Laman

Senin, 08 Juli 2019

Sejarah Bekasi (16): Sejarah Kesehatan di Bekasi; Rumah Sakit Terdekat Weltevreden dan Kematian Dr Aminoelah Tahun 1869


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Dibanding wilayah lainnya, wilayah Bekasi sangat beruntung memiliki akses ke rumah sakit berkualitas di Weltevreden, Batavia. Hal ini karena wilayah Bekasi begitu dekat dengan Weltevreden dan Bekasi sendiri adalah bagian dari wilayah Residentie Batavia. Jelas bahwa akses ke rumah sakit di Weltevreden tidak mudah, apalagi bagi penduduk biasa. Untuk itu, pemerintah kolonial Belanda mulai menempatkan satu orang Docter Djawa di kota Bekasi. Namun sang dokter harus terbunuh pada tahun 1869.

Docter Djawa School 1902 dan kota Bekasi (Peta 1901)
Orang Eropa/Belanda, sejak era VOC sudah mendapat layanan medis dan ditangani oleh dokter-dokter profesional yang didatangkan dari Belanda. Akan tetapi bagi penduduk lokal layanan medis dan ditangani oleh seorang dokter baru terjadi setelah tahun 1851. Ini sehubungan dengan pendirian sekolah kedokteran bagi pribumi (Docter Djawa School) di Batavia pada tahun 1851 dan lulusannya dikirim ke berbagai tempat yang membutuhkan, termasuk Bekasi. Kebutuhan dokter lulusan Docter Djawa School pada awalnya dipicu oleh munculnya epidemik.  

Setelah hampir satu abad Bekasi membutuhkan tempat pelayanan kesehatan, akhirnya rumah sakit Bekasi dibangun dan dibuka untuk umum pada tanggal 4 Februari 1939 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-02-1939). Rumah sakit inilah yang kelak menjadi cikal bakal rumah sakit daerah (kota) Bekasi yang sekarang. Lantas bagaimana itu semua berproses? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Rumah Sakit Kota di Batavia dan Akses Penduduk Bekasi

Pada tanggal 16 November 1842 di kampong Karatan di land Telok Poetjong, Bakassie seorang pemuda pemberani, Ramein bertarung dengan harimau dan mendapat banyak luka di badan yang lalu dibawa ke rumah sakit kota di Batavia (lihat Nederlandsche staatscourant, 06-04-1843). Berita inilah yang diduga untuk kali pertama terhubung masalah medis di Bekasi dengan pusat medis di Weltevreden di Batavia. Harimau berhasil dibunuh, Ramein tertolong dan tetap hidup karena rumah sakit kota.

Pada tahun 1863 terjadi peristiwa yang menyeramkan di satu kampong di land Tamboen. Benkeng Bapa Boedien membunuh anggota keluarganya (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1863). Disebutkan Benkeng pada pukul 9 pagi Bapa Boedien membunuh istri dan salah satu anaknya, seorang bocah lelaki berusia sekitar 7 tahun, bernama Laidien, di rumahnya dan kemudian juga bocah lelaki sekitar 9 tahun bernama Kaidien, menimbulkan beberapa luka. Setelah itu Benkeng melarikan diri dan pergi ke sawahnya, tempat putra sulungnya, seorang anak lelaki berusia sekitar 13 tahun, bernama Boedien. Setelah memberi tahu pemuda ini untuk pulang bersamanya dan setelah tiba di sana, Bapa Boedien segera menarik goloknya keluar dari sarungnya dan ingin membunuh bocah ini, tetapi ia berhasil melarikan diri dari bahaya. Selanjutnya, Bcnkcug Bapa Boedien pergi ke tempat yang jauh dari rumah ke rumah Sapi-i, dimana ia meminta sedikit sirih pada saat kedatangan. Setelah Sapi-i membuka pintu dan memberi Bapa Boedien sirih yang diminta. Bapa Boedien mengajak Sapi-i pergi untuk melihat topeng tetapi Sapi-i menjawab tidak sempat. Bcnkeng Bapa Boedien, yang datang dengan golok, memulai pembunuhannya dan memberikan lima luka besar pada Sapi-i juga kepada istrinya, bernama Raraeh menerima luka besar di kanan di atas dahi. Mendengar teriakan minta tolong, ayah Sapi-i, yang tengah berada di sekitar bergegas masuk, dan dia juga segera menerima tebasan golok. Lian Bapa Sapii kemudian bergulat dengan Bapa Boedien dan berhasil merebut golok dan dengan demikian mengakhiri pembunuhan dan pertumpahan darah, Benkeng Bapa Boedien yang telah mendapat beberapa luka di kepala tewas di tempat. Penyebab kekejaman ini sejauh ini tidak diketahui. Empat orang yang terluka kemudian dikirim ke rumah sakit kota (di Weltevreden) untuk dirawat, sementara mayat Bcnkeng Bapa Boedien dan istrinya bernama Kentjam Ma Boedien dikubur oleh putra mereka, Laidien.

Pada tahun 1869 terjadi peristiwa kerusuhan di Tamboen. Dokter Aminoelah yang ditempatkan pemerintah di kota Bekasi ikut terbunuh dalam kerusuhan tersebut. Sejatinya Dr Aminoelah didatangkan ke TKP untuk memeriksa korban yang terluka dan masih bisa ditolong dan telah berhasil menjahit luka para korban. Dr Aminoelah saat itu sedang bertugas di Tamboen dalam mengobati penduduk penderita cacar. Namun dalam perkembangan situasi para perusuh juga melampiaskan kemarahan dengan membunuh Dr Aminoelah di tengah sawah (lihat Bataviaasch handelsblad, 10-04-1869). Penolong orang Bekasi tidak dapat ditolong.

De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant, 19-01-1855
Setelah kematian Dr Aminoelah di Tamboen 1869 tidak pernah lagi terdengar tentang keberadaan dokter di Bekasi. Dr Aminoeddin adalah alumni Docter Djawa School. Sekolah kedokteran bagi pribumi ini didirikan pada tahun 1851 di rumah sakit kota di Weltevreden (kini RSPAD). Pada tahun 1854 dua siswa asal Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School (lihat De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant, 19-01-1855). Si Asta dan Si Angan adalah dua siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Dua tahun berikutnya kembali dua siswa asal Mandailing en Angkola diterima di Docter Djawa School. Demikian seterusnya secara periodik.

Inilah surat terakhir dari Dr Aminoelah yang dapat dibaca: Atas perintah Officier van Gezondheid eerste klasse te Batavia, saya berangkat pada tanggal 5 November ke Cheibibon untuk memberitahu orang-orang tentang penyakit yang ada di kalangan penduduk asli dan untuk menyediakan obat-obatan. Saya adalah orang pertama yang pergi ke desa-desa yang terletak di Pantai Laut, dimana saya melihat bahwa orang-orang berada di rawah, di tempat-tempat rendah. di pantai laut, sehingga setidaknya hujan bandjir memasuki rumah mereka dan ini terus-menerus lembab dan basah. Orang-orang yang tinggal disana menemukan mata pencaharian mereka dalam memancing dan bertani. Saya secara khusus menyebutkan nama-nama desa sebagai berikut (tidak diulang disini). Sebagian besar dari mereka juga dipenuhi dengan pohon-pohon yang menghalangi ventilasi dan mengumpulkan penguapan rawa-rawa; mereka juga sama sekali tidak bersih melalui kebersihan dan menjaga kebersihan, sehingga saya mengklaim bahwa asal epidemi didasarkan pada penyebab miasmatik. Selain itu, profesi pekerja sawah atau nelayan adalah pekerjaan yang basah dan tidak sehat, yang juga berdampak buruk. Tata letak rumah-rumah juga paling mengkhawatirkan. Jika rumah mereka masih dibangun di atas panggung, seseorang dapat menaruh banyak kebersihan pada mereka, tetapi sekarang, ketika mereka rumah mereka berdiri di tanah, yang tidak pernah menjadi kering, mereka benar-benar gua wabah. Tanpa jendela atau bukaan yang memancarkan udara, selalu ada atmosfer kotor yang tidak dapat dihilangkan sinar matahari atau hembusan angin, karena sinar dan angin tidak memiliki akses ke sana. Apakah mengejutkan bahwa saya menemukan banyak penderita di sana? Di antara gejala yang saya catat: 10 orang penerita Hidraemia dan anemia (berair dan kekurangan darah); 20 penderita Physconia (pembesaran dan pengerasan limpa.); 30 Hidrops (Gila.) Saya menganggap fenomena ini sebagai hasil dari demam keras pada kepala, dimana orang tidak tahu apa-apa. Gambaran umum penderita adalah Febris remiltens (demam intermiten), Felris biliosa (demam empedu), Febris perniciosa (demam Bataviasebe), Febris eatarrhalis (demam tenggelam). Umumnya orang meninggal akibat demam Bataviasche. Saya menduga karena otak vesus dirasakan oleh kantuk pasien, yang sering berubah menjadi kematian. Saya menggunakan sedikit berbeda dari kina dalam dosis 15 butir untuk orang dewasa dan secara proporsional untuk anak-anak dan banyak mengalami peningkatan sebagai hasilnya. Tetapi peningkatan yang memuaskan hanya bisa diharapkan dari penataan rumah yang lebih baik dari ventitalia, kebersihan, dan segala sesuatu yang menyertainya. Batavia, 18 Maret 1868. AMINOELAH, Dokter Djawa (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-04-1868). Besar dugaan Dr. Aminoelah ditugaskan kembali ke Tamboen untuk menangani epidemik hingga menemui kematiannya.

Kehadiran dokter kembali di Bekasi baru dilaporkan pada tahun 1887 (lihat Bataviaasch handelsblad, 21-02-1887). Hampir dua dasawarsa penduduk Bekasi tidak tersentuh oleh praktek medis modern. Dalam berita itu disebutkan pada tanggal 19 kemarin terjadi perkelahian sengit di Becassie antara seorang djagoan pribumi di sini dan polisi, yang ingin menangkapnya. Hasilnya adalah sang polisi terluka dengan golok di kepala. Setelah tindakan pertama dilakukan oleh seorang Docter Djawa Becassie, polisi ini kemudian ditransfer ke rumah sakit kota di Batavia.

Dr. Aminoelah yang terbunuh tahun 1869 di Tamboen diduga kuat adalah kakek Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D. Sang cucu meneruskan karir sang kakek. Aminoeddin Pohan kelahiran Sipirok masuk STOVIA (suksesi Docter Djawa School) pada tahun 1916. Setelah lulus ia menjadi dokter pemerintah dan kemudian melanjutkan studi ke Belanda dan berhasil mendapat gelar doktor (Ph.D) di Universiteit Leiden 1931 dengan judul desertasi: ‘Abortus, voorkomen en behandeling’. Setahun kemudian menyusul Aminoedin Pohan lahir di Sipirok meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Utrecht 1932 dengan desertasi berjudul ‘Abortus: voorkomen en behandeling’. Sepulang dari Belanda Aminoeddin Pohan mengundurkan diri dari pegawai pemerintah, tetapi kemudian diusulkan oleh Dr Abdul Rasjid Siregar (anggota Volksraads; lulus STOVIA 1912) dan bersaing dengan dokter-dokter Belanda untuk posisi direktur rumah sakit Padang Sidempoean yang akan segera dibuka tahun 1936. Akhirnya yang dipromosikan Menteri Kesehatan ke Padang Sidempuan adalah Aminoeddin Pohan. Setelah dua tahun menata rumah sakit Padang Sidempoean Dr. Aminoeddin Pohan dipindahkan ke Semarang dan penggantinya di Padang Sidempoean adalah Dr. M.M. Hilfman. Pada tahun 1940, Dr. Aminoeddin, Ph.D dipindahkan ke Departemen Kesehatan di Batavia.

Epidemik dan Pembangunan Rumah Sakit di Bekasi

Pada tahun 1896 terjadi epidemik. Untuk itu pemerintah melakukan vaksinasi bagi penduduk (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1896). Disebutkan bahwa untuk di wilayah Residentie Batavia sebanyak sepuluh distrik akan di vaksin yaitu: Batavia, Meester Cornelis, Bekasi, Tjikarang, Tangerang, Blaradja, Depok, Penjawoengan, Buitenzorg dan Djonggol. Tugas vaksinasi ini dilakukan oleh Docter Djawa yang ditunjuk.

Sejak awal rumah sakit di Weltevreden dibedakan antara rumah sakit kota (Stadsverband) dengan rumah sakit Weltevreden (hospital). Rumah sakit (hospital) Weltevreden adalah rumah sakit militer, suatu rumah sakit yang pertama didirikan sejak era Pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan rumah sakit kota adalah rumah sakit yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah untuk melayani publik. Pada tahun 1909 di Residentie Batavia paling tidak sudah tercatat dua buah hospital dan dua buah stadsverband (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-11-1909). Rumah sakit berada di Weltevreden dan di Tandjoeng Priok, sedangkan stadsverband berada di Tjikini (Weltevreden) dan Tandjoeng Priok. Bangunan rumah sakit baru di Batavia selesai pada tahun 1913 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1921).  

Beberapa tahun kemudian di Tangerang dan Buitenzorg didirikan rumah sakit. Di Tangerang keberadaan rumah sakit paling tidak sudah diketahui tahun 1930 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-01-1930). Pembangunan gedung baru rumah sakit Tangerang ini sempat ditunda tahun 1924 karena alasan keterbatasan anggaran (lihta De Maasbode, 05-08-1924). Pembangunan gedung rumah sakit ini akan dilakukan di eks kantor BOW yang akan memiliki kapasitas 250 pasien (lihat De Sumatra post, 07-12-1925). Sementara di Buitenzorg didirikan rumah sakit swasta yakni Roode Kruis Ziekenhuis. Rumah sakit ini telah menjadi rujukan di wilayah Buitezorg (lihat Bredasche courant, 25-04-1933). Rumah sakit yang mulai didirikan tahun 1931 ini kini dikenal sebagai rumah sakit PMI.

Akhirnya pada tahun 1939 sebuah rumah sakit didirikan di Bekasi dan akan dibuka pada tanggal 4 Februari 1939 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-02-1939). Ini dengan sendiri di seluruh Residentie Batavia sudah tersedia rumah sakit setelah sebelumnya sudah tersedia rumah sakit di Tangerang dan Buitenzorg.

Bataviaasch nieuwsblad, 01-02-1939
Dalam pembukaan rumah sakit di Bekasi yang dilakukan pada Abtu pagi dihadiri oleh banyak pihak termasuk Residen Batavia, Mr. HA van Loghem (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-02-1939). Disebutkan pembangunan rumah sakit ini atas inisiatif Mr. MC Voorn (Asisten Residen Meester Cornelis) dan Dr BK Zon (dokter pemerintah di Batavia). Rumah sakit ini dibangun terletak tidak jauh dari kantor Wedana. Rumah sakit kecil ini terdiri dari galeri depan, juga ruang tunggu, ruang pemeriksaan, yang ruang tengahnya diatur, sementara ruangan lain dimaksudkan untuk rawat inap. Selain lembaga rumah sakit tersebut di dalam gedung ini juga ada kantor konsultasi (klinik) untuk bayi dan ibu hamil di Bekassi yang dipimpin oleh bidan yang berkualifikasi. Gedung rumah sakit ini dibangun atas dukungan dari para landheer dari land Tamboen, land Gaboes dan land Teloekpoetjoeng. Siapa nama landheer dari ketiga land tersebut tidak dinyatakan.

Itulah sejarah panjang kesehatan di Bekasi dan sejarah singkat rumah sakit Bekasi. Rumah sakit ini terus berkembang hingga ini hari yang disebut rumah sakit umum daerah Bekasi (RSUD Kota Bekasii).


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar