Laman

Senin, 14 November 2022

Sejarah Bengkulu (13): Sejarah Pertanian di Wilayah Bengkulu; Sejak Era Inggris dan Era Program Pemerintah Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bengkulu dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah pertanian nyaris tidak mendapat tempat dalam narasi sejarah, termasuk dalam narasi sejarah Bengkulu. Mengapa? Boleh jadi tidak ada yang tertarik. Bisa jadi karena ketersediaan datanya minim. Okelah, itu satu hal. Namun sejarah tetaplah sejarah. Sejarah pertanian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah.

 

British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan pusat perdagangan lada. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang disana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut. Sejak tahun 1713, dibangun benteng Marlborough (selesai 1719) yang hingga sekarang masih tegak berdiri. Namun, perusahaan ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi. Sejak dilaksanakannya Perjanjian London pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan ke Belanda, dengan imbalan Malaka sekaligus penegasan atas kepemilikan Tumasik/Singapura dan Pulau Belitung). Sejak perjanjian itu Bengkulu menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. Penemuan deposit emas di daerah Rejang Lebong pada paruh kedua abad ke-19 menjadikan tempat itu sebagai pusat penambangan emas hingga abad ke-20. Saat ini, kegiatan penambangan komersial telah dihentikan (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pertanian di wilayah Bengkulu? Seperti disebutkan di atas, sejarah pertanian kurang mendapat perhatian. Namun itu tidak menjadi halangan untuk menulis sejarah pertanian. Sejarah pertanian dapat dimulai dari era Inggris dan era Pemerintah Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah pertanian di wilayah Bengkulu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarah Pertanian di Wilayah Bengkulu: Zaman Kuno hingga Era Inggris

Sejarah pertanian di wilayah Bengkulu terbilang memiliki sejarah yang unik. Seperti di wilayah lain, sejarah pertanian di Bengkulu tidak hanya subjek pertanian penduduk dan perdagangan orang asing. Dalam sejarah pertanian di Bengkulu, keterlibatan orang Inggris juga nyata. Ini bermula dari persaiangan yang ketat dalam perdagangan antara EIC Inggris dan VOC Belanda di Maluku. Dalam persaingan di kepulauan rempah-rempah itu Inggris kalah sehingga mulai membangun perkebunan rempah-rempah di Bengkulu.


Di wilayah Bengkulu sendiri, awalnya bahan pangan dipasok dari pedalaman antara lain beras dari wilayah Minangkabau dan wilayah Rejang. Namun itu tidak cukup seiring dengan pertambahan populasi penduduk di wilayah pesisir Bengkulu yang meningkat secara geometris dari waktu ke waktu. Impor bahan pangan terutama beras dari Jawa menjadi sangat meningkat. Importir itu diperankan oleh para pedagang asal Banten (yang selama ini telah memasok beras ke Palembang, Toelang Bawang dan Lampong).

Persaingan antara Inggris dan Belanda di Maluku membuat posisi Ternate sentral. VOC Belanda memiliki hubungan yang kuat dengan Ternate. Akibatnya, selain Spanyol yang telah menyingkir ke Filipina, Inggris juga pada akhirnya hanya bisa bertahan di pantai barat Sumatra di Bengkoelen (terutama setelah tahun 1782). Sejak tahun 1795 Inggris tidak membutuhkan Maluku dan Ternate lagi, karena Inggris sebelumnya sudah membawa bibit cengkeh dan pala dari Maluku dan telah dibudidayakan di Bengkolen.


Perang Inggris dengan Belanda di Ternate tahun 1795 adalah sisa noda yang tidak terhapus dalam sejarah navigasi pelayaran Inggris. Seperti kita lihat nanti, akhirnya ambisi Inggris berhasil menaklukkan Belanda di Ternate tahun 1810. Satu tahun kemudian Inggris juga berhasil menaklukkan Belanda di Jawa. Tuntas sudah Inggris berhasil menguasai seluruh Hindia Timur. Celakanya, sejak Inggris berkedudukan di Jawa, Maluku mulai dilupakan dan Ternate secara perlahan mulai redup. Orang-orang Belanda yang kembali berkuasa tahun 1816 celakanya lagi mengikuti cara Inggris melupakan Ternate. Sejak tahun 1819 muncullah adagium baru bagi orang Belanda: Maluku masa lalu, Jawa masa kini dan Sumatra masa depan. Dalam konteks inilah sejarah pertanian di Sumatra termasuk di Bengkulu bermula secara massif.

Cengkeh dan pala yang diinisiasi ileh Inggris di wilayah Bengkulu, tidak hanya sesuai dengan tanah-tanah di Sumatra, juga budidaya pala dan cengkeh Inggris di Bengkulu telah menghasilkan. Sudah melebih satu juta batang pohon cengkeh yang tumbuh baik di Bengkulu. Produksi pala dan cengkeh di seluruh kepulauan Maluku yang tergantung pada budidaya penduduk local mulai tersaingi oleh jumlah produksi budidaya yang dilakukan oleh orang Ingrris sendiri. Teknik budidaya di Bengkulu (intensifikasi) menjadi solusi untuk mengatasi produksi Maluku yang ekstensifikasi,


Sebagai perbandingan, para pedagang-pedagang Eropa di Hindia Timur, sejak awal tergantung pada perdagangan yang longgar (di pantai) dengan produksi hasil budidaya penduduk local (dari pedalaman) seperti pala dan cengkeh di Maluku dan lada di Sumatra (tentu saja masih ada produk zaman kuno Sumatra seperti kamper, damar dan kemenyan). Dalam variasi produk perdagangan ke Eropa, seiring dengan perkembangan zaman, pedagang-pedagang VOC/Belanda di Jawa mulai mengembangkan pertanian pangan padi untuk perdagangan domestik dan mengintroduksi dan mengembangkan pertanian komoditi ekspor dalam bentuk perkebunan (plantation) seperti tebu/gula dan zat pewarna serta kapas. Lalu berikutnya pedagang VOC/Belanda mengintroduksi tanaman kopi di Jawa sejak 1711 yang mana bibitnya didatangkan dari Malabar/India dimana populasi penduduk yang mengusahakannya. Selain lada, di Bengkulu, dalam hal ini introduksi pala dan cengkeh menjadi bentuk baru di Sumatra yang sudah sejak lama dilakukan VOC Belanda di Jawa. Kopi yang diinroduksi VOC di pantai barat Sumatra, dan terutama cengkeh yang diintroduksi Inggris menjadi sebab penyebaran dua komoditi ekspor itu di Sumatra.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Pertanian di Wilayah Bengkulu: Pemerintah Hindia Belanda hingga Era Pemerintah Republik Indonesia

Sejarah pertanian di wilayah Bengkulu adalah juga sejarah pertanian di Sumatra. Perhatian orang Eropa/Belanda tentang pertanian sudah sejak lama secara terbatas di (pulau) Jawa. Potensi pertanian dalam arti luas tanaman ekspor di wilayah Maluku sudah diketahui secara luas diantara pedagang-pedagang Eropa termasuk Inggris. Persaingan antara Inggris dan VOC/Belanda di Maluku menyebabkan orang Inggris mengubah strategi, yang mulai melakukan eksplorasi di wilayah Sumatra.


Pada tahun 1772 dua ahli Inggris dikirim untuk melakukan ekspedisi ilmiah. Charles Miller dikirim ke jantung pulau Sumatra di Angkola (kini Tapanuli Selatan) untuk menyelidiki potensi tanaman ekspor dan perihal budidaya penduduk asli. Saat itu pos perdagangan Inggris di pantai barat Sumatra berada di Bengkoeloe dan di pulau Pontjang di Teluk Tapanoeli. Sementara James Scott dikirim ke Jawa untuk memulai ekspedisi ke (benua) Australia dan lautan Pasifik. Setelah terbitnya hasil penelitian mereka kemudian dilanjutkan dengan penugasan seorang pejabat Inggris di Bengkoeloe, William Marsden untuk melakukan penyelidikan sejarah, bahasa dan sosial budaya penduduk Sumatra. Hasil-hasil penelitian ini menjadi informasi penting begi kebijakan pemerintah Kerajaan Inggris untuk menjadikan Australia sebagai wilayah koloni baru, setelah sebelumnya Inggris mendapat tekanan dari warga Amerika (yang pada akhirnya Amerika memerdekakan diri tahun 1774). Lalu kebijakan itu disusul dengan kebijakan untuk mengokupasi (pulau) Sumatra dengan memindahkan skuadron Inggris di Madras ke Bengkoeloe pada tahun 1779. Lalu pada tahun 1781 cabang pemerintahan Inggris (yang berpusat di India) dibentuk di Sumatra yang dimulai di Bengkoeloe dan Tapanoeli. Pada tahun ini juga hasil penyelidikan Marsden terbit dalam bentuk buku dengan judul The History of Sumatra. Marsden banyak mengutip dari penyelidikan Miller. Satu yang penting, selain hasil penyelidikan bahasa-bahasa (terutama bahasa Melayu), Marsden mengidentifikasi penduduk asli Sumatra yang berada di pedalaman terbagi ke dalam lima kelompok populasi besar: Gajo/Atjeh, Batak, Minangkabau, Kerintji, Redjang dan Lampoeng. Penduduk yang mengidentifikasi Melayu berada di wilayah pesisir.

Hasil eksplorasi di Sumatra (botani dan sosial budaya) dan pembentukan cabang-cabang pemerintahan Inggris di Sumatra menjadi modal kebijakan Inggris untuk melakukan invasi ke (pulau) Jawa pada tahun 1811. Ini dengan sendirinya kekuasaan Inggris sangat luas mulai dari Tanah Aran, termasuk Mesir, India, Sumatra, Jawa hingga Australia. Namun pendudukan Jawa tidak lama harus berakhir tahun 1816, dimana Jawa dikembalikan ke Pemerintah Hindia Belanda yang telah dibentuk sejak 1800 (suksesi VOC/Belanda). Hal itu menyebabkan Inggris memusat di Australia dan di Sumatra. Namun persoalan Inggris tidak sampai disitu, karena Belanda ingin menyingkirkan Inggris dari Hindia Timur.


Sejak 1781 orang-orang Belanda di pantai barat Sumatra terusir oleh Inggris dan memusat ke Jawa. Selama fase inilah pengaruh Inggris di Sumatra semakin kuat. Namun ketika pendudukan Jawa, perhatian Inggris di Sumatra berkurang. Banyak perselisihan internal di Sumatra muncul, antara lain antara Kerajaan Pagaroejoeng dengan kaum Padri dan antara para pengeran Kesultanan Palembang dengan Pemerintah Hindia Belanda serta antara pangeran berasal Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda di Lampong. Kembalinya Jawa kepada Pemerintah Hindia Belanda (1816) menyebabkan Inggris mulai lagi memperhatikan Sumatra. Hasil penyelidikan Milller dan Marsden dibuka kembali. Raffles mantan Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa yang relokasi ke pantai barat Sumatra di Bengkoeloe meulai melakukan ekspedisi sendiri ke pedalaman Sumatra pada tahun 1818. Mengikuti arah penyelidikan terdahulu (Miller) melakukan penyelidikan ke wilayah selayan dari tiga titik ekspedisi: Padang ke pedalaman Minangkabau; Indrapoera ke pedalaman Kerintji/Hulu Jambi; dan Bengkoeloe ke pedalaman Redjang/Hulu Palembang. Untuk wilayah Kroei ke pedalaman Ranau/Hulu Lampong dilakukan oleh pejabat yang lain. Hasil ekspedisi Raffles telah memperkaya hasil penyelidikan awal oleh Marsden tentang Sumatra. Satu yang penting dalam penyelidikan Raffles ini adalah penemuan (eksplorasi) wilayah-wilayah tambang di pedalaman, suatu yang tidak ditemukan dalam ekspedisi Millier dan penyelidikan Marsden. Salah satu potensi tambang (emas) yang ditemukan Raffles berada di wilayah Lebong. Berita penemuan tambang (emas) pedalaman Sumatra oleh Raffles memicu perhatian Pemerintah Hindia Belanda untuk merundingkan agar Inggris mengembalikan lagi Sumatra kepada Belanda (kecuali Bengkulu). Perundikan itu berhasil sehingga Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk cabang pemerintahan tahun 1819 di Sumatra yang dimulai di Tapanoeli (karena Inggris masih berada di Padang). Akhirnya Inggris harus keluar dari Padang pada tahun 1821 dan hanya terkonsentrasi di Bengkulu.

Upaya Pemerintah Hindia Belanda menyingkirkan Inggris dari Sumatra, menemui titik terang karena Pemerintah Hindia Belanda memiliki daya tawar yang lebih tinggi, selain Inggris terjepit diantara Padang/Indarapoera dan Lampong, Pemerintah Hindia Belanda menawarkan tukar guling antara Bengkulu (Inggris) dengan Malaka (Belanda). Perjanjian ditandatangani yang dikenal Traktak London 1824. Habis sudah Inggris di Sumatra (sementara Inggris yang sejak 1819 memulai dari Nol di Semenanjung Malaya ingin mengembangkan jalur baru India, Atjeh, Malaya dan China, plus Borneo Utara). Sejak 1826 Pemerintah Hindia Belanda yang beribukota di Batavia (Jawa) mulai mereorganisasi pemerintahan di Sumatra khususnya di pantai barat Sumatra) termasuk di dalamnya pengembangan pertanian penduduk. Namun di Bengkoeloe persoalannya program ini sedikit bergeser, karena Pemerintah Hindia Belanda mellihat Bengkoeloe memiliki keunggulan komparatif dalam soal pertambangan (emas). Apakah program pengembangan pertanian di Bengkoeloe diabaikan?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar