Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini
Mohamad Rasad gelar Maharadja Soetan bukanlah orang biasa, tetapi pegawai pemerintah dan orang tua yang luar biasa. Mohamad Rasad lahir di Fort de Kock tahun 1866 dan meninggal di Medan tahun 1929. Selama masa hidup, Mohamad Rasad memilki dua anak yang luar biasa: Soetan Sjahrir dan Siti Rohana. Kedua anak Mohammad Rasad ini tergolong yang luar biasa: Soetan Sjahrir adalah Perdana Menteri RI yang pertama dan Siti Rohana adalah perintis pers perempuan Indonesia.
Mohamad Rasad gelar Maharadja Soetan bukanlah orang biasa, tetapi pegawai pemerintah dan orang tua yang luar biasa. Mohamad Rasad lahir di Fort de Kock tahun 1866 dan meninggal di Medan tahun 1929. Selama masa hidup, Mohamad Rasad memilki dua anak yang luar biasa: Soetan Sjahrir dan Siti Rohana. Kedua anak Mohammad Rasad ini tergolong yang luar biasa: Soetan Sjahrir adalah Perdana Menteri RI yang pertama dan Siti Rohana adalah perintis pers perempuan Indonesia.
Anak Mohamad Rasad gelar Maharadja Soetan |
Bagaimana para orang tua,
seperti Mohamad Rasad menjalani karir dan pada waktu yang sama bagaimana mereka
membina anak-anak mereka sehingga berhasil menarik untuk diperhatikani. Mereka orang
tua ini adalah orang yang berperan penting lahirnya tokoh-tokoh besar di
Indonesia. Jasa mereka seharusnya tidak terlewatkan dalam sejarah. Merekalah
yang dengan sadar bagaimana anak-anak mereka diarahkan. Pada masa lampau, justru
para orang tualah yang dijadikan inspirasi pertama oleh para tokoh-tokoh besar.
Mohamad Rasad, Tokoh yang
Menginspirasi Soetan Sjahrir
Soetan Sjarir tidak
melaihat ayahnya, Mohamad Rasad meninggal dan diantarkan ke pemakaman. Mohamad
Rasad gelar Maharadja Soetan meninggal dunia di Medan tanggal 18 September 1929
(lihat De Sumatra post, 19-09-1929). Mohamad Rasad meninggal pada usia tinggi,
63 tahun. Sementara, Soetan Sjahrir sedang menjalani studi di Belanda. Paling
tidak, Soetan Sjahrir masih di Belanda hingga awal tahun 1930 (lihat Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1930). Kepengurusan Perhimpoenan
Indonesia (PI) baru terbentuk yang mana Soetan Sjahrir sebagai wakil ketua.
Kepengurusan baru ini menggantikan kepengurusan lama, Mohamad Hatta dan
kawan-kawan (1926-1930).
Meninggalnya Mohamad Rasad menjadi masalah
bagi keluarga Soetan Sjahrir yang ditinggalkan. Masalah keluarga, terutama yang
berimbas pada pembiayaan kerap terjadi dialami mahasiswa Indonesia yang jauh
belajar di Belanda. Ini dialami oleh Amir Sjarifoeddin, ketika keluarganya
menghadapi masalah di Sibolga tahun 1926, Amir Sjarifoeddin yang baru lulus
sekolah menengah di Haarlem tahun 1927, dan tengah register di perguruan tinggi
harus pulang ke tanah air. Masalah pembiayaan yang tinggi di Belanda boleh jadi
menjadi faktor penting tidak bisa menlanjutkan studi.
Soetan Sjahrir yang baru
berangkat studi ke Belanda tahun 1928 harus pulang ke tanah air. Soetan Sjahrir
tidak kembali ke Belanda dan juga tidak melanjutkan studi. Soetan Sjahrir
dengan sendirinya harus memutar haluan. Langsung terjun ke dunia politik yang
memang lagi marak pada waktu itu. Pengalaman berpolitik semasa kuliah di
Belanda menjadi modal dasar untuk merintis jalan di dunia politik praktis.
Mulai dari bawah.
Ayah Soetan Sjahrir, Mohamad Rasad
merintis karir dari bawah. Mohamad Rasad pada tahun 1923 pensiun dengan jabatan
tinggi Kepala Djaksa di pengadilan Landraad Medan setelah berkarir selama 40
tahun (De Sumatra post, 12-07-1923). Mohamad Rasad mulai bekerja sebagai
pegawai di kantor pemerintah di Alahan Pandjang dengan tugas boekbinder
(penjilid buku) lalu kemudian menjadi schrijver (pencatat). Selanjutnya menjadi
pakhuismeester (kepala gudang). Dengan ketekunan, Mohamad Rasad mendapat
promosi sebagai adjunct hoofd-djaksa (asisten jaksa) di Padang.
Setelah berziarah ke
makam ayahnya di Medan, Soetan Sjahrir kembali ke Bandoeng, tempat dimana sebelumnya
Soetan Sjahrir menyelesaikan pendidikan sekolah menengah. Nama Soetan Sjahrir
muncul ke permukaan muncul di Bandoeng pada tahun 1931. Soetan Sjahrir ikut dalam
gerakan protes terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mengkampanyekan buruh
untuk melawan pemerintah dan menyampaikan rasa simpatik kepada eks pemimpin PNI
yang telah menyuarakan melawan imperialis dan berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia (lihat Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij, 18-02-1931). Eks
pemimpin PNI yang dimaksud adalah Dr. Tjipto Mangoenkoesoemoe yang telah
diasingkan.
Mengapa Soetan Sjahrir
seratus persen berbalik menentang imperilis Belanda, sementara ayahnya Mohamad
Rasad selama 40 tahun berkarir di dalam pemerintahan Belanda? Boleh jadi ini
bermula ketika tahun 1927 didirikan PPPKI (organisasi partai-partai politik
kebangsaan Indonesia) yang menjadi patokan dilakukannya Kongres PPPKI (senior)
dan Kongres Pemuda (junior) pada tahun 1928. Setelah proklamasi kebangsaan
Indonesia itu dinyatakan, Soetan Sjahrir berangkat studi ke Belanda dan
bergabung dengan PI. Para mahasiswa Indonesia di Belanda sudah sejak lama
menyuarakan gerakan kemerdekaan. Setelah pulang ke tanah air (karena ayahnya
meninggal), beberapa lama kemudian langsung bergabung dengan massa di Bandoeng
yang pada intinya aksi solidaritas terhadap penangkapan sejumlah pimpin PNI.
Dalam aksi massa ini juga turut Soekarno yang baru keluar dari penjara. Soetan
Sjahrir tampaknya telah mengikuti garis karir (politik) meski berbeda dengan
ayahnya. Soetan Sjahrir mengetahui betul ayahnya seorang yang bekerja keras
hingga mampu mencapai puncak karir. Teladan inilah yang membangkitkan motivasi
Soetan Sjahrir untuk tekun menjalani karir meski bidangnya pertentangan dengan
sang ayah untuk sampai ke puncak. Pilihan politik Soetan Sjahrir yang berbeda
dengan sang ayah yakni non-cooperative menjadi tidak terbebani Soetan Sjahrir
karena ayahnya sudah tiada. Ayahnya, Mohamad Rasad setelah dari Alaha Pandjang
dipromosikan menjadi asisten jaksa, karirnya terus lempang. Mohamad Rasad
memulai karir jaksa di Rao. Mohamad Rasad, asisten djaksa di Rao ketika sakit
diberi cuti ke Pajacombo (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad,
09-06-1900). Mohamad Rasad dipindahkan dari Rao ke Taloe (De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-09-1900). Mohamad Rasad ditetapkan
sebagai jaksa di Taloe (De locomotief, 24-01-1903). Mohamad Rasad setelah
menjadi asisten jaksa di Padang Panjang dipindahkan menjadi asisten jaksa di
Padang (Bataviaasch nieuwsblad, 30-01-1906). Beberapa tahun kemudian setelah
menjadi Kepala Djaksa di Djambie diangkat menjadi districthoofd (demang) di
Djambie (De Preanger-bode, 09-01-1913).
Keputusan menjadi demang tersebut baru muncul beberapa buln kemudian
(Bataviaasch nieuwsblad, 30-12-1913).
Soetan Sjahrir, yang
lahir di Padang Pandjang 5 Maret 1909, mulai bergabung dengan massa eks PNI
yang tidak berafiliasi dengan partai baru yang didirikan oleh Mr. Sartono,
Partai Indonesia. Orang-orang eks PNI ini telah mendirikan majalah Daulat Ra’jat.
Semasa Soetan Sjahrir masih di Belanda kerap mengirim tulisan ke majalah
tersebut. Lalu kemudian eks PNI ini membentuk partai pada bulan Desember 1931
yang diberi nama partai Pendidikan Nasional Indonesia yang diketuai oleh Soekemi.
Soetan Sjahrir menjadi anggota partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Sementara itu Soetan Sjahrir terus
melakukan propaganda menyuarakan Pendidikan Nasional Indonesia. Dalam suatu
pertemuan besar di gang Kenari, PNI berbicara tentang politik dan ekonomi. dan
krisis. Pemimpin pertemuan tersebut seorang mahasiswa Soetan Sjahrir yang
kembali dari Belanda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-03-1932).
Dalam Kongres Pendidikan
Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di Bandung, Sjahrir
terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan
Soekemi. Mohammad Hatta yang akan pulang ke tanah air setelah selesai studi
diharapkan bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia.
Partai PNI dibubarkan Mr. Sartono
selama Soekarno di tahanan dan lalu mendirikan partai baru Partai Indonesia
(PI). Soekarno sendiri setelah keluar dari penjara belum tergabung dengan PI dan
baru menetapkan pilihannya pada tanggal 1 Juli untuk batas penentuan baginya
untuk memilih partai, yakni Partai Indonesia atau Pendidikan Nasional Indonesia
(De Indische courant, 20-06-1932). Beberapa media memprediksi Soekarno akan
memilih PI, bukan PNI. Jika Soekarno memilih PI, diharapkan bahwa PNI akan
hancur berantakan, karena kemudian para pendukung Ir. Soekarno akan meluap ke
Partai Indonesia.
Pada bulan November
1932, Mohammad Hatta dilaporkan berduet dengan Sjahrir di dalam pertemuan
publik di Megelang. Mohammad Hatta akan berbicara tentang kelebihan
perdagangan, dan Sjahrir tentang prinsip partai (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 17-11-1932). Mohammad Hatta juga pada tanggal 9 dan 10
Februari di Semarang untuk menyelenggarakan konferensi darurat PPPKI. Mohammad
Hatta bertindak sebagai penasehat (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 31-01-1933). Lalu kemudian Mohammad Hatta menjadi Ketua
PNI.
Sudah beberapa partai didirikan,
seperti Partai Bangsa Indonesia, PI dan Pendidikan Nasional Indonesia. Sejak
makin gerncarnya perjuangan para revolusioner Indonesia, pemerintah melalui
intel/polisi terus mengawasi. Akhirnya kembali Soekarno ditangkap, sementara
Amir Sjarifoeddin dan Mohamad Jamin juga ditangkap. Dalam perkembangannya,
Soekarno akan diasingkan dan Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Jamin sedang
dipertimbangkan. Selain itu, pemerintah melakukan pembekuan (breidel) semua
media yang dipandang bersifat radikal, termasuk surat kabar bertiras tinggi
Bintang Timoer dan majalah dua mingguan Daulat Ra’jat, organ partai Pendidikan
Nasional Indonesia. Melihat situasi ini, Parada Harahap pemimpin surat kabar
Bintang Timoer yang juga penggagas pendirian PPPKI tahun 1927 tidak bisa
menahan marahnya lagi terhadap pemerintah. Parada Harahap yang pernah
mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919, memimpin
tujuh revolusioner ke Jepang pada bulan November 1933. Tiga dari tujuh revolusioner
ini adalah Drs. Mohammad Hatta, Abdoellah Lubis dan Dr. Samsi. Saat ini
Mohamamad Hatta adalah Ketua Pendidikan Nasional Indonesia; Dr. Samsi adalah
anggota dewan pusat Partai Indonesia. Abdoellah Lubs, meski non partai tetapi
surat kabarnya Pewarta Deli di Medan terbilang radikal yang juga turut
dibreidel. Abang Mohammad Jamin bernama Djamaloedin yang kerap disebut
Adinegoro adalah editor Pewarta Deli di Medan yang sebelumnya sebagai editotor
Bintang Timoer di Batavia (pimpinan Parada Harahap). Rombongan revolusioner
kembali dari Jepang tanggal 13 Januari 1934 turun di Soerabaja yang disambut
oleh dua pengurus Partai Bangsa Indonesia, Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin
Nasution. Pada saat rombongan ini sampai di darat diperoleh kabar pada hari
yang sama Soekarno diberangkatkan ke pengasingan di Flores. Setelah beberapa
lama di Sorebaya, sambil memonitor situasi, para revolusioner ini kembali ke
rumah masing-masing. Namun tidak lama kemudian, Parada Harahap dan Mohammad
Hatta ditangkap di Batavia. Mereka berdua lolos karena konsulat Jepang memberikan
kesaksian di pengadilan. Akan tetapi Mohammad Hatta ditangkap lagi karena
dituduh menyebarkan propaganda enam bulan sebelumnya di majalah Daulat Ra’jat.
Para pengurus pusat Pendidikan Nasional Indonesia ditahan. Penangkapan ini
terjadi pada awal bulan Februari 1934. Dalam prosesnya, pada akhir tahun 1934
Mohammad Hatta (juga Soetan Sjahrir) diasingkan ke Digoel.
Soetan Sjahrir Mengagumi Semangat Kakaknya
Siti Rohana
Soetan Sjahrir memulai
pendidikan di sekolah Eropa (ELS) di Medan tahun 1916. Setahun sebelumnya,
Residentie Oostkust Sumatra yang beribukota di Medan ditingkatkan statusnya
menjadi provinsi. Masih di Medan, Soetan Sjahrir mengikuti pendidikan di MULO tahun
1923. Saat itu ayah Soetan Sjahrir adalah pejabat tinggi di Medan. Setelah
lulus MULO tahun 1926 Soetan Sjahrir kemudian melanjutkan studi ke Bandoeng
(AMS).
Ayah Soetan Sjahrir, Mohamad Rasad
demang di Djambie dipindahkan ke Medan sebagai Hoofddjaksa (kepala Jaksa) di
Landraad Medan (Bataviaasch nieuwsblad, 11-07-1914). Nama Mohamad Rasad
tampaknya cepat populer. Belum lama di Medan, nama Mohamad Rasad tampaknya
cepat populer. Beberapa tokoh di Medan dicalonkan untuk menjadi anggota dewan
kota (gemeenteraad) Medan yakni Ismail, Kajamoedidin gelar Radja Goenoeng, Mohammad
Sjaaf, Mohamad Rasad dan Waworoentoe (lihat De Sumatra post, 16-07-1918). Yang
terpilih adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng penilik sekolah di
Medan, lulusan Kweekschool Fort de Kock ((lihat Bataviaasch nieuwsblad,
25-01-1899). Radja Goenoeng merupakan orang pribumi pertama melalui pemilihan
duduk di dewan kota. Meski Mohamad Rasad tidak terpilih, dengan karir jaksa
yang jabatannya di Medan sebagai kepala jaksa termasuk salah satu di Hindia
Belanda yang mendapat bintang jasa dari Kerajaan Belanda, Ridder in de Orde van
Oranje Nassau (Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1923).
Soetan Sjahrir berangkat
studi ke Jawa ingin sekolah setinggi-tingginya. Di Medan belum ada HBS maupun
AMS. Sudah barang tentu, Soetan Sjahrir mengetahui bahwa Amir Sjarifoeddin
kakak kelasnya yang lulus di ELS Medan tahun 1921 telah melanjutkan sekolah
menengah ke Leiden. Di Bandoeng, Soetan Sjahrir selama mengikuti pendidikan AMS
Bandoeng, yang dimulai tahun 1926 mulai ikut berpartisipasi organisasi pelajar.
Saat itu, sudah terdapat banyak organisasi pemuda maupun organisasi pelajar.
Sudah barang tentu Soetan Sjahrir
mengingat (terinspirasi) dari kiprah kakaknya yang sulung Siti Rohana yang
sejak tahun 1912 telah aktif dalam pergerakan wanita. Meski saat itu Soetan
Sjahrir masih berumur tiga tahun, tetapi kiprah kakaknya yang masih berjalan
menjadi teladan bagi Soetan Sjahrir. Pada tahun 1918/1919 terjadi heboh di
Medan dan pada saat itu Soetan Sjahrir sudah duduk di ELS. Kehebohan untuk kali
pertama pribumi (warga biasa, bukan Eropa/Belanda) diakomodir menjadi anggota
dewan kota (terpilih Radja Goenoeng). Masih pada tahun itu surat kabar Benih
Merdeka menurunkan laporan tentang penindasan para kuli di perkebunan (penerapan
poenale sanctie) yang menjadi heboh hingga ke Jawa. Laporan itu dikirimkan oleh
seorang krani di perkebunan, Parada Harahap. Akibat keberanian mengirim laporan
yang sensitif itu Parada Harahap oleh perusahaan tempatnya bekerja dipecat.
Parada Haraap hijrah ke Medan, melamar jadi wartawan Benih Mardeka malah justru
diberikan posisi editor. Pada tahun 1919 surat kabar memakai kata ‘merdeka’ ini
dibreidel. Parada Harahap lalu pindah ke Pewarta Deli. Pada saat Parada Harahap
menjadi editor Pewarta Deli, Parada Harahap juga membantu para perempuan muda
yang ingin mendirikan surat kabar perempuan. Surat kabar perempuan ini diberi nama
Perempuan Bergerak dengan editor Boetet Satidjah dan dipandu Parada Harahap dengan
motto ‘Pasangan Terbaik Ada di Depan’ (lihat De Sumatra post, 17-05-1919). Lambang
majalah ini dua perempuan dengan meniup terompet. Tujuan pendirian majalah perempuan
ini untuk mendukung tindakan perempuan yang sesuai dengan keinginannya saat
ini, dan juga untuk membantu aksi para laki-laki. Majalah ini juga memuat
masalah anak-anak, pendidikan, kehidupan wanita dan urusan rumah tangga.
Majalah ini juga menyediakan editorial (lihat De Preanger-bode, 19-06-1919).
Sejak itu kata-kata
‘merdeka’ dan ‘bergerak’ menjadi menu setiap pelajar di Medan pada tahun-tahun
selanjutnya. Soetan Sjahrir yang tengah di bangku sekolah dan yang secara fisik
dalam masa pertumbuhan dan secara psikologis dalam tahap perkembangan, suasana
kota Medan secara langsung mulai
menyemai pikiran Soetan Sjahrir, seorang anak yang cerdas yang tumbuh dan
berkembang bersama anak-anak lainnya sebagai anak Medan yang cenderung memiliki
sifat radikal (rasa tidak senang melihat sepak terjang para planter dan penjajah
Belanda). Masa-masa ini pula besar dugaan peran kakaknya Siti Rohana (yang pada
tahun 1919 sudah berada di Medan). Siti Rohana pernah mendirikan majalah
perempuan dan telah pernah berkunjung ke Belanda.
Siti Rohana, kakak
Soetan Sjahrir pada tahun 1912 mendirikan majalah di Padang yang diberi nama
Soenting Melajoe. Majalah ini diedit oleh Zoebaidah dan Siti Rohana. Majalah ini
mencakup prosa dan puisi. Dalam edisi pertama menggarisbawahi sarana pendidikan
yang baik, manakala begitu sedikit buku yang ditulis dalam bahasa Malejoe, juga
dapat disediakan media yang baik seperti surat kabar dan majalah, yang satu
dapat belajar banyak dan mendorong para perempuan, tidak lagi hanya laki-laki dan
perempuan tinggal di belakang, untuk belajar dan berdiskusi, yang satu dapat
memperoleh pengetahuan juga tentang pengetahuan Belanda. Selain itu, pendapat
ibu-ibu kuno diperbincangkan, seolah-olah pendidikan untuk anak perempuan dianggap
berlebihan. Mereka semua mengatakan tanpa pendidikan, gadis-gadis-gadis masih bisa
membuat tenun, memasak dan renda. Harus diakui, Soenting Melajoe mengatakan
pendidikan diperlukan tidak hanya untuk sekadar untuk dapat membaca dan menulis
juga yang lainnya, juga disebutkan perlu belajar bagaimana mengamati
kebersihan, tahu sopan santun dan juga mempertajam pikiran. Menggugah ibu-ibu
kuno (agar) membiarkan putri mereka pergi ke sekolah, dan bisa membawanya untuk
lulus yang dapat diterapkan dalam menenun, mereka dapat menarik semua jenis
pengetahuan dari buku masak untuk mempersiapkan masakan baru untuk menyenangkan
keinginan ibunya yang dalam hal ini ada beberapa ratus gadis semangat untuk mejadi guru, vaccinatrices (mantri
tjatjar perempoean) dan pelatihan bidan, yang ada kebutuhan besar di tempat-tempat
yang didominasi laki-laki (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-08-1912). Siti
Rohana yang sudah berumur 28 tahun ini, terbilang tidak muda lagi, tetapi belum
terlambat memulai perjuangan membebaskan kaumnya (perempuan) di lingkungan yang
didominasi laki-laki. Untuk meningkatkan pemahamannya, Siti Rohana berinteraksi
dengan perempuan-perempuan Eropa (yang boleh jadi sejalan dengan pikirannya).
Karena itu, Siti Rohana berksempatan berangkat ke Eropa atas dukungan finansial
ayahnya, kepala jaksa di Djambi (Mohamad Rasad) dan suaminya (Koedoes?)
pegawai di kantor Resident di Fort de Kock (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 08-03-1913). Siti Rohana dari Kota Gadang bersama keluarga
Westenenk berangkat ke Belanda yang ingin memperoleh lebih banyak pengetahuan
di Belanda. Catatan: Westenenk adalah Residen Palembang
yang mana saat itu Residen Palembang masih mencakup wilayah Djambi dimana ayah
Siti Rohana bertugas sebagai demang.
Soetan Sjahrir sadar
tidak sadar sifat ulet kerja ayahnya (Mohamad Rasad) dan sifat inisiatif
kepeloporan kakaknya (Siti Rohana) telah menginternalisasi di dalam diri Soetan
Sjahrir yang meski masih muda belia. Sangat wajar Soetan Sjahrir, teladan
ayahnya telah menginspirasinya dan kekagumannya terhadap kepeloporan kakaknya
di bidang pers perempuan. Soetan Sjahrir secara gradual menjadi tumbuh dan
berkembang di dalam keluarga yang berpikiran maju dan di dalam kota yang sangat
dinamis. Soetan Sjahrir mulai paham mengapa kakaknya ‘disejajarkan’ dengan RA
Kartini dan mengapa ayahnya bisa menerima bintang jasa tertinggi bagi seorang
pribumi Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
De Sumatra post, 22-02-1921: ‘Een
tweede Kartini? Seorang Kartini kedua? ‘Oetoesan
Melajoe' memberitahukan bahwa Siti Rohana, putri kepala jaksa di Medan, tidak
akan diizinkan lagi untuk bergabung dengan 'Soenting Melajoe' oleh suaminya
Koedoes (yang kini sebagai) editor dari surat kabar Deli ‘[Benih] Mardeka',
dimana dia sekarang akan menyumbangkan penanya untuk bekerja sama. Dalam
tulisannya yang termuat pada editorial surat kabar (Oetoesn Melajoe) disebutkan
Reina Tenoen, putri Datoek Soetan Maharadja (bedakan dengan Mohamad Rasad gelar
Maharadja Soetan) yang masih murid sebelas tahun kelas 5 di sekolah Mulo di
Padang. Menurut ayah yang berbahagia itu (Datoek Soetan Maharadja) memasukkan (Reina
Tenoen) lebih awal dalam jurnalistik bertujuan untuk melatih wanita muda (Reina
Tenoen) sebagai pemuka teman-temannya sesama perempuan, sebagaimana Kartini bagi
perempuan di Jawa’.
Majalah 'Perempuan Bergerak' (1919) |
Surat kabar Benih Mardeka (dibawah
editor Koedoes) yang sekarang haruslah dibedakan dengan surat kabar Benih
Mardeka yang dulu (berada dibawah Mohamad Joenoes kemudian Parada Harahap).
Surat kabar Benih Mardeka didirikan setelah rapat publik tahun 1915. Mohamad
Samin dari SI dan Abdoellah Lubis dari Sarikat Goeroe menjadi pemimpin dan
editor surat kabar Benih Mardeka yang didirikan tahun 1916. Namun tidak lama
kemudian pindah ke Pewarta Deli. Pada saat Benih Mardeka dibawah editor Mohamad
Joenoes, Parada harahap mengirim tulisan dan dimuat tentang penyiksaan kuli di
perkebunan. Pada tahun 1919, Benih Mardeka kemudian dibreidel bukan karena
delik pers melainkan pimpinannya Mohammad Samin tersandung tuduhan kasus
perdata. Sejak itu, Parada Harahap pindah ke Pewarta Deli dan ikut membantu
pendirian majalah perempuan ‘Perempuan Bergerak yang dipimpin Boetet Satidjah’.
Masih pada tahun 1919 Parada Harahap pulang kampung ke Padang Sidempoean dan
mendirikan surat kabar yang lebih revolusioner Sinar Merdeka. Parada Harahap di
Padang Sidempoean kerap terkena delik pers. Setelah beberapa waktu, Benih
Mardeka diaktifkan kembali oleh Radja Sabaroeddin dibawah bendera NV Setia
Bangsa. Radja Sabaraoedin, pahlawan Belanda dalam Perang Atjeh, pada tahun 1915
Radja Sabaroedin sebagai wedana di Batavia dipecat karena terlibat
persekongkolan atas suatu pembunuhan ((Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 15-06-1915). Sejak itu nama Sabaroedin menghilang. Setelah
sekian lama Radja Sabaroedin muncul di Medan menjadi direksi NV Seti Bangsa
yang menerbitkan (kembali) Benih Mardeka (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 12-09-1923). Radja Sabaroedin meski pernah dipecat dari
jabatannya, tetaplah sebagai pahlawan Belanda. Pada ulang tahun Benih Mardeka
(1923) oleh NV. Setia Bangsa, dibawah direksi Tengkoe Badja Sabaroedin pada
tanggal 31 Agustus tahun ini mengadakan sejumlah kegiatan yang dihiasi oleh
berbagai potret termasuk anggota keluarga kerajaan dan otoritas administratif
tertinggi dan pemerintah SOK (Sumatra’s Oostkust), pelopor perkebunan di Deli
Cramer dan Nienhuys. Sementara itu, Parada Harahap tahun 1923 hijrah ke Jawa dan
kemudian mendirikan surat kabar Bintang Hindia di Batavia. Catatan: Boetet
Satidjah, editor majalah Perempuan Bergerak’ kemudian diketahui menjadi istri
Parada Harahap; Tengkoe Radja Sabaroedin meninggal dunia tahun 1924 dalam usia
63 tahun di Batavia (De Sumatra post, 21-07-1924). Radja Sabaroedin adalah pemegang
bintang jasa militer pribumi tertinggi. Deze was in den Atjeh-oorlog bekend en
verkreeg de Militaire Willemsorde 4de kl. (De Preanger-bode, 23-07-1924).
Soetan Sjahrir setelah
menyelesaikan pendidikan MULO di Medan tahun 1926 hijrah ke Jawa untuk melanjutkan
studi sekolah menengah (AMS) di Bandoeng. Pada tahun ini (1926) Parada Harahap yang juga boleh
dikatakan ‘anak Medan’, sebagaimana halnya Soetan Sjahrir sebagai ‘anak Medan’,
mendirikan surat kabar baru yang lebih radikal yang diberi nama Bintang Timoer.
Parada Harahap sendiri baru-baru ini (1925/1926) telah melakukan perjalanan
jurnalistik ke sejumlah kota di Sumatra dan Semenanjung yang hasilnya dibukukan
dan diterbitkan NV Bintang Hindia tahun 1926. Surat kabar Bintang Timoer ini
langsung melejit dengan tiras paling tinggi di Batavia. Masih di tahun yang sama
(1926) pers Eropa menyebut Parada Harahap sebagai wartawan terbaik pribumi.
Parada Harahap tahun sebelumnya
(1925) mendirikan kantor berita pribumi yang diberi nama Alpena (dengan
merekrut WR Supratman sebagai editor). Pada saat itu sudah ada kantor berita
Eropa/Belanda bernama Atena. Surat kabar Bintang Timoer mengikuti platform
surat kabar yang didirikan Parada Harahap di Padang Sidempoean, Sinar Merdeka
(1919-1922). Parada Harahap yang tidak memiliki hutang kepada Belanda, sangat
intens menyuarakan keadilan (melawan Belanda) dan mendorong kemajuan bagi
pribumi. Soekarno dari Bandoeng kerap mengirim tulisan ke surat kabar Bintang
Timoer. Surat kabar Bintang Timoer juga kerapa memberitakan kiprah Soekarno.
Dengan portofolio
tinggi, Parada Harahap yang menjabat sebagai sekretaris Sumatranen Bond menggagas organisasi induk kebangsaan tahun
1927 yang dikenal sebagai PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia). PPPKI ini tertdiri dari Sumatranen Bond, Kaoem Betawi.
Pasoendan, Boedi Oetomo dan lainnya yang mana
ssebagai Ketua adalah MH Thamrin dan Sekretaris Parada Harahap. Dalam
pembentukan PPPKI juga dihadiri oleh Soekarno, pendiri organisasi kebangsaan
Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) yang berpusat di Bandoeng). Atas
inisiatif Soekarno (PNI) dan Parada Harahap (dari PPPKI) diadakan rapat umum di
Bandoeng akhir tahun 1927. Hasil yang muncul dari rapat umum ini platform
organissasi induk ini diubah menjadi Perhimpoenan Partai-Partai Kebangsaan
Indoensia yang singkatannya tetap sama: PPPKI.
Organisasi adalah wujud dari
kesadaran kolektif yang secara sadar diinisiasi oleh seseorang terpelajar (suka
membaca dan mengamati) yang telah memiliki pemahaman yang mendalam dan
pandangan yang luas. Inilah yang muncul pada tahun 1900 di kota Padang. Dja
Endar Moeda, seorang pensiunan guru, yang telah mendirikan sekolah swasta, editor
dan pemilik percetakan yang menerbitkan surat kabar Pertja Barat menggagas
didirikannya suatu organisasi kebangsaan yang diberi nama Medan Perdamaian di
Padang (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900).
Munculnya kesadaran Dja Endar Moeda bermula ketika tahun 1899 orang-orang
Eropa/Belanda mendukung dengan menggalang dana untuk Transvaal sementara
penduduk dalam kehidupan terpuruk, miskin dan menderita. Saleh Harahap gelar
Dja Endar Moeda pemilik portofolio tertinggi di Padang melalui Medan Perdamaian
berupaya mengkampanyekan bahwa hanya melalui organisasi kemajuan bangsa dapat
dipercepat. Medan Perdamaian adalah organisasi nasional (organisasi kebangsaan
berifat trans-nasional). Dja Endar Moeda, direktur Medan Perdamaian bahkan telah
ikut membantu pendidikan di Semarang dengan memberi sumbangan bagi peningkatan
pendidikan di Semarang sebesar f 14.490 (lihat De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Organisasi kebangsaan (Indonesia0
yang pertama ini kemudian didirikan tahun 1907 di Medan dan Fort de Kock. Lalu
keumudian, kesadaran kolektif muncul di Jawa dengan didirikannya Boedi Oetomo
di Batavia bulan Mei 1908. Organisiasi Boedi Oetomo yang melakukan kongres
pertama pada tanggal 3 Oktober 1908 di Djogjakarta merupakan copy paste dari
organisasi Medan Perdamaian (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908). Lalu
seorang mahasiswa di Leiden, Soetan Casajangan bereaksi karena Boedi Oetomo
cenderung bersifat kedaerahan (di Jawa) dan didukung oleh pemerintah, sementara
Medan Perdamaian mengusung platform yang bersifat nasional. Radjioen Harahap
gelar Soetan Casajangan, yang juga adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru
(kweekschool) Padang Sidempoean kemudian menggagas organisasi mahasiswa yang
bersifat nasional yang diberi nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia)
yang diproklamirkan tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Dalam perkembangannya
kemudian, Boedi Oetomo yang terus mendapat sokongan pemerintah menyebabkan
pembangunan di Jawa menjadi jauh lebih meningkat dan muncul ketimpangan (pembangunan)
antara Jawa dan luar Jawa. Soetan Casajangan setelah selsai studi kembali ke
tanah air tahun 1913 dan ditempatkan sebagai guru Eropa di Buitenzorg dan segera
dipromosikan ke Kweekschool Fort de Kock (saat-saat inilah Soetan Casajangan bertemu
dengan Sorip Tagor, asisten dosen di
Veartsen School dan Dahlan Abdoel dan Tan Malaka, dua alumni Kweekschool Fort de
Kock yang akan segera berangkat studi ke Belanda). Sementara kader-kader Soetan
Casajangan tengah serius di tahun awal kuliah di Belanda, Soetan Casajangan di
Fort de Kock melakukan gebrakan awal. Ini dapat dibaca pada De Preanger-bode,
08-09-1914: ‘ Fort de Kock. Atas prakarsa Mr. RS [Radjioen Soetan] Casajangan
Sp [Soripada], pada tanggal 25 Agustus 1914, pertemuan para pemimpin, pejabat,
dan warga Fort de Kock dan masyarakat sekitar, societeit Madjoe. RSCSp, sebagai
ketua, membuka rapat dan mengadakan ceramah. Sifat kedaerahan yang begitu
menonjol di Jawa (Boedi Oetomo) memunculkan euforia di kalangan pemudanya dengan
didirikannya Jong Java (1915). Dengan berpedoman pada risalah Soetan Casajangan
yang kini membangunkan penduduk Sumatra di For dek Kock dan Tapanoeli dan
situasi Sumatra yang terus terpuruk (terabaikan, malahan pemungutan pajak
terlalu berlebihan) dan euforia Jong Java, Sorip Tagormahasiswa kedokteran
hewan di Utrecht mempelopori didirikannya organisasi orang Sumatra yang diberi
nama Sumatra Sepakat yang diproklamirkan pada tanggal 1 Januari 1917 di
Utrecht. Pengurus terdiri dari Sorip Tagor Harahap sebagai ketua, Dahlan
Abdoellah sebagai sekretaris dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia sebagai
bendahara. Salah satu anggota adalah Ibrahim gelar Tan Malaka. Teman-teman
mereka di Batavia kemudian merespon dan mendukung dengan mendirikan sarikat
pemuda yang diberi nama Jong Sumatranen (head to head dengan Jong Java). Jong
Sumatranen yang umumnya mahasiswa-mahasiswa STOVIA diketuai oleh T. Mansoer,
Wakil Ketua Abdoel Moenir Nasution, sementara Amir dan Anas sebagai sekretaris
serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918). Sejak itu
bermunculan organisasi-organisasi pemuda seperti Kaoem Betawie, Pasoendan dan
sebagainya. Pada tahun 1918 didirikan Sumatranen Bond (senior) dalam kaitannya
dengan pemilihan kandidat ke Volksraad. Dua kandidat akhirnya bersaing untuk
satu ke Volksraad: Dr. Abdoel Rasjid Siregar (dokter di Padang Sidempoean) dan
Abdoel Moeis, pengurus SI di Bandoeng. Pada bulan Mei 1919 diadakan kongres
Jong Sumatranen yang pertama di Padang: Ketua Panitia Mohamad Amir dan pembina
kongres Dr. Abdoel Hakim Nasution (dokter di Padang). Dalam kongres ini turut
hadir ketua Jong Sumatranen wilayah Tapanoeli Parada Harahap dan Mohammad Hatta,
seorang pelajar MULO di Padang. Pada kongres kedua Jong Sumatranen di Padang
1921 pembina kongres masih tetap Dr. Abdoel Hakim yang sudah menjadi anggota
dewan kota (gemeenteraad) Padang. Parada Harahap, yang sudah mendirikan surat
kabar Sinar Medeka di Padang Sidempoean dan Mohamad Hatta yang sekolah di Prins
Hendrik School Batavia turut hadir. Pertemuan di dua kongres inilah muncul persahabatan
antara Parada Harahap dan Mohamad Hatta, Pada tahun 1921 sehabis kongres
Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda dan Parada Harahap pada tahun 1922
hijrah ke Batavia dan mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun-tahun
selanjutnya di Belanda, Mohamad Hatta dan kawan-kawan mengubah platform Indisch
Vereeniging menjadi lebih radikal dengan nama baru Perhimpoenan Indonesia (PI) yang
mana Mohammad Hatta kemudian menjadi ketua PI (1926-1930). Sementara di Batavia,
Parada Harahap dalam top performance (potofolio tinggi) menggagas didirikannya
supra organisasi nasional, sebagaimana dulu Medan Perdamaian dan Indisch
Vereeniging/Perhimpoenan Indonesia, yang diberi nama Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pembentukan supra
organisasi ini diadakan di rumah Husein Djajadiningrat (dosen Rechts Hooge School)
yang juga dihadiri oleh Soetan Casajangan (direktur sekolah Normaal School di
Meester Cornelis). Soetan Casajangan adalah pendiri dan presiden pertama Indisch
Vereeniging tahun 1908 dan Husein Djajadinigrat yang juga anggota pendiri dan
pernah menjadi sekretaris Indisch Vereeniging. Catatan: Dja Endar Moeda, Soetan
Casajangan, Sorip Tagor dan Parada Harahap secara kebetulan sama-sama kelahiran
Padang Sidempoean.
Kongres Pemuda pada dasarnya adalah
kongres para individu pelajar/pemuda yang juga tergabung dalam organisasi
pelajar dan organisasi pemuda seperti PPPI yang menginduk ke PPPKI, Jong
Sumatranen Bond ke Sumatranen Bond, Jong Java ke Boedi Oetomo, Jong Bataksch ke
Bataksch Bond, Pemoeda Indonesia di Bandoeng ke Perhimpoenan Nasional Indonesia
dan lainnya. Soetan Sjahrir yang masih sekolah menengah di Bandoeng (AMS)
tergabung dalam organisasi Pemoeda Indonesia. Sjahrir tidak pernah terlibat
organisasi kedaerahan. Pada masa-masa inilah Soetan Sjahrir banyak berinteraksi
dengan senior (seperti Parada Harahap, Dr. Soetomo dan Ir.Soekarno) dan juga
dengan para junior (seperti Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin). Mohamad Hatta
yang saat itu ketua PI di Belanda tergolong organisasi pelajar. Akan tetapi
Parada Harahap mengundang Mohamad Hatta berbicara di Kongres PPPKI (bukan di
Kongres Pemoeda). Inilah cara Parada Harahap untuk membesarkan Soekarno dan
Mohammad Hatta. Namun jelang kongres Mohammad Hatta tidak bisa hadir karena
kesibukan di Belanda tetapi Mohamad Hatta mengutus Ali Sastroamidjojo untuk
mewakilinya. Sedangkan Soetan Sjahrir hadir di Kongres Pemoeda. Catatan: Abang
Mohammad Jamin bernama Djamaloedin alias Adinegoro, kelak tahun 1929 menjadi
editor Bintang Timoer (pimpinan Parada Harahap) dan setahun kemudian
dipindahkan ke Pewarta Deli (pimpinan Abdoellah Lubis). Abdoellah Lubis juga
adalah pendiri Benih Mardeka tahun 1915/1916, surat kabar yang kini dimana kakak
Soetan Sjahrir, Siti Rohana dan iparnya Koedoes semakin intens mengelola Benih
Mardeka. Pasca Radja Sabaroedin, surat kabar Benih Mardeka kembali ke platform
awal: surat kabar bersifat radikal (sebagaimana Pewarta Deli sudah lebih dahulu
berubah menjadi bersifat radikal).
Mohamad Rasad gelar Maharadja Soetan |
Siti Rohana Koedoes,
kakak Soetan Sjahrir yang dikaguminya sejak dulu masih terus giat menulis apakah
di Benih Mardeka, juga mengirim tulisan ke Pewarta Deli. Siti Rohana juga mengirm
tuisan ke surat kabar yang terbit di
Sibolga (Tapanoeli), surat kabar Pertjatoeran, pimpinan M. Arif Lubis. Salah
satu tulisan Siti Rohana di surat kabar Pertjatoeran seakan melanjutkan
pemikirannya ketika dulu merintis pers perempuan: untuk kemajuan perempuan.
Kini, Siti Rohana ingin mendobrak kebiasaan lama yang lain yang terkait
perempuan: masalah poligami. Persoalan ini tidak hanya semata-mata yang hidup
di dalam masyarakat, boleh jadi Siti Rohana melihat sendiri di dalam
keluarganya? Catatan: dalam silsilah keluarga mereka, Siti Rohana berbeda ibu
dengan Soetan Sjahrir. Ayahnya Mohamad Rasad tercatat (pernah) memiliki istri
sebanyak enam orang dan anak sebanyak 25 orang (termasuk Siti Rohana dan Soetan
Sjahrir).
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 13-07-1928:
‘Posisi perempuan adalah subjek yang menjadi perhatian yang semakin meningkat
di pers pribumi. Kami membaca tulisan seorang perempuan sendiri yang dimuat di
surat kabar Pertjatoran yang terbit di Sibolga, Tapanoeli. Seorang wanita
Melayu, [Siti] Rohana suatu ulasan dan perbandingan antara pengertian tentang
menikah dengan gadis pribumi di Tapanoeli dan gadis asli Priaman (West Sumatera),
di Tapanoeli orang tua berkonsultasi tentang calon pengantin kepada siapa yang
harus dikatakan keinginannya. Di West Sumatra benar-benar berbeda, orang tua
melihat hanya pada kelahiran, meskipun calon pengantin sudah di atas usia atau sudah menikah, dll.
Semua ini membuat tidak ada pengaruh jika ia mendapat keturunan jika
dibandingkan dari keluarga yang berbeda. Akibatnya banyak perceraian dan
berdampak pada perempuan, seperti keadaan miskin, perzinahan, prostitusi, dll. Penulis
meminta editor untuk mengirim beberapa salinan untuk dikirim untuk para kepala di
tanah airnya (kampung halaman), berharap
ada perubahan itu dimasa yang akan datang jika dibandingkan dengan keadaan yang
tidak diinginkan saat ini. Namun jawabannya belum muncul dalam edisi
berikutnya. Di dalam tulisan oleh penulis yang diharapkan berubah terhadap
(masalah) poligami, yang mempengaruhi salah satu ketentuan dalam Islam, yang
memungkinkan laki-laki lebih banyak perempuan untuk dimilikinya. Untuk mencapai
hasil, perlu dicatat [Siti] Rohana, yang pertama harus fokus pada Al-Quran. Perempuan
modern untuk Java asli sementara sudah terlibat perang melawan poligami dan para
intelektual laki-laki (sudah) menemukan bahwa poligami umumnya tidak ada (yang
perlu) dipertahankan lagi’.
‘
Siti Rohana sudah lama
meninggalkan kampung halaman di Fort de Kock, paling tidak Siti Rohana (dan
suami: Koedoes) sudah diketahui berada di Medan tahun 1919. Kota Medan, kota melting
pot, yang sangat dinamis telah mempengaruhi secara radikal cara berpikirnya.
Hal ini juga yang telah dialami oleh adiknya Soetan Sjahrir. Sebagai anak
Medan, Soetan Sjahrir telah disemai di Medan sebagai pemuda radikal sebelum
hijrah studi ke Jawa di Bandoeng tahun 1926. Tulisannya tentang permasalahan poligami,
meski bukan isu baru dalam pers pribumi (bahkan di Padang), namun karena
tulisan permasalahan poligami ini dibuat oleh seorang perempuan menjadi lain
magnitudenya.
Namun pertanyaannya
mengapa Siti Rohana mengirim tulisannya ke surat kabar Pertjatoeran yang
dieditori oleh M. Arif Lubis di Sibolga, dan bukan ke Padang. Ini semua karena
di Padang lebih adem. Pers di Sibolga sama hangatnya dengan pers di Medan.
Surat kabar Pertjatoeran adalah surat kabar berhaluan radikal seperti Pewarta
Deli di Medan. Bebeberapa tahun setelah tulisan Siti Rohana (1928), M.
Arif Lubis tersandung perkara delik pers
tahun 1931. Surat kabar Pertjatoeran dibawah editor M. Arif Lubis dimajukan ke
pengadilan (lihat De Sumatra post, 16-09-1931). Pangkal perkara diajukannya ke
meja hijau M. Arif Lubis karena melaporkan seorang kepala polisi Belanda
melakukan tindakan kekerasan terjadap penduduk. Setelah surat kabar Pertjatoeran
dibreidel, M. Arif Lubis dibebaskan hijrah ke Medan. Pada tahun 1932
sebagaimana dilaporkan De Sumatra post, 19-01-1932 di Medan didirikan Partai
Indonesia. M. Arif Lubis di dalam dewan Partai Indonesia cabang Medan menjabat
sebagai sekretaris. Kota Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli) juga menjadi
tempat bersamainya partai politik. Ir. Soekarno pernah datang ke Sibolga dalam
rangka pembentukan cabang Partai Indonesia (lihat De Sumatra post, 13-05-1932).
Ir. Soekarno setelah keluar dari penjara lebih memilih Partai Indonesia
(bersama Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Jamin). Sementara Soetan Sjahrir di
partai baru Pendidikan Nasional Indonesia. M. Arif
Lubis menjadi editor Pewarta Deli (De Sumatra post, 19-10-1933). M. Arif
Lubis membantu kepala editor Pewarta Deli Adingoro. Parada Harahap yang sangat
dekat dengan Ir. Soekarno menjadi alasan bagi Soekarno bersedia ke Sibolga.
Sementara jaringan politik Sibolga-Medan sudah berada diantara orang-orang Partai
Indonesia. Di Jawa terdapat Amir Sjarifoeddin (ketua cabang Batavia) dan Mohammad
Jamin (ketua cabang Soerabaja). Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Jamin pada kongres
pemuda (1928) berada dibawah arahan Parada Harahap. Abang Mohamad Jamin
sendiri, Adinegoro saat ini kepala editot Pewarta Deli (pimpinan Abdoellah
Lubis yang mana sebelumnya Adinegoro sebagai editor Bintang Timoer (pimpinan
Parada Harahap). Parada Harahap sendiri dulu tahun 1919 adalah editor Pewarta
Deli. Di antara grup anak-anak Medan ini Ir. Soekarno merasa nyaman dan
bersedia ke Sibolga. Pada tahun 1934 M. Arif Lubis melakukan aktivitas politik (Partai
Indonesia) di Padang Sidempuan. Namun belum lama, di Padang Sidempoean terjadi
penangkapan aktivis politik dan penggeledahan di bernagai tempat (De tribune:
soc. dem. Weekblad, 26-06-1934). Disebutkan pada tanggal 11 Mei pukul 1 siang di
Padang Sidempoean dilakukan pencarian, termasuk di rumah Moh. Arif Lubis. Dalam
penggeledahan juga disita gambar Sukarno, Sartono dan lain-lain. Alasan untuk
pencarian tidak ditentukan, tetapi mungkin terkait dengan larangan pertemuan
rapat-rapat politik. Tidak hanya di Padang Sidempoean, juga di Pematang
Siantar. De Sumatra post, 27-10-1934 melaporkan dalam pertemuan pada hari Minggu
di Siantar ditangkap Adam Malik, anggota dewan dari Partai Indonesia di
Siantar. Penangkapan itu terjadi atas permintaan hakim Sipirok sejak Adam Malik
diduga mengadakan pertemuan partai ketika ia berada selama di Siporok. Adam
Malik dibawah pengawalan polisi dibawa ke Sipirok. Adam Malik setelah diadili
dijebloskan ke penjara Padang Sidempoean, penjara dimana pada sekitar tahun
1919-1922 Parada Harahap kerap dijebloskan ketika memimpin surat kabar Sinar
Merdeka.
Setelah tidak terdengar
kabar berita Siti Rohana, Sabariah dan Boetet Satidjah di Medan, tokoh wanita
yang muncul ke permukaan adalah Ronggoer Harahap, guru di Joshua Instituut (De
Sumatra post, 02-01-1934). Ronggoer Harahap adalah pengurus perhimpuena bola
basket Korfbal Comite Medan (De Sumatra post, 29-10-1934). Ronggoer Harahap
kemudian menjadi Kepala Sekolah Neutrale HIS Medan (De Sumatra post,
14-06-1937). Ronggoer Harahap adalah satu-satu perempuan kepala sekolah HIS di
Medan. Dari 11 buah sekolah HIS di Medan hanya tiga orang yang dijabat pribumi.
Mr. GB Joshua Batubara yang juga anggota dewan kota adalah kepala sekolah HIS
terkenal dari Joshua Instituut (masih eksis hingga kini). Nama nona Ronggoer
Harahap kali pertama diberitakan tahun 1915 sebagai siswa yang diterima di
sekolah elit di Batavia, Prins Hendrik School, afdeeling HBS (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 17-05-1915). Mohamad Hatta diterima pada Afdeeling-A
di sekolah Prins Hendrik School pada tahun 1919. Mohamad Hatta lulus tahun 1922
lalu kemudian melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun yang sama (1922) Ida
Loemongga, kelahiran Paang tahun 1905 lulus di Afdeeling-B (IPA) Prins Hendrik
School dan juga kemudian melanjutkan studi ke Belanda. Ida Lomongga meraih
gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran tahun 1931 di Universiteit Utrecht. Dr.
Ida Loemongga, Ph.D adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar Ph.D.
Ida Loemongga adalah putri dari pasangan Dr. Haroen Al Rasjid Nasution dan
Alimatoe Saadiah (pasangan ini sama-sama lahir di Padang Sidempoean). Alimatoe
Saadiah adalah perempuan pribumi pertama yang berpendidikan Eropa (ELS). Alimatoe
Saadiah adalah putri Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (alumni Kweekschool
Padang Sidempoean, 1884; Radja Persuratkabaran di Soematra). Dengan kata lain, Dr.
Ida Loemongga, Ph.D adalah cucu dari Dja Endar Moeda. Foto Ronggoer Harahap (De
Sumatra post, 28-06-1937).
Di Kota Gadang, Fort de
Kock desebutkan berdiri Sarikat Oesaha Amai Setia dan juga Studie Fonds.
Sarikat Amai didirikan tahun 1911. Dua
paguyuban ini telah tumbuh dan berkembang (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 11-01-1916). Sebagaimana disebutkan pada tahun 1916 di Kota
Gadang tetap dalam situasi tenang meski baru-baru ini terjadi kerusuhan di
Padang Pandjang dan dua orang dipaksa di Singkarak untuk membayar pajak mereka dengan
ancaman bayonet dari prajurit. Ini mengindikasikan bahwa Kota Gadang di Fort de
Kock saat itu terbilang cukup aman dan kondusif. Kota Gadang sendiri tidak jauh
dari Fort de Kock. Sementara Fort de Kock sendiri adalah tempat dimana orang
Eropa/Belanda cukup banyak. Pada masa inilah Siti Rohana berkreasi
mengembangkan bakatnya untuk mempelopori pers perempuan. Siti Rohana dan kawan-kawan
telah memulai majalah perempuan Soenting Melajoe pada tahun 1912.
Paguyuban Amai Setia tentu saja
tidak sendiri. Tenunan terkenal dari Siloengkang sudah sampai pemasarannya ke
Jawa. Kini muncul pesaing di Soelit Air, Singkarak yang telah membentuk
paguyuban yang diberi nama Andeh Setia (Algemeen Handelsblad, 25-09-1912). Pada saat ini 150 wanita bekerja
pada mesin tenun di Soelit Air yang (hasilnya) sangat bagus. Boleh jadi Andeh
Setia telah mendengar Amai Setia di Kota Gadang, Fort de Kock. Tampaknya dua
paguyuban ini dibentuk setelah melihat industri kerajinan yang sudah terbilang maju
di Siloengkang hanya bisa dikejar dengan cara berorganisasi. Pada sekitar
tahun-tahun ini juga marak sarikat usaha dibentuk di Jawa. Jenis sarikat usaha saat
itu bermacam ada yang berdasarkan komunitas (seperti Amai Setia dan Andeh
Setia), nasional, agama (SI), pribumi (sarikat boemipoetra), Indo (Insulinde)
atau kombinasinya (seperti Setia Oesaha di Soerabaja yang berafiliasi SI dengan
menerbitkan surat kabar Oetoesan Hindia). Sebaliknya sarikat Medan Perdamaian
yang didirikan di Padang tahun 1900 adalah sarikat sosial yang bergerak antara
lain dalam bidang pendidikan (studiefonds) yang saat itu situasi dan kondisi masih
berfokus pada bidang elementer (pendidikan dan kesehatan). Pada fase berikutnya
organisasi-organisasi kebangsaan dibentuk dalam upaya memajukan usaha pribumi
(untuk mengimbangi dominasi bisnis orang-orang Tionghoa). Ini dapat dilihat
dengan pendirian Sarikat Tapanoeli di Medan yang didirikan tahun 1907 juga
telah memiliki sarikat usaha yang didirikan tahun 1909 dengan berbadan hukum NV
Sarikat Tapanoeli. Sarikat in kemudian menerbitkan surat kabar Pewarta Deli
tahun 1909 (sebagai sarana penyerbaran pengetahuan dan medium untuk
mempromosikan usaha para anggota khususnya).
Mohammad Rasad yang
menjadi jaksa dan demang di Djambie tentu saja mendukung putri sulungnya itu.
Juga turut mendukung paguyuban perempuan Amai Setia yang mana menjadi nama sarikat
oesaha (kaoem perempuan) di Kota Gadang yang juga disebut Amai Setia. Sarikat
oesaha Amai Setia ini pada tahun 1915 telah mendapat legalitas dari pemerintah dengan
nama Vereeniging/Perkoempoelan Karadjinan Amai Setia (KAS).
Diantara usaha yang dilakukan untuk
peningkatan pengetahuan perempuan (pendidikan dan media) dan pemberdayaan
perempuan (di bidang kerajinan) Perkoempoelan Keradjinan Amai Setia di Kota
Gedang (Fort de Koek) juga diketahui turut menyelenggarakan loterai berdasarkan
Besluit van den Directeur van Onderwijs en Eeredienst ddo. 18 April 1911, No.
7261 (Bataviaasch nieuwsblad, 11-08-1914). Seperti dalam penyelenggaran
Agustus-Oktober 1914 penyelenggara (Perkoempoelan KAS) menyediakan loterai sebanyak
8.000 kupon yang harga per kupon f2.5 (plus biaya kirim f0.1 via pos). Hadiah
terdiri sebanyak 132 pemenang dengan pembagian kategori sebagai berikut: 1
pemenang dengan hadiah f3500; 1=f500, 1=f100; 2=f50; 2=f25; 25=f10; 100=f5;
Catatan: dana maksimum yang akan terkumpulan sebesar f20.000, sementara jumlah
total nilai hadiah yang diundi sebesar f5.000. Setelah dikurangi pajak undian (bagi
pemerintah) dan biaya-biaya operasional maka sisanya adalah keuntungan bagi
penyelenggara. Masa pembelian kupon selama 2.5 bulan. Hadiah diambil paling
telat delapan hari setelah pengundian di bank Agam.
Sementara itu masih
tahun 1916 didirikan sarikat dagang usaha perdagangan Setia Bangsa di Medan (De
Sumatra post, 14-11-1916). Sarikat ini mendapat legalitas pada tahun 1917
dengan nama NV Setia Bangsa (Bataviaasch nieuwsblad, 01-02-1917). Di Medan
sudah sangat banyak organisasi. Satu organisasi disebut organisasi para istri dengan
nama Setia Istri. Organisasi para istri ini telah mendirikan sekolah PAUD, Frobel
School di Medan (De Sumatra post, 22-03-1917). Ketua sarikat Setia Istri adalah
T. Sabariah (De Sumatra post, 16-04-1918). Mereka ini telah mulai menginisiasi
perempuan mendapat hak pilih dalam pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad).
Dalam bahasa Minangkabau ‘amai’ dan ‘andeh’
adalah ‘ibu’ yang berarti Amai Setia dan Andeh Setia adalah Ibu (yang) Setia. Pengunaan
kata ‘setia’ sudah banyak digunakan di berbagai tempat seperti di Jawa. Kata
‘setia’ dalam hal ini harus dilihat konteksnya: setia dalam makna para ibu yang
setia (kepada suaminya), jiwa persatuan (dalam organisasi) atau komunitas yang
setia (terhadap Pemerintah Hindia Belanda). Siti Rohana adalah bagian daripada
ibu-ibu tersebut. Disebutkan Siti Rohana telah menikah dengan Koedoes pada
tahun 1908 sebelum Amai Setia didirikan.
Tidak diketahui keluarga
Siti Rohana pindah ke Medan. Besar dugaan Siti Rohana pindah dari Fort de Kock
ke Medan antara tahun 1916 dan 1919. Yang jelas tahun 1919 Siti Rohana sudah
menjadi guru kerajinan di sekolah perempuan Sekolah Derma di Medan (De Sumatra
post, 25-02-1919). Sekolah ini didirikan tahun 1914 dengan bantuan Tjong A Fie
dan Sultan menyediakan lahan. Sekolah Derma ini juga dibawah pengawasan dewan
kota dari komisi pendidikan yang dipimpin Radja Goenoeng (De Sumatra post. 23-11-1922).
Sementara itu, diberitakan setelah terjadi pertemuan publik dan pembentukan
dewan Indisch Partij (IP) di Loeboekpakam, Deli, yang menjadi sekretaris adalah
Abdoel Koeddoes (De Sumatra post, 01-10-1919). Abdoel Koeddoes adalah suami
Siti Rohana.
Indische Partij (IP) adalah Partai
Hindia partai politik pertama di Hindia Belanda yang didirikan tanggal 25
Desember 1912. Para pendiri IP adalah EFE Douwes Dekker, Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan RM Soewardi Soerjaningrat. Di Padang juga telah dibentuk
dewan IP tahun 1919. Ketua dewan IP di Padang adalah Dr. Abdoel Hakim (lihat De
Sumatra post, 14-01-1922). Dr. Abdoel Hakim (Nasution) adalah kepala dinas ksehatan
di Padang yang juga anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang. Abdoel Hakim
adalah pembina kongres Jong Sumatranen yang diadakan di Padang tahun 1919 dan
tahun 1921. Dr, Abdoel Hakim, alumni ELS Padang Sidempoean sekelas dengan Dr, Tjipto Mangoenkoesoemo di
Docter Djawa School (sama-sama lulus tahun 1905).
Siti Rohana di Medan sudah
barang tentu menjadi bagian dari sarikat perempuan Setia Istri. Tampaknya Siti
Rohana telah menemukan kota yang diimpikannya. Kota multi etnik yang dinamis. Kota
dimana segala apa yang dipikirkan dimungkinkan terwujud. Dengan latar
belakangan emampuannya berorganisasi dan menulis di media yang sudah teruji selama
di Fort de Kock dan Padang, Siti Rohana akan betah. Suami yang telah menjadi
editor Benih Mardeka (1923) dengan sendirinya Siti Rohana ikut aktif mendukung.
Hingga tahun 1923 masih mengajar di sekolah perempuan Sekolah Derma di Medan
(De Sumatra post, 31-01-1923). Namun anehnya Siti Rohana tidak bersedia lagi
menulis di majalah Soenting Melajoe dan lebih memberi perhatian kepada
media-media yang terbit di Medan. Hal ini boleh jadi akibat adanya pergeseran
orientasi cara berpikir yang lebih terkembang. Siti Rohana yang sudah melewati
upaya-upaya pencerdasan (pendidikan) di Fort de Kock dan kini ke arah
upaya-upaya yang bersifat politis/radikal. Situasi ini tengah marak di Medan
tidak hanya laki-laki juga para perempuan sudah mulai terlibat.
Kabar tentang Siti
Rohana tidak menulis lagi di Soenting Melajoe diketahui tahun 1921. Meski
demikian, penggantinya Reina Tenoen, anak Datoek Soetan Maharadja dari Oetoesan
Melajoe di Padang sudah muncul. Sarikat oesaha Amai Setia tetap eksis yang
diketuai oleh Ny. Hasidah (Soerabaijasch handelsblad, 23-03-1936). Sarikat ini disebut adalah yang tertua di bidang
kerajinan tangan dan telah eksis selama 29 tahun. Eksistensi Perkoempoelan
Keradjinan Amai Setia di Kota Gadang dilaporkan tahun 1941 yang tetap eksis
yang masih dibawah kepemimpinan Hasidah (De Sumatra post, 29-09-1941). Sarikat
Amai Setia hingga tahun 1956 masih eksis dengan ikut pameran pada
penyelenggaraan pekan raya perempuan keempat di Djakarta (De nieuwsgier,
08-03-1956).
Surat kabar Benih
Mardeka di Medan, tempat dimana suami Siti Rohana sebagai editor, didirikan pada tahun 1916. Sementara itu NV Handels Mij Setia
Bangsa sudah pula didirikan tahun 1916 (De Sumatra post, 14-11-1916).
Perusahaan perdagangan ini kemudian mendapat akta pendirian (Bataviaasch
nieuwsblad, 01-02-1917). Surat kabar Benih Mardeka tersebut dicetak oleh percetakan
NV Setia Bangsa (salah satu bidang usaha perusahaan). Sementara surat kabar Pewarta Deli yang didirikan 1909,
organ organisasi Sjarikat Tapanoeli yang dibentuk 1907, dicetak oleh NV Sjarikat
Tapanoeli.
Abdoel Koeddoes |
Pada tahun 1919 Benih
Mardeka terkena delik pers (De Sumatra post, 14-08-1919). Editor Mohamad
Joenoes diseret ke meja hijau di pengadilan Landraad Medan karena Benih Mardeka
membuat puisi berjudul ‘O Maharadjalela?’ Dalam kasus ini juga dikaitkan dengan
artikel yang berisi tentang beberapa hasutan untuk kebencian, permusuhan atau
penghinaan terhadap pemerintah atau beberapa kelompok populasi *termasuk
kesultanan). Mohamad Joenos membantah menyerang pemerintah, hanya menekankan
bahwa pemerintah gagal memenuhi janji-janjinya, di tengah-tengah untuk menuntut
pemenuhan, Pengadilan pada akhirnya memutuskan tidak terbukti dan dibebaskan
dari tuntutan. Dalam sidang ini juga dihadirkan pihak percetakan NV Setia
Bangsa sebagai saksi (untuk menelusuri distribusinya). Dalam perkembangannya
Benih Mardeka harus ditutup bukan karena delik pers tetapi semata-mata karena
masalah perdeta. Sebagaimana diketahui bahwa Mohamad Rasad sejak 1914 sebagai
kepala jaksa di Landraad Medan sudah barang tentu mengikuti proses peradilan
ini. Lalu kemudian, Mohamad Joenoes mengundurkan diridari Benih Mardeka tahun
1920 dan digantikan editor baru, Mohamad Noer (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 07-04-1920). Dalam sabutan, pada edisi pertamanya, Mohamamd
Noer belum bisa mengatakan apakah misinya di Benih Mardeka bersifat radikal,
atau pemerintah, atau nasionalis, atau ekstremis. Dalam perkembangannya saham NV
Setia Bangsa sendiri diakuisisi seluruhnya oleh keluarga Radja Sabaroedin pada
tahun 1921 (lihat De Sumatra post, 22-02-1929). Radja Sabaroedin sebelumnya
memiliki saham di Benih Mardeka. Sejak diakusisi Radja Sabaroedin, editor Benih
Mardeka adalah Abdoel Koedoes (lihat De Sumatra post, 22-02-1921). Dalam
perjalanannya, Benih Mardeka tersandung kembali delik pers dibawah editor Raden
Mangoen Atmodjo (De Sumatra post, 28-02-1922). Abdoel Koedos tidak lama di Benih
Mardeka. Pada tahun 1923 Abdoel Koedoes disebut pengurus salah satu organisasi
radikal (De Sumatra post, 02-01-1923). Organisasi ini diduga adalah NIP. Saat-saat
ini surat kabar Benih Mardeka (sudah) terkesan sangat dekat dengan pemerintah, para
planter dan kesultan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
12-09-1923). Sebagaimana diketahui ayah Siti Rohana, Mohamad Rasad pada tahun
1923 pensiun sebagai djaksa di Landraad Medan. Namun dalam perkembangannya Surat
kabar Benih Merdeka dan surat kabar Warta Timoer dilaporkan kekurangan iklan,
sementara surat kabar Pewarta Deli justru iklan melimpah (De Indische courant,
22-03-1924). Apakah ini tanda Benih Mardeka akan bangkrut?. Masih pada tahun
1924 Radja Sabaroeddin dikabarkan meninggal dunia di Batavia (De Sumatra post,
21-07-1924). Radja Sabaroedin disebutkan dimakamkan disamping kuburun ayahnya,
Boerhanoedidin. Lalu kemudian manajemen NV Setia Bangsa diisi putra Rada
Sabaroeddin yakni Radja Boerhanoeddin (nama yang sama dengan kakeknya). Namun
yang muncul ke publik, Benih Mardeka di satu sisi menghilang dan di sisi lain muncul
surat kabar (baru) Benih Timoer (De Preanger-bode, 23-08-1924). Apakah surat
kabar Benih Mardeka dan surat kabar Warta Timoer telah merger dengan mengusung nama
baru Benih Timoer?. Dan kemudian dua tahun berikutnya, Radja Boerhanoeddin yang
mengambil alif fungsi editor di Benih Timoer. Sebagaimana pemerintah terus
menekan pers, Benih Timoer tersandung delik pers (De Sumatra post, 09-02-1928).
Artikel yang dipersoalkan adalah berjudul ‘O, Itoe indonesische Meer der heid’
yang dimuat pada Benih Timoer edisi tanggal 3 Desember 1927. Artikel ini
merekomendasikan gangguan ketertiban umum atau menggulingkan atau membuat
serangan terhadap otoritas pemerintah. Di pengadilan coba membantah namun
Boerhandoeddin tetap dituntut hukuman penjara. Di dalam pengadilan itu terungkap
bahwa Radja Baoehanoeddin sebagai editor sudah dua tahun dan di manajemen sudah
selama empat tahun. De Indische courant, 17-02-1928 memberitakan Radja Boerhanoedidin
dikenakan hukuman tiga bulan penjara, Beorhanoedidin masih sempat meminta
gratifikasi (pengampunan) atas hukuman tiga bulan penjara tetapi permintaan ini
ditolak (De Sumatra post, 10-05-1928).
‘
Setelah kasus tersebut,
Benih Timoer yang diterbitkan dan dicetak oleh NV Setia Bangsa yang (setelah
akuisisi) mayoritas sahamnya dari keluarga dan Boerhanoeddin sendiri, tampaknya Radja Boerhanoeddin menutup Benih Timoer.
Radja Boerhanoeddin pindah ke Batavia. Radja Boerhanoeddin dikabarkan sudah
berada di Batavia (lihat De Sumatra post, 19-04-1929). Mantan
direktur-editor-in-chief dari surat kabar Benih Timoer, Radja Boerhanoedin
kembali muncul di Medan, akan tetapi (dilaporkan) untuk menghadap pengadilam karena
pencurian permata yang dilakukan Radja Boerhanoeddin atas milik permaisuri
Sultan Serdang. Disebutkan Radja Boerhanoeddin saat ini masih dalam penahanan
preventif (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1929). Diberitakan
Radja Boerhanoeddin sebelum dibawa ke Medan telah ditangkap di Weltevrden pada
bulan April lalu (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-12-1929).
Setelah kasus terakhir Radja
Boerhandoeddin di Medan, Radja Boerhanoeddin di Batavia tersandung (kembali) karena
kasus penggelapan dengan Firma Lindeteves-Stokvis yang berakhir dengan tuntutan
pengadilan bagi Radja Boerhanoeddin dengan ganjaran kurungan penjara selama
satu tahun (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-07-1931). Lalu
dalam perkembangannya keberadaan Boerhanoeddin muncul dan dikenal sebagai
pengusaha di Kudus (Midden-Java). Disebutkan Radja Boerhanoeddin adalah sebagai
Voorzitter van den strootjes-fabrikantenbond di Koedoes.
Saat mana dilaporkan ada
pembentukan Komisi Tjoekai yang anggotanya terdiri dari para residen, bupati
dan anggota Volksraad, dalam pembentukan komisi ini, Sstrootjes-fabrikantenbond
ingin memiliki perwakilan sendiri di komisi tersebut yang mana sebagai kandidatnya
adalah Radja Boerhanoeddin. Saat pembentukan komisi tersebut, pada bulan
Desember 1932 dan Januari 1933 surat kabar Bintang Timoer yang dipimpin Parada
Harahap menyoroti kiprah Radja Boerhanoeddin. Surat kabar Bintang Timoer
menulis bahwa Radja Boerhanoeddin tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota
komisi. Berbagai ulasan muncul dalam Bintang Timoer yang mengaitkan Radja Boerhanoeddin
adalah mantan narapidana dan bahkan riwayat orang tuanya, Radja Sabaroedin pada
masa lalu turut diungkapkan.
Pemberitaan tentang Radja Boerhanoeddin
yang dianggap menyudutkan Radja Boerhanoeddin dalam pencalonan tersebut mendapat
reaksi dari Radja Boerhanoeddin sendiri. Surat kabar Bintang Timoer dianggap Radja
Boerhanoeddin telah menghina dan menuntut pasal penghinaan ke pengadilan.
Parada Harahap dari Bintang Timoer lalu didakwa dengan pasal penghinaan. Di
pengadilan, Parada Harahap berdalih, perihal latar belakang Radja Boerhanoeddin
(yang diketahui Parada Harahap) ditulis untuk kepentingan umum. Parada Harahap
beranggapan bahwa tulisan itu tidak bermaksud untuk menyerang nama baik atau
kehormatan Radja Boerhanoedin tetapi hanya semata-mata untuk diketahui publik. Pengadilan
akhirnya memutuskan para terdakwa dianggap telah menghina dan diancam kurungan.
Para terdakwa (Parada Harahap dan para wartawannya) mengajukan banding bahwa
mereka tidak bersalah dan dilakukan pembebasan atau cukup dengan hukuman ringan
saja. Pengadilan akhirnya mengetok palu Parada Harahap dan kawan-kawan dihukum
denda f50 atau kurungan 25 hari (tentu saja Parada Harahap dkk akan memilih
bayar denda).
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar