*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Tengah di blog ini Klik Disini
Sejarah
Muara Teweh sejatinya tidak bermula dari Banjarmasin tetapi dari Samarinda.
Muara Teweh memang berada di sungai Barito (yang bermuara ke Banjarmasin), namun jaraknya yang jauh di hulu
sungai Barito di pedalaman Borneo, hanya pedagang-pedagang lokal yang berhasil
mengakses Muara Teweh. Kisah Muara Teweh mulai terbuka pada tahun 1861 ketika
terjadi perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Orang Bandjar yang
dipimpin oleh Pangeran Antasari. Untuk menghadang pengikut Antasari yang
terdesak ke utara, Asisten Residen Koetai GH Dahmen melakukan ekspedisi melalui
sungai Mahakam (dari Samarinda) ke Muara Teweh.
Pemerintah Hindia Belanda telah membuka cabang
pemerintahan di Goote Daijak dan di Amoentai. Sementara di sungai Mahakam
cabang pemerintahan baru ada di Koetai (Samarinda dan Tenggarong). Dalam
situasi dan kondisi Perang Bandjar ini Asisten Residen Koetai GH Dahmen berangkat
ke Muara Teweh. Boleh dikatakan ekspedisi ke Muara Teweh ini sebagai awal isolasi
Muara Teweh terbuka. Pada masa ini akses ke Muara Teweh dari Banjarmasin (Kalimantan
Selatan) masih melalui sungai Barito dan jalan akses darat dari Samarinda
(Kalimantan Timur). Namun kini Muara Teweh menjadi bagian wilayah provinsi
Kalimanten Tengah.
Lantas
begaimana perkembangan lebih lanjut Muara Teweh setelah era GH Dahmen? Yang jelas pasca Perang Banjar wilayah pedalaman
ini mulai terbuka dari isolasi (yang kemudian dibentuk cabang pemerintahan). Seperti
kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Nama Muara Teweh
Sejak
kapan pengaruh Islam (dari kesultanan Bandjarmasin) di Moeara Teweh tidak
diketahui secara pasti. Moera Teweh sebagai pusat perdagangan utama di hulu
sungai Barito mencakup wilayah yang luas dimana penduduk asli Dayak berada.
Ketika terjadi Perang Bandjar (sejak 1859) yang dalam pekembangannya banyak
pengikut Pangeran Antasari menyingkir (berlindung) ke arah hulu sungai Barito,
Pemerintah Hindia Belanda, melalui Asisten Residen Koetei GH Dahmen yang
berkedudukan di Samarinda turut mengepung dari arah utara (menuju Moeara Tewe).
Sejak inilah nama Moera Tewe mendapat perhatian (suatu wilayah yang belum
pernah dikunjungi oleh orang Eropa).
GH Dahmen masih muda. GH Dahmen memulai karir
pada tahun 1855 berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 20
November 1855 (No.4) sebagai pegawai pemerintah. GH Dahmen ditempatkan di
Banten. Pada tahun 1856 GH Dahmen
dipromosikan dari commies tingkat 2 di kantor Resident Banten menjadi Asisten
Residen Koetai (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 16-09-1858).
Untuk mengawali karirnya di Koetai, GH Dahmen berangkat dari semarang dengan
kapal (lihat Samarangsch advertentie-blad, 10-09-1858). Besar dugaan, GH Dahmen
adalah salah satu pegawai pemerintah
yang tidak disukai di Residentie Banten. GH Dahmen seakan dibuang jauh
ke Koetai (Samarinda) sebagai Asisten Residen pertama. Demikian juga halnya
Eduard Douwes Dekker sebagai Asisten Residen Lebak di Rangkasbitoeng dibuang ke
Residentie Manado. Eduard Douwes Dekker di Residentie Manado meski hubungannya
baik dengan Resident Manado, berselisih paham dengan Gubernur Maluku, lalu mengundurkan
diri dan kembali ke Eropa. Pada tahun 1860 buku Eduard Douwes Dekker terbit
dengan judul Max Havelaar. Pada tahun 1842 Edward Douwes Dekker bermasalahan
dengan Gubernur Pantai Barat Sumatra AV Michiels soal koffiestelsee di
Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli). Eduard Douwes Dekker dicopot dari jabantannya sebagai Controleur
di Afdeeeling Natal (Residentie Tapanoeli) karena Melindungi penduduk
Mandailing en Angkola.
GH
Dahmen adalah seorang pegawai pemerintah berdedikasi seperti halnya Edward
Douwes Dekker alias Multatuli. GH Dahmen bekerjasama dengan Soeltan Koetai
(yang masih remaja). GH Dahmen dan Soeltan Koetai bagai abang-adik. Kerajaan
Koetai menandatangani kontrak dengan pemerintah pada tahun 1850, yang saat itu
Soeltan masih kanak-kanak. Cabang pemerintah di Koetai baru diimplementasikan
pada tahun 1858 (Asisten Residen pertama GH Dahmen). Dua pemuda inilah yang
bertanggungjawab soal situasi dan kondisi wilayah di pedalaman (wilayah bagian
utara Bandjarmasin) yang mulai bergolak pada tahun 1859.
Pada bulan Maret 1861 Asisten Residen GH
Dahmen dan Letnan dua A de Brauw dan pasukannya berangkat ke Moeara Tewe yang
berkekuatan 100 bayonet dan mortir (lihat Bataviaasch handelsblad, 16-11-1861).
Dalam ekspedisi pertama Koetai ini Soeltan Koetai hanya mendampingi pada titik
tertentu ke arah Moera Teweh. Pasukan Boegis atas nama Soeltan hanya sampai
batas wilayah Bandjarmasin-Koetai. Hal ini karena perjanjian Soeltan Koetai
dengan orang Boegis di Samarinda hanya bersedia perang di wilayah Koetai. Ekspedisi
Koetai kedua yang dipimpin GH Dahmen ke Moeara Tewe pada bulan Oktober 1861
hingga Januari 1862 dengan Kaptein infanteri Bode dan pasukannya (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-03-1862). Ekspedisi
kedua ini dengan mengerahkan kapal perang ZM Bali (hingga Moeara Pahoe). Dalam
ekspedidi kedua ini Pangeran Natta Kesuma berhasil dibujuk Soeltan untuk
menyerah dan datang ke kapal ZM Bali. Peta
1861
Dalam
dua ekspedisi pertama inilah situasi dan kondisi wilayah Moeara Teweh masuk
dalam dokumen pemerintah (yang menjadi salah satu dasar pertimbangan
pembentukan cabang pemerintahan). Nama GH Dahmen tercatat manis dalam sejarah
Pemerintah Hindia Belanda dan juga tercatat indah dalam sejarah awal
peerintahan di Koetai (Samarinda). Namun enjadi pahit buat sejarah Bandjarmasin
(Pangeran Antasari). GH Dahmen terpaksa meninggalkan Koetai, tanah yang mulai
ia cintai. GH Dahmen, Asisten Residen Koetai meninggal pada 7 Juni karena sakit
yang kondisinya melemah setelah dia menghabiskan sebagian besar energi untuk melakukan
perjalanan dari Koetei sepanjang Mahakam dan sungai Pahoe ke Boven Dousson pada
bulan Mei (lihat Bataviaasch handelsblad, 11-07-1864).
Disebutkan kunjungan GH Dahmen dan Soeltan
Koetai (ekspedisi ketiga ini) ke Moeara Teweh untuk meyakinkan para pemimpin
lokal. Dengan kemampuan berbahasa Melayu, GH Dahmen tidak kesulitan dalam
tugasnya itu. GH Dahmen bahkan berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan orang
Dajak Ot yang sama sekali tidak dikenal dan bermusuhan, Dia berhasil melakukan
negosiasi dengan putra-putra almarhum Pangerang Antassarie dan dia tinggal menunggu
hasil di Moeara Teweh. Di Moeara Teweh, GH Dahmen sakit. Dia tinggal di rumah Haji
Sleman orang yang setia kepadanya. Haji Sleman menasehati Dahmen untuk berangkat
ke Banjermassin atau Moeara Manhallat untuk mencari bantuan medis. GH Dahmen
menolaknya dengan keras kepala, dan kata-kata terakhir yang menentang Soelthan Koetej
adalah: 'Lebeh baai mati di sini derie poelang di Banjer. dengan tangan
kossong. GH Dahmen meninggal seorang istri dan lima anak yang masih kecil-kecil.
Apa yang menyebabkan GH Dahmen jatuh sakit, seperti diberitakan kelak, GH
Dahmen sakit karena diduga keracunan (lihat Dagblad van Zuidholland en 's
Gravenhage, 17-05-1880)
Asisten Residen pertama GH
Dahmen tidak hanya berperan penting dalam perang melawan pangikut Pangeran
Antasari juga berperan membuka hubungan bagian hulu sungai Mahakam dan hulu
sungai Barito. Dalam konteks inilah peran GH Dahmen membuka isolasi Moeara Tewe.
GH Dahmen telah tiada, pemerintah Hindia Belanda kehilangan pejabat yang paling
berhak dari pemerintah dalam negeri dalam banyak hal. Tentu saja sahabat Edward Douwes Dekker alias Multatuli kehilangan teman seperjuangan.
Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-02-1866: ‘Pada tanggal 24 Januari kapal
perang Sr. MS. Madura berangkat ke Muara-Teweh (dari Bandjarmasin) untuk mentransfer
pasukan tambahan dan logistik dan juga untuk menangani urusan lainnya disana’.
Sehubungan
dengan situasi dan kondusif di sepanjang daerah aliran sungai Doesoen atau
sungai Barito dan intensitas militer ke Moeara Teweh, perdagangan semakin
lancar (lihat Bataviaasch handelsblad, 21-03-1866). Afdeeling baru telah
dibentuk dengan nama Afdeeling Doessoen en Bekompaij. Seorang pejabat
pemerintah diangkat untuk urusan afdeeeling tersebut (waarnemend civiel
gezaghebber).
Nederlandsche staatscourant, 10-07-1866: ‘Penjabat
(waarnemend civiel gezaghebber van de afdeeling Doessoen en Bekompaij) kembali
ke kantornya pada 16 April dari perjalanan inspeksi ke Beneden Doessoen, dimana
ia menemukan keadaan sangat menguntungkan. Penduduk disana semakin cenderung ke
tempat tinggal komunal dan terutama terlibat dalam koleksi produk hutan. Empat
kampung yang cukup bagus telah dibangun antara Montallat dan [Moeara] Teweh,
masing-masing terdiri dari 20 sampai 30 rumah. Di Moeara-Teweh, orang-orang
dari negara-negara atas [Boven Doesoen] terus berdatangan untuk menyerahkan wilayah
mereka di bawah pemerintah’.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Perkembangan Lebih Lanjut Muara
Teweh
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Untung lah muara teweh barito utara di kenal juga di jakarat ..heee
BalasHapus