*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Sejarah nama geografi tidak hanya soal asal
usul nama (boya, boyo, baya lali). Lebih dari itu. Bagaimana sejarahnya.
Tampaknya belum ditulis, mungkin tidak ada yang berminat. Okelah, sebelum lupa,
dan nama Boyolali terlupakan ada baiknya kita angkat lagi lebih tinggi.
Sejarahnya yang jauh di masa lampau, tenggelam begitu saja. Padahal di wilayah Boyolali,
juga ada nama kampong tempo doeloe, kampong Selo diantara gunung Merapi dan
gunung Merbabu.
Boyolali adalah sebuah wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibu kotanya adalah kecamatan Boyolali, terletak sekitar 25 km sebelah barat Kota Surakarta. Kabupaten ini termasuk kawasan Solo Raya. Menurut cerita serat Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali tak disebutkan. Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, nama Boyolali belum dikenal. Menurut legenda nama Boyolali berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang pada abad XVI). Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat Ki Ageng dirampok oleh tiga orang ternyata dugaan itu keliru maka tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Salatiga. Perjalanan diteruskan hingga sampailah di banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel sekarang dikenal dengan nama Ampel. Ki Ageng Pandan beristirahat di sebuah Batu Besar yang berada di tengah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng berucap "Båyå wis lali wong iki" yang dalam bahasa Indonesia artinya "Sudah lupakah orang ini". Dari kata "Båyå Wis Lali" maka jadilah nama Boyolali. Kini ama-nama kecamatan di kabupaten Boyolali antara lain Ampel, Andong, Banyudono, Boyolali, Cepogo, Gladagsari, Juwangi, Karanggede, Kemusu, Klego, Mojosongo, Musuk, Ngemplak, Sambi, Sawit, Selo, Simo, Tamansari, Teras, Wonosamodro (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Boyolali di Soerakarta, antara Kartasura dan Salatiga? Seperti disebut di atas, sejarah Boyolali kurang terinformasikan. Namun sebelum lupa dan dilupakan mari kita mulai dari kampong tempo doeloe, kampong Selo diantara gunung Merapi dan gunung Merbabu. Lalu bagaimana sejarah Boyolali di Soerakarta, antara Kartasura dan Salatiga? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Boyolali di Soerakarta, Antara Kartasura dan Salatiga; Kampong Selo Tempo Dulu Antara Gunung Merapi - Merbabu
Sejarah awal Boyolali haruslah dimulai ketika intensitas perdagangan di sungai Bengawan/Semanggi dimana kemudian terbentuk kampong Sala (yang menjadi asal usul nama Solo untuk wilayah kraton Soerakarta). Intensitas perdagangan di daerah aliran sungai Semanggi ini diduga kuat sudah berlangsung sejak zaman kuno era Hindoe Boedha. Dengan demikian arah perdagangan mengarah ke pantai timur di Sorabaja atau Arosbaja (kebalikn seperti nanti Karto-sura dan Sura-karta). Dalam hal ini kita masih membicarakan wilayah yang kemudian dikenal sebagai distrik Bojolali berada di wilayah belakang (Kartosura/Surakarta).
Wilayah (distrik) Boyolali yang berada di belakang
lalu lintas perdagangan di sungai Bengawan/Semanggi (kelak sungai Semanggi
disebut sungai Solo yang kemudian Bersama daerah aliran sungai Bengawan disebut
sungai Bengawan Solo). Wilayah Boyolali
ini secara geografis menjadi sumber perdagangan yang kaya, yang berada di
lereng antara dua gunung (gunung Merapi dan gunung Merbabu). Oleh karena arah
lava gunung Merapi menjadi ke selatan dan barat (Sleman), maka akses menuju
puncak Merapi hanya dapat dilalui dari Boyolali dengan mudah, Dengan kata lain
wilayah Boyolali menjadi relatif subur dan vegetasinya lebih beragam. Untuk sekadar menambahkan di sini, wilayah
(residentie) Jogjakarta arah perdagangannya cenderung ke selatan (pantai
selatan) namun, seperti kita lihat nanti bergeser ke arah utara (Soerakarta).
Foto: gunung Merapi dan gunung Merbabu dilihat dari arah Klaten (1901)
Pada peta-peta awal era VOC, tidak teridentifikasi nama Boyolali. Yang diidentifikasi antara Salatiga dan Kartasura adalah kampong Amba (nama kampong yang diduga kini Ampel). Kampong Boyolali, meski tidak teridentifikasi, tetapi wilayah yang cukup dikenal sebagai wilayah persimpangan antara Kartosura dengan Semarang dan antara Kartasura dengan Magelang. Kampong kuno yang dikenal jalur Kartosura ke Megelang yang tepat berada diantara gunung Merapi dan gunung Merbabu adalah kampong Selo (sejak era VOC, orang Belanda merasa kesulitan melalui Salatiga ke Soerakarta melalui Amba karena jalan yang sulit pegunungan (hal itu boleh jadi di masa lampau wilayah yang berkembang adalah jalur barat gunung Merapi/Merbabu melalui Magelang. Hal itulah mengapa Selo penting di zaman kuno.
Secara toponimi, nama Selo diduga berasal dari zaman kuno era Hindoe Boedha. Sinonim dengan nama ‘selo’ ini pada sejaman adalah sora, sura, saro di satu sisi dan nama aros, aru, aro di sisi yang lain. Tiga kata ini (selo, aros, sura) digunakan secara luas (terutama di Sumatra dan Jawa), yang mengindikasikan berasal dari zaman kuno Hindoe Boedha. Pada era sejaman nama sungai Semanggi dan nama sungai Bengawan sama-sama nama sungai merujuk pada nama tempat (kampong). Oleh karena nama kampong Sala (kemudian bergeser Solo) menjadi lebih penting maka nama sungai Semanggi bergeser menjadi sungai Solo. Boleh jadi nama selo atau sela dan nama sala memiliki pengertian yang sama, yang mana nama sala bergser menjadi solo. Bagaimana dengan nama boyo? Boleh jadi kurang lebih sama dengan baya (Sorabaya, Arosbaya), bojo (Bodjonegoro) yang merujuk pada bayu (angin) seperti Pabayuran, Telukbayur atau banyu (sungai/banjir) seperti Banjumas, Banyuwangi, Banyubiru, Banyuasin serta bayo atau bayo-bayo (baia, baai, bay). Tentu saja jangan lupa dengan nama legenda Djojobojo.
Seperti halnya nama Klaten, nama Boyolali mulai diidentifikasi pada awal permulaan era Pemerintah Hindia Belanda. Seperti halnya di Klaten, di Bojolali juga benteng dibangun. Benteng dimana kemudian terletak kota Bojolali sudah teridentifikasi pada awal VOC memasuki pedalaman Jawa (peta-peta sekitar 1700). Benteng Bojolali kemudian lebih tepat disebut sebagai pos militer.
Benteng Boyolali, pada masa Perang Jawa (1825-1830) yang merupakan garis pergerakan militer Semarang, Salatiga, Boyolali, Soerakarta, Klaten dan Jogjakarta merupakanm gagasan Jenderal de Kock. Namun itu pasca perang dianggap pilihan Salatiga dan Boyolali memiliki kelemahan yang mendapat kritik dari berbagai pihak. Pasar 13 dalam undang-undang terkait ekspedisi memang disebutkan, yang menjadi syarat adalah sehat (udara dan air) yang dimaksudkan sebagai pesiapan sebelum ke medan perang. Semarang pada saat itu tida memenuhi, sehingga markas militer digeser ke Salatiga dan Boyolali. Akan tetapi para pengeritik tidak hanya cukup melihat sisi Kesehatan saja tetapi juga soal tempat strategis. Salatiga dan Boyolali dianggap tidak strategis. Hal itulah yang kemudian markas militer direlokasi dari Salatiga ke Ambarawa (Fort Willem I) dan dari Boyolali ke Megelang. Kesalahan dan pergeseran gatnisun militer adalah satu hal, tetapi hal lain, dalam hal ini, akibat dari itu, nama kampong Salatiga dan Boyolali menjadi penting, dan kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan sipil (kota).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kampong Selo Tempo Dulu Antara Gunung Merapi – Merbabu: Boyolali Antara Selo dan Kartasura
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar