Laman

Rabu, 22 Agustus 2018

Sejarah Kota Padang (56): Sejarah Pendirian Universitas Andalas di Sumatra Tengah; Perguruan Tinggi Pantjasila di Kota Padang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini 

Pada tanggal 13 September 1956 Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta meresmikan pembukaan Universitas Andalas di Bukittinggi. Ini menandai berdirinya universitas negeri (PTN) di Sumatra. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan tiga PTN yang semuanya berada di Jawa, yakni Universitas Gadjah Mada yang berpusat di Djogjakarta (didirikan tahun 1949), Universitas Indonesia yang berpusat di Djakarta (didirikan tahun 1950) dan Universitas Airlangga di Soerabaja (didirikan tahun 1954). Bersamaan dengan pendirian Universitas Andalas di Bukittinggi juga didirikan PTN baru di Sulawesi yang berpusat di Makassar yang diberi nama Universitas Hasanoeddin.

Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D (1951)
Gagasan pendirian universitas di Sumatra pada awalnya (1953) mencakup tiga kota dimana di kota-kota tersebut sudah eksis perguruan tinggi yakni di Padang (fakultas hukum, 1951), di Medan (fakultas kedokteran, 1952) dan di Palembang (fakultas ekonomi, 1953). Gagasan ini direspon Kementerian Pendidikan tahun 1954 dengan melakukan reorganisasi pendidikan tinggi. Dari dua universitas negeri (PTN) yang sudah didirikan di Djogjakarta (Universitas Gadjah Mada) dan di Djakarta (Universitas Indonesia) akan ditambah satu PTN di Soerabaja serta dua buah PTN lagi di Sumatra dan di Sulawesi. Nama-nama PTN akan disesuaikan. Selain mempertahankan nama Universitas Gadjah Mada, nama Universitas Indonesia akan diubah menjadi Universitas Poernawarman. Untuk PTN di Soerabaja diberi nama Universitas Airlangga, sementara PTN di Sumatra diberi nama Universitas Adityawarman, sedangkan nama PTN di Sulawesi diberi nama Universitas Hasanoeddin. Foto Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D (De vrije pers: ochtendbulletin, 31-12-1951)

Lantas mengapa gagasan pendirian universitas di Sumatra yang berbasis tiga kota tidak terlaksana? Lalu mengapa usulan nama universitas di Sumatra dengan nama Universitas Adityawarman tidak terwujud?  Dan, mengapa universitas di Sumatra dipusatkan di Bukittinggi dan kemudian namanya disebut Universitas Andalas? Semua pertanyaan ini sepintas tidaklah terlalu penting, tetapi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini justru menjadi berguna untuk menjelaskan peta awal pembentukan universitas (PTN) di Indonesia, di Sumatra dan di Sumatra Tengah. Universitas Andalas yang berada di Sumatra Tengah inilah kelak yang menjadi cikal bakal Universitas Andalas di Kota Padang yang sekarang.

Usulan nama universitas di Sumatra diberi nama Adityawarman berasal dari Menteri Pendidikan Mr. Mohamad Jamin. Nama Adityawarman tidak diinginkan oleh Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta dan mengusulkan nama Imam Bondjol. Nama Tuanku Imam Bondjol juga tidak sesuai, Dekan Fakultas Kedokteran di Bukittinggi Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D mengusulkan nama universitas dengan nama Andalas. Usulan Prof. Mohamad Sjaaf yang akhirnya dipatenkan menjadi nama Universitas Andalas.  

Rencana Universitas di Sumatra

Kota Padang adalah kota tua, ibukota Provinsi Pantai Barat Sumatra (Province Sumatra’s Westkust) di era kolonial Belanda. Akan tetapi di era Republik Indonesia, bukan kota Padang yang dijadikan ibukota Provinsi Sumatera Tengah melainkan Bukittinggi (sesuai di era pendudukan Jepang). Setelah terjadi pemekaran di Sumatra Tengah (Djambi dan Riau masing-masing menjadi provinsi), nama Provinsi Sumatra Tengah dihilangkan, Residentie Sumatra Barat ditingkatkan statusnya menjadi provinsi . Sehubungan dengan likuidasi Provinsi Sumatra Tengah dan dibentuknya Provinsi Sumatra Barat, maka pada tanggal 29 Mei 1958 ibukota di Bukittinggi dipindahkan ke Kota Padang. Dalam konteks inilah Universitas Andalas terbentuk. Provinsi Sumatra Tengah adalah salah satu dari tiga provinsi di (pulau) Sumatra. Dua provinsi lainnya adalah Provinsi Sumatra Utara yang beribukota Medan dan Provinsi Sumatra Selatan yang beribukota Palembang..

Dalam fase transisi (pasca pengakuan kedaulatan RI), arsitektur Provinsi Sumatra Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Djambi) masih belum menentu. Ibukota provinsi sendiri masih belum ditentukan apakah di Bukittinggi atau di Padang. Kenyataannya Gubernur Ruslan Muljohardjo adakalanya berkantor di Bukittinggi dan ada kalanya di Padang. Ini karena sebelumnya, ibukota RI berada di Bukittinggi. Tarik menarik ini menggambarkan situasi sebelumnya antara Djakarta yang federalis dan Djokjakarta yang republiken (De nieuwsgier, 15-02-1951). Residen Sumatera Barat, Aboe Bakar Djaar menjadi ketua komisi pembentukan ibukota Provinsi Sumatra Tengah bersama Wali Kota Bukittinggi (Eny Karim) dan Wali Kota Padang (Abdul Hakim Nasution /Rasjidin). Komisi ini masih bekerja (De nieuwsgier, 15-02-1951). Untuk banyak hal terkesan peran Gubernur di wilayah Sumatera Barat lebih banyak diperankan oleh Residen Aboe Bakar Djaar (De nieuwsgier, 17-10-1951). Apakah Gubernur Ruslan Muljohardjo lebih terkonsentrasi di Riau dan Djambi? Dalam fase inilah di Padang didirikan perguruan tinggi hukum. 

Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951: ‘Hogeschool di Padang. Hari-hari ini, perguruan tinggi hukum pertama di Sumatra, ‘Pantjasila’ di Padang, secara resmi dibuka, termasuk hadir mantan Perdana Menteri Presiden Moh. Natsir dan Prof. Hazairin Harahap pada upacara tersebut. Para dosen yang akan memberi kuliah di kampus ini adalah Dr Harun al Rasjid, Mr. Prawoto, Mr. Egon Hakim, Mr.Mak Kin San dan Mr. Nazaroedin. Sejauh ini 80 mahasiswa telah terdaftar’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-01-1952: ‘Jajasan ‘Sriwidjaja’ pada tanggal 17 Agustus akan memprakarsasi pembentukan jangka panjang fakultas hukum ‘Pantjasüa’ di Padang sebagai salah satu fakultas dengan performa terbaik di Sumatera Tengah. Jajasan ‘Sriwidjaja’ bermaksud untuk membuka lebih banyak fakultas di Padang’.

Di Padang sendiri, pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, hanya beberapa orang Indonesia ahli hukum, diantaranya Mr. Egon Hakim pengacara terkenal Kota Padang. Mr. Egon Hakim dan kawan-kawan mendirikan Perguruan Tinggi Hukum di Padang pada tahun 1951. Perguruan tinggi di Padang ini diberi ‘Pantjasila’ yang didukung oleh mantan Wali Kota Padang, Dr. Abdul Hakim Nasution (yang notabene ayah dari Mr. Egon Hakim). Egon Hakim adalah satu dari dua Indonesia yang sekolah SMA dan sekolah hukum di Beanda.

Pada saat dibentuk fakultas ekonomi di Palembang pada tahun 1953, muncul usulan untuk menyatukan semua fakultas di Sumatra menjadi satu universitas. Boleh jadi usulan ini bermula di Palembang karena pembentukan fakultas ekonomi di Palembang disokong oleh Presiden Ir. Soekarno (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1952). Pendirian fakultas ekonomi di Palembang juga didukung oleh Presiden Universitas Indonesia Prof. Mr. Soepomo. Ph.D yang turut hadir dalam peresmian (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1953). Dalam acara peresmian fakultas ekonomi di Palembang ini disebutkan yang mengelola adalah Jajasan Perguruan Tinggi Sjakhyakirti. Usulan ini ternyata direspon positif dari dari dua kota dimana sudah terdapat perguruan tinggi. Di Padang pada tahun 1951 telah didirikan Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ dan di Medan telah dibentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara yang telah mendirikan fakultas kedokteran pada tahun 1952.

Di Medan sejak 1951 muncul gagasan Gubernur Sumatra Utara yang baru, Abdul Hakim Harahap untuk mendirikan universitas di Medan. Gubernur Abdul Hakim Harahap, mantan Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta, segera membentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara dan menggalang dana dari semua penduduk di Provinsi Sumatra Utara (Residentie Atjeh, Residentie Tapanoeli dan Residentie Sumatra Timur) sebesar Rp 1,- per orang. Abdul Hakim Harahap adalah ahli ekonomi di era kolonial Belanda, adik kelas Mohamad Hatta di sekolah Prins Hendrik School di Batavia.

Akhirnya persiapan pembentukan fakultas kedokteran sebagai salah satu fakultas dari universitas tersebut selesai dan diresmikan. Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1952: ‘Pagi ini Menteri Dalam Negeri Mohamad Roem, Menteri Pertanian Mohamad Sardjan dan Menteri Pendidikan Dr. Bahder Djohan tiba di Medan dan pada siang hari juga akan tiba Menteri Sosial, Anwar Tjokroaminoto. Keempat menteri akan hadir besok pagi (20-08-1952) pada pembukaan fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-08-1952: ‘Di hadapan lima menteri dan banyak tokoh terkemuka lainnya, fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara di Medan secara resmi dibuka hari ini oleh Ketua Dewan Pimpinan Jajasan Universitas Sumatra Utara, Gubernur Abdul Hakim Harahap. Para dekan fakultas kedokteran di Djakarta dan di Soerabaja juga turut hadir, serta perwakilan dari Gubernur Sumatra Tengah dan Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ di Padang. Gubernur Abdul Hakim Harahap menyatakan dalam pidato pembukaannya bahwa sebuah universitas di Medan adalah keinginan masyarakat seluruh Sumatera Utara, sebuah harapan. yang tercermin dalam kontribusi sukarela sebesar Rp. I.- per orang. Walikota AM Djalaluddin bertindak sebagai Ketua Kurator Universitas Sumatera Utara’,

Pembentukan Universitas Andalas

Ketika usulan pembentukan universitas di Sumatra mulai menguat, Kementerian Pendidikan (Menteri Pendidikan Mohamad Jamin) boleh jadi merasa perlu untuk melakukan reorganisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Muncullah gagasan Kementerian Pendidikan untuk menambah tiga lagi perguruan tinggi negeri (PTN). Selain Universitas Gadjah Mada yang berpusat di Djogjakarta dan Universitas Indonesia yang berpusat di Djakarta ditambah satu universitas di Soerabaja, satu universitas di Sumatra dan satu universitas di Sulawesi. Universitas Gadjah Mada fakultasnya selain di Djogjakarta juga terdapat di Soerabaja; Universitas Indonesia fakultasnya selain di Djakarta juga terdapat di Bandoeng, Bogor, Soerabaja dan Makassar. Dalam rencana reorganisasi pendidirkan tinggi oleh Kementerian Pendidikan ini juga mengusulkan soal nama universitas. Nama universitas di Sumatra disebut dengan nama Adityawarman (lihat De nieuwsgier, 19-05-1954).

Boleh jadi Kementerian Pendidikan menghambat usulan yang semakin menguat dalam pembentukan universitas di Sumatra yang berbasis tiga kota. Hal ini boleh jadi karena dari sudut pandang pusat (Djakarta) bahwa di (pulau) Sumatra terdapat tiga provinsi yang masing-masing beribukota di Medan (Provinsi Sumatra Utara); Bukittinggi (Provinsi Sumatra Tengah); dan Palembang (Provinsi Sumatra Selatan). Lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan M. Hutasoit segera melakukan penjajakan langsung ke daerah. Hasilnya, M. Huta Soit mengumumkan akan membentuk universitas di Sumatra yang fakultas-fakultasnya berada di Batoesangkar (membentuk baru fakultas pedagogik) dan di Paijakoemboeh (membentuk baru fakultas pertanian) serta fakultas kedokteran (yang sudah berlangsung) dan fakultas hukum di Medan; serta fakultas ekonomi di Palembang (sudah terbentuk) (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 18-06-1954). Kota Padang tampaknya gigit jari. Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ terkesan tidak disertakan dalam proses pembentukan universitas di Sumatra.

Dalam perkembangannya, nasib pembentukan universitas di Sumatra yang berbasis antar kota antar provinsi  semakin tidak jelas. Ini sehubungan dengan perubahan yang tiba-tiba bahwa Kementerian Pendidikan hanya fokus dalam pembentukan tiga PTN yakni di Soerabaja, Sumatra Tengah dan di Makassar. Suhubungan dengan hal tersebut Gubernur Sumatra Tengah telah menerima surat dari Kementerian Pendidikan yang mengizinkan pembukaan sebuah universitas di Bukittinggi (De nieuwsgier, 24-07-1956). Dalam hal ini, Gubernur diminta untuk mengajukan proposal mengenai pembukaan ini.

De nieuwsgier, 24-07-1956
Sehubungan dengan pendirian universitas ini, surat diterima dari Wakil Presiden Drs Mohamad Hatta, yang mana ia memberikan saran, untuk memberikan nama universitas yakni nama yang memiliki nilai khusus untuk daerah yang bersangkutan (West Sumatra) dengan nama Tuanku Imam Bondjol (De nieuwsgier, 24-07-1956). Sebelumnya ketika Menteri Pendidikan dijabat Mohamad Jamin mengusulkan untuk menggunakan nama Adiyawarman. Sementara itu, Prof. Mohamad Sjaaf, dekan fakultas kedokteran di Bukitlinggi merekomendasikan nama Andalas untuk universitas.

Untuk mempersiapkan proposal tersebut Gubernur Muljohardjo telah mengundang dua guru besar pertanian dari Bogor dan Djogjakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1954). Juga Gubernur menyebutkan fakultas kedokteran akan kesulitan karena tidak adanya rumah sakit tempat para siswa dapat berlatih. Tentang lembaga pendidikan tinggi Pantjasila di Padang, Gubernur  menjelaskan bahwa masalah ini masih dalam penelitian. Pemerintah provinsi Sumatera Tengah akan segera mengirim delegasi ke Djakarta untuk meminta pemerintah mengambil alih lembaga pendidikan tinggi ini demi kepentingan pendidikan di Sumatra Tengah. Disebutkan langkah pertama sekarang adalah menyelesaikan fakultas paedagogische di Batusangkar tahun ini yang kemungkinan fakultas ini akan didirikan lebih cepat dari fakultas pertanian di Paijakoemboeh.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-09-1954: ‘Gubernur Sumatera Tengah, Ruslan Muljohardjo, yang merupakan bagian dari delegasi ke Djakarta dalam proses akuisisi perguruan tinggi Universitas Pantjasila di Kota Padang untuk menghadap Menteri Pendidikan Mr. Mohamad Jamin. Pemilihan  Universitas Pantjasila karena pertimbangan teknis yang mana komite telah memiliki dua fakultas, Untuk memperkuat dan menambah satu lagi fakultas diperlukan Universitas Pantjasila. Pertimbangannya karena perguruan tinggi hukum Pancasila (prodinya) telah mencapai derajat pengesahan CI dan CII (mungkin akreditasi A dan B). Menteri tidak bersedia hadir, delegasi dalam diskusi diwakili oleh Bahder Djohan. Para anggota delegasi lainnya, Mr. Aboe Bakar Djaar, Mohd. Sjafei dan Z. Arifin Aliep. Meski diminta untuk menunggu hasil keputusan, komite berencana untuk tidak kembali sampai mereka diterima oleh Menteri’.

Pembentukan PTN di Soerabaja dan Makassar pada dasarnya adalah pemekaran dari Universitas Indonesia, dimana fakultas kedokteran di Soerabaja dan fakultas ekonomi di Makassar sudah eksis. Hanya universitas di Sumatra, dalam hal ini universitas di Sumatra Tengah benar-benar baru.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-10-1954
Pemekaran universitas adalah satu hal, sedangkan penegerian fakultas atau universitas adalah hal lain. Saat itu, keuangan pemerintah sangat sulit tetapi upaya meringankan masyarakat juga mendesak dilakukan. Upaya penegerian fakultas/universitas akan meringankan masyarakat. Namun kenyataannya, pemekaran dan pembentukan universitas di Soerabaja tidak memiliki signifikansi karena fakultas/insitut di Soerabaja adalah milik pemerintah yang notabene juga adalah perguruan tinggi negeri. Hal yang sama juga dengan fakultas ekonomi di Makassar yang sudah dianggap menjadi cabang Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia di Djakarta juga adalah perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, pembentukan baru sebuah fakultas atau universitas adalah biaya besar ketika keuangan pemerintah dalam keadaan sulit. Oleh karena itu, sejak dari awal pemerintah selalu memulai dengan hanya melakukan penguatan terhadap sejumlah fakultas/institut yang sudah ada yang dibentuk oleh Belanda (peralihan dari milik Belanda menjadi Indonesia). Namun persoalannya, di Sumatra tidak terdapat warisan fakultas/institut dari Belanda. Namun dalam kondisi keuangan yang sulit pemerintah sejatinya menegerikan pembentukan universitas di Sumatra yang fakultas-fakultasnya swasta yang sudah eksis di tiga kota (Palembang, Medan dan Padang). Namun Kementerian Pendidikan memiliki pemikiran sendiri, yakni membentuk baru fakultas-fakultas di Paijakoemboeh, Batoesangkar dan Bukittinggi. Pada tahun 1954, Universitas Sumatra Utara yang termasuk universitas yang paling siap untuk dinegerikan, pemerintah pusat tampak tidak merestuinya. Akibatnya, ketika Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin datang ke Medan dalam acara pembukaan Kongres Bahasa Indonesia mendapat sambutan spanduk dari mahasiswa dengan bunyi ‘Akuilah Universitet SU’ (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-10-1954).

Setelah Universitas Airlangga terbentuk dan diresmikan pada tanggal 10 November 1954, nasib pembentukan universitas di Sumatra yang berbasis antar kota antar provinsi  benar-benar hilang dari peredaran. Yang jelas dalam pembentukan universitas di Sumatra tidak lagi menyertakan Medan dan Palembang, tetapi hanya membentuk universitas Sumatra di Sumatra Tengah saja yang hanya terdiri dari fakultas pertanian di Paijakoemboeh dan fakultas pedagogik di Batoesangkar dengan membentuk baru fakultas kedokteran di Bukittingi plus fakultas hukum yang sudah ada di Padang. Nama universitas di Sumatra Tengah disebutkan dengan nama Adityawarman. Disebutkan bahwa pembentukan Universitas Adityawarman di Sumatra Tengah dan Universitas Hasanoeddin di Sulawesi hampir selesai. (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Boleh jadi hal ini yang membuat mahasiswa menyindir Presiden dan Menteri Pendidikan dengan protes halus yang berbunyi ‘Akuilah Universitet SU’.

Menyadari peta pembentukan pendidikan tinggi di Indonesia, Jajasan Universitas Sumatra Utara berpacu dengan waktu. Setelah fakultas kedokteran, Jajasan Universitas Sumatra Utara telah mendirikan fakultas hukum dan fakultas sastra. Sementara itu, upaya fakultas ekonomi di Palembang sedikit tampak melambat. Fakultas ekonomi di Palembang sebelumnya menusulkan pembentukan universitas di Sumatra karena ingin mengandalkan dua fakultas yang sudah eksis di Padang dan Medan.

Pembentukan universitas di Sumatra Tengah semakin jelas dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pemerintah pusat juga melakukannnya dengan penuh perhatian. Wakil Presiden Mohamad Hatta meresmikan pembukaan fakultas pertanian di Paijakoemboeh (De vrije pers: ochtendbulletin, 30-11-1954). Dalam peresmian ini turut hadir Menteri Pendidikan Mohamad Jamin. Selanjutnya setelah selesai persiapan pembentukan fakultas kedokteran di Bukittinggi, kembali Wakil Presiden Mohamad Hatta datang ke Bukittinggi untuk meresmikan.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-08-1955: ‘Atas perintah Menteri Pendidikan, Prof. Sjaaf diangkat sebagai dekan fakultas kedokteran di Bukittinggi pada 1 September. Menurut Harian Penerangan, pada saat yang sama pada tanggal 1 September juga sebagai dekan fakultas matematika dan ilmu alam. Prof. Sjaaf, yang merupakan dekan fakultas kedokteran di Soerabaja, akan bertindak sebagai dekan di Bukittinggi selama tiga bulan’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-09-1955: ‘Wakil Presiden membuka dua fakultas. Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta pada hari Rabu di Bukitttinggi membuka secara resmi fakultas kedokteran dan fakultas matematika dan ilmu alam, dimana banyak pejabat pemerintah dan orang-orang terkemuka dari Sumatera Utara dan Sumatra Selatan hadir. Menteri Pendidikan Ir. Soewandi juga hadir dalam upacara tersebut. Dengan dibukanya dua fakultas baru ini, kini Provinsi Sumatra Tengah telah memiliki empat fakultas. Dua fakultas lainnya adalah fakultas pedagogik di Batusangkar dan fakultas pertanian di Paijakoemboeh. Untuk pembentukan dua fakultas yang baru dibuka Bupati Agam dan Wali Kota Bukittinggi telah menyerahkan 100 hektar lahan kepada pemerintah, yang terletak di Baso antara Bukittinggi dan Paijakoemboeh. Pembangunan dua fakultas itu sudah dimulai oleh Mohamad Jamin yang ketika itu sebagai Menteri Pendidikan pada kabinet sebelumnya’.

Upaya Mohamad Jamin dan Mohamad Hatta untuk mewujudkan universitas di Sumatra Tengah sangatlah besar. Meski Mohamad Jamin tidak menjabat lagi sebagai Menteri Pendidikan, tetapi upayanya selama ini sudah membuahkan hasil karena tidak lama lagi universitas di Sumatra Tengah akan diresmikan. Nama universitas di Sumatra Tengah sudah ditetapkan sebagai Universitas Andalas, nama yang diusulkan oleh dekan fakultas kedokteran di Bukittinggi Prof. Mohamad Sjaaf (lihat kembali De nieuwsgier, 24-07-1956). Siapa yang menjadi Presiden Universitas Andalas juga sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-08-1956: ‘Pada Sidang Kabinet diputuskan bahwa Prof. Dr. Mohamad Sjaaf ditunjuk sebagai Presiden Universitas Andalas di Bukittinggi’.

Dalam peresmian Universitas Andalas, Wakil Presiden Mohamad Hatta masih bersedia datang meski usulnya untuk nama universitas dengan nama Tuanku Imam Bondjol diganti dengan usul Mohamad Sjaaf dengan nama Andalas. Inilah kenegarawanan seorang Mohamad Hatta, asli Bukittinggi.

Usulan nama universitas di Sumatra Tengah oleh Prof. Mohamad Sjaaf, yang juga asli Bukittinggi, dengan nama Universitas Andalas patut diapresiasi. Prof. Mohamad Sjaaf boleh jadi menyadari bahwa Provinsi Sumatra Tengah terbilang cukup beragam (Residentie Sumatra Barat, Residentie Riau dan Residentie Djambi). Formulasi ini boleh jadi Prof. Mohamad Sjaaf mengikuti formulasi penaman universitas di Provinsi Sumatra Utara oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap dengan memberi nama Universitas Sumatra Utara (karena Provinsi Sumatra Utara juga beragam yang terdiri dari Residentie Tapanoeli, Residentie Sumatra Timur dan Residentie Atjeh). Tentu saja berbeda konteksnya dengan penamaan unversitas di Djogjakarta (Universitas Gadjah Mada) dan universitas di Soerabaja (Universitas Airlangga).

Kehadiran Mohamad Hatta, Wakil Presiden dalam hal ini peresmian Universitas Andalas yang dilaksanakan pada tanggal 13 September 1956 merupakan wujud keseriusannya bahwa universitas di Sumatra Tengah, apapun namanya harus didorong untuk lebih mampu mengembangkan diri ke depan. Kehadiran Mohamad Hatta dalam peresmian lebih pada untuk mensosialisasikan spirit persatuan dan kesatuan.

De nieuwsgier, 30-08-1956: ‘Wakil Presiden Mohamad Hatta akan berangkat 9 September ke Makassar, untuk hadir pada pembukaan Universitas Hasanuddin, yang akan berlangsung pada 10 September. Wakil presiden pada tanggal 11 September di Djakarta dan kemudian diharapkan berangkat ke Bukittinggi keesokan harinya untuk menghadiri pembukaan Universita Andalas’.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 13-09-1956: Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta kemarin pagi menuju pembukaan resmi dari Universita Andalas dan kini  telah kembali dari Bukittinggi. Dalam pembukaan itu turut hadir Menteri pendidikan. Sarino Mangunpranoto, Menteri Kesehatan, Dr. Sinaga, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, M Hutasoit. Menteri Pendidikan, Sarino Mangunpranoto menyatakan dalam sebuah wawancara dengan PIA, bahwa sebelum tahun 1960 sebuah universitas baru di Sumatra Utara akan dibuka. Setelah ini, jumlah universitas tidak akan lagi diperluas. Lebih lanjut, menteri menyatakan bahwa jika jumlah sekolah menengah kejuruan memadai nantinya aliran ke universitas akan berkurang, sehingga enam universitas cukup untuk Indonesia’.

Terhitung mulai 1 Oktober memulai studi di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial di Universitas Andalas di Padang (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1956).

Dengan demikian sudah diresmikan sebanyak lima PTN di Indonesia. Yang pertama Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta diresmikan pada tanggal 18 Desember 1949 dan kemudian di Djakarta Universitas Indonesia diresmikan pada tanggal 2 Februari 1950. Pada tanggal  10 November 1954 di Soerabaja diresmikan Universitas Airlangga. Pada tahun 1956 ini dua universitas negeri diresmikan yakni Universitas Hasanoeddin di Makassar pada tanggal 10 September 1956 dan Universitas Andalas di Bukittinggi pada tanggal 13 September 1856. Universitas Hasanoeddin di Makassar dan Universitas Andalas di Bukittinggi pada dasarnya kelahiran kembar yang diresmikan beda tiga hari. Pada saat peresmian Universitas Andalas, Menteri Pendidikan mengatakan akan membuka satu lagi universitas negeri di Medan (Universitas Sumatra Utara) dan enam universitas cukup untuk seluruh Indonesia.

Sementara itu, sejumlah universitas yang dikategorikan sebagai perguruan tinggi swasta sudah cukup banyak yang didirikan. Perguruan tinggi yang didirikan tersebut ada yang diinisiasi oleh mayarakat dan juga yang langsung diinisiasi oleh pemerintah daerah (seperti gubernur dan wali kota). Di Djogjakarta sudah sejak lama berdiri Universitas Islama Indonesia; di Padang muncul Jajasan Sriwidjaja mendirikan fakultas pertama fakultas hukum; di Medan Jajasan Universitas Sumatra Utara mendirikan fakultas kedokteran, di Bandoeng Jajasan Universitas Merdeka mendirikan fakultas hukum dan fakultas ekonomi; di Palembang Jajasan Satjakitri mendirikan fakultas ekonomi. Selain itu juga telah didirikan sejumlah akademi, seperti Akademi Nasional dan Akademi Wartawan di Djakarta (yang dipimpin oleh Parada Harahap). Fakultas hukum dari Jajasan Sriwidjaja di Padang telah diakusisi menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Andalas.

Presiden Universitas Andalas Prof. Dr. Mohamad Sjaaf menyatakan kepada PIA di Padang bahwa fakultas matematika dan fisika Universitas Andalas akan dibuka pada awal Maret (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 04-03-1957). Dengan demikian jumlah fakultas Universitas Andalas yang sudah melakukan perkuliahan menjadi lima fakultas: Fakultas Pedagogik, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam. Menurut De Telegraaf, 13-06-1957 yang mewawancara Prof. Soemitro Djojohadikusumo terungkap bahwa pada bulan September akan dibuka fakultas ekonomi di Padang.

Pejabat dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia adalah Prof. Djoko Soetono (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957). Hal ini karena Prof. Soemitro dituduh bersalah dan dilakukan interogasi [26 Maret] di Bandoeng oleh pilisi militer ((Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 27-03-1957). Interogasi ini dilakukan tidak lama setelah Kabinet Boerhanoedin Harahap dibubarkan pada tangga 3 Maret 1956 yang mana Prof. Soemitro sebagai Menteri Keuangan. Prof. Soemitro, mantan Menteri Keuangan kembali diinterogasi di Bandoeng pada tanggal 6 dan 7 Mei. Prof. Soemitro mengakui tuduhan itu tidak terbukti. Namun beberapa hari kemudian muncul pemberitaan bahwa sudah dikeluarkan perintah penangkapan terhadap mantan Menteri Keuangan Prof. Soemitro (Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 21-05-1957). Sebelum perintah penangkapan ini, diduga Prof. Soemitro telah berangkat ke wilayah ‘aman’ di Sumatra Tengah (wilayah dimana pada tanggal 20 Desember 1956 terjadi kudeta oleh militer terhadap pemerintah pusat). Saat di wilayah aman inilah besar kemungkinan Prof. Soemitro diwawancara oleh (koresponden) surat kabar Telegraaf.

Beberapa hari kemudian Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo membuat penyataan di Padang (Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 28-05-1957). Disebutkan mantan Menteri Keuangan, Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, yang mana surat perintah penangkapan telah dikeluarkan oleh otoritas militer di Jawa, saat ini berada di Padang di Sumatra Tengah. Dalam pernyataan yang dibuatnya hari ini, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo menyangkal permintaan maaf bahwa terlibat dalam malpraktek. Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo mengatakan tidak mematuhi panggilan dari otoritas militer untuk ditanyai karena dia menolak untuk tunduk pada ‘wilekeurige tyrannie’. Juga disebutkan Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo tiba di Padang 14 hari yang lalu. De Volkskrant, 08-06-1957 memuat berita yang bersumber dari kantor berita AP di Singapoeralis 7 Juni bahwa mantan Menteri Keuangan, Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, yang dicari oleh polisi militer Indonesia, melarikan diri dari Djakarta dan bergabung dengan gerilyawan Sumatra. Ini dikatakan dalam sebuah pernyataan bahwa itu (surat pernyataan) diselundupkan ke Singapura. Dalam pernyataan ini dia menuduh pemerintah Indonesia tirani dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa dia telah melarikan diri dari ibukota pada tanggal 8.

Prof. Soemitro sebagai seorang ekonom kaliber internasional yang memiliki ketekunan dalam akademik, di Padang sepakat untuk rencana untuk membuka fakultas ekonomi. Berdasarkan berita-berita di surat kabar sudah barang tentu pemerintah maupun parlemen sudah mengetahui Prof. Soemitro berada di Padang. Oleh karena hubungan pemerintah daerah di Sumatra Tengah dan pemerintah pusat di Djakarta dalam situasi ‘panas’ (yang mana pusat telah memblokade Sumatra Tengah) seorang parlemen mempertanyakan kepada pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) tentang status Prof. Soemitro yang telah meninggalkan jabatannya sebagai profesor di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1957). Oleh karena Prof. Soemitro sudah lama tidak berada di kampus (meninggalkan jabatannya), Menteri pendidikan, Prof. Dr Prijono, mengatakan telah melakukan kontak dengan Presiden Universitas Indonesia tentang ‘permasalahan’ Prof. Soemitro dan akan menunggu jawaban hingga bulan September sebagai respon terhadap pertanyaan anggota parlemen (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-07-1957). Setelah waktu yang ditunggu cukup lama dan tidak adanya kejalasan tentang Prof. Soemitro, pemerintah melalui  Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan membuat panggilan terakhir (ultimatum) melalui radio untuk Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusunio, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia untuk melanjutkan posisinya sebagai Dekan. Batas waktu panggilan terakhir ini 10 hari sejak hari Kamis malam (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1957). Disebutkan Kementerian Pendidikan akan mengambil langkah yang tepat terhadap Prof, Soemitro jika, setelah berakhirnya sepuluh hari ini, sejak 10 Oktober 1957. Panggilan radio ini disiarkan oleh Radio Djakarta dan ditujukan ke Midden Sumatra atau Menado, dimana menurut anggapan Kementerian Pendidikan, Prof. Sumitro saat ini tinggal. Dalam panggilan ini dan panggilan sebelumnya tidak menyebutkan jaminan apapun untuk Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Ekskalasi suhu politik yang terus meningkat akhirnya di Sumatra Tengah, Letkol Achmad Husein memproklamirkan PRRI pada tanggal 15 Februari 1958. Sementara itu, ketika Prof. Soemitro berada di Sumatra Tengah, Prof. Tan Goan Po berangkat dari Batavia menuju Singapoera. Selain Prof. Soemitro dan Prof. Tan Goan Po sama-sama alumni Rotterdam, juga ama-sama guru besar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Tan Goan Po juga adalah penasehat perusahaan (keluarga) Prof. Soemitro bernama Prabowo Company di Singapoera. Surat Prof. Soemitro dikirimkan ke Singapoera diduga sebagai alamat tujuan adalah Prof. Tan Goan Po (yang kemudian menjadi sumber berita surat kabar). Tidak lama setelah proklamasi PRRI, pusat melancarkan serangan ke Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara. Sementara itu, Prof. Tan Goan Po yang berada di Singapoera, setelah mendengar terjadi pemboman di kediamannya di Manado mengundurkan diri sebagai guru besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (Trouw, 28-02-1958). Tidak hanya itu, juga setelah mendengar Midden Sumatra dibom oleh tentara pusat Prof. Bahder Djohan juga mengundurkan diri sebagai Presiden Universitas Indonesia (De Volkskrant, 28-02-1958). Prof. Soemitro sendiri, setelah tidak mengindahkan ultimatum dari Kementerian Pendidikan hingga bulan Oktober 1957 besar dugaan telah diambil tindakan dengan pemecatan Prof Soemitro sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Penegerian Universitas Sumatra Utara

Setelah peresmian Universitas Andalas diperoleh informasi yang menjadi Presiden Universitas Andalas adalah Prof. Mohamad Sjaaf (De nieuwsgier, 30-10-1956). Sebelumnya, Prof. Mohamad Sjaaf bertindak sebagai dekan fakultas kedokteran di Bukittinggi. Sebagai pengganti Mohamad Sjaaf sebagai dekan adalag Dr. Iljas. Sementara untuk Ketua Dewan Pengawas adalah Ruslan Muljohardjo (Gubernur Sumatra Tengah).

Sementara di satu sisi tengah dilakukan penguatan terhadap  Universitas Andalas  di Sumatra Tengah, tiba-tiba di sisi lain merebak peristiwa dimana militer di bawah pimpinan Letkol Achmad Husein melakukan kudeta di Bukittinggi terhadap pemerintah pusat. Rencana pembentukan universitas di Sumatra Tengah menjadi mengalami distorsi. Gubernur Sumatra Tengah Muljohardjo telah dilengserkan dari kedudukannya. Sangat disayangkan karena peran Muljohardjo juga terbilang cukup intens dalam persiapan pembentukan universitas di Sumatra Tengah.

Proses penguatan universitas di Sumatra Tengah, Universitas Andalas mulai berkurang dukungannya. Mohamad Jamin, selaku Menteri Pendidikan sangat bersemangat untuk membentuk universitas di Sumatra Tengah, tetapi kini Menteri Pendidikan sudah digantikan oleh yang lain.

Demikian juga baru-baru ini Mohamad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Hubungan antara pemerintah Sumatra Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi dengan pemerintah pusat di Djakarta menjadi tidak lancar. Apalagi belum ini telah terjadi kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi. Situasi yang dihadapi oleh pegiat pendidikan tinggi di Sumatra Tengah dalam posisi wait and see.

Namun dalam perkembangannya, penegerian Universitas Sumatra Utara tidak pernah terlaksana. Hal ini boleh jadi pemantapan universitas di Sumatra Tengah dan Sulawesi memang tidak mudah karena sumberdaya yang terbatas dan pengadaan dosen dan guru besar yang memang tidak mudah. Tiga universitas sebelumnya juga masih kekurangan dosen. Akan tetapi, belum hilang ingatan publik penetapan Menteri Pendidikan Sarino bahwa universitas negeri yang terakhir akan dibentuk di Medan, tiba-tiba muncul satu kepanitian baru dalam pembentukan universitas di Bandoeng yang diketuai oleh Mohamad Jamin. Pada 14 Oktober 1956 terbentuklah Panitia Pembentukan Universitas Negeri (PPUN) di Bandung.

Komite yang dipimpin oleh Mohamad Jamin ini bertugas untuk membentuk Universitas Padjadjaran di Bandoeng dengan jalan memisahkan dua fakultas Universitas Indonesia (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 22-01-1957). Dua fakultas tersebut adalah fakultas teknik dan fakultas matematika dan ilmu alam. Namun Mohamad Jamin mendapat penolakan dari mahasiswa kedua fakultas tersebut karena lebih menginginkan adanya pembentukan Universitas Teknologi dan Ilmu Pengetahuan (baca: Institut Teknologi). Panitia pembentukan Universitas Padjadjaran juga mendapat kesan bahwa dekan fakultas teknik Prof. Sutedjo juga kurang setuju. Dari komite pembentukan Universitas Padjadjaran muncul pendapat bahwa kandidat Presiden Universitas Padjadjaran lebih disukai orang Sunda agar dimungkinkan untuk membawa Universitas Padjadjaran ke pengembangan penuh.

Pembentukan universitas di Bandoeng dengan memisahkan dua fakultas di Bandoeng juga mendapat reaksi dari Presiden Universitas Indonesia, Prof. Bahder Djohan yang tampaknya kurang sepakat dengan usul itu (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-02-1957). Presiden Universitas Indonesia, Bahder Djohan mengatakan bahwa semua profesor Indonesia akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan membentuk universitas baru di Bandung. Penyataan ini disampaikan Bahder Djohan dalam sambutannya untuk menandai Dies Natalis Universitas Indonesia.

Universitas Sumatra Utara lebih banyak berdiam diri dengan terus membenahi fakultas-fakultasnya. Universitas Sumatra Utara tidak terjangkau radar pusat dalam hiruk pikuk pembentukan universitas di berbagai tempat. Hanya mahasiswa yang pernah memasang spanduk ketika Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin datang ke Medan dengan bunyi: ‘Akuilah Universita Sumatra Utara’. Spanduk ini dipasang seiring dengan akan diresmikannya Universitas Airlangga di Soerabaja pada tanggal 10 November 1954. Secara defacto, Universitas Sumatra Utara lebih siap dinegerikan jika dibandingkan dengan Universitas Airlangga. Sempat muncul angin segar ketika Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto saat menghadiri peresmian Universita Andalas pada tanggal 13 September 1956 di Bukittinggi menyatakan bahwa sebelum tahun 1960 sebuah universitas (negeri) baru di Sumatra Utara akan dibuka. Setelah ini, jumlah universitas tidak akan lagi diperluas. Lebih lanjut, menteri menyatakan bahwa enam universitas sudah cukup untuk Indonesia. Namun beberapa bulan kemudian muncul komite pembentukan Universitas Padjadjaran yang diketuai oleh Mohamad Jamin.

Sementara itu, meski dalam situasi dan kondisi yang tidak kondusif, proses penguatan Universitas Andalas yang masih berumur muda terus berlangsung yang dipimpin oleh Presiden Universitas Andalas Prof. Mohamad Sjaaf. Dalam satu kesempatan Prof. Dr. Mohamad Sjaaf menyatakan kepada media di Padang bahwa fakultas matematika dan ilmu alam di Universitas Andalas akan dibuka (perkuliahan) pada awal Maret (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-03-1957). Prof. Mohamad Sjaaf sendiri tetap tekun sendirian membina Universitas Andalas sekalipun situasi dan kondisi tidak nyaman dan dukungan semakin berkurang.

Namun kini persoalannya menjadi lain. Perdana Menteri adalah Ir. Djoeanda dari Bandoeng. Dengan munculnya pemimpin baru pada Kabinet Djoeanda (sejak April 1957), penegerian Universitas Sumatra Utara mulai berhembus lagi tetapi pembentukan universitas di Bandoeng harus juga mendapat prioritas. Pembentukan universitas di Bandoeng tidak memikirkan pemisahan dua fakultas Universita Indonesia tetapi membentuk baru uinversitas di Bandoeng dengan memperkuat Universitas Merdeka di Bandoeng. Lalu Universitas Padjadjaran diresmikan berdiri pada 11 September 1957. Pada hari yang sama juga membuka peresmian pembukaan fakultas teknik di Soerabaja (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 12-11-1957). Dalam pembukaan ini turut hadir Menteri Urusan Antar Daerah di Indonesia, Dr. FL Tobing, Presiden Universitas Airlanggan (AG Pringgodigdo), Presiden Universitas Andalas (Mohamad Sjaaf), Presiden Universitas Padjadjaran (Iwa Kusumasumantri). Catatan: fakultas teknik di Soerabaja ini kelak menjadi cikal bakal Institut Teknologi Soerabaja (ITS).

Masih pada bulan yang sama Universitas Sumatra Utara yang sudah lama berdiri (sejak 1952) dinegerikan dan diresmikan pada tanggal 20 November 1957. Universitas Sumatra Utara pada tahun 1956 sudah memiliki empat fakultas (kedokteran, hukum dan ilmu sosial, pedagogik dan pertanian). Peresmian Universitas Sumatra Utara sudah diketahui pada tangga 10 November 1957 (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-11-1957). Disebutkan Presiden Soekarno akan ke Medan pada 20 November dan ke Padang Bulan di Medan Baru, lokasi dimana komplek Universitas Sumatera Utara akan dibangun. Di malam hari, Presiden akan secara resmi membuka Universitas Sumatra Utara. Upacara akan berlangsung di auditorium Fakultas Hukum dan Ilmub Sosial, Universitas Sumatra Utara di Djalan Seram, Medan. Keesokan harinya, Presiden Sukarno akan mengadakan pertemuan dengan mahasiswa di auditorium Fakultas Hukum. Setelah itu, Presiden akan menghadiri pertemuan para pemimpin partai, anggota dewan provinsi dan personil militer, yang akan berlangsung di gedung Dewan Provinsi. Hari itu pada [ukul 2 siang, Presiden kembali ke Jakarta. Setelah peresmian, esoknya Presiden Presiden Soekarno akan memberikan kuliah umum untuk para mahasiswa Universitas Sumatra Utara (Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-11-1957), Presiden Soekarno dari Djakarta ke Medan dengan menggunakan pesawat kepresiden yang diberi nama Dolok Martimbang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-11-1957). Presiden Sorkarno tidak lagi menggunakan maskavai komersial GIA jika ke daerah seperti selama ini dilakukan. Mangapa nama pesawat kepresiden diberi nama Dolok Martimbang? Boleh jadi untuk memberi apresiasi kepada penduduk Sumatra Utara dan mahasiswa Universitas Sumatra Utara yang begitu lama menunggu untuk mendapat kesempatan Universitas Sumatra Utara dinegerikan. Boleh jadi untuk menyambut kedatangan Presiden Soekarno mahasiswa tidak lagi dengan spanduk ‘Akuilah Universitet Sumatra Utara’, tetapi dengan spanduk dengan rasa solidaritas terhadap kolega mereka mahasiswa di Sumatra Tengah dengan bunyi ‘Mr. Presiden. Jangan Lupa Mampir ke Bukittinggi. Disana Juga Ada Mahasiswa, Kolega Kami’. Sebagaimana diberitakan Presiden Soekarno sepulang dari Medan akan mampir di Palembang dan Tandjong Pinang, Bangka.

Dolok Martimbang. 'air force one' Indonesia (1957)
Tidak semua yang banyak dapat ditulis disini keberadaan Soekarno di Medan, yang menarik adalah Presiden Soekarno membawa anaknya Goentoer (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 21-11-1957). Disebutkan dalam pidato di Medan, Presiden Soekarno menjelaskan arti persatuan dan kesatuan untuk merebut dan pembebasan Irian Barat tanpa harus melibatkan PBB. Presiden Soekarno menyatakan ‘sebelum ayam berkokok pada 1 Januari 1958 Irian Barat akan kembali ke wilayah Indonesia. Presiden Soekarno menegaskan ‘omong kosong Belanda akan menjajah Irian Barat’. Dalam pidatonya tidak menyinggung Sumatra Tengah. Namun Presiden menjelaskan bahwa nama pesawat kepresidenan dipilih nama gunung Dolok Martimbang, sebagai sebuah legenda dari Tapanuli untuk menunjukkan simbol perdamaian dan kemandirian Indonesia. Boleh jadi Presiden Soekarno tidak menyinggung Sumatra Tengah karena menganggap sepele, tetapi sebaliknya para revolusioner di Sumatra Tengah bertindak patriotik: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia memprolamirkan diri di Kota Padang pada tanggal 15 Februari 1958. Boleh jadi proklamasi tidak diduga oleh Mr. Presiden yang membuatnya schock. Apakah ini yang menjadi penyebab munculnya amarah Mr. Presiden yang tidak terkendali dan harus memerintahkan untuk melakuan penyerangan terhadap Sumatra Tengah? Sangat disayangkan.

Prof. Mohamad Sjaaf  yang terus pantang menyerah untuk menumbuhkembangkan Universitas Andalas boleh jadi mulai khawatir tentang keberlanjutan universitas yang dipimpinnya. Hal ini karena eskalasi politik di Provinsi Sumatra Tengah semakin panas dari waktu ke waktu. Akhirnya Achmad Husein memproklamirkan PRRI pada bulan Februari 1958. Kekacauan mulai muncul dimana-mana, kekhawatiran Prof. Mohamad Sjaaf mulai tidak terkendali sehingga kekhawatiran di kalangan mahasiswa juga muncul. Proses belajar mengajar semakin tidak menentu. Bantuan pengembangan peralatan universitas menjadi terhambat datang, dosen-dosen dan guru besar baik yang Indonesia maupun asing mulai enggan datang ke Bukittinggi karena hubungan Sumatra Tengah dan pusat (Djakarta) bukannya mereda tetapi justru semakin meruncing. Prof. Mohamad Sjaaf mulai lesu darah. Cita-citanya untuk membentuk Universitas Andalas di Bukittinggi sebagai universitas yang kuat mulai sirna.

Setelah peresmian Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatra Utara, muncul pemberitaan bahwa Bahder Djohan sebagai Presiden Universitas Indonesia dicopot pada bulan Maret 1958. Lalu muncul pertanyaan: mengapa Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan harus digantikan sebelum waktunya. Alasannya bukan karena ikut menghalangi pembentukan Universitas Padjadjaran di Bandoeng, tetapi karena Prof. Bahder Djohan tidak setuju penyerangan yang dilakukan pusat (Djakarta) ke Sumatra Tengah (PRRI).

Provinsi Sumatra Tengah akhirnya dilikuidasi seiring dengan pembentukan tiga provinsi: Provinsi Djambi, Provinsi Riau dan Provinsi Sumatra Barat. Sehubungan dengan pemindahan ibukota Provinsi Sumatra Barat dari Bukittinggi ke Padang, maka Universitas Andalas juga pindah ke Kota Padang. Dalam hal ini Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D haruslah dipandang sebagai tokoh terpenting dalam pembentukan Universitas Andalas. Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D adalah pemberi nama Universutas Andalas dan sekaligus Presiden Universitas Andalas yang pertama. Siapa Mohamad Sjaaf? Inilah riwayat hidupnya.

Pada tahun 1903 seorang lulusan Docter Djawa School, Dr. Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang. Pada tahun 1904 Mohamad Sjaaf dari Padang berangkat studi ke Batavia untuk mengikuti pendidikan kedokteran di STOVIA (School tot opleiding van Inl. Artsen). Sejak 1902 Docter Djawa School ditingkatkan statusnya dengan nama baru STOVIA. Mohamad Sjaaf cukup berhasil dan tidak pernah tinggal kelas. Pada tahun 1907 Mohamad Sjaaf lulus ujian tingkat persiapan (tahun ketiga) dan lanjut ke studi medis (tahun keempat) (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1907). Mohamad Sjaaf lulus tepat waktu pada tahun 1913 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1913). Siswa yang diterima di STOVIA adalah lulusan ELS (sekolah dasar Eropa). Lama studi adalah sembilan tahun. Mohamad Sjaaf diangkat sebagai dokter pribumi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-07-1913). Mohamad Sjaaf ditempatkan di Dinas Kesehatan sebagai dokter pribumi di Ngawi, Residentie Madioen (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-07-1913). Selama di Ngawi. Mohamad Sjaaf mendapat kesempatan membantu Dr. Gerritsen di klinik dokter mata. Lalu kemudian Mohamad Sjaaf dari Ngawi dipindahkan ke kota Medan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-03-1916). Pada tahun 1918 Mohamad Sjaaf terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan menyusul terpilihnya Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng. Mereka berdua adalah pribumi pertama yang menjadi anggota dewan kota melalui pemilihan (pemilu). Radja Goenoeng di komisi pendidikan dan Mohamad Sjaaf di komisi kesehatan (De Sumatra post, 12-11-1918). Mohamad Sjaaf, kepala rumah sakit pribumi di Medan akan berangkat studi kedokteran ke Belanda (De Sumatra post, 17-02-1919). Mohamad Sjaaf pada tanggal 9 April berangkat dari Medan ke Batavia dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Belanda (De Sumatra post, 26-03-1919). Mohamad Sjaaf pada tangga 9 April dari Belawan berangkat ke Batavia dengan kapal ss Rumphius (De Sumatra post, 11-04-1919). Mohamad Sjaaf berangkat ke Belanda dari Tandjong Priok tanggal 15 November dengan kapal ss Rindjani via Suez tiba di Rotterdam (Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1919). Dalam manifes kapal tercatat nama Mohamad Sjaaf dengan istri. Juga di dalam manifes terdapat nama R. Soetomo dan istri. Raden Soetomo dan Mohamad Sjaaf lulus ujian medis pertama di Universiteit Amsterdam (Algemeen Handelsblad, 20-11-1920). R/ Soetomo dan Mohamad Sjaaf menjadi anggota Indische Vereeniging (baca: Perhimpunan Indonesia). Pada tahun 1921 R, Soetomo sebagai Ketua dan Mohamad Sjaaf sebagai sekretaris Indische Vereeniging (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant,  28-06-1921). Indische Vereeniging didirikan oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pada tanggal 25 Oktober 1908. Mohamad Sjaaf dan R Soetomo lulus ujian dokter dan meraih gelar dokter (Algemeen Handelsblad, 21-12-1921). Disebutkan Mohamad Sjaaf lahir di Kota Gedang dan R. Soetomo lahir di Ngepeh. Dr. Mohamad Sjaaf berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) dengan desertasi berjudul ‘Vezelverloop in Netvlies en Oogzenuw’ (Algemeen Handelsblad, 13-06-1923). Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D segera pulang ke tanah air dengan menumpang kapal ss Tjiremai pada tanggal 16 Juni 1023 (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 17-06-1923). Dalam manifes kapal Mohamad Sjaaf tercatat bersama dengan istri dan satu anak. Dr, Mohammad Sjaaf tidak hanya pulang meraih gelar doktor tetapi juga membawa anak mereka yang lahir di Amsterdam. Dr. Mohamad Sjaaf dan keluarga tiba di Tandjong Priok pada tanggal 20 Juli (De Sumatra post, 20-07-1923). Dr. Mohamad Sjaaf diangkat sebagai dokter pemerintah (De Preanger-bode, 31-07-1923). Sebuah rumah sakit mata, atas prakarsa gubernur dengan pembiayaan bersama, sedang dibangun di Padang. Direktur rumah sakit adalah Dr. Mohamad Sjaaf (De Sumatra post, 23-10-1924). Pembukaan rumah sakit mata di Padang (De Indische courant, 09-05-1925). Disebutkan dalam pembukaan ini turut hadir Gubernur Whitlau dan memberi kata sambutan. Di dalam kata sambutannya itu Gubernur menyebut rumah sakit itu dengan Whitlau-stichting (Yayasan Whitlau) yang kemudian menyerahkannya kepada ketua dewan rumah sakit Mr. Ouwerling, Asisten Residen Padang. Diberitakan Dr. Mohamad Sjaaf terhitung tanggal 30 April 1925 sebagai dokter pemerintah kelas satu (Bataviaasch nieuwsblad, 22-10-1925). Pangkat ini merupakan pangkat tertinggi di Dinas Kesehatan. Pada tahun 1927 Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D ditempat di Soerabaja sebagai dosen di sekolah kedokteran NIAS (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-09-1927). Pada tahun ini sekolah dokter pribumi STOVIA ditingkatkan menjadi perguruan tinggi Geneeskudige Hoogeschool, sementara fungsi/peran STOVIA digantikan oleh NIAS. Dr. Mohamad Sjaaf di NIAS untuk menggantikan Dr. Soewarno yang berangkat studi ke Eropa (De Indische courant, 05-10-1927). Dr. Mohamad Sjaaf dipindahkan ke rumah sakit di Weltevreden (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-06-1928). Dr. Mohamad Sjaaf juga difungsikan sebagai dosen di Geneeskudige Hogeschool. Dr. Mohamad Sjaaf terpilih sebagai anggota dewan kota Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1930). Dr. Mohamad Sjaaf, dosen di Geneeskundiga HS kembali dipindahkan ke NIAS di Soerabaja untuk menggantikan Dr. Soewarno (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-09-1930). Dr. Mohamad Sjaaf menggantikan Prof. Dr. Baker guru besar dokter mata di Geneeskudige HS. Oleh karena sudah kembali dari Eropa, Dr. Mohamad Sjaaf dipindahkan kembali ke NIAS untuk menggantikan Dr. Soewarno (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 22-10-1930). Selain Dr. Mohamad Sjaaf, dosen Indonesia di NIAS adalah Dr. Soetomo dan Dr. Soerjatin (De Indische courant, 02-07-1931). Keduanya juga bekerja di rumah sakita kota Soerabaja (CBZ). Ini kembali Dr. Sjaaf dan Dr. Soetomo bertemu setelah masa kuliah di Belanda. Sementara di dewan kota Soerabaja baru saja terpilih Dr. Radjamin Nasution. Dr. Sjaaf, Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution terbilang satu angkatan dulu di STOVIA. Di Soerabaja dibentuk sarikat Sumatra yang mana promotor adalah Dr. Mohamad Sjaaf, jurnalis Saroehoem, Dr. Saleh dan Dr. Radjamin Nasution (De Indische courant, 02-11-1933). Beberapa tahun sebelumnya Saroehoem ditangkap polisi/intel di Padang (De Sumatra post, 27-11-1929). Disebutkan menurut kantor berita Aneta di Padang bahwa Saroehoem wartawan asal Padang Sidempoean ditangkap dan sedang dilakukan penyelidikan karena penyebaran tulisan-tulisan yang menghasut berjudul ‘Semangat Natioual di Indonesia. Pamflet-pamfletnya telah disita. Di NIAS dosen Indonesia yang ada adalah Dr. Mohamad Sjaaf dan Dr. Zainal (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-08-1937). Hingga tahun 1941 Dr. Moahamd Sjaaf masih sebagai dosen di NIAS dan (kepala) di rumah sakit kota (Soerabaijasch handelsblad, 24-07-1941). Sebelum meninggal dunia tahun 1938, Dr. Soetomo adalah kepala rumah sakit kota. Pada saat pendudukan Jepang, segalanya berubah. Pemerintah militer Jepang di Soerabaja membentuk pemerintahan yang umumnya adalah orang Indonesia (per 29 April 1942). Sebagai Wali Kota Soerabaja diangkat Dr. Radjmin Nasution. Untuk kepala rumah sakit Soerabaja, tetap dijabat oleh Dr. Mohamad Sjaaf (Soerabaijasch handelsblad, 01-05-1942). Pada saat kemerdekaan Indonesia (17 Agusus 1945) kedua dokter ini tetap pada posisi masing-masing. Ketika kembali Belanda, Wali Kota Radjamin Nasution memindahkan pemerintahannya ke Modjokerto, sementara Dr. Mohamad Sjaaf bertugas dalam pelayanan kesehatan di Malang. Pada tahun 1947 Wali Kota Radjamin Nasution memindahkan pemerintahannya ke Toeloengangoeng, sementara Dr. Mohamad Sjaaf pindah ke Djogjakarta (ibukota RI di pengungsian) (De Heerenveensche koerier: onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 22-11-1947). Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, bidang pendidikan tinggi juga dialihkan ke pihak Indonesia, Lalu pemerintah (Kementerian Pendidikan) mengangkat Dr. Mohamad Sjaaf terhitung tanggal 1 April 1950 sebagai guru besar di fakultas kedokteran di Soerabaja (fakultas yang dibentuk oleh pemerintahan NICA/Belanda di gedung eks NIAS). Pada tanggal 4 April Pof. Mohamad Sjaaf menggantikan posisi dekan lama, Prof Streef (rekan Dr. Mohamad Sjaaf pada era kolonial Belanda di NIAS Soerabaja). Pada tanggal 10 November Universitas Airlangga diresmikan yang mana sebagai rektor (presiden) adalah Prof. AG Pringgodigdo, Sementara fakultas kedokteran menjadi bagian dari Universitas Airlanggan dengan tetap Prof. Mohamad Sjaaf sebagai dekan (fakultas kedokteran Universitas Airlangga). Selanjutnya, ketika fakultas kedokteran didirikan di Bukittinggi (Universitas Andalas), Prof. Mohamad Sjaaf diangkat pemerintah sebagai dekan terhitung tanggal 1 Septermber 1955. Sejak tanggal inilah Prof. Mohamad Sjaaf menjadi bagian dari Universitas Andalas yang lalu kemudian menjadi Presiden Universitas Andalas pada saat peresmian pada tanggal 13 September 1956.    
     
Upaya Prof. Mohamad Sjaaf untuk melaksanakan tugas sebagai presiden universitas dan mengembangkannya kemudian menjadi tidak kondusif karena pada tanggal 20 Desember 1956 terjadi kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi oleh dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Achmad Husein. Eskalasi politik di Sumatra Tengah khususnya di Bukittinggi semakin memanas dengan diproklamirkannya PRRI pada bulan Februari 1958 yang dengan sendirinya membuat Universitas Andalas dan tugas Prof. Mohamad Sjaaf menjadi tidak menentu. Nama Mohamad Sjaaf tidak muncul lagi. Boleh jadi Prof. Mohamad Sjaaf, seorang yang moderat merasa kecewa terhadap semua yang terjadi. Semangatnya untuk mengejar ketertinggalan Universitas Andalas terhadap universitas lainnya di Indonesia menjadi terhambat. Nama Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D lalu benar-benar menghilang seakan ditelan bumi. Setelah PRRI dapat diatasi oleh pemerintah pusat, Universitas Andalas di Sumatra Tengah yang berpusat di Bukittinggi diaktifkan kembali  yang lalu dipindahkan ke Kota Padang (sebagai ibukota provinsi baru, Provinsi Sumatra Barat). Posisi Prof. Mohamad Sjaaf lalu digantikan oleh Dr. A. Roesma. Satu hal: Universitas Andalas adalah Prof. Mohamad Sjaaf; juga Prof. Mohamad Sjaaf adalah Universitas Andalas.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar