Laman

Sabtu, 28 September 2019

Sejarah Bogor (29): Sejarah Bojong Gede dan Abraham van Riebeeck, 1701; Tempo Dulu Bodjong Manggis, Kini Bojong Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bojong Gede adalah sejarah yang panjang, yakni sejak era Bodjong Manggis hingga era Bojong Baru. Pada tahun 1701 pemerintah VOC/Belanda memberi izin kepada Abraham van Riebeeck untuk memiliki land di Bodjong Manggis dan Bodjoeng Gede (lihat Daghregister 1701). Lahan di Bodjong Manggis dan di Bodjong Gede inilah kemudian yang dikenal sebagai tanah partikelir (land) Bodjong Gede. Sebagaimana diketahui, land adalah domain awal dalam pembentukan wilayah yang sekarang.

Bojong Gede (Peta 1900)
Pada tahun 1684 pemerintah VOC/Belanda memberikan hadiah kepada Majoor Saint Martin dua lahan paling subur di hulu daerah aliran sungai Tjiliwong di Tjinere dan Pondok Terong. Hadiah ini diberikan pemerintah VOC/Belanda karena Majoor Saint Martin berhasil memulihkan situasi di wilayah (kesultanan) Banten. Dua lahan ini kemudian dibentuk menjadi land Tjinere dan land Pondok Terong/Tjitajam. Dalam perkembangannya, di sisi utara land Tjinere dibentuk land baru yang dimiliki oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek yang membangun masjid (kesultanan) Banten. Land ini kemudian dikenal sebagai land Ragoenan. Pada tahun 1895 Cornelis Chastelein diberi izin memiliki lahan di sisi timur land Tjinere di Sering Sing (kemudian dikenal sebagai land Srengseng). Setelah Abraham van Riebeeck membuka pertanian di land Bodjong Gede, menyusul Cornelis Chastelein tahun 1703 membuka land baru di Depok (land Depok). Semua lahan-lahan ini adalah land-land awal di hulu sungai Tjiliwong. Untuk sekadar catatan: land Bloeboer baru dibentuk pada tahun 1750 yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff. Pada era Gubenur Jenderal Daendels (1808-1811) ibu kota pemerintah Hindia Belanda dibentuk dengan nama Buitenzorg (land Bloeboer).     

Lantas bagaimana sejarah lebih lanjut Bojong Gede? Pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam artikel ini dengan menelusuri sumber-sumber tempo doeloe mulai dari era Abraham van Riebeeck (Bodjong Manggis) hingga era masa kini (Bajong Baru). Mari kita mulai dari kiprah Abraham van Riebeeck.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Abraham van Riebeeck: Introduksi Tanaman Kopi

Isaack de St. Martin (Majoor Saint Martin), pemilik land Pondok Terong/Tjitajam sudah lama tiada, meninggal dunia tahun 1696 (lihat Daghregister, 14 April 1696). St Martin disebutkan meninggal dunia dalam status lajang. Propertinya di Hindia diambil kembali oleh pemerintah karena ahli warisnya tidak ada yang tinggal di Hindia (begitu peraturannya). Sementara itu, Cornelis Chastelein sudah mulai intens mengusahakan lahannya di Sering Sing (kini Lenteng Agung). Penulisan buku botani tujuh volume warisan Rumphius yang juga belum tuntas diselesaikan Saint Martin telah diambil alih oleh Cornelis Chastelein.

Pada tahun 1703 Abraham van Riebeeck memimpin ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong dan Preanger. Tentu saja Abraham van Riebeeck bertemu dengan Cornelis Chastelein di Sering Sing. Setelah kepulangan ekspedisi ini, Abraham van Riebeeck diizinkan Gubernur Jenderal membuka lahan di Bodjong Manggis dan Bodjong Gede (dua lahan yang berdekatan). Cornelis Chastelein juga diketahui telah membeli lahan baru di Depok. Dengan demikian di hulu sungai Tjiliwong sudah terdapat cluster lahan pertanian: milik alm. Saint martin di Tjinere dan di Pondoek Terong/Tjitajam; milik Cardeel di Ragoenan, seorang mualaf yang sebelumnya adalah seorang penasehat Sultan Banten; milik Cornelis Chastelein di Sering Sing dan di Depok; serta milik Abraham van Riebeeck di Bodjong Manggis dan di Bodjong Gede. Keempat orang yang berbeda latar belakang ini sama-sama menyukai bidang pertanian: Cardeel (arsitek); Saint Martin (tentara profesional); van Riebeeck (sarjana hukum) dan Chastelein (birokrat). Mereka inilah pionier di hulu sungai Tjiliwong dan lahan-lahan yang mereka kuasai adalah lahan-lahan pertama yang diusahakan di hulu sungai Tjiliwong. Lahan Bodjong Manggis dan lahan Bodjong Gede adalah lahan terjauh dari Batavia.     

Setelah pulang ekspedisi dari hulu sungai Tjiliwong, Abraham van Riebeeck kemudian dipromosikan menjadi Directeur Generael (lihat Daghregister 26 Mei 1703). Suatu jabatan yang pernah dipegang oleh Cornelis Chastelein.

Rute ekspedisi yang dipimpin Abraham van Riebeeck dimulai dari pelabuhan Tjililitan dilanjutkan dengan perahu ke hulu sungai Tjiliwong melewati Tandjoeng (kini Pasar Rebo) dan Sering Sing (kini Serengseng Sawah). Sudah barang tentu tim ekspedisi bermalam di real estate Cornelis Chastelein di Sering Sing. Dari Sering Sing perjalanan dilanjutkan melalui Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong dan Bodjong Gede. Tim ini juga melaporkan hasil ekspedisi ke Priangan di Tjiandjoe (melewati Gadok dan Tjisaroea). Besar kemungkinan saat di Bodjong Gede inilah  Abraham van Riebeeck tertarik untuk memiliki land Bodjong Manggis (Bodjoeng Gede).

Tidak lama sepulang dari ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong, Abraham van Riebeeck ditempatkan sebagai Gubernur di Malabar (tempat dimana dulu tahun 1662 Abraham van Riebeeck memulai karir militer). Penempatan Abraham van Riebeeck ke Malabar terkait dengan semakin meningkatnya eskalasi politik di Malabar (India selatan). Sepulang dari Malabar (India Selatan), van Riebeeck tidak lama kemudian menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1709. Abraham van Riebeeck yang juga telah memiliki lahan di Kedaoeng dan di Pondok Poetjoeng (di daerah aliran sungai Tangerang) mulai memikirkan introduksi tanaman kopi dengan mendatangkan bibit dari Malabar.

Pada tahun 1710 Abraham van Riebeeck mengambil inisiatif untuk mengintroduksi tanaman kopi di Hindia. Lalu bibit kopi didatangkan dari Malabar ke Hindia. Penanamannya dimulai di Kedawong tahun 1711. Lalu dari Kedaoeng kemudian menyebar hingga hulu sungai Tangerang/Tjisadane dan hulu sungai Tjiliwong. Inilah awal mula VOC/Belanda memperkenalkan kopi di Indonesia (baca: Hindia). Berdasarkan catatan harian Kasteel Batavia Daghregister 7 September 1712 Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck bersama Cornelis Chastelein berangkat ke land-land yang berada di Krawang. Kunjungan ke hulu sungai Tjitaroem ini diduga dalam rangka untuk memperluas introduksi tanaman kopi. Almanak, 1829

Sampai sejauh ini, para pionier di hulu sungai Tjiliwong dapat dikatakan orang-orang VOC/Belanda yang secara sadar dapat dianggap sebagai pionier pembangunan pertanian di Indonesia (baca: Hindia). Kisah para pionier ini secara tidak langsung mengindikasuikan sejarah awal dimulai di Tjinere, Tjitajam, Sering Sing, Depok, Ragoenan dan Badjong Gede.

Dalam perkembangannya Hendrik Lucasz Cardeel dikabarkan meninggal tahun 1711. Lahan Ragoenan kemudian diteruskan oleh putri semata wayangnya Helena, yang pernah menjadi mualaf. Namun nama Hendrik Lucasz Cardeel di tengah masyarakat sudah kadung dikenal sebagai Pangeran Wira Goena (pemberian gelar dari Kesultanan Banten). Dari sinilah kemudian nama lahan itu dikenal sebagai land Ragoenan (pelafalan masyarakat dari Wira Goena). Sementara itu, program introduksi kopi yang dilakukan oleh Abraham van Reibeeck dan Cornelis Chastelein ini belum sepenuhnya tuntas, dikabarkan Abraham van Reibeeck meninggal dunia pada tanggal 17 November 1713 di Batavia. Berita kematian Abraham van Reibeeck ini sesuai dengan Daghregister 17 November 1713. Sebagai pengganti Abraham van Reibeeck diangkat Christoffel van Swol (1713-1718). Pada tanggal 18 Mei 1714 (sesuai Daghregister) istri alm. Abraham van Reibeeck meninggal dunia. Lalu kemudian, Cornelis Chastelein tinggal sendiri. Namun tidak lama kemudian, setelah kematian Abraham van Reibeeck kemudian Cornelis Chastelein dikabarkan meninggal dunia pada tanggal 28 Juni 1714 di Depok. Setahun kemudian, putra semata wayang alm Cornelis Chastelien yakni Anthonij Chastelejn dikabarkan meninggal pada tanggal 8 Februari. 1715 (sesuai tanggal Daghregister). Habis sudah para pionier di hulu sungai Tjiliwong. Land Depok kemudian diketahui telah diwariskan kepada para pekerja Cornelis Chastelein. Sementara itu, hingga satu abad kemudian tahun 1929 lahan yang disebut Ragoenan ini tetap dikelola oleh keluarga Cardeel dengan mengusahakan perkebunan buah-buahan (Algemeen Handelsblad, 28-07-1929).

Land Bodjong Gede
 
Pada era pendudukan Inggris, land Bodjong Gede diketahui telah dimiliki oleh Simon Dirks. Pada tanggal 17 Juni 1814 dikabarkan Simon Dirks meninggal dunia pada usia 48 tahun (lihat Java government gazette, 25-06-1814). Namun pendudukan Inggris yang beribukota di Buitenzorg ini tidak lama hanya sekitar lima tahun (1811-1816) dan dikembalikan ke Pemerintah Hindia Belanda.

Pada permulaan kekuasaan (kembali) Pemerintah Hindia Belanda, dimulai lagi dengan kebijakan baru. Satu kebijakan strategis adalah soal penetapan perawatan jalan dan jembatan, rute dan tarif angkutan gerobak/pedati (lihat Bataviasche courant, 31-05-1817). Dalam daftar tarif disebutkan tarif angkutan pedati untuk mengangkut barang dari Buitenzorg ke Bodjong Gede sejauh 10 pal sebesar 15 cent.

Pada tahun 1826 Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia dipimpin oleh seorang Asisten Residen yang yang berkedudukan di Buitenzorg yang terdiri dari lima distrik: Buitenzorg; Tjibinong, Parong, Tjibaroesa dan Djasinga (lihat Bataviasche courant, 04-10-1826). Land Bodjong Gede termasuk district Paroeng.

Landhuis Bodjong Gede (Peta 1900)
Land adalah tanah partikelir dimana intervensi pemerintah sangat minim. Di dalam land yang berkuasa penuh adalah landheer (tuan tanah). Setiap lanad terdapat sejumlah kampong. Setiap kampong memilih pemimpinnya yang bertindak sebagai mandor untuk landheer. Para mandor ini di bawah arahan seorang Tjamat yang mana Tjamat berada di bawah perintah Asisten Residen (melalui kepala district). Para tuan tanah membangun tempat tinggal sendiri (landhuis) yang mana dalam hal ini landhuis dapat diposisikan sebagai ibu kota di dalam land.

Pada tahun 1831 terbit ketetapan rute transportasi pedati dari Buitenzorg (lihat Javasche courant, 26-05-1831). Ketentuan ini untuk melengkapi dekrit Gubernur Jenderal No 15 tahun 1817. Dari Buitenzorg melalui tiga jalur: (1) jalur sisi timur sungai Tjiliwong hingga Tjondet dan kemudian barang diteruskan melalui sungai Tjiliwong ke Weltevreden, (b) jalur sisi barat ke Tangerang yang mana di Lengkong (kini Serpong) terbagi dua ke Tangerang dan ke Tjikandie, (c) jalur tengah melalui Bodjong Gede, terus ke Ratoe Djaja, Depok, Pondok Tjina, Tandjoeng West, Kampong Malajoe, Matraman, Menteng dan Prapattan.

Jalur tengah adalah jalur lalu lintas kuno sejak era Pakwan-Padjadjaran. Sedangkan jalur timur dan jalur barat baru berkembang sejak era VOC. Jalur tengah ini berada di sisi barat sungai Tjiliwong yang dimulai dari Pakwan-Padjadjaran menuju (pelabuhan) Soenda Kalapa melalui Kedong Badak, Tjilibeut, Bodjong Gede, Pondok Terong, Depok, Pondok Tjina, Sering Sing, Tandjoeng, Kampong Malajoe, Menteng, Tjikini dan Doeri. Jalur ini tidak pernah memotong sungai besar dari Pakwan-Padjadjaran hingga Soenda Kalapa.

Pada tahun 1836 pemerintah menetapkan kelas jalan. Jalan sisi timur sungai Tjiliwong (sejak era Daendels) dijadikan sebagai jalan kelas satu. Jalur tengah dan jalur barat dari Buitenzorg dijadikan jalan kelas dua. Dalam ketetapan ini juga jalur dari Buitenzorg ke Banten melalui Tjiampea dan Djasinga dijadikan jalan kelas dua (lihat Javasche courant, 30-01-1836). Jalan kelas satu di bawah perawatan pemerintah sedangkan jalan kelas dua dirawat oleh para pemilik land.

Jalur tengah (middenweg) termasuk lalu lintas yang ramai dan disukai  karena banyak tempat menginap (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-04-1866). Namun persoalannya menjadi lain ketika tahun 1865 dibuat kanal irigasi di sisi jalan sehingga lebar jalan semakin sempit dan kerap terjadi banjir yang menyulitkan lalu lintas gerobak/pedati. Kanal-kanal ini terdapat di land Bodjong Gede, land Tjitajam dan land Depok. Tiga puluh tahun sebelumnya pada tahun 1830 kanal dari Sering Sing dibangun menuju Batavia dengan membendung setu Babakan. Pada era Daendels sudah ditingkatkan kanal dari sungai Tjipakantjilan (Bondongan) ke land Kedong Badak dan land Tjilibeut. Pembangunan kanal Tjipakantjilan dan jembatan (Merah) dibangun pada era van Imhoff (1750). Dengan selesainya kanal Bodjong Gede, Tjitajam dan Depok maka kanal dari Buitenzorg menjadi terintegrasi dengan kanal-kanal yang berada di hilir hingga Batavia. Kelak, untuk meningkatkan debit air kanal lalu kanal Tjipakantjilan kemudian ditingkatkan dengan mengangkat air sungai Tjisadane dengan membangun bendungan (Empang) yang selesai pada tahun 1873.
 
Pada tahun 1970 rencana pembangunan jalur kereta api dari Meester Cornelis ke Buitenzorg semakin menguat. Ini suatu berita menarik untuk berkembang lebih lanjut di land Bodjong Gede. Pembangunan julur kereta api dimulai tahun 1871. Pada tahun 1872 halte dan rumah untuk petugas sudah selesai dibangun di Tjileboet, Bodjong Gede dan Tjitajam. Sementara di (land) Depok baru tuntas soal pembebasan lahan.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-03-1872: ‘Pembebasan tanah yang dibutuhkan dari land Depok telah berakhir, sehingga pekerjaan land clearing dimulai bulan berikutnya. Ballasting selalu sangat sulit karena posisi sungai yang tinggi. Ini khususnya terjadi di wilayah utara bagian bawah, dimana plot yang baru saja dibebaskan dan oleh karena itu sebagian penimbunan dibutuhkan. Gudang barang di stasiun di Buitenzorg, gudang pribadi dan gudang batu bara telah selesai; pembangunan gudang lokomotif dan menara air tengah dikerjakan serta pembuatan saluran drainase dan perataan, pemberian permukaan kerikil. Bangunan halte (perhentian) di Tjiliboet selesai, dan rumah petugas halte tengah dikerjakan dan kerangka kayunya sudah diatur. Di Bodjong Gedeh, fondasi bangunan halte dan kayu dari halte berhenti sudah selesai. Di Tjitajam, kayu untuk rumah penjaga halte sudah siap. Halte berhenti juga selesai’.

Dengan selesainya jalur kereta api melalui land Bodjong Gede, land yang selama ini lambat berkembang diharapkan dapat mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh land tentangga seperti land Tjileboet dan land Tjitajam.

Pengoperasian jalur kereta api Batavia-Buitenzorg akhirnya dimulai pada bulan Januari tahun 1873. Sangat beruntung land Bodjong Gede telah ditetapkan sebagai salah satu tempat pemberhentian kereta api (halte). Land-land lainnya yang juga mendapat halte adalah land Tjileboet, land Tjitajam, land Depok dan land Pondok Tjina.

Berdasarkan beslit pemerintah tanggal 24 September 1879 No 8 bahwa land Sading Djamboe dan land Tjoeroek Bitoeng atau Nanggoeng dipisahkan dari district Djasinga dan kemudian dimasukkan ke district Leuwiliang (lihat Bataviaasch handelsblad, 27-09-1879). Sementara itu sebelumnya, land Leuwiliang dan land Tjiampea serta land Tjiboengboelang termasuk district Paroeng.
.
Untuk sekadar catatan: pada awal pembentukan pemerintahan, land Sading Djamboe masuk district Tangerang bersama dengan land Roempin, tetapi kemudian dipisahkan dan dimasukkan ke district Djasinga (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-03-1870).

Dengan pembentukan district Leuwiliang maka sisa district Paroeng antara lain land-land Bodjong Gede, Tjilibeut, land Koeripan, land Paroeng, land Tjitajam, land Depok, l;and Tjinere dan land Pondok Tjina. Ibu kota district Paroeng berada di Paroeng. Kepala district disebut Demang.

Pada tahun 1908 dari lima distrik yang ada (Buitenzorg, Tjibinong, Paroeng, Tjibaroesa, dan Leuwiliang) dibentuk sejumlah onderdistrik yang dikepalai oleh asisten demang. Ondedistrik yang baru tersebut adalah Buitenzorg, Kedoengbadak, Tjiawi, Depok, Roempin, Paroengpandjang, Tjimanggis, Tjileungsi dan Djonggol (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-01-1908). Untuk membantu Asisten Residen yang berkedudukan di Buitenzorg diangkat tiga controleur yang berkedudukan di Buitenzorg, Tjitrep dan Leuwiliang. Land Bodjong Gede termasuk Onderdistrict Depok.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

10 komentar:

  1. Saya orang bojonggede sejak 1989. Tapi baru tahu sejarah bojonggede sekarang. Thanks for details story.

    BalasHapus
  2. Setau saya sejarah bojonggede bukan seperti itu, bojonggede salah satu wilayah yang sulit di takluki oleh kaum penjajah. Karena dukungan dari sultan banten. Yang dapat di kuasi oleh penjajah citayam dan cilebut dikarenakan mudah di perdaya. Adanya stasiun bojonggede di izinkan dari sultan banten melalui para ulama di bojonggede dan di buat oleh para santri. Saya dapat cerita dari para orang tua terdahulu dan saya keturunan (bisa di sebut buyut) dari Wan H Ennen bin H Riddin. Dan banyak lagi histori dari keturunan Wan H Abu Bakar, Keturunan Dari H Amsar dan Keturunan Dari H Cuin. Mereka yg memiliki lahan kopi di areal bojonggede. Yg di sebut kopi liong.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ngaco,, kesultanan banten musnah pd tahun 1816,, sedangkan jalur kereta bogor-jakarta dimulai pengoperasiannya pd tahun 1873. jadi sultan banten mana lg yg dimaksud?

      Hapus
    2. Apa yang dimaksud "H Riddin" itu Abu Bakar bin Raden Ridi bin Raden Panji bin Raden Kosim ?

      Hapus
  3. Bojong Gede itu Camat Pertama Bernama Camat Kanang (Engkong Kanang) Setelah Penjanjah Pulang.. Tijtayam... Pabuaran....
    ...........

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kanang bin Djisim, Benarkah beliau seorang Jawara di era nya?

      Hapus
    2. Perasaan ga pernah ada sejarah tentang Tajurhalang Nanggerang Sasak panjang ya

      Hapus