli) hanya terdapat 200 rumah, dimana diantaranya dua buah merupakan rumah pangeran Batak. Disamping itu, terdapat sejumlah hulubalang Atjeh yang dipersenjatai.  

Setelah kehadiran Belanda di Laboehan (Deli), elemen Batak dan elemen Atjeh menghilang di Laboehan. Sejak itulah Sultan Laboehan (Deli) memiliki kuasa yang powerful yang didukung oleh Kesultanan Siak. Kolabarasi antara Controleur Belanda, Sultan dan para Planter telah mengakibatkan ekspnasi lahan hingga jauh ke hulu sungai Deli. Salah satu perlawanan untuk menghadapi invasi Belanda yang didukung Sultan dilakukan oleh Raja Soenggal (yang dimulai tahun 1875). Kraton Sultan Laboehan (Deli) relokasi ke Medan (Deli) terjadi setelah tahun 1887. Pada tahun 1887 Ibukota Residentie Oostkust van Sumatra dipindahkan ke Medan dari Bengkalis (Riaou).

Lantas bagaimana keterkaitan sejarah yang dicatat pada masa lampau tentang keberadaan Batak di pantai timur dengan distribusi penduduk Melayu pada masa ini. Konsentrasi penduduk Melayu pada masa ini terpusat di Medan dan sekitarnya (Deli Serdang dan Langkat) dan Batubara dan sekitarnya (Serdang Bedagai). Apakah perkembangan populasi Melayu di dua wilayah tersebut dipicu karena adanya dinamika penduduk dalam dua abad, dimana di dua wilayah tersebut dulunya sebagai wilayah terbuka yang masuk teritori Batak? Relokasi kraton Sultan dari Laboehan ke Medan menjadi faktor penting lainnya. Demikian juga migrasi penduduk dari Minangkabau (pasca Perang Padri) ke Batoebara juga termasuk faktor penting.  

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

1 komentar: