*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Ratu Jaya pada masa ini adalah nama kelurahan di Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Kelurahan Ratu Jaya bertetangga dengan Kelurahan Pondok Terong. Kedua kelurahan ini di masa lampau pernah disatukan dalan satu kawasan tanah partikelir (landerien): Pondok Terong en Ratoe Djaija di onderdistrict Paroeng, Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia.
Ratu Jaya pada masa ini adalah nama kelurahan di Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Kelurahan Ratu Jaya bertetangga dengan Kelurahan Pondok Terong. Kedua kelurahan ini di masa lampau pernah disatukan dalan satu kawasan tanah partikelir (landerien): Pondok Terong en Ratoe Djaija di onderdistrict Paroeng, Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia.
Peta 1852 |
Lantas, apa yang menjadi keutamaan Kampong Ratoe Djaja
pada masa lampau? Kampong Ratoe Djaja seperti kampong-kampong lainnya, hidup
dalam pertanian, tetapi di Kampong Ratoe Djaja terdapat seorang tokoh penting
bernama Bapa Rama. Tokoh dari Kampong Ratoe Djaja ini secara terang-terangan
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan yang
dipimpin Bapa Rama ini terjadi tahun 1869.
Berita perlawanan yang dipimpin Bapa Rama ini ditemukan secara
panjang lebar pada dua edisi surat kabar yang terbit di Belanda, Dagblad van
Zuidholland en 's Gravenhage. Berita pertama ditulis di Batavia pada tanggal 20
April 1869 yang dimuat pada edisi 1 Juni 1869 dan berita kedua ditulis tanggal 30 April di
Batavia dan dimuat pada edisi 15 Juni 1869. Berita perlawanan ini juga dimuat oleh
berbagai surat kabar baik yang terbit di Hindia maupun yang terbit di Belanda.
Perlawanan telah dimulai di Bakassie (Bekasi), ketika rencana akan dimulai di
Buitenzorg, rencana terbongkar karena adanya mata-mata.
Ratoe Djaja dan Pondok
Terong
Nama Pondok Terong teridentifikasi lebih awal dari Ratoe
Djaja. Nama Kampong Pondok Terong sudah teridentifikasi ketika dilakukan
ekspedisi ke Pakwan-Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong tahun 1703 yang dipimpin
oleh Abraham Jan van Riebeeck. Selain nama Pondok Terong juga teridentifikasi
nama Depok.
Rute yang dilalui: Casteel
Batavia (Benteng) - Tjililitan - Tandjong (Oost) - Sringsing (Serengseng) –
Pondok Tjina - Depok – Pondok Terong - Bojong Manggis (dekat Bojonggede) - Kedonghalang
– Paroeng Angsana (Tanah Baru). Nama-nama ini menunjukkan nama kampong di sisi
barat dekat dengan sungai Tjiliwong. Nama-nama ini juga mengindikasikan
nama-nama pelabuhan sungai,
Kampong Ratoe Djaja berada diantara (pelabuhan) Depok dan
Pondok Terong. Nama Pondok Terong sendiri sudah teridentifikasi sebelum
Cornelis Chastelein membuka lahan pertanian di Sringsing dan Depok. Lahan
Pondok Terong termasuk yang paling subur di hulu sungai Tjiliwong, lebih subur
dari lahan di Depok. Pemilik pertama yang mengusahakan lahan di Pondok Terong
adalah Sersan St. Martin.
Sersan St. Martin adalah
pahlawan VOC/Belanda dalam meredakan pemberontakan di Banten. Awalnya ekspedisi
yang dipimpin ke Banten adalah Kapitein Jonker. Seorang Maluku yang sukses
membantu VOC dalam perang di berbagai tempat yang kemudian mendapat hadiah
tanah di Tjilintjing. Namun dalam ekspedisi di Banten, Kapitein Jonker membuat
ulah yang menyebabkan terjadinya pembantaian. Pimpinan VOC/Belanda mengirim
ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Sr. Martin untuk mengamankan Kapitein
Jonker. Sukses di Banten, Sersan St. Martin diberi hadiah lahan di Tjinirie
(Cinere) dan Pondok Terong. Dua lahan ini merupakan yang tersubur di sisi barat
sungai Tjiliwong. Namun, Sersan St. Martin karena sakit meninggal muda tahun
1694. Lahan subur lainnya berada di Sringsing dan Depok. Lahan inilah yang
kemudian dibeli oleh Cornelis Chastelein pada tahun 1696. Lahan-lahan di Tandjong
West (Tandjong Barat), Pondok Tjina dan Sawangan bukan termasuk lahan subur
sehingga tidak ada yang tertarik mengusahakannya. Tiga lahan ini baru satu abad
kemudian (tahun 1800an) mulai diolah menjadi lahan pertanian.
Pada era Pemerintah Hindia Belanda (pasca era VOC), yang
dimulai pada era pemerintahan Daendels lahan-lahan di hulu sungai Tjiliwong
diaktifkan kembali dengan cara menjual atau mengutip sewa/pajak tinggi bagi
swasta yang dikenal sebagai lahan-lahan hak pertuanan (menjadi tanah-tanah
partikelir). Lahan-lahan hak pertuanan termasuk lahan subur (landgoed) di
Pondok Terong, Depok, Sringsing dan Tjinere.
Pemerintahan Hindia
Belanda (Daendels) tidak lama kemudian digantikan oleh pendudukan Inggris
(sejak 1811). Pemerintahan Inggris juga meneruskan kebijakan lahan-lahan
partikelir. Lalu pada tahun 1816 berakhir kekuasaan Inggris dan digantikan
kembali oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Bataviasche courant, 13-10-1821 |
Pada tahun 1821 janda van der Wenie menjual lahan di
Pondok Terong melalui pemerintah (Bataviasche courant, 13-10-1821). Lahan
Pondok Terong meliputi lahan-lahan yang berada di Kampong Tjipajoeng.
Disebutkan lahan Pondok Terong yang dijual tahun 1821 termasuk bazaar (pasar). Kampong
Pondok Terong ini berada di sekitar perumahan Permata Depok yang sekarang.
Lahan-lahan di bawah
pertuanan di Pondok Terong ini kemudian dikenal sebagai Land Tjitajam. Pasar
yang dimaksud dalam hal ini adalah Pasar Tjitajam (yang masih eksis hingga
sekarang). Lahan-lahan hingga Pondok Terong sudah memiliki akses yang baik ke
Batavia dan kelas jalanya masuk kategori kedua. Berdasarkan Register der
Resolutien van der Gorvernoeur Generaal No 21 tahun 1836 pembagian kelas jalan
adalah sebagai berikut (lihat Javasche courant, 30-01-1836): (1) jalan kelas satu
adalah (a) Batavia, over Tangerang naar Bantam, (b) Meester Cornelis, over
Buitenzorg en Megamendoeng naar Preanger Regentscpappen dan (c) Batavia naar
Meester Cornelis, over Poelo Gadong en Bekassie naar Krawangsche; (2) jalan
kelas dua adalah (a) middenweg van Parapattan tot westerweg Land Pondok Terong/Ratoe
Djaja, (b) Tanahabang naar middenweg via Land Karret, (c) westerweg Tanahabang
naar Buitenzorg (via Parong), (d) weg Tangerang naar Toasia, (e) weg Buitenzorg
over Tjieampea en Djasinga naar Bantam en over Siemplak, Koeripan en Parong
naar Tangerang (f) Batavia over Tjintia naar Soedimara; (3) jalan kelas tiga adalah
selain yang disebut di atas. Jalan kelas satu sendiri adalah jalan utama jalan
pos, jalan kelas dua adalah jalan yang dapat dilalui gerobak, penunggang kuda
dan pejalan kaki (arteri).
Nama Ratoe Djaja baru teridentifikasi pada tahun 1831
(lihat Javasche courant, 19-02-1831). Disebut Department Vendu (Departemen
Lelang) melelang dua persil lahan Bapak Abdoel Hamiet yang berada di dusun
Bodjong dan dusun Ratoe Djaija di sebelah barat sungai besar Tjiliwong. Persil
lahan-lahan tersebut termasuk sawah dan kebun yang mana di persil lahan di
dusun Bodjong terdapat rumah batu dengan lantau ubin, sementara di persil lahan
di Ratoe Djaja termasuk rumah terbuat dari kayu dan bambu. Dusun Bodjong adalah dusun yang terletak antara
Kampong Pondok Terong dengan dusun Ratoe Djaja (kira-kira sekitar POM Bensin
dan perumahan Permata Regency yang sekarang).
Pada tahun 1834 terjadi
gempa bumi besar yang meruntuhkan bangunan Istana Buitenzorg. Goncangan gempa
ini sampai ke Lampoeng dan Tegal. Sebagian bangunan yang terbuat dari bata di
Pondok Tjina dan Pondok Terong rusak (Javasche courant, 22-11-1834). Kejadin
gempa yang terjadi tanggal 10 Oktober 1834 yang diberitakan surat kabar
Javasche courant yang terbit di Batavia baru diberitakan di Belanda pada bulan
Maret 1835 (seperti Nederlandsche staatscourant, 09-03-1835; Utrechtsche
courant, 09-03-1835; Leydse courant, 09-03-1835). Mengapa begitu lama berita
ini beredar di Belanda. Hal ini karena belum ada alat komunikasi, telegraaf
belum ada dan hanya mengandalkan surat dan surat kabar. Saat itu pelayaran
masih mengikuti rute dari Afrika Selatan sehingga lama perjalanan sekitar tiga
bulan lebih. Terusan Suez baru dioperasikan pada tahun 1869.
Besar dugaan pembeli lahan di Bodjong dan lahan di Ratoe
Djaja adalah pemilik lahan Land Pondok Terong. Hal ini berdasarkan seseorang
akan menjual lahan Pondok Terong dan lahan Ratoe Djaja di bawah judul Landen
Pondok Terong en Ratoe Djaja. Iklan penjualan ini dimuat pada surat kabar Bataviaasch
handelsblad, 01-06-1859.
Beberapa tahun
sebelumnya pasar yang dulu yang berada di lahan (land) Pondok Terong telah
teridentifikasi sebagai Bazar Tjitajam (Nederlandsche staatscourant, 30-03-1854).
Disebutkan 1sten luitenant der genie D. Maarschalk telah melakukan pengukuran
tanah dari Batavia ke Buitenzorg untuk kegunaan rencana pembangunan rel
kereta api. D. Maarschalk telah
mengajukan dokumen kepada pemerintah termasuk gambar-gambar yang diperlukan,
perhitungan dan perkiraan biaya pembuatan jalur yang diproyeksikan dengan
panjang 54,678 Km. Jalur akan melewati sebagian besar pada tanah yang tidak
digarap dengan pengecualian untuk di sekitar Batavia dan Weltevreden dan di
Buitenzorg antara pal 38sten dan 39sten. Jalur ini akan melewati lapangan
di belakang laboratorium pertanian, melewati Kedong-Badak dan Bazaar Tjitajam, sekitar
Land Depok, Pondonk-Tjina dan sepanjang Bazar-Mingo (Pasar Minggo) ke
Parapattan. Dari Parapattan sepanjang garis belakang alun-alun (jalan Kebon
Sirih yang sekarang) menuju Tanah Abang.
Raden Saleh dan Willem Iskander
Hanya ada dua orang Indonesia (baca: pribumi) di Hindia
Belanda yang disebut pionir, yakni: Raden Saleh dan Willem Iskander. Raden
Saleh tahun 1836 berangkat ke Eropa untuk belajar seni lukis modern. Raden
Saleh kelahiran Semarang, Afdeeling Semarang berangkat studi pada tahun 1836
pada usia 12 tahun.
Raden Saleh setelah
selesai pelajarannya tentang seni lukis di Belanda, tahun 1839 Raden Saleh
dilaporkan ikut pameran lukisan di Jerman, Austria, Paris dan Italia
(Overijsselsche courant, 29-10-1839),
Setelah beberapa tahun di Eropa/Belanda, Raden Saleh kembali
ke tanah air pada tahun 1851. Pada tahun inilah sekolah guru yang pertama di
Hindia dibuka di Soeracarta. Sementara itu, Willem Iskander berumur 17 tahun
pada tahun 1857 berangkat ke Eropa untuk belajar ilmu keguruan. Willem Iskander
kelahiran Pidoli, Afdeeling Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang
Sidempoean). Willem Iskander setelah selesai studi dan mendapat akta guru
kembali ke tanah air tahun 1861. Sati Nasution alias Willem Iskander pada tahun
1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato, Mandailing.
Pada tahun 1862 di
Afdeeling Mandailing dan Angkola terdapat satu orang bersekolah dari 1.000
penduduk, sementara di Jawa dari setiap 6500 penduduk hanya satu yang
bersekolah.
Dengan berdirimya sekolah guru di Afd. Mandailing dan
Angkola rasio penduduk sekolah akan meningkat. Pada tahun 1864 sekolah guru
Tanobato telah dianggap sebagai sekolah guru terbaik di Hindia, jauh di atas
kualitas dua sekolah guru yang sudah ada di Soerakarta dan Fort de Kock.
Laporan ini diumumkan oleh Inspektur Pendidikan Pribumi CA van Chjis (sebagai
berikut).
Nieuwe Rotterdamsche
courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan
saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon
daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan.
Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke
Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem
Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas
murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa
murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah
Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh
Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip
fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa
Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.
Sejak tersiarnya berita kemajuan pendidikan di Mandailing
dan Angkola, pendidikan di Jawa terguncang. Adanya kemajuan pendidikan tak
terduga di Mandailing dan Angkola menyadarkan pemerintah untuk segera membangun
sekolah guru di Bandoeng. Tahun 1865 Kweekschool Tanobato diakuisisi pemerintah
dan dijadikan sekolah guru negeri. Kweekschool Bandoeng mulai dibuka tahun
1866, Dengan demikian sekolah guru negeri menjadi empat buah: Soerakarta
(1852), Fort de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng (1866). Meski
demikian, para humanis terus mendesak pemerintah.
Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868: ‘Mari kita
mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan
yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga
penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas
kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai
Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan
pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik).
Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar
terjadi, tandas Chjis’
Inisiatif pendirian sekolah guru di Bandoeng datang dari
seorang pengusaha yang menyukai sastra dan kebudayaan Soenda, KF Holle. Sudah
sejak lama KF Holle di Priangan mengetahui ada keresahan penduduk terutama akibat
koffiestelsel sejak 1830. Solusi pendidikan yang ditawarkan KF Holle dan
kelompok humanis yang lainnya diharapkan dapat meredakan ketegangan. Dalam
jangka pendek dapat menambah sekolah untuk membangun image di mata penduduk.
Hasilnya sudah terasa. Pada tahun 1869 rasio penduduk sekolah di Jawa telah
meningkat dari 1:6500 menjadi 1:2100. Namun angka itu masih jauh dari yang
seharusnya. Para humanis terus melakukan protes terhadap pemerintah.
Algemeen Handelsblad,
26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa
kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber
daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir
tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Dua sekolah guru di Jawa (Soeracarta dan Bandoeng) memang
telah membantu meningkatkan rasio partisipasi sekolah di Jawa, tetapi belum
menyeluruh. Seperti dikatakan oleh KF Holle memberikan pendidikan kepada
pendududuk adalah cara bermartabat untuk menghargai penduduk. Yang boleh jadi
maksudnya dengan adanya pendidikan para pemimpin dihargai dan memberi pengaruh untuk
meredakan ketegangan.
Sebagai perbandingan
sesuai Almanak 1869 jumlah sekolah pribumi di Residentie Batavia hanya tiga
buah, yaitu di Toegoe dan dua buah di Depok (eerste onderwijzer dan tweede
onderwijzer). Bahkan di Residentie Banten hanya satu buah di Serang. Di Residentie
Preanger Regentschappen terdapat lima buah, masing-masing satu buah di Afdeling
Bandoeng, Afd, Tjiandjoer, Afd. Garoet, Afd. Soemedang dan Afd. Manondjaja).
Sangat kontras di Afdeeling Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli),
sekolah sudah terdapat di 10 kampong utama, yakni di Padang Sidempoean,
Simapil-apil, Pargaroetan, Sipirok, Boengabondar, Panjaboengan, Tanobato,
Moearasama, Kotanopan dan Moearasipongi. Jumlah ini telah meningkat jika
dibandingkan kondisi pada tahun 1862 yang baru enam buah (saat Willem Iskander
membuka sekolah guru). Pada tahun 1846 jumlah penduduk Afdeeling Mandailing dan
Angkola sebanyak 44.000 jiwa; jumlah penduduk di Afdeeling Buitenzorg tahun
1837 sebanyak 242.000 jiwa.
Yang paling kontras di Jawa adalah praktek kolonial yang
menghisap penduduk semakin menjadi-jadi. Kemiskinan dimana-mana. Penduduk
sebagai pewaris lahan telah tergusur dari tanahnya sendiri atau harus membayar
pajak tinggi jika ingin mengusahakannya. Hanya para ningrat dan pemimpin lokal (bupati
dan bawahannya) yang merasakan kesejahteraan. Para ningrat dininabobokkan
dengan gaji yang besar dan fasilitas yang memadai, tetapi penduduk secara umum
hidup dalam penderitaan. Termasuk di Residentie Batavia.
Berdasarkan Almanak
1869, Residentie Batavia berbatasan dengan Residentie Bantam, Residentie
Krawang dan Residentie Preanger Regenschappen. Residentie Batavia terdiri dari:
Stad en Voorsteden; Afdeeling Tangerang; Afd. Meester Cornelis; Afd. Bekassi;
dan Afd. Buitenzorg. Resident berkedudukan di Stad en Voorsteden. Masing-masing
asisten residen di Tangerang, Meester Cornelis dan Buitenzorg. Untuk Afdeeling
Bekassi, asisiten residen dirangkap oleh Asisten Resident Meester Cornelis.
Secara keseluruhan Afdeeling Meester Cornelis en Bekassi terdiri dari empat distrik
yang meliputi 693 kampong. Resident Batavia bernama HJC Hoogeveen (sejak Mei 1866); Asisten Resident Policie der Stad
en Voorsteden Mr. JP Metman (sejak
Desember 1866). Asisten Residen Meester Cornelis Mr. ERJC de Kuijper (sejak
November 1967). Schout te Bekassi FJB Maijer (sejak Mei 1867); Djaksa te
Bekassi Raboedien (sejak 1861); Luitenant der Chinezen te Bekasssi Lauw Tek Lok
(sejak 1854). Asisten Resident Butenzorg Mr. SCJW van Musschenbroek (sejak
1867); Demang Buitenzorg Radhen Aria
Mangkoe Widjaja; Demang Parong Mas Djiebdja Redjs; Demang Tjibaroessa Radhen
Mangoen Koesoema
Pada masa ini perusahaan
besar yang mengusahakan lahan pertanian terdapat di sejumlah tempat (lihat
Almanak, 1867). Di landrein Pondok Terong of Ratoe Djaija dimiliki oleh Jo
Tjoeta dengan komoditi utama padi. Di landrein Bekassi West. Rawa Posong, Kali
Abang dan Kali Poetih dimiliki oleh Khouw Tjeng Tjoan (yang juga pemilik lahan
di Tanah Seratoes Lima Poeloeh, Tjikoennir, dan Pondik Gedeh. Semua tanah milik
Khouw Tjeng Tjoan disewa oleh Tio Tian Sioe yang mengusahan padi, kelapa, gula
dan kacang. Sementara lahan di landrein Bekassi Oost dimiliki oleh Kang Keng Tiang
c.s. Lahan ini diusahakan oleh Kam Boen Pin dengan komoditi padi, kacang dan
kelapa.
Perang besar di Jawa sudah lama berlalu. Pemimpin pribumi
dalam perang di Jawa, Pengeran Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan tahun
1830. Perang di Jawa secara perlahan mereda. Pemerintah segera menerapkan
koffistelsel di sejumlah tempat di Jawa termasuk di Buitenzorg dan Preanger.
Konsentrasi militer
Belanda dialihkan ke Pantai Barat Sumatra untuk mempercepat proses invasi di
Sumatra. Perlawanan di Minangkabau yang dipimpin Tuanku Imam Bondjol berakhir
tahun 1937. Perlawanan di Tapanoeli khususnya di Mandailing dan Angkola yang
dipimpin oleh Tuanku Tambusai berakhir tahun 1838. Setelah itu juga
koffiestelsel diterapkan di Minangkabau dan di Afdeeling Mandailing dan Angkola,
Tapanoeli.
Penerapan koffistelsel di Minangkabau dan Tapanoeli telah
mengakibatkan sejumlah pemberontakan. Sebagian penduduk melawan dan sebagian
yang lain melakukan eksodus, terutama ke semenanjung. Di Mandailing dan Angkola
pemberontakan mendapat respon positif dari Controleur di Natal Edward Douwes
Dekker yang justru melindungi para pemberontak. Akibatnya Edward Douwes Dekker
dipecat sebagai pejabat pemerintah pada tahun 1843 dilakukan tahanan rumah
selama setahun di Padang.
Setelah mulai mereda di
Pantai Barat Sumatra, konsentrasi militer Belanda kemudian dialihkan ke Bali
dan Sulawesi (1849-1870). Dalam situasi dan kondisi tenang di Mandailing dan
Angkola inilah Willem Iskander berangkat studi ke Belanda tahun 1857.
Dalam situasi dianggap aman di Jawa, dan konsentrasi
militer Belanda berada jauh di luar Jawa, lalu muncul pemberontakan di
Residentie Batavia. Pemberontakan di Batavia ini dipimpin oleh Bapak Rama asal
Kampong Ratoe Djaja.
Pemberontakan yang
dipimpin oleh Bapak Rama ini boleh dikatakan terbilang berani. Pemberontakan
ini berada di sekitar ibukota Hindia Belanda di Batavia (tempat dimana Gubernur
Jenderal berkedudukan). Pemberontakan di Batavia ini juga terbilang unik.
Setelah berakhirnya Perang Jawa (1830), tidak ditemukan pemberontakan di Jawa.
Pemberontakan di Batavia boleh dikatakan sebagai satu-satunya pemberontakan
setelah sekitar 40 tahun berakhirnya Perang Jawa.
Apa yang menyebabkan timbulnya pemberontakan di Batavia ini
sulit dipahami. Namun pemberontakan di Batavia ini benar-benar terjadi pada
tahun 1869. Untuk itu mari kita telusuri lebih jauh. Pemberontakan di Batavia dimulai
di Tamboen, Bekasi pada tanggal 3 April 1869 (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-04-1869).
Bataviaasch handelsblad, 10-04-1869 |
Pasukan yang dikerahkan untuk meredakan kerusuhan di
Bekasi ini tidak dianggap kecil tetapi tergolong besar karena mengerahkan satu
kesatuan Kompagnie (di bawah satu Batalion dan di atas satu detasement).
Kompagnie ini adalah bagian Batalion ke-11 yang bermarkas di Meester Cornelis. Segera
setelah peristiwa di Bekasi, rumor muncul di Batavia bahwa hal yang mirip
(akan) terjadi di Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-04-1869).
Ini bermula dari
informasi yang disampaikan seorang pendeta di Depok kepada Residen Batavia bahwa
pada hari Senin (05-04-1869) penduduk Depok telah dipersenjatai dan berkumpul
di gereja dan sekolah karena diduga akan terjadi serangan dari Ratoe Djaja.
Informasi ini segera direspon Residen dengan membawa pasukan dari Batalion
ke-11 sebanyak 70 orang ke Depok di bawah pimpinan Kapten Godin dan Sheriff
Sprew. Setelah mendengar dan melihat situasi dan kondisi di Depok, malam hari itu
juga Residen memutuskan kembali ke Batavia. Untuk tindakan penjagaan, satu
detasemen militer sebanyak 25 orang ditinggalkan di Depok.
Peristiwa di Bekasi dan kejadian di Depok menjadi satu kesatuan
ekskalasi politik di Residentie Batavia. Residen Batavia dalam tekanan. Salah
satu asisten residennya (Asisten Residen Meester Cornelis) telah tewas. Asisten
Residen di Buitenzorg, setelah pulang dari Bekasi melakukan konsolidasi
peningkatan keamanan di wilayah Buitenzorg. Sementara Asisten Residen di
Tangerang juga melakukan tindakan yang sama. Fungsi Asisten Residen Meester
Cornelis (yang juga mencakup Bekasi) telah diambilalih oleh Residen.
Wilayah Residentie
Batavia sejatinya belum tahap zona perang, Batavia dapat dikatakan masih dalam
tahap persoalan keamanan wilayah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa
terjasdi eskalasi politik; apa yang menyebabkan terjadi peristiwa terbunuhnya
asisten residen Meester Cornelis di Tamboen? Apakah ada kaitan Tamboen dengan
Ratoe Djaja. Siapa tokoh Raden Koesoema dari Tjibaroesa pemimpin peristiwa di
Tamboen? Apa peran yang dilakukan oleh Bapa Rama di Ratoe Djaja? Siapa Bapa
Toenda? Lantas apa hubungan peristiwa dengan Bapa Beirah seorang Tionghoa tuan
tanah di Tamboen dan dengan Biekhof, pendeta di Depok? Dan sebagainya.
Untuk memudahkan pembaca disarikan dalam bentuk tabel
kronologis yang dibagi dalam empat bagian (tahap). Bagian pertama tentang pesta
dan pertemuan di Ratoe Djaja; Bagian kedua tentang penyerangan terhadap
pemerintah di Bekasi dan pengamanan di Depok; Bagian ketiga tentang pengusutan pemberontak
di Ratoe Djaja dan Bekasi; dan Bagian keempat tentang pengadilan dan hukum terhadap para pemberontak. Tabel
kronologis disusun berdasarkan waktu dan tempat kejadian menurut pemberitaan
pada sejumlah surat kabar yang terbit di Hindia dan surat kabar yang terbit di
Belanda pada periode April 1869 hingga Desember 1870. Tabel kronologis dapat di
lihat pada lampiran artikel ini.
Sebagaimana kita lihat
nanti, para tokoh utama pemberontakan ini adalah Bapak Rama alias Pangeran
Alibasa di Ratoe Djaja sebagai penggagas; Bapak Kollot alias Raden Malang alias
Raden Saleh di Tjilingsi; Bapak Toenda di Tibaroesa; Bapak Selang pemimpin
lokal di Tamboen; Djaidin Bapak Djiba di Kali Djambe yang menewaskan Asisten
Residen dengan tombak; Arsain alias Raden Sipat dan Raden Moestapa serta Djamas
alias Rjoengkat Bapa Nata. Dari pihak musuh pemberontak antara lain Residen
Batavia, Asisten Residen Meester Cornelis (yang terbunuh), Asisten Residen
Buitenzorg, Asisten Residen Polisi Meester Cornelis, Major Bloem; Kapten
Stoecer dan para letnanya; sherif Meijer (yang terbunuh) dan sherif Sprew, Bapa
Beirah, pendeta Biekhof dan dokter Djawa Amenoelah (yang dibunuh).
Penyerangan di Tamboen dalam hal ini pada dasarnya tidak
berdiri sendiri, tetapi suatu rangkaian eskalasi politik di Bekasi, Buitenzorg
dan Meester Cornelis di Residentie Batavia. Keseluruhan rangkaian ini dapat
dikatakan dengan satu peristiwa Pemberontakan Batavia. Pemberontakan di Batavia
dapat dikatakan suatu pemberontakan yang terencana (memenuhi semua unsur
seperti alasan memberontak cinta tanah air dan mengusir penjajah, konsolidasi,
perencanaan strategi, penyerangan dan perlawanan). Pemberontakan Batavia ini juga boleh
dikatakan unik. Setelah Perang Jawa (yang dipimpin Pangeran Diponegoro yang
berakhir 1830), pemberontakan di Batavia ini satu-satunya kejadian di Jawa. Keutamaan
pemberontakan di Batavia (dibanding di tempat lain) adalah pemberontakan
terjadi berada tidak jauh dan yang menjadi target akhir adalah Batavia, ibukota
pemerintahan Hindia Belanda. Dalam perspektif sejarah, Pemberontakan Batavia
sangat lengkap (valid): terdapat liputan (pemberitaan) day to day baik terhadap
jalannya peristiwa, proses penyelidikan dan penangkapan maupun proses
pengadilan dan keputusan hukum. Untuk sumberi pembanding juga majalah/jurnal
seperti Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1873 (2e deel) yang di
dalamnya memuat suatu artikel yang berisi pengakuan Raden Saleh terhadap
peristiwa pemberontakan yang diberi judul ‘Radhen Saleh en de Bekassische onlusten pada jurnal’.
Sejarah pemberontakan di
Batavia (Pemberontakan Batavia) adalah sejarah yang lengkap (valid, akurasi
data dan kelengkapan data). Namun sangat disayangkan peristiwa Pemberontakan
Batavai tidak ditulis secara proporsional.
Dalam sejarah Indonesia, Pemberontakan Batavia cenderung disembunyikan
atau dikerdilkan? Apakah karena kekurangan atau minimnya data yang digunakan?
Pada masa era teknologi informasi ini, semua informasi yang bersumber dari
surat kabar pada tempo doeloe khususnya pada periode 1869 dan 1870 telah dapat
diakses. Surat kabar-surat kabar ini bagaikan black-box yang dianggap hilang,
tetapi kini telah ditemukan. Data ‘black-box; inilah yang digunakan dalam
penulisan artikel ini. Namun satu hal yang perlu dipertanyakan. Surat kabar The
Straits Time melaporkan bahwa jumlah orang Eropa yang tewas adalah sebanyak 160
orang. Juga diberitakan bahwa para pemberontak yang sempat ditahan di Bekasi
telah membakar penjara dan melarikan diri (lihat Java-bode : nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-04-1869). Apakah pemerintah dan
militer telah menyembunyikan fakta yang tidak diketahui jurnalis Hindia, tetapi
ada seseorang mengirim berita dari Batavia ke Singapoera?
Raden Saleh, Raden Salah:
Pangeran Alibasa dan Willem Iskander
Dua tokoh penting yang merupakan perencana Pemberontakan
Batavia adalah Bapak Rama dan Bapa Kolot. Untuk membangun karakter dan
memposisikan diri mereka di tengah oenduduk mulai dari Ratoe Djaja hingga
Tamboen, Bapa Rama menyebut dirinya sebagai Pangeran Alibasa (mengambil nama
dari Sentot Alibasa?) dan Bapa Kollot menyebut dirinya sebagai Raden Saleh.
Para pemimpin lapangan
(para panglima) antara lain Bapa Selang di Tamboen, Bapa Toenda di Tjibaroesa,
Bapa Djiba di Kaliabang (Pondok Poetjoeng, Bekasi), Moestapa di Ratoe Djaja dan
Basiroen di Pondok Terong.
Nama Pangeran Alibasa dan Raden Saleh menjadi jaminan
mutu di tengah penduduk yang membangkitkan semangat patriotik dan heroik. Pada
jajaran panglima juga terdapat penggunaan nama alias seperti Djaidin alias Bapa
Djiba, orang yang menewaskan Assten Residen Meester Cornelis dengan tombak, Bapa
Sipat sebagai Dries. Nama samaran atau nama alias saat itu memang sangat lazim
yang berguna untuk mempersonifikasikan diri sesuai karakter yang ingin dibangun
dan figur yang akan ditunjukkan di tengah penduduk.
Di Afdeeling Mandailing
en Angkola, Residentie Tapanoeli seorang guru bernama Si Sati Nasution menyebut
dirinya Willem Iskander. Nama Willem diambil dari nama Raja Belanda Willem III
dan nama Iskander diambil dari nama seorang sastrawan dunia asal Rusia di
pengasingan di Inggris. Radja Willem adalah seorang radja prakmatis yang
mendorong kemajuan bagi penduduk pribumi tetapi sangat tegas terhadap gangguan.
Iskander Herzien adalah seorang penulis yang hebat yang anti perbudakan dan sangat
mengedepankan reformasi (demokrasi). Sati Nasution mengubah namanya menjadi
Willem Iskander ketika studi di Belanda (1857-1860). Karakter Willem Iskander
ini ternyata dijalankannya secara konsisten. Setelah selesai studi, Willem
Iskander pulang kampung di Mandailing dan mendirikan sekolah guru tahun 1862. Untuk
mempercepat kemajuan, Willem Iskander juga menulis buku pelajaran sendiri dalam
bahasa Batak agar mudah dipahami murid. Willem Iskander juga menerjemahkan
sejumlah buku dan menulis sejumlah prosa dan sajak dalam bahasa Batak dialek
Mandailing. Salah satu bukunya yang telah selesai ditulis tahun 1870 (dan baru
diterbitkan di Batavia tahun 1873) berjudul Siboeloes-boeloes;
Siroemboek-roembok. Dalam buku ini terdapat satu bait sajak yang anti penjajah.
Sajak itu dibahasa Indonesiakan seperti berikut: ‘Ada orang luas, yang berdiam
di daerah kami; Perutnya sudah kenyang, semoga mereka cepat keluar’.
Bapa Rama alias Pangeran Alibasa dan Bapa Kolot alias
Raden Saleh pada tahun 1869 telah berhasil menciptakan jiwa patriotik penduduk
di berbagai kampong di Residentie Batavia. Jiwa patriotik yang bergelora di
tengah penduduk (yang didera kemiskinan, buta huruf dan ditekan para tuan
tanah) menjadi faktor penyebab munculnya pemberontakan di Batavia yang dimulai
dari penyerangan di Tamboen. Willem Iskander di Mandailing dan Angkola dengan
caranya sendiri telah berhasil mencerdaskan penduduk lewat sekolah juga
membangun jiwa cinta tanah air dan semangat patriotik melawan imperialis.
Para pejabat pemerintah yang
rasialis di Mandailing dan Angkola telah menganggap Wilem Iskander adalah batu
sandungan. Para pekabat pemerintah yang rasialis telah menuduh pejabat
pemerintah sebelumnya yang humanis telah gagal di Mandailing dan Angkola.
Tuduhan ini untuk merujuk pada keberhasilan para humanis membantu memberi jalan
bagi Si Sati Nasution studi ke Belanda dan kini menjadi sumber inspirasi bagi
penduduk untuk menentang otoritas pemerintah. Terbukti dari waktu ke waktu
semakin sering muncul kerusuhan di Mandailing dan Angkola. Pemberontakan yang
dipimpin Soetan Habiaran pada tahun 1870 menyebabkan ketengangan di Mandailing
dan Angkola. Soetan Habiaran berhasil ditangkap dan diasingkan. Satu cara yang
digunakan untuk mengekang Willem Iskander adalah mengasingkannya. Pada tahun
1870 muncul gagasan untuk mengirim Willem Iskander ke Belanda dengan membawa
tiga guru muda untuk studi lebih lanjut. Realisasi ini baru terlaksana pada
tahun 1874 yang mana Willem Iskander membawa tiga guru muda ke Belanda yakni
Raden Soeroeno dari Soeracarta, Raden Ardi Sasmita dari Majalengka dan Banas
Lubis dari Mandailing. Seperti di duga, keempat guru itu satu per satu
meninggal di Belanda. Setelah tiga anak asunya meninggal, Willem Iskander juga
dikabarkan telah meninggal di Belanda pada tanggal 5 Mei 1876. Pejabat yang
mendampingi keempat guru ini ke Belanda adalah Residen Tapanoeli HD Canne yang
diduga atas perintah Gubernur Pantai Barat Sumatra Elisa Netscher. Terbukti
pada tahun 1878 HD Canne, orang yang menggantikan posisi Elisa Netseher adalah
HD Canne sebagai gubernur.
Bagaimana Bapa Rama mengasosiasikan diri sebagai Pangeran
Alibasa sulit diketahui. Akan tetapi bagaimana Bapa Kolot mengasosiasikan diri
sebagai Raden Saleh mudah diketahui karena dokumennya tersedia dalam bentuk
surat kabar dan jurnal/majalah. Raden Saleh saat itu adalah tokoh pribumi
penting di tengah orang-orang Eropa. Raden Saleh adalah orang pertama pribumi
studi (melukis) ke Belanda, sementara Willem Iskander adalah orang kedua
pribumi studi (keguruan) ke Belanda.
Raden Saleh lahir di
Semarang, ayah seorang Arab dan ibu seorang Jawa. Raden Saleh kecil sangat
berbakat melukis, karena itu Gubernur Jenderal membawa Raden Saleh pada usia 12
tahun untuk mendapatkan studi melukis di Belanda. Setelah beberapa tahun di
Belanda, Raden Saleh kembali ke tanah air. Kemampun Raden Saleh dalam melukis
telah berhasil membuat banyak lukisan berharga. Raden Saleh telah menjadi kaya
raya, memiliki istana di Menteng dan memiliki rumah besar di Buitenzorg. Raden
Saleh juga telah menjadi anggota badan ilmu pengetahuan Hindia Belanda di
Batavia. Namun karakter Raden Saleh bukan orang yang dekat dengan penduduk.
Karakter yang berbeda dengan Willem Iskander yang sangat dekat dengan penduduk.
Raden Saleh boleh dikatakan hanya bergaul di kalangan atas orang-orang
Eropa/Belanda. Raden Saleh bahkan sudah sangat akrab dengan Residen Batavia.
Bapa Rama van Ratoe
Djaja: Seorang Pahlawan
Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1876: ‘Pemerintah
sedang bernegosiasi dengan pemilik Land Tjimangies, Lauw Tek Lok, untuk
mendirikan garnisun untuk artileri di tanah itu. Demi kepentingan pemerintah,
kami berharap bahwa perundingan akan segera terjadi. Land Tjimangies terletak
di pusat antara Batavia dan Buitenzorg, dekat dengan Ratoe Djaija (Depok), yang
penduduknya telah terbukti memberontak beberapa tahun yang lalu. Pembentukan garnisun
di Land Tjimangies sangat dihargai karena akan menginspirasi penduduk atau menjadi
iklim yang sehat (kondusif)’..
Ini satu bukti bahwa Bapak Rama adalah orang penting,
orang yang mampu menggerakkan massa penduduk untuk memberontak dan melakukan
perlawanan nyata terhadap pemerintah Belanda. Bapak Rama telah diperhitungkan
oleh Belanda. Bapa Rama dalam hal ini haruslah diposisikan sebagai Pahlawan
Depok, seorang pahlawan yang jauh lebih awal daripada kiprah Margonda, Tole
Iskandar dan Muchtar.
Namun demikian, pada
masa ini perlu disadari bahwa sejarah Rama van Ratoe Djaja seyogianya jangan
dikerdilkan dan jangan didramatis. Pada masa ini Rama alias Pangeran Alibasa
dipersepsikan dibunuh dengan cara digantung dan ditembak. Sejatinya, tanpa
harus mendramatisir, kepahlawanan Rama dalam melawan otoritas Belanda sudah
mencerminkan sifat heroik.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang
sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali
di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bagian-2: Penyerangan terhadap Pemerintah Belanda di Bekasi, 1869
|
||
Tanggal
|
Hari
|
Deskripsi
|
02-04-1869
|
Jumat
|
Pergerakan pemberontak. Para pemberontak dari Bekasi
datang ke Meester Cornelis untuk meminta dibebaskan Sie Nata dari penjara.
|
Asisten Residen Kuijper diperingatkan bahwa penduduk
Bekassie pada saat gerhana matahari perang akan pecah dan Nata (yang berada
di tahanan Meester Cornelis) akan dibebaskan.
|
||
Sherif Meester Cornelis menemui pemberontak sekitar 500
orang di Land Tjakoeng.
|
||
Sherif lalu melaporkan ke Major Bloom, komandan
Batalion ke-11 Meester Cornelis untuk mengambil tindakan.
|
||
Pasukan bergerak yang lamanya 3 jam ke Bekasi. Di dalam
perjalanan ditemukan satu pembakaran. Pemberontak tidak berhenti di Tjacoeng
lalu membuat onar di Bekasi dan kemudian bergerak ke Telok Poetjoeng yang
jumlahnya 200 orang.
|
||
Pasukan kembali ke Batalion ke-11 dan akan menyusun
pasukan dua kompagnie. Ekspedisi ini akan dipimpin Kapten Stoecker.
|
||
03-04-1869
|
Sabtu
|
Kongsiehuis di Tamboen dibakar. Kongsiehuis juga
menjadi tempat tinggal anak Bapak Beirah. Sedangkan Bapa Beirah berhasil
melarikan diri (kemudian diketahui melarikan diri ke Buitenzorg).
|
Asisten Residen Kuijper dan Sherif datang ke TKP untuk
menenangkan situasi. Namun menjadi sumber petaka. Dalam peninjauan ke TKP itu
Asisten Residen yang tidak didampingi militer diserang.
|
||
Dr. Amenoellah, dokter djawa yang bertugas di Bekasi membanttu
yang luka.
|
||
Di Meester Cornelis pada pukul setengah 12 datang
berita Asisten Residen Kuijper dan Sheriff Meijer terbunuh,
|
||
Pasukan Kapten Stoecker, Letnan vis Eijbergen, Letnan
Altensteijn, Letnan von Ende dan Letnan de Jongh bersiap jam 12. Petugas
kesehatan Hamilton diperbantukan ke pasukan. Di area antara pal 11 dan pal 15
kemudian bergabung Residen Batavia dan asisten residen polisi yang datang
naik kereta (kuda). Di Oedjoeng Menteng (Pal 17) kira-kira 5 pal sebelum
Bekasi, pasukan dipecah. Pasukan utama di bawah Komando Stoecker menuju Telok
Poetjoeng. Satu detasemen di bawah komando Letnan von Ende bersama Residen
menuju Bekasi untuk berjaga-jaga.
|
||
Pada pal 16 datang gerobak yang mengangkut jasad
Asisten Residen dan sherif. Tubuh Asisten Residen luka bekas tombak yang
telah dijahit antara rusuk 5 dan 6 dada kiri. Jenasah Asisten Residen dan sheriff
diteruskan ke Meester Cornelis. Di Oedjoeng Menteng pasukan dipecah.
|
||
Di kali Mang, 2 pal dari Telok Poetjoeng, pasukan
pemberontak sekitar selusin orang sudah terlihat di sisi jalan. Asisten
Residen polisi meminta meletakkan senjata. Lalu senjata pisau, golok, klewang
dan tombak dimuat ke dua gerobak.
|
||
Pasukan merangsek ke Kali Abang (Telok Poetjoeng).
Pasukan Stoecker bertemu pemberontak. Mereka beresenjata klewang, tombak dan
beberapa senapang. Setelah dikepung diminta menyerah.
|
||
Para pemberontak yang dalam posisi dikepung sempat
terdengar satu teriakan untuk melawan. Namun para pemberontak mengikuti
perintah musuh (pasukan militer) dengan membaringkan badan (tiarap) di tanah.
Diantara pemberontak yang berbaring di tanah masih tampak seorang yang
berdiri dengan senjata. Untuk menghindari para pemberontak bangkit mengikuti
yang berdiri, para pasukan militer mengikat
para pemberontak yang berbasing dengan tali agar menghambat gerakan
mereka selanjutnya.
|
||
Para pemberontak akhirnya menyerah tanpa perlawanan.
Gerobak yang bersisi senjata juga dibawa ke Bekasi. Sebanyak 162 yang ditangkap
(dalam posisi terikat) akan dibawa oleh satu detasemen kavelari ke Bekasi
untuk ditahan. Diantara tahanan ini terdapat
orang yang melakukan pembunuhan terhadap Asisten Residen.
|
||
Pasukan infantri melakukan penyusuran hingga pal 20.
Namun karena pasukan yang sudah tampak lelah diputuskan kembali ke Bekasi.
Tahanan dibawa ke Bekasi dimana penjara sebagai markas. Ekspedisi akan
dilanjutkan esok harinya.
|
||
04-04-1869
|
Minggu
|
Pasukan dan Residen mulai bergerak ke Tamboen tempat
dimana Asisten Residen dan sherif dibunuh (Djaksa berhasil meloloskan diri). Pada
saat perjalanan dilakukan 5 pal terlihat Kongsihuis dari penyewa lahan Bapak
Beirah yang menjadi tempat tinggal anaknya yang dibakar masih berasap dan
kayu-kayu yang membara. Yang terbakar dari kayu yang terbuat dari batu masih
utuh. Tubuh Dr. Amenoellah ditemukan di depan halaman dalam kondisi
dimutilasi.
|
(Sementara itu) Detasemen Buitenzorg dengan kekuatan 60
orang Eropa yang dipimpin Letnan Opscholten yang didampingi Asisten Residen
Buitenzorg Muschenbroek tiba pagi di Bekasi.
|
||
Setelah bertemu Asisten Residen dengan Residen, pada
hari yang sama Asisten Residen bersama Residen kembali ke Batavia. Asisten
Residen selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke Buitenzorg.
|
||
Pada sore hari jenazah Asisten Residen dan Sherif
Meester Cornelis dimakamkan di Tanah Abang di Batavia dengan upacara militer.
|
||
Ekspedisi Kapten Stoecker dihentikan dan sore hari
kembali ke Bekasi. Tujuan utama untuk meyakinkan penduduk dan menangkap
pemimpin utamanya mandor dari Tjibaroesa. Namun sang mandor yang bernama
Raden Koesoema tidak ditemukan dan diduga telah pergi ke Tjibaroesa. Dua
kompagnie (pasukan) dari Batalion ke-11 akan kembali ke garnisun di Meester
Cornelis besok hari.
|
||
Raden Kosoema akan dikejar oleh asisten penduduk
Buitenzorg dengan pasukannya yang terdiri dari enam puluh orang. Perbatasan
Krawang dijaga ketat.
|
||
05-04-1869
|
Senin
|
Untuk tugas pengamanan di Bekasi ditransfer kepada satu
detasemen infantri dari Tjilingsie.
|
Sore jam 6 tiba detasemen kavelary di bawah komando
Letnan Ritmeester Jhr dan Letnan Dussenten Bosch. Pasukan berkuda ini akan
membantu infantri untuk patroli di Kaliabang, Tjikarang, Tjitaroem dll.
|
||
06-04-1869
|
Selasa
|
Ada lporang dari pendeta Biekhof di Depok. Residen
Batavia dan didampingi sheriff berangkat ke Depok dengan membawa pasukan 70
orang.
|
Di Depok , Residen tidak menemukan indikasi. Residen
pada malam harinya memutuskan kembali ke Batavia dengan meninggal sebanyak 25
orang militer untuk keamanan dan melakukan penyelidikan di Ratoe Djaja.
|
||
Bapa Toenda, salah satu pemimpin utama perlawanan di
Bekasi, pada tanggal 6 ini di Residentie Krawang tertangkap dan ditawan ke
Meester Cornelis. Juga Tugat dari Tjibaroesa ditangkap di Krawang.
|
||
Dari introgasi yang dilakukan terhadap Toenda dan Tugat
diperoleh keterangan bahwa Gerakan Buitenzorgsche dan kampung Ratoe-Djaya,
telah dimulai.
|
||
08-04-1869
|
Kamis
|
Di Tjimanggis ditangkap sebanyak 10 orang. Jumlah yang
ditangkap dan ditahan pada hari pertama (tanggal 4) sebanyak 162, kini
jumlahnya keseluruhan menjadi 172 orang.
|
Yang ditangkap di Tjimanggis termasuk Bapa Kollot alias
Raden Malang, salah satu pemimpin pemberontakan bersama istrinya, ayah mertua
dan saudara ipar. Selain itu, Nisa kepala Ratoe Djaja, Sipitang dan Boeang
pembantu dari Rama alias Pangeran Alibasa, kepala penghasut pemberontak yang
beberapa waktu lalu (12-17 Maret) mengadakan pesta dan mengadakan pertemuan
serta di Tjilingsi Aijang Toebagoes Glentjer dan istrinya, dua diantara
penggagas utama pertemuan tersebut.
|
||
Mereka yang ditangkap ini dibawa dan ditahan di Depok
di bawah pengawasan detasemen infantri Tjimanggis.
|
||
Dalam penyelidikan ini termasuk pelukis terkenal Raden
Saleh. Yang ditangkap di Buitenzorg. Penangkapan ini berdasarkan informasi yang
muncul di Depok bahwa Raden Saleh datang ke Ratoe Djaja pada saat pesta/pertemuan
dilakukan pada tanggal 14 Maret.
|
||
Informasi ini berasal dari orang Depok mengeluh ketika
Residen Batavia datang ke Depok. Disebutkan bahwa Raden Saleh, pelukis
terkenal yang pernah belajar di Belanda tidak hanya telah menghadiri pesta
tetapi telah berperan aktif di Ratoe Djaja.
|
||
12-04-1869
|
Senin
|
Residen Batavia berangkat ke Buitenzorg pagi ini dan
akan melanjutkan ke Bekassie melalui Depok. untuk melanjutkan peninjauan dari
kasus ini.
|
Alasan Residen Batavia ke Buitenzorg yang turut
didamping jaksa penuntut umum dalam rangka tuduhan terhadap Raden Saleh.
Sebagaimana diketahui Raden Saleh tidak hanya memiliki rumah di Menteng
tetapi juga di Buitenzorg (di Empang).
|
||
Dalam kasus Raden Saleh, diketahui dari penyelidikan
yang mengaku sebagai Raden Saleh adalah Bapak Kollot alias Raden Malang.
Dalam pesta/pertemuan di Ratoe Djaja, Bapak Kollot di depan publik mengaku
sebagai Raden Saleh. Pada situasi inilah ‘mata-mata’ dari Depok yang hadir
menginformasikan kepada pendeta Biekhof. Informasi inilah yang kemudian
disampaikan oleh pendeta Biekhof ketika Residen Batavia berada di Depok pada
tanggal 6 April.
|
||
Sementara di sisi penduduk, pengakuan Raden Saleh alias
Bapak Kollot menjadi daya tarik sendiri untuk membangkitkan semangat undangan
yang hadir, Kehadiran Raden Saleh di pesta/pertemuan Ratoe Djaja telah
mengalami difusi secara cepat di seluruh Afdeeling Buitenzorg dan Afdeeling
Bekasi.
|
||
Dari Buitenzorg, atas kemauan sendiri, Raden Saleh
bersama Residen dan dan jaksa penuntut berangkat ke Depok untuk mempertemukan
Raden Saleh dengan Bapak Kollot. Dari hasil konfrontir ini bahwa Bapak Kollot
telah menyalahgunakan nama Raden Saleh.
|
||
Selanjutnya media menyindir Residen sebelum ke
Buitenzorg seharusnya memastikan kebenaran tuduhan terhadap Raden Saleh.
|
||
Bapak Kollot telah berhasil membentuk opini dan
membangun semangat penduduk. Sementara Residen Batavia telah gagal
mengklarifikasi informasi yang berasal dari pendeta Biekhof. Dalam hal ini
Bapak Kollot kalah taktis dibandingkan Residen.
|
||
19-04-1869
|
Minggu
|
Di Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia telah
dilakukan oleh satu detasemen untuk memastikan situasi dan kondisi keamanan.
Datasemen ini juga untuk mendukung polisi dalam penyelidikan terhadap
pemberontak, Detasemen kavelery ini telah menyisir wilayah rata-rata 23 pos
per hari selama 14 hari.
|
Sumber: (periode April 1869-April 1870)
Bataviaasch handelsblad
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad
Didukung sejumlah surat kabar yang terbit di Belanda
|
Salam.. Mas mau tanya kalo arsip yang menjelaskan tentang rama ratu jaya apa ya namanya.. Saya cari di arsip nasional gak ada.. Mohon infonya terimakasih 🙏
BalasHapusSaya juga belum menemukan. Oleh karena itu saya coba menyusun sendiri berdasarkan sumber surat kabar tempo dulu. Sumber surat kabar saya sebutkan dalam tulisan. Demikian
HapusBp Rama adalah pangeran Alibassa dari kepangeranan Gebang Cirebon.
BalasHapusMau tanya letak geografis sama demografis kelurahan ratu jaya ada ga ya webnya?
BalasHapus