*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Bung Ridwan Saidi dan Bang MH Thamrin adalah tokoh beda generasi yang saya suka. Namun yang menjadi masalahnya adalah ketika Bung Ridwan Saidi bercerita tentang Bang MH Thamrin lebih banyak salahnya daripada benarnya. Padahal siapa yang seharusnya mewakili untuk menceritakan tentang Bang MH Thamrin, sosok yang paling tepat adalah Bung Ridwan Saidi. Sebab, Bung Ridwan Saidi dan Bang MH Thamrin sama-sama pernah tinggal di Sawah Besar.
Bung Ridwan Saidi dan Bang MH Thamrin adalah tokoh beda generasi yang saya suka. Namun yang menjadi masalahnya adalah ketika Bung Ridwan Saidi bercerita tentang Bang MH Thamrin lebih banyak salahnya daripada benarnya. Padahal siapa yang seharusnya mewakili untuk menceritakan tentang Bang MH Thamrin, sosok yang paling tepat adalah Bung Ridwan Saidi. Sebab, Bung Ridwan Saidi dan Bang MH Thamrin sama-sama pernah tinggal di Sawah Besar.
Ini
bermula ketika seorang teman, asli Betawi menunjukkan saya video tentang suatu
wawancara kepada Bung Ridwan Saidi tentang Bang MH Thamrin yang diupload di You
Tube. Saya coba melihat, memang enak mendengar bagaimana Bung Ridwan Saidi
bercerita tentang Bang MH Thamrin. Seperti saya, tampaknya Bung Ridwan Saidi
juga pengagum Bang MH Thamrin. Yang membuat saya kaget, ekspektasi saya keliru,
ingin mendapatkan pengetahuan tambahan tentang Bang MH Thamrin dari Bung Ridwan
Saidi, justru banyak kekeliruan yang harus saya catat. Catatan tersebut menjadi
pertanyaan dalam menulis artikel ini.
Lantas seperti apa sejarah MH Thamrin? Tentu saja
sudah banyak ditulis dan tak perlu diulang di sini, cukup baca saja di
internet. Saya juga pernah menulis bagian-bagian tertentu dari sejarah MH
Thamrin. Namun soal kekeliruan yang terdapat dalam narasi cerita Bung Ridwan
Saidi tentang Bang MH Thamrin kiranya perlu ditambahkan dan juga dikurangi agar
kontennya berisi penuh. Dengan demikian narasi sejarah MH Thamrin akan menjadi baik
dan benar. Untuk meluruskan sejarah MH Thamrin mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*
Figur MH Thamrin
Sejarah beda generasi adalah tentang beda waktu
melihat sejarah. Karena kita tidak hadir (belum lahir) ketika sejarah
berlangsung maka banyak sumber yang dapat kita gunakan. Sumber praktis pertama
adalah orang yang masih hidup sejaman dan mampu menceritakan dengan baik dan
benar (nara sumber). Sumber praktis masa kini adalah surat kabar, majalah dan
buku-buku sejaman (sumber sekunder). Sumber yang pertama tidak ada lagi (sudah
meninggal), maka sumber kedua yang umum digunakan. Sumber kedua harus, paling
tidak kita bisa membaca bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Dua bahasa ini kini
banyak terdapat di internet. Namun itu tidak cukup, kita harus tetap
mengandalkan analisis relasi (untuk memvalidasi data tentang fakta yang
sebenarnya). Dengan begitu kita bisa memilah fiksi dari fakta.
Mohammad Husni Thamrin (MH Thamrin) lahir di Weltevreden, Batavia, 16
Februari 1894, meninggal dunia di Senen, Batavia pada tanggal 11 Januari 1941.
MH Thamrin meninggalkan istri dan anak. Diantara kolega, MH Thamrin juga
meninggalkan menantu dan besan. Menantunya adalah Mr. Egon Hakim Nasution dan
besannya adalah Dr. Abdul Hakim Nasution. Saat MH Thamrin
meninggal, Dr. Andul Hakim Nasution adalah Wakil Wali Kota (locoburgemeester)
Kota Padang. Sementara Ridwan Saidi lahir di Djakarta pada tanggal 2 Juli 1942
(saat pendudukan militer Jepang) dan masih sehat walafiat hingga ini hari. MH
Thamrin tidak meninggalkan Bung Ridwan Saidi dan saya (karena belum lahir),
tetapi saya dan Bung Ridwan Saidi termasuk daftar orang masa kini sebagai
pengagum Bang MH Thamrin.
Figur MH Thamrin menjelang wafatnya adalah Pemimpin Besar bangsa
Indonesia. Kita tidak bisa berbicara tentang
Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta saat itu karena keduanya tengah
berada di tempat pengasingan. Dr. Soetomo telah lebih dahulu meninggal pada tahun
1938. Meski masih ada Dr. Radjamin Nasution, Mr. Sartono dan Parada Harahap dan
golongan yang lebih muda seperti Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mr. Mohamad
Jamin, namun yang paling menonjol saat itu adalah MH Thamrin. Meninggalnya MH
Thamrin juga sangat disayangkan oleh Jepang.
Soerabaijasch handelsblad, 28-01-1942 |
Namun kita tidak tahu rencana Jepang tersebut
apakah diketahui oleh MH Thamrin, Juga kita tidak tahu apakah ada kontak
langsung MH Thamrin dengan orang-orang Jepang. Namun sebelum Dr. Soetomo
meninggal, banyak terjadi kontak Jepang terhadap para pemimpin revolusioner
Indonesia dan sebaliknya. Hubungan para revolusioner Indonesia dengan orang-orang
Jepang terjadi pada akhir tahun 1933. Setelah pulang dari Jepang, sejumlah
pemimpin revolusioner Indonesia diasingkan.
Ketika
pers Indonesia ditekan Pemerintah Hindia Belanda, dan adanya rumor bahwa Ir.
Soekarno akan diasingkan, Parada Harahap mempimpin tujuh revolusioner Indonesia
ke Jepang pada bulan November 1933. Dalam rombongan ini dua pemimpn pers,
selain Parada Harahap sendiri (Bintang Timoer di Batavia) adalah Abdullah Lubis
(Pewarta Deli di Medan). Dalam rombongan ini juga terdapat ekonomi senior dan
ekonom junior. Ekonomi senior adalah Samsi Widagda, Ph.D (guru di Bandoeng) dan
Drs. Mohamad Hatta yang baru pulang studi dari Belanda. Di Jepang, Parada
Harahap dan rombongan disambut meriah di Jepang. Parada Harahap dijuluki pers
Jepang sebagai King of Java Press.
Rombongan
kembali ke Indonesia dan dua orang revolusioner yang lain tinggal di Jepang
(untuk sementara). Pada tanggal 13 Februari 1934 dengan kapal Panama Maru tiba
di pelabuhan Tandjoeng Perak. Mereka disambut oleh Dr. Soetomo, kepala rumah
sakit Soerabaja dan Dr. Radjamin Nasution, anggota dewan kota (gemeenteraad)
Soerabaja. Pada hari yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan dari pelabuhan
Tandjong Priok menuju pengasingan di Flores. Setelah seminggu, Parada Harahap
dan Drs. Mohamad Hatta kembali ke Batavia, namun tidak lama kemudian keduanya
ditangkap PID. Atas kesaksian konsulat Jepang di pengadilan mereka berdua
dibebaskan. Seminggu kemudian Mohamad Hatta ditangkap karena alasan lain dengan
tuduhan provokasi di majalan Daoelat Ra’jat yang terbit enam bulan sebelumnya.
Dalam hubungan penangkapan Mohamad Hatta ini, juga ditangkap Soetan Sjahrir,
Abdoel Moerad Lubis, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin. Atas
pembelaan Prof. Husein Djajadiningrat dan MH Thamrin, Abdoel Moerad Lubis
(pemimpin redaksi Daoelat Ra’jat), Amir Sjarifoeddin Harahap (ketua Partindo
cabang Batavia) dan Mohamad Jamin (ketua Partindo cabang Soerabaja). Mohamad
Hatta dan Soetan Sjahrir, dua pemimpin partai Pendidikan Nasional Indonesia
kemudian diasingkan ke Digoel.
Diasingkannya tiga pemimpin revolusioner
Indonesia (Soekarno, Hatta dan Sjahrir) sedikit sock para pemimpin revolusioner
Indonesia lainnya. Namun masih ada yang tersisa untuk meneruskan perjuangan.
Paling tidak masih ada MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon di Volksraad dan
Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin di Soerabaja; Parada Harahap, Abdullah Lubis dan Saeroen
dari pers serta pemimpin muda lainnya antara lain Amir Sjarifoeddin Harahap dan
Mohamad Jamin. Strategi baru dijalankan sedikit lebih cooperative.
Dr.
Soetomo dan Dr. Radjamin di Soerabaja, dua pemimpin Partai Indonesia Baroe
(PIB), mencoba menambah kekuatan dengan mengajak Boedi Oetomo menjadi partai
politik. Para pemimpin Boedi Oetomo yang kebetulan generasi baru yang lebih
revolusioner seperti Mr. Soepomo, Ph.D dan Dr. Sardjito, Ph.D mendukung
inisiatif PBI tersebut. Lalu PIB dan Boedi Oetomo bersatu (fusi) dan membentuk
partai baru dengan nama Partai Indonesia Raja (Parindra). MH Thamrin kemudian
bergabung dengan Parindra.
Parada
Harahap berjuang tidak melalui partai. Parada Harahap berjuang dengan pena.
Parada Harahp mulai berjuang di Deli tahun 1918 ketika masih berusia 17 tahun
dengan membongkar kasus poenali sanctie (kekejaman para planter terhadap koelii
asal Jawa) dan mengirimkan laporannya ke surat kabar Benih Merdeka di Medan.
Parada Harahap dipecat sebagai krani. Sempat menjadi redaktur Pewarta Deli
(pimpinan Abdullah Lubis) sebelum Parada Harahap pulang kampung di Padang
Sidempoean. Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan surat kabar radikal di
Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka dan juga pemimpin redaksi
majalan Pesotaha yang didirikan Soetan Casajangan pada tahun 1915. Saat diadakan
kongres Sumatranen Bond di Padang 1919 dan 1921, chemistry Parada Harahap dan Mohamad
Hatta terbentuk. Selama di Padang Sidempoean belasan kali dimejahijaukan karena
delik pers dan beberapa kali dibuai. Setelah Sinar Merdeka dibreidel tahun 1922
Parada Harahap hijrah ke Batavia (sementara Mohamad Hatta berangkat studi ke
Belanda). Di Batavia menerbitkan surat kabar Bintang Hindia (1923) dan kemudian
surat kabar Bintang Timoer (1926). Pada tahun 1927 Parada Harahap, sekretaris
Sumatranen Bond menggagas perlunya bersatu seluruh organisasi kebangsaan Indonesia.
Lalu sejumlah pimpinan organiasi berkumpul di rumah Prof. Husein
Djajadiningrat. Dalam pertemuan itu hadir antara lain MH Thamrin (Kaoem
Betawi), Pasoendan, Ir. Soekarno (Perhimpoenan Nasional Indonesia), Dr. Soetomo
dari Studieclub Soerabaja. Dalam pertemuan itu juga dihadiri anggota Volksraad
yang baru Mangaradja Soeangkoepon. Lalu sepakat membentuk supra organisasi dengan
nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Ketua ditunjuk MH Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Agenda PPPKI
antara lain membangun kantor/gedung di gang Kenari, melaksanakan kongres tahun
1928 (yang kemudian diintegrasikan dengan Kongres Pemuda). Husein
Djajadiningrat dan Abdul Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon adalah pengurus
Indische Vereeniging di Belanda yang digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan tahun 1908. Pada tahun 1921 nama Indische Vereeniging diubah olegh
Dr. Soetomo dkk dengan nama bari Indonesiasche Vereeniging dan tahun 1924 oleh
Mohamad Hatta dkk mengubahnya lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).
Pada tahun 1927 sudah ada tiga organisasi yang
menggunakan nama Indonesia: PI (pimpinan Mohamad Hatta), PPPKI (pimpinan MH
Thamrin dan Parada Harahap) dan PNI (Perhimpoenan Nasional Indonesia pimpinan
Soekarno). Tiga organisasi inilah penggerak memperjuangkan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Gedung PPPKI di gang Kenari dengan kepala kantor Parada Harahap
menjadi Rumah Indonesia (club huis). Hanya ada tiga potret yang dipajang di
kantor/gedung ini: Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta.
Sehubungan
dengan terbentuknya PPPKI, lalu didirikan organisasi pemuda/pelajar pendukung
PPPKI yakni PPPI. Corong PPPKI digunakan surat kabar milik Parada Harahap
Bintang Timoer. Lalu di Bandoeng muncul organisasi pemuda di bawah PNI yang
disebut Indonesia Moeda (salah satu pengurusnya Soetan Sjahrir yang masih SMA).
Untuk menyelenggarakan Kongres PPPKI (senior)
pada bulan September 1928 Parada Harahap menunjuk Dr. Soetomo sebagai ketua
panitia. Untuk menyelanggarakan Kongres Pemuda (junior) pada bulan Oktober 1928
dibentuk panitia kongres: Ketua, Soegondo (dari PPPI); Sekretaris, Mohamad
Jamin (dari Jong Sumatra/Sumatranen Bond); dan Bendahara Amir Sjarifoeddin
Harahap (dari Jong Batak/Bataksche Bond). Tiga pimpinan utama panitia Kongres
Pemuda ini dibawah arahan Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond dan juga
pembina dan pernah menjadi ketua Bataksche Bond).
Menjelang
Kongres PPPKI (senior) Kongres Pemuda (junior), untuk lebih menyebarluaskan
gaung dua kongres, Parada Harahap menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang
(untuk Midden Java) dan Bintang Timoer edisi Soerabaja (untuk Oost Java). Untuk
mendukung keuangan kedua kongres ini disponsori oleh Himpoenan Pengusaha
Pribumi Batavia (semacam KADIN pada masa ini) yang dipimpin oleh Parada Harahap
(anggota KADIN ini juga termasuk MH Thamrin). Catatan: kelak Bintang Timoer
edisi Soerabaja menjadi surat kabar Soeara Oemoem pimpinan Dr. Soetomo, yang
sekaligus menjadi corong PBI.
Hasil Kongres PPPKI pada tanggal 29 dan 30
September 1928 adalah platform PPPKI diubah dari nama Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia menjadi Perhimpoenan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia.
Keputusan lainnya adalah pengurus baru diangkat Dr. Soetomo sebagai ketua dan
Ir. Anwari sebagai sekretaris.
Sementara
keputusan Kongres Pemuda yang terpenting adalah dideklarikan suatu ikrar yang
di dalam Putusan Kongres Pemuda yang berbunyi: Kami poetra dan poetri
Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia; Kami poetra
dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Dalam kongres ini juga diperdengarkan lagu ciptaan WR Soepratman. Catatan: WR
Soepratman adalah editor kantor berita pribumi milik Parada Harahap (WR
Soepratman tinggal di lingkungan tempat tinggal, paviliun rumah Parada Harahap).
MH Thamrin dan Parada Harahap meski tidak
menjabat lagi sebagai ketua dan sekretaris, namun Parada Harahap pemilik dan
pimpinan redaksi surat kabar Bintang Timoer tetap bertanggung jawab terhadap
gedung/kantor PPPKI di gang Kenari. Hal ini karena Dr. Soetomo tinggal di
Soerabaja dan Ir. Anwari tinggal di Bandoeng, Lagi pula dana pembangunan
gedung/kantor PPPKI yang berada di gang Kenari di lahan milik MH Thamrin
digalang oleh perimpunan pengusaha Batavia yang dipimpin oleh Parada Harahap. Sementara
itu MH Thamrin yang menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia kerap
berkunjung ke gang Kenari untuk menghadiri pertemuan-pertemuan publik apakah
yangdilaksanakan oleh organisasi kebangsaan, partai politik atau organisasi
mahasiswa PPPI.
Kongres
PPPKI tahun 1929 dilaksanakan di Solo. Kongres ini dipilih waktunya berdekatan
dengan Kongres Boedi Oetomo yang juga dilaksanakan di Solo. Tentu saja Dr.
Soetomo, ketua PPPKI berharap agar organisasi kebangsaan Boedi Oetomo ikut
bergabung dengan PPPKI. Dalam kongres PPPKI ini juga tampil Ir. Soekarno dari
PNI (yang berpusat di Bandoeng). Tidak lama setelah kongres ini Ir. Soekarno
ditangkap karena terkait dengan tuduhan provokasi.
Dalam situasi Ir. Soekarno ditahan di Bandoeng,
beberapa hal yang terjadi diantara para pemimpin revolusioner Indonesia, antara
lain: (1) Pada bulan yang Oktober 1930 Dr. Soetomo dari studieclub Soerabaja
mendirikan organisasi kebangsaan yang baru yang disebut Partai Bangsa Indonesia
(PBI). Besar dugaan pendirian partai didorong oleh Parada Harahap. Radjamin
Nasution menjadi salah satu pengurus PBI; (2) MH Thamrin diangkat menjadi Wakil
Wali Kota (locoburgemeeter) Batavia. Setahun kemudian, anggota dewan kota
(gemeenteraad) Padang yang paling senior (wethouder) Dr. Abdul Hakim Nasution
menjadi Wakil Wali Kota (locoburgemeeter) Padang.
De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-01-1930 Batavia, Januari 21 (Aneta). Dalam
pertemuan pagi ini Dewan Walikota dan Aldermen, Mr Thamrin diangkat wakil
walikota kedua Batavia. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
09-12-1931: ‘Wakil Walikota Padang: Sebuah laporan resmi mengumumkan bahwa Mr
C. Hoogenboom mengundurkan diri sebagai wakil walikota Padang dan dia akan
menggantikan Mr. M. Passer, sebagai anggota dewan Kota Padang. Sementara untuk
Wakil Wali Kota diangkat, anggota dewan,
Dr A. Hakim’.
Dr.
Abdul Hakim Nasution adalah teman sekelas Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo semasa
kuliah di Docter Djawa School di Batavia yang sama-sama lulus tahun 1905. Pada
saat pembentukan partai politik pertama, Nationale Indische Partij (NIP) oleh
Dr. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan dua temannya yang disebut tiga serangkai, Untuk
ketua NIP di Pantai Barat Sumatra adalah Dr. Abdul Hakim Nasution.
MH tidak menjabat lagi sebagai Locoburgemeeter
Batavia karena telah terpilih menjadi anggota Volksraad. Sementara Dr. Abdul
Hakim Nasution masih menjabat Locoburgemeeter Padang (bahkan hingga tahun
1942). Pada tahun 1935 Parada Harahap mempertemukan keluarga MH Thamrin di
Batavia dengan keluarga Dr. Abdoel Hakim Nasution di Padang. Anak Dr. Abdul
Hakim Nasution dinikahkan dengan putri MH Thamrin. Parada Harahap selain sangat
dekat dengan MH Thamrin, Parada Harahap juga sudah mengenail sejak 1919 Dr,
Abdoel Hakim Nasution ketika kongres Sumatranen Bond yang juga dihadiri oleh
Parada Harahap dan Mohamad Hatta. Saat itu, Dr. Abdul Hakim Nasution adalah
pembina kongres pertama tersebut sementara Parada Harahap adalah pemilik dan
pemimpin redaksi surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean.
Egon
Hakim menempuh pendidikan sekolah menengah (SMA) di Belanda (lihat De Gooi- en
Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 05-07-1924). Egon Onggara Hakim menyusul
Amir Sjarifoeddin Harahap yang sudah lebih dulu menempuh sekolah menengah di
Belanda. Egon Hakim melanjutkan ke Universiteit Leiden di bidang hukum dan
mendapat gelar Meester (MR) tahun 1933. Egon Hakim pulang ke tanah air dan lalu
kemudian diangkat sebagai pengacara (advocaat en procureur) di Kantor Raad van
Justitie di Kota Padang (lihat De Indische courant, 31-05-1935). Sepulang dari
Belanda inilah Mr. Egon Hakim menikah dengan putri MH Thamrin.
Dr.
Abdul Hakim Nasution lahir di Padang Sidempoean dan mengikuti sekolah ELS di
Padang Sidempoean. Abdul Hakim Nasution diterima di Docter Djawa School pada
tahun 1898. Pada tahun 1935 anggota Volksraad kelahiran Padang Sidempoean
terdapat tiga orang yakni Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon
dari dapil Oost Sumatra; Dr. Abdul Rasjid Siregar dari dapil Tapanoeli dan Mr.
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D dari dapil Batavia. Dalam
pernikahan putri MH Thamrin dengan Mr. Egon Hakim di Batavia turut hadir lima
tokoh asal Padang Sidempoean (Dr. Abdoel Hakim Nasution sebagai besan, Parada
Harahap dan tiga anggota Volksraad).
Sementara Soekarno, Mohamad Hatta dan Soetan
Sjahrir masih di pengasingan (Flores dan Digoel), dalam suatu pertemuan tanggal
(konferensi) tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo PBI dan Boedi Oetomo melakukan
fusi dan membentuk partai baru yang diberi nama Partai Indonesia Raja yang
disingkat Parindra. Ketua terpilih adalah Dr. Soetomo. Untuk kantor pusat
Parindra ditetapkan di Soerabaja. Ini dengan sendirinya akan memperkuat
Soerabaja sebagai basis perjuangan politik, sebagaimana Bandoeng tahun 1927
dengan dibentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam kepegurusan Parindra
ini termasuk Dr. Radjamin Nasution (sebelumnya pengurus PBI Soerabaja) dan MH
Thamrin (dari Batavia). Parada Harahap kembali memainkan peran penting yang
baru.
Setelah
berdirinya Parindra (1935), para pemimpin muda Partai Indonesia (Partindo) yang
dipimpin oleh Mr. Sartono, mulai memisahkan diri dengan membentuk partai baru
yang disebut Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Partai baru ini resmi
didirikan apda tahun 1937 dengan ketua Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Sebelum
membentuk Gerindo, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalah ketua Partindo
afdeeling (cabang) Batavia dan untuk cabang Soerabaja diketuai oleh Mr. Mohamad
Jamin. Dua tokoh inilah pemimpin utama di dalam organisasi pusat Gerindo. Ini
seakan mengingatkan kembali pada tahun 1928 pada Kongres Pemuda yang mana
sebagai sekretaris Mohamad Jamin dan bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap yang
berada di latar belakang (pembina) adalah Parada Harahap (sekretaris PPPKI).
Parada Harahap, jurnalis (non partai) sangat dekat kepada dua tokoh muda
revolusioner ini. Kedekatan Parada Harahap dengan Mohamad Jamin tidak hanya
sesama tokoh di Sumatranen Bond, tetapi juga karena abang Mohamad Jamin yang
bernama Djamaloeddin (kelak lebih dikenal sebagai Adinegor) bekerja untuk
Parada Harahap di surat kabar Bintang Timoer sebagai editor. Pada tahun 1930
Adinegoro dipindahkan ke Medan untuk menjadi kepala editor di surat kabar Pewarta
Deli. Pimpinan Pewatta Deli (hingga 1940) masih dipegang oleh Abdullah Lubis
(satu dari anggota rombongan yang dipimpin Parada Harahap ke Jepang pada tahun
1933).
Parada Harahap memiliki jaringan yang sagat luas.
Tidak hanya ke partai politik dan anggota Volksraad juga di dalam lingkungan
pers. Parada Harahap sebelumnya telah berhasil menggabungkan semua jurnalis pribumi
dalam satu wadah dan semua penerbit dalam satu wadah sarikat penerbit surat kabar
(termasuk di dalamnya Dr. Soetomo pimpinan umum surat kabar Soeara Oemoem di
Soerabaja dan Saeroen dari Semarang). Dalam situasi dan kondisi inilah Parada
Harahap mengusulkan agar Soekarno dan Mohamad Hatta dipindahkan dari
pengasingan di Flores dan Digoel ke Sumatra.
Kopiah: MH Thamrin, Abd Rasjid Siregar, M Soangkoepon |
Usulan pemindahan Soekarno dan Mohamad Hatta ke
Sumatra terdapat resistensi dari pemerintah. Namun setelah MH Thamrin berbicara
(semacam negosiasi) dengan pejabat pemerintah, dengan jaminan akhirnya Soekarno
dan Mohamad Hatta disetujui Gubernur Jenderal tetapi Mohamad Hatta ditolak ke
Sumatra karena berasal dari Sumatra. Keputusan pemerintah adalah Soekarno
diizinkan dipindahkan dari Flores ke Bengkoeloe dan Mohamad Hatta (yang juga
termasuk Soetan Sjahrir) dipindahkan dari Digoel ke Banda. Skenario Parada
Harahap berhasil penuh atas pemindahan Soekarno ke Sumatra sementara karena
halangan asal usul hanya setengahnya berhasil (dipindahkan dari Digoel ke
Banda). Tentu saja pemilihan pemerintah dipindahkan ke Bengkoeloe membuat
Parada Harahap tersenyum.
Pemerintah
menetapkan Bengkoeloe karena dianggap terpencil dan sulit diakses dari Jawa.
Namun dipikiran Parada Harahap penetapan Bengkoeloe adalah, boleh jadi, sesuai
pikirannya. Mengapa? Meski Bengkoeloe terpencil, Parada Harahap memiliki
jaringan yang luas di Sumatra. Paling tidak di Padang ada pengacara Mr. Egon
Hakim Nasution (menantu MH Thamrin) dan di Telok Betong ada pengacara Mr. Gele
Haroen Nasution yang dapat setiap saat berkunjung ke Bengkoeloe. Itulah alasan
mengapa Soekarno senang dipindahkan dari Flores ke tempat yang dipilih
pemerintah di Bengkoeloe. Tentu saja Parada Harahap mengetahui ada seorang guru
muda asal Afdeeling Padang Sidempoean di Bengkoeloe namanya Abdul Haris
Nasution (kelak dikenal sebagai Jenderal Abdul Haris Nasution).
Sejarah Awal MH Thamrin
Mohamad Husni Thamrin lahir tahun 1894. Menurut
Bung Ridwan Saidi, tahun kelahiran MH Thamrin adalah tahun kematian Si Pitoeng.
Menuru Bung Ridwan Saidi, kakeknya MH Thamrin adalah seorang Jaksa dan ayahnya
bernama Thabri yang pernah menjabat sebagai Wedana, MH Thamrin bersekolah di KW
III.
Pada
tahun 1878 Mohamad Thabri diangkat menjadi pegawai pribumi dengan jabatan jaksa
di Tangerang. Mohamad Thabri sebelumnya adalah wakil kepala jaksa di Landraad
Batavia (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 03-07-1878). Pada tahun 1886 Thamrin Mohamad Thabri
diangkat sebagai penulis di Landraad Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1886).
Pada tahun 1894 Thamrin Mohamad Thabri diangkat sebagai wakil kepala jaksa di
Landraad Batavia (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 19-09-1894). Thamrin Mohamad Thabri telah mencapai posisi
yang pernah dijabat oleh ayahnya, Mohamad Thamri. Pada tahun 1905 Thamrin
Mohamad Thabri diangkat sebagai komandan Pendjaringan, yang sebelumnya sebagai
wakil jaksa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1905).
Pada tahun 1908 Thamrin Mohamad Thabri diangkat menjadi wedana di Batavia (lihat De
Preanger-bode, 01-05-1908). Pada tahun 19011 Thamrin Mohamad Thabri diberhentikan wedana di Batavia (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 27-06-1911). Pada tahun 1913 Thamrin Mohamad Thabri diketahui
menjadi anggota dewan kora (gemeenteraad) Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
26-06-1913).
Bung Ridwan Saidi keliru menyusun silsilah
keluarga MH Thamrin. Seharusnya nama kakek MH Thamrin adalah Mohamad Thabri.
Ayah MH Thamrin adalah Thamrin Mohamad Thabri. Nama MH Thamrin mengambil nama
ayahnya, Thamrin. Sementara nama kecil MH Thamrin adalah Mohamad Husni.
Stambuk (silsilah) MH Thamrin |
MH Thamrin memulai pendidikan sekolah dasar Eropa
(ELS) di Batavai dan lulus tahun 1910. Pada tahun ini juga MH Thamrin lulus
ujian masuk sekolah Gymnasium Willem III (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 23-04-1910). Satu angkatan dengan MH Thamrin yang diterima
di sekolah elit ini adalah Raden Hilman Djajaningrat.
Gymnasium
Willem III memiliki dua program. Program pertama lama studi tiga tahun (setara
MULO) dan program kedua dengan lama studi lima tahun (HBS). Sekolah GW III ini
beralamat di Salemba.
Setelah lulus HBS di GW III, MH Thamrin mengikuti
pendidikan pembukuan Diploma-A. Pada tahun 1917 MH Thamrin lulus ujian
pembukuan (boekhouden) di Batavai (lihat De Preanger-bode, 22-02-1917).
Sementara itu, Raden Hilman Djajaningrat, melanjutkan studi ke Belanda. Sebagai
pegawai KPM di Weltvreden, MH Thamrin kemudian mulai merintis jalan ke parlemen
kota melalui pemilihan 1918-1919.
Dalam pemilihan umum tahun 1918, nama MH Thamrin
muncul sebagai salah satu kandidat untuk anggota dewan kota (gemeenteraad)
Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-07-1918),
Uniknya ayahnya, Thamrin Mohamad Tabri yang pernah menjadi anggota dewan juga
termasuk dalam daftar kandidat. Ayah dan anak tampaknya harus bertarung untuk
mendapatkan kursi di Gemeenteraad Batavia. MH Thamrin lalu terpilih sebagai
anggota dewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-09-1919).
Mekanisme pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad) sejak 1918 di berbagai kota seperti Batavia, Soerabaja, Padang dan Medan tidak lagi delakukan dengan penunjukkan/pengangkatan oleh Residen tetapi melalui pemilihan umum (pemilih untuk pribumi bukan berdasarkan umur tetapi tingkat pendapatan). Pemilihan dibagi ke dalam tiga kategori: Eropa, pribumi dan Timur asing. MH Thamrin masuk kelompok pemilihan pribumi dengan jumlah kandidat sebanyak tujuh orang untuk mendapat jatah tiga kursi. MH Thamrin termasuk salah satu dari tiga pemenang. Sementara di untuk kelompok pribumi di Medan dari satu jatah untuk pribumi dimenangkan oleh seorang penilik sekolah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng (De Sumatra post, 16-07-1918). Sedangkan di Padang dimenangkan oleh Dr. Abdul Hakim Nasution (kelak menjadi besan dari MH Thamrin) dan di Tandjoeng Balai dimenangkan oleh Mangaradja Soangkoepon. Di Padang Sidempoean tempat kelahiran Radja Goenoeng dan Abdul Hakim Nasution belum ada dewan karena bukan gemeente.
Pada periode pemilihan berikutnya MH Thamrin
kembali terpilih. MH Thamrin tampaknya telah menggantikan popularitas ayahnya.
MH Thamrin seakan bersinar terus sebagai matahari muda di Batavia. MH Thamrin
muncul sebagai kandidat untuk anggota dewan pusat Volksraad untuk kelompok
pribumi dari Pasoendan/West Java (lihat De Preanger-bode, 07-11-1923). Namun
hasilnya tidak memuaskan.
Het nieuws van den dag voor NI, 13-02-1924 |
MH Thamrin kembali menjadi kandidat untuk pemilihan
berkala di dewan kota (gemeenteraad) Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 27-06-1924). Dari 14 kandidat pada putaran pertama 11 orang
lanjut ke putaran kedua termasuk MH Thamrin yang mendapat suara 633 suara
(lihat De Indische courant, 09-08-1924). Tidak diketahui apakah MH Thamrin
dapat mendapatkan kursi kembali di dewan kota.
Yang
jelas MH Thamrin melakukan inisiatif untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan kebakaran yang terjadi Kebon Djeroek
baru-baru ini (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-08-1925).
Dalam pembentukan komite oleh 11 asosiasi pribumi yang diadakan di rumah MH
Thamrin di Sawah Besar turut dihadiri oleh Bupati Batavia. MH Thamrin didaulat
menjadi ketua komite. Program yang diadakan untuk penggalangan dana antara lain
pertandingan sepak bola, pasar, pertunjukan teater dan juga pengumpulan dana
dilakukan melalui masjid.
MH
Thamrin muncul sebagai kandidat anggota dewan provinsi West Java (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-11-1925). Provinsis
West Java termasuk Residentie Batavia dimana ibukota provinsi di Batavai. MH
Thamrin termasuk yang terpilih menjadi anggota dewan provinsi (Provincialraad)
West Java (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-12-1925).
MH
Thamrin juga diketahui turut menghadiri kongres pertama Jong Islamietenbond te
Djokjakarta 25 Desember 1925 sebagai pembicara dengan tema Persaudaraan Dunia
dalam Islam, dalam bahasa Melayu (lihat De Indische courant, 28-12-1925). Disebutkan
bahwa kongres ini dihadiri tidak kurang dari 47 termasuk Mohammadijah. Asosiasi
pemuda Islam ini adalah pemisahan dari para anggota dari Jong Java. Pembentukan serikat muda Islam ini pada tanggal 1
Januari 1925 di Djokjakarta sebagai konsekuensi kepercayaan agama dan perbedaan
pendapat dengan asosiasi Jong Java. Pada tanggal 5 Februari pertemuan publik
pertama diadakan di Weltevreden dan kemudian dilanjutkan yang kedua di Djokjakarta
pada 15 Februari 1925. Dalam waktu singkat empat divisi telah dibentuk, yaitu
di Weltevreden, Djokja, Solo dan Madioen. Bandung, Magelang, dan Surabaya
menyusul kemudian, Tujuh divisi yang telah didirikan dengan total 1.004 anggota.
Hadji Agus Salim sebagai penasihat.
Kasus
yang mirip dengan pemisahan dari Jong Java dengan membentuk Jong Islamietenbond
terjadi pada tahun 1919. Sumatranen Bond yang didirikan oleh Sorip Tagor
Harahap di Belanda tahun 1917, setelah kongres pertama di Padang tahun 1919
terjadi friksi dimana sebagian anggota kurang menerima kehadiran anggota yang bukan
beragam Islam. Untuk memfasilitas agar pemuda yang bukan beragama Islam
terakomodir dalam organisasi pemuda, Dr. Abdul Rasjid Siregar yang baru lulus
STOVIA membentuk organisasi pemuda yang baru yang disebut Bataksche Bond (Jong
Batak) di Batavia tahun 1919. Pada tahun 1925 ini penasehat Bataksche Bond
adalah Parada Harahap (yang juga Parada Harahap adalah pengurus Sumatranen
Bond). Pada awal tahn 1926 MH Thamrin menghadiri kongres Moehammadijah di
Soerabaja (lihat De Indische courant,
02-03-1926).
Pada pilkada untuk anggota dewan kota Batavia
tahun 1926 kembali nama MH Thamrin muncul sebagai kandidat (lihat Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-06-1926). Ada beberapa nama pribumi
diantaranya yang dikenal selain MH Thamrin adalah Dr. Sardjito, Ph.D yang baru
pulang studi dari Belanda. Dalam pemilihan yang dilakukan MH Thmarin dan Dr.
Sadjito terpilih menjadi anggota pribumi dewan kota Batavia. Pada sidang
pertama dewan kota Dr. Sardjito masuk pada komisi pasar dan rumah potong hewan
dan juga komisi layanan kesehatan (Bataviaasch nieuwsblad, 24-08-1926). Dr.
Sardjito, Ph.D adalah debut di dewan kota. Dr. Sardjito sebelum studi ke
Belanda pernah menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Batavia. Di Belanda, Dr.
Sradjito menjadi seorang nasionalis dan ketika pulang tidak terlalu aktif lagi
di Boedi Oetomo yang platformnya masih organisasi kedaerahan. Demikian juga
dengan Dr. Soetomo yang juga belum lama pulang studi di Belanda telah lama
meninggalkan Boedi Oetomo dan telah membentuk studieclub di Soerabaja. Ir. Soekarno
yang belum lama lulus di THS Bandoeng juga sudah lama meninggalkan Boedi Oetomo
(dan lebih bersifat nasionalis).
Pada
tahun 1926 ini Parada Harahap mendirikan surat kabar baru yang lebih radikal
yang diberi nama Bintang Timoer. Ini tidak lama setelah kunjungan jurnalistiknya
ke Sumatra dan Sememanjung Malaka. Surat kabar Parada Harahap sebelumnya adalah
Bintang Hindia (sejak 1923). Yang menaungi surat kabar Bintang Timoer ini
adalah NV Bintang Hindia. Parada Harahap meski terbilang baru di Batavia,
tetapi telah cukup dikenal sebagai jurnalis yang radikal (berani berpolemik
dengan pers Belanda dan tidak henti mengkritisi pemerintah). Parada Harahap
sebelum ke Batavia adalah pemilik dan pemimpin redaksi surat kabar Sinar
Merdeka yang terbit di Padang Sidempoean sejak 1919 (pada tahun 1922 surat
kabar ini dibreidel). Parada Harahap di Padang Sidempoean juga menjadi pemimpin
redaksi majalah mingguan Poestaha (yang didirikan Soetan Casajangan tahun 1915,
dua tahun setelah kepulangan Soetan Casajangan studi di Belanda).
Besar
dugaan Parada Harahap hijrah ke Batavia karena juga faktor Soetan Casajangan.
Sejak 1920 Radjioen Harahap diangkat menjadi direktur sekolah guru
Normaalschool di Meester Cornelis. Sekolah ini tidak jauh dari sekolah MH
Thamrin KWS III [Normaal school kini SMA N 68 dan KWS III kini menjadi
Perpustakaan Nasional]. Soetan Casajangan adalah pendiri organisasi mahasiswa
di Belanda Indische Vereeniging tahun 1908. Tahun 1922 Dr. Soetomo dkk mengubah
namanya menjadi Indonesiasche Vereeniging dan tahun 1924 Mohamad Hatta dkk
mengubah namanya lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Soetan Casajangan
pada tahun 1914 menjadi direktur sekolah guru (Kweekschool) di Fort de Kock,
pada periode inilah Soetan Casajangan juga mendirikan majalah mingguan di
kampong halamannya di Padang Sidempoean tahun 1915 (yang juga pernah diasuh
oleh Parada Harahap). Soetan Casajangan alumni sekolah guru kweekschool Padang
Sidempoean berangkat studi ke Belanda tahun 1905 (jumlah mahasiswa pribumi baru
empat orang).
Salah satu perhatian dewan kota yang baru adalah
program perbaikan kampong (Kampongverbetering). Salah satu program perbaikan
kampong adalah perbaikan kampong di Sawah Besar (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-09-1926).
Dalam program ini bagian persil milik MH Thamrin terkena gusuran ketika dinas
PU melakukan kegiatan. MH Thamrin keberatan karena persil lahannya No. 81 (55,
11029 dan 9752), Berkenaan dengan keberatan dari MH Thamrin, kepala dinas PU dan
Polisi Gedung menginformasikan bahwa ada alasan untuk mengatasi keberatan ini
sampai batas tertentu, dengan menggerakkan garis bangunan satu meter ke depan
di sisi selatan jalan Sawah Besar.
Program
perbaikan kampong telah dibahas pada sidang yang dilakukan pada bulan Juni 1923
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-06-1923). Sejauh ini baru pembahasan untuk membentuk
komisaris untuk menyiapkan rencana perbaikan kampung (lembar 23 No. 244).
Agenda yang dibahas juga adalah mosi yang dibuat oleh MH Thamrin, Arifin dan
Soebrata mengenai alokasi hasil penerimaan pajak bumi (blad 23 No. 220). Pada
sidang yang diadakan pada bulan April 1924 agenda pembahasan program perbaikan kampong
ditolak/ditunda (lihat De Indische courant, 07-08-1924). Ketika program
perbaikan kampong mulai dijalankan pada tahun 1926, MH Thamrin keberatan untuk
satu hal karena persilnya kena gusur dalam pelembaran jalan.
Pada tahun 1926 nama MH Thamrin muncul lagi
sebagai kandidat untuk anggota dewan pusat Volksraad dari dapil West Java
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-10-1926). Dalam daftar yang diberikan pemerintah
(termasuk di dalamnya nama MH Thamrin) diminta kepada anggota dewan kota
Batavia untuk menyeleksi paling tidak sebanyak 15 kandidat dari daftar. Dalam
daftar tersebut terdapat nama bupati Batavia, bupati Bandoeng, Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo, dokter di Bandoeng serta R Soewandi (notaris pribumi pertama).
MH
Thamrin kembali menghadiri kongres Jong Islamietenbond, kongres yang diadakan
di Soerabaja (lihat De Indische courant, 16-12-1926). MH Thamrin, sekretaris Moehammadijah
akan memberikan ceramah. De Telegraaf, 31-03-1927 memberitakan bahwa MH Thamrin
menerjemahkan brosur tentang Islam ke dalam bahasa Belanda. Brosur tersebut
karya Mauloi Moehammadl Ali di Lahore. Kata pengantar oleh RAA Wiranata Koesoema,
bupati Bnndoeng. Buku tersebut diterima oleh De Telegraf dari seorang imam
muslim Mirza Wali Ahmad Baig di
Djokjakarta.
Pada pemilihan 1927 MH Thamrin terpilih menjadi
anggota Volksraad. MH Thamrin dalam hal ini naik kelas dari anggota dewan kota
(gemeeteraad) menjadi anggota dewan pusat Volksraad. Kekalahannya pada pemilihan
tahun 1923/1924 telah terbayar lunas.
Pada
pemilihan 1927 pulau Sumatra dibagi menjadi empat dapil, masing-masing hanya
satu kursi. Dari dapil Noord Sumatra (terdiri dari Residentie Tapanoeli dan
Residentie Atjeh) terpilih Dr. Alimoesa Harahap; dan dari dapil Oost Sumatra
(Province Oost Sumatra) terpilih Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja
Soangkoepon. Alimoesa Harahap dan Mangaradja Soangkoepon sama-sama kelahiran
Padang Sidempoean.
Pemindahan Soekarno ke Bengkoeloe dan Meninggalnya MH Thamrin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar