*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini
Tiongkok terhubung dengan Indonesia (baca: nusantara)
sejak masa lampau di zaman kuno. Catatan Tiongkok dinasti Han pada abad ke-2
menunjukkan kehadiran utusan (duta besar) dari Laut Selatan (yang diduga dari
Sumatra) ke Peking. Nama-nama tempat di Sumatra dicatat dalam kronik Tiongkok
pada abad ke-6. Besar dugaan orang nusantara lebih dulu ke Tiongkok daripada
orang Tiongkok ke nusantara. Mengapa?
Intip Kampung Indonesia di China, Penghuninya Setia Lestarikan Budaya Nusantara. Annastasya Rizqa. Okezone. Travel. 10 Agustus 2023. Di China ada Kampung Indonesia dan penghuninya orang-orang dari Nusantara. Letaknya di Kota Yingde, Donghua, Provinsi Guangdong. Penduduknya rata-rata masyarakat Indonesia berdarah Tionghoa yang "kembali" ke China setelah peristiwa berdarah yang disponsori Badan Intelijen Amerika Serikat atau CIA pada 1965 di Indonesia. Mereka ke China dan melanjutkan hidup dengan membentuk permukiman bernama Kampung Indonesia. “Jadi mereka orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia, kemudian kembali ke sini karena berbagai alasan,” kata Rudy Chen. Dalam video yang diunggah Rudy Chen, mnereka sudah menetap di China sejak tahun 60-an. Mereka semua masih fasih berbahasa Indonesia. Mereka memperkenalkan diri menggunakan bahasa Indonesia ada yang berasal dari Malang, Cianjur hingga Aceh. Wu Jiannan dari Aceh masih hapal menyanyikan lagu Indonesia Raya. Wu Jiannan dari Indonesia ke China menempuh perjalanan jalur laut selama 7 hari 7 malam tahun 1967. Mereka juga masih membudayakan kuliner seperi kue dadar, klepon hingga kue lapis (https://travel.okezone.com).
Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Tiongkok? Seperti disebut di atas, dalam hubungan migrasi timbal balik modern, hubungan tradisional antara pantai timur Tiongkok dan Indonesia di Nusantara sudah terbentuk sejak zaman kuno. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Tiongkok? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Orang Indonesia di Tiongkok; Hubungan Tradisional Antara Pantai Timur Tiongkok dan Indonesia di Nusantara
Motivasi orang Indonesia ke negara-negara Asia Timur awalnya berbeda-beda. Ke Taiwan karena alasan navigasi pelayaran perdagangan di masa lampau; ke Jepang karena alasan kebutuhan guru-guru bahasa Melayu/Bahasa Indonesia di masa Pemerintah Hindia Belanda. Bagaimana dengan tujuan negara Tiongkok? Pada masa modern, awalnya karena tempat transit ke Rusia (via Shanghai), tetapi dalam perkembangannya karena alasan nasib yang sama: sama-sama dalam perjuangan mengentaskan rezim berkuasa dengan mengusung ideologi baru (komunis).
Pada masa lampau di zaman kuno, orang Indonesia di era nusantar, dari Sumatra ke pantai timur Tiongkok dalam navigasi pelayaran perdagangan. Sumatra kaya dengan sumber daya alam (emas, kamper, kemenyan. Puli, gading dsb) yang dipertukarkan dengan produk industry Tiongkok seperti kerajian bahan logam, keramik dan kain. Demikianlah yang tercatat dalam kronik Tiongkok abad ke-2 dinasti Han dimana utusan raja Yah-teio (Sumatra) menghadap kaisar Tiongkok di Peking dalam maksud untuk membuka pos perdagangan di (laut) selatan. Pada abad ke-6 dalam kronik Tiongkok dicatat nama-nama tempat di Sumatra seperti Pa-lus-se (Barus?), Ti-kui (Tiku?), Pan-tiu (Panti/), Pe-song (Hapesong atau Sipisang?) dan lainnya. Nama-nama tersebut diduga merupakan sentra/pelabuhan emas, kamper dan kemenyan. Pada abad ke-7 dalam kronik Tiongkok dicatat nama I’tsing yang singgah di Sumatra dalam pelayarannya ke Nalanda (di India) untuk mempelajari (ajaran) Boedha. Sejak ini diduga orang-orang Tiongkok semakin intens berlayar dari Canton di pantai timur Tiongkok ke pulau-pulau selatan (Nusantara). Ekepedisi Mongol (Kubilai-khan) ke Jawa pada akhir abad ke-14 dan kemudian disusul kehadiran orang Tiongkok di nusantara yang dicatat oleh Ma Huan dalam ekspedisi Chengho pada awal abad ke-15. Beberapa tempat yang dicatat Ma Huan berada di Sumatra seperti Pa-lim-pang (Palembang), A-lu (Aroe Batak Kingdom), dan Su-men-ta-la (Sungai Karang atau Samudra), serta Man-la-ka (Malaka di Semenanjung?). Pada awal kehadiran pelaut-pelaut Eropa di Hindia Timur (nusantara) tahun 1509-1511 dalam catatan-catatan pelaut Portugis menemukan pedagang-pedagang Cina di Malaka. Dalam laporan seorang Portugis (Mendes Pinto) pada tahun 1537 Aroe Batak Kingdom menjadikan pedagang-pedagang Cina sebagai penjaga maritim di sepanjang pantai timur Sumatra. Dalam hal ini, konon nama Cina diberikan orang Sumatra sebagai Sina (S-ina), Sinai (S-ina-i) yang kemudian dicatat pelaut-pelaut Portugis sebagai Kina (K-ina) sebagaimana Tainan (Taiwan) dan Hainan. Orang-orang Tiongkok memiliki nama sendiri yakni Tiongkok. Lalu terakhir pelaut-pelaut Inggris mengeja Sina atau Kina menjadi China (dan orang Indonesia kemudian mengejanya dengan nama Cina). Dalam hal ini juga, boleh jadi nama Thursina (tor sina?) di Mesir (Sinai) diberikan oleh orang-orang nusantara. Ina dalam bahasa Austronesia (nusantara) adalah ibu. Seperti kita lihat nanti. pada era era VOC/Belanda hingga era Pemerintah Hindia Belanda semakin masif orang Cina ke Indonesia.
Pada tahun 1921 seorang Indonesia, bernama Samaoen tiba di Shanghai Shanghai (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 10-11-1921). Kehadiran Samaoen di Shanghai karena sudah ada temannya seorang Belanda, Henk Sneevliet di Shanghai (propagandis komunis Internasional/Moskow di Timur Jauh). Tujuan utama Samoen singgah di Shanghai dalam perjalanan ke Vladivostok menuju Moskou (Rusia). Setelah tujuh bulan di Moskou, Samaoen kembali ke tanah air (di Soerabaja) melalui Shanghai (lihat De standaard, 31-05-1922).
Shanghai adalah kota utama di pantai timur Tiongkok bagian selatan (dekat dengan nusantara). Pada zaman kuno, kota utama berada di Canton. Dalam kronik Tiongkok pada abad ke-7 (628) selain ada perkampongan orang-orang selatan (nusantara) di Canton juga terdapat tiga kampong yang didirikan oleh para pelaut/pedagang Arab. Pada tahun 1516 pelaut-pelaut Portugis mendirikan pos perdagangan (benteng) di suatu pulau kecil di muara sungai Canton. Nama Shanghai sendiri masih terbilang baru, paling tidak baru terinformasikan pada tahun 1842 (lihat Javasche courant, 01-10-1842). Pada masa ini tiga nama penting adalah Canton, Shanghai dan Amoy. Pengganti nama kota utama Canton kelak adalah Guangzhou. Shanghai berada di pantai timur Tiongkok antara Canton di selatan dan Peking di utara (nama Peking pada masa ini lebih dikenal sebagai Beijing).
Pada tahun 1923 ini Semaoen ditangkap dan ditahan di
dalam penjara. Sementara Tan Malaka, yang diasingkan ke Belanda kemudian
diketahui sudah berada di Moskow. Selepas dari penjara, kemudian diketahui
Semaoen berangkat ke Shanghai. Dalam “kongres buruh angkutan di kawasan
Pasifik” yang pertama di Canton pada bulan Juni 1924 turut dihadiri delegasi
dari Jawa (Samaoen?
Konferensi Pan-Pasifik yang diadakan di Canton, atas inisiatif Serikat Buruh Merah Internasional (Profintern), mempertemukan perwakilan pekerja transportasi dari Cina Utara dan Selatan, Jawa, dan Filipina. Dalam kongres ini diputuskan untuk mendirikan kantor di Canton, yang akan menaungi sekretariat untuk Tiongkok, Indonesia, Filipina, Jepang, dan India.
Pada bulan Desember 1924, diadakan Kongres di Koetagédé (Jogjakarta) yang diselenggarakan oleh Partai Komunis Hindia Belanda. Lalu, pada tahun 1925 sejumlah orang Indonesia berangkat ke Shanghai yakni Tan Malaka, Sanoesi, dan Mandojono. Besar dugaan Tan Malaka ke Shanghai berangkat dari Canton (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 30-06-1924). Disebutkan Tan Malaka bekerja dengan Dr Sun Vat Sen di Canton.
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 20-06-1925: ‘Tan
Malaka, Sanoesi dan Mandojono semuanya memilih arah yang sama, selalu dengan
suatu kepastian yang menimbulkan kecurigaan bahwa perjalanan mereka sama sekali
bukan suatu usaha yang penuh risiko. Tuan-tuan tersebut,
seperti diketahui, akan pergi ke Shanghai. Apa yang mereka lakukan di sana
tidak diketahui secara resmi. Yang pasti tujuan mereka adalah untuk berhubungan
dengan pemimpin-pemimpin lain dan dari sana terjalinlah hubungan yang
terus-menerus dengan apa yang sebelumnya disebut Gerakan Merah di Hindia. Mandojono,
sebagaimana terdengar dari luar, pertama-tama pergi ke Penang untuk melakukan
kontak dengan elemen merah di sana, lalu pergi ke Bangkok, di mana, menurut
kantor berita Alpena, ia menemukan koloni Jawa dan berbicara dengan beberapa
pemimpin komunis, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina. Terungkap
bahwa salah satu pamflet yang, menurut Reuter, didistribusikan di Shanghai,
baru-baru ini diambil alih oleh organ komunis Hindia
dan tempat lain. Cukup pasti bahwa para pemimpin pribumi di Shanghai sedang
mencoba untuk menghubungi organisasi propaganda Soviet (yang tampaknya juga
telah dicoba dengan sukses oleh Semaoen pada saat itu) dengan harapan bahwa
dengan demikian mereka akan memiliki dana yang dapat digunakan untuk membiarkan
Jawa berbagi manfaat dari propaganda ini’.
Setelah beberapa lama di Shanghai, para pemimpin komunis Indonesia tersebut kembali ke tanah air. Pada bulan Juli dan Agustus terjadi beberapa pemogokan di tempat berbeda. Pada bulan November 1925 di Tanah Tinggi di Batavia diadakan suatu pertemuan di bawah presidium Tan Malaka. Pemerintah segera merespon dengan mengeluarkan instruksi pelarangan berkumpul di Jawa dan Madoera, Sumatra dan Sulawesi tanggal 17 November 1925.
Sementara ada yang dikirim ke semua provinsi di
Jawa untuk memberikan informasi, Soegono dan Boedi Soejitro telah melakukan
perjalanan ke Canton. Antara Indonesia dan Seksi seksi Singapura diadakan kontak
terus-menerus. Lalu pada bulan Juli 1926 di Singapoera diadakan pertemuan
sejumlah rokoh seperti Semaoen, Tan Malakka, Moeso, Alimin, Soebakat dan Wardono. Dari Singapoera muncul
perintah untuk mengadakan pengumpulan dana di Jawa guna membeli senjata, yang
dihentikan pada bulan Agustus ketika dianggap sudah cukup uang.
Setelah beberapa lama kemudian, pada bulan November 1926 terjadi permberontakan komunis di Jawa. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republic di wilayah Indonesia. Namun rencana aksi ini terendus di Jawa Tengah dan gagal meledak karena berhasil diamankan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-11-1926). Sementara itu di bagian barat Jawa Barat (Banten) aksi dapat berjalan (namun segera dapat dipadamkan). Lalu para pemimpin PKI melarikan diri ke luar negeri seperti Alimin, Moeso dan Darsono serta Tan Malaka. Lantas kemana mereka pergi?
Yang jelas, Shanghai adalah pos terdepan komunis internasional
di Timur Jauh. Pos ini telah dirintis oleh Henk Sneevliet setelah dirinya diusir
dari Indonesia pada tahun 1918. Henk Sneevliet adalah Kamerad pertama di Asia
Timur. Pada kongres dunia kedua
(1919), Sneevliet diangkat sebagai "propagandis untuk Timur Jauh. Kedudukan
Shanghai juga menjadi penting karena menjadi hub untuk komunis di Indonesia.
Dalam hal inilah Samaoen, Tan Malaka dan lainnya menjadi penting. Keduanya
diketahui telah mahir dalam berbahasa Mandarin. Oleh karenanya para pemimpin
komunis Indonesia memperoleh hubungan dengan Uni Soviet dari Shanghai melalui
Singapura.
Samaoen dan Tan Malaka adalah dua matahari komunis Indonesia. Samaoen adalah tokoh komunis utama di Indonesia, sementara di Belanda tokoh komunis utamanya adalah Wijnkoop. Henk Sneevliet begitu dekat dengan Samaoen karena keduanya berada di jalur komunis yang sama (Asia Timur termasuk Indonesia). Dalam Kongres Kelima Komunis Internasional di Moskow pada tahun 1924 yang juga turut dihadiri Wijnkoop dan Samaoen, keduanya sempat memiliki pendapat yang berbeda.
Dalam Kongres Prancis, Wijnkoop menggembar-gemborkan peran penting yang
dimainkan seksi Belanda dalam pembebasan Hindia dari cengkeraman kapitalisme!
Belanda adalah negara kecil dengan penduduk yang tenang namun mengesankan yang
tahu apa yang mereka lakukan! Akan tetapi, Samaoen dengan reaktif menolak
pujian itu dan dalam pidato teatrikalnya memberikan penghormatan kepada Rusia yang
banyak dipujinya, yang ia junjung sebagai contoh bagi rekan-rekan sejawatnya di
Belanda. Dengan kata lain, Komunis Indonesia di tanah mereka sendiri dan mereka
mengikuti perintah dan saran Moskow. Memang ada namanya orang Belanda Henk
Sneevliet, tetapi Sneevliet adalah perintah Moskow di Shanghai untuk Asia Timur
termasuk Indonesia. Sebagaimana diketahui Komite Eksekutif
"Komintern" dipilih oleh Kongres Komunis Dunia, yang merupakan
"badan utama Komunis Internasional dari kongres ke kongres" dan
memberikan "pedoman yang mengikat" bagi semua organisasi dan partai
yang tergabung dalam "Komintern" di semua negara di dunia, sementara
"jika perlu" Komite ini akan meminta bantuan "biro teknis dan
biro pembantu lainnya yang sepenuhnya berada di bawah Komite Eksekutif untuk
melaksanakan aksi di berbagai negara". Posisi "Komintern" adalah
memaksa kaum Komunis di seluruh dunia untuk mendirikan organisasi Komunis
ilegal di samping organisasi-organisasi yang legal, dan bahwa Komite
"diwajibkan untuk memastikan bahwa hal ini secara praktis terealisasi di
mana-mana".
PKI Indonesia bergabung
dengan "Internasional Ketiga" di Moskow. Syarat-syarat untuk diterima
menjadi anggota Komunis Internasional" yang ditetapkan pada Kongres Dunia
Kedua Komintern tahun 1920. Yaitu: "Dalam masalah koloni dan bangsa-bangsa
tertindas, diperlukan posisi yang sangat pasti dan jelas dari partai-partai di
negara-negara yang kaum borjuisnya menguasai koloni dan menindas bangsa-bangsa
lain. Setiap partai yang ingin bergabung dengan Internasional Ketiga wajib
mengungkap kejahatan kaum imperialisnya dan mendukung setiap gerakan pembebasan
tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan. Ia harus menuntut
pengusiran sesama imperialisnya dari koloni-koloni ini ... dst. dst. "dan
melakukan agitasi sistematis di antara pasukan-pasukan negaranya untuk
menentang segala penindasan terhadap rakyat kolonial." Sahut menyahut
antara Belanda (Wijnkoop) dan Indonesia (Semaoen) mengerujut menjadi: Program komunis
Belanda mencakup prinsip kemerdekaan mutlak Hindia Belanda. Komunis Belanda
akan melakukan apa saja yang bisa untuk memperkenalkan Bolshevisme ke wilayah
koloni; sebaliknya, Semaoen, utusan komunis di Jawa. telah membuat tuduhan
keras terhadap partai Belanda, yang menurutnya, komunis Belanda terlalu lemah
untuk mendapat dukungan kuat. Semaoen di dalam kongres meminta Kongres untuk
menyusun rencana terperinci mengenai kudeta di Hindia Belanda (lihat De
Telegraaf, 16-11-1926).
Sementara Tan Malaka di Canton menulis brosur berjudul Republik Indonesia yang kemudian di dicetak di Canton pada bulan April 1925 dan kemudian dicetak ulang di Tokyo pada bulan Desember 1925. Salah satu kelihaian Tan Malaka disebutkan, meski masuk dalam daftar pertama dalam pencarian orang, namun kerap pulang ke tanah air dengan penyamaran. Disebutkan Tan Malaka sudah beberapa kali pulang bahkan ke kampong halamannya, Pajakombo dengan cara menyamar yang baik. Sebagaimana Samaoen, banyak yang berpendapat Tan Malaka yang fasih berbahasa Mandarin dengan mudah menyembunyikan dirinya di antara orang-orang Cina di Indonesia yang bahkan dalam penyamaran muncul sebagai pedagang kaki lima Cina yang fasih berbahasa Mandarin.
De Indische courant, 11-12-1926: ‘Tan Malaka dan Alimin. Surat kabar Bintang Timoer mengetahui bahwa komunis ekspatriat Tan Malaka, yang berhasil memasuki Hindia Belanda dan memimpin pertemuan rahasia pada bulan November 1925 di Tanah Tinggi dekat Batavia, di mana rencana pemberontakan disusun, kini berpakaian seperti orang Tionghoa, dengan kuncir kuda (paké tauwtjang), berjalan-jalan dan menetap sebagai tukang kayu di Soeliki dan Pajakombo. Ngomong-ngomong, dia orang Minangkabau, nama aslinya Da Toek Tan Malaka dan berasal dari Soeliki. Alimin, mantan anggota dewan P.K. Saya, yang tinggal di Singapura pada bulan Juli tahun ini, menurut surat kabar yang sama, menikah dengan seorang wanita Tionghoa, seorang guru di Hong Kong. Akan tetapi, kami mengetahui dari sumber yang dapat dipercaya bahwa kedua laporan itu tidak benar, karena Tan Malaka sedang dalam perjalanan ke Moskow, sementara Alimin berada di Canton (AID).
Pada tahun 1927 nama Samaoen terinformasikan di Moskow
telah terpilih sebagai anggota dewan "Internationale". Samaoen kemudian
berada di Canton. Samaoen yang sudah akrab dengan Shanghai dikabarkan Samaoen telah
menikah dengan perempuan Cina di Canton dengan mengidentifikasi dirinya dengan
nama Ma Oen. Tampaknya Samaoen di Cina sebagai perwakilan Moskou (seorang
Kamerad).
De Indische courant, 05-02-1927: ‘Dimana Semaoen? Beberapa hari yang lalu
kami membaca di salah satu surat kabar Hindia sebuah laporan, yang diambil dari
surat kabar Eropa, yang mengumumkan bahwa "Samaoen (Moskow)" telah
terpilih sebagai anggota dewan "Internationale" di masa mendatang. Kami
mengetahui dari sumber yang dapat dipercaya, menurut Preanger Post, bahwa
Samaoen telah berada di Kanton selama berbulan-bulan dan telah memainkan peran
aktif dalam aksi ekstremis di kota itu. Dia kemungkinan seorang misionaris
Moskow. Samaoen mengubah namanya di Kanton dan memberinya sedikit nuansa Cina.
Ia dikenal di Canton dengan nama "Ma Oen" dan juga menikah dengan
seorang wanita muda Tionghoa dengan nama yang sama, yang tentu saja berkulit
merah terang. Informan kami tidak dapat memberi tahu kami apakah Samaoen
dinaturalisasi sebagai warga negara Tiongkok, tetapi mengingat perubahan
namanya, kemungkinan besar memang demikian. Ia tidak menjadi Rub, karena jika
memang demikian, artikel surat kabar yang kita baca tentang pengangkatannya
sebagai anggota dewan International akan menyebutnya "Samaoenoff"
atau "Samaoenowski" atau "Samawhisky" atau semacamnya’.
Canton telah menjadi pos utama Indonesia di Cina, tidak lagi ke Shanghai. Faktor geografis diduga menjadi alasannya. Alasan lainnya yang juga dapat dianggap penting bahwa Canton terbilang sebagai kota melting pot. Dalam hal ini Shanghai pos pergerakan komunis di utara dan Canton di selatan (Singapoera dan Indonesia). Gerakan komunis di Indonesia juga melalui jalur Den Haag dan Amsterdam di Belanda.
De locomotief, 18-03-1927: ‘Untuk bekerja sama
dengan semua gerakan politik yang bersifat revolusioner di seluruh Asia, dalam
rangka melawan imperialisme Barat dan Timur dengan kekerasan, yang terkait
dengannya, Partai Buruh Merah Timur (Red Eastern Laboor) telah didirikan di Canton,
yang di dalamnya Ibrahim Datoek Tan Malaka juga mempunyai kedudukan dan badan
yang menjadi penghubung antara serikat buruh angkutan, khususnya buruh
pelabuhan dan pelaut di Asia. Tiongkok, Jepang, India, Filipina, India
Britania, Singapura, Siam, dsb’.
Dalam perkembangannya terinformasikan Tan Malaka ditangkap di Filipina (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1927). Disebutkan Tan Malaka ditangkap di Manila menurut Philippines Herald antara lain ditangkap di Manila pada awal Agustus ini. Tan Malacca alias Felix Fuentes yang telah diburu intelijen Filipina selama enam bulan kemudian diinterogasi, tetapi kemudian dibebaskan oleh polisi pada tanggal 15 Agustus. Tan Malaka telah dibebaskan dengan jaminan 6.000 peso. Tan Malaka kemungkinan disebutkan akan dideportasi ke Amoy.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Hubungan Tradisional Antara Pantai Timur Tiongkok dan Indonesia di Nusantara: Bagaimana pada Masa Kini?
Perjuangan orang Indonesia melawan otoritas Pemerintah Hindia Belanda telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era VOC. Perjuangan yang memiliki misi nasional dimulai di Bandoeng pada tahun 1913. Namun segera dapat dipadamkan dengan mengasingkan tiga pentolannya yakni EFE Douwes Dekker, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Lalu muncullah para kelompok yang berhaluan sosialis/komunis dengan basis di Moskow melalui Shanghai/Canton dan Singapoera (sejak 1921). Dalam konteks ideologi inilah terbentuk hubungan timbal balik antara orang Indonesia di Tiongkok dan orang Tiongkok di Indonesia.
Pada saat kehadiran pelaut-pelaut Belanda di Hindia Timur, mereka begitu kaget
karena banyaknya kapal-kapal jung (asal Tiongkok) lalu lalang terutama di
seputar Laut Jawa. Pada tahun 1619 Belanda/VOC membangun pos perdagangan di
muara sungai Tjiliwong (dekat pelabuhan Kalapa). Lagi-lagi orang Belanda juga
menemukan pedagang Tiongkok di daerah aliran sungai Tjiliwong. Ini
mengindikasikan orang Tiongkok jauh lebih tua di Hindia daripada orang Belanda.
Oleh karenanya pada awal era VOC, pedagang-pedagang kuat asal Tiongkok sudah
banyak di Batavia, salah satu yang utama adalah Ni Hoe Kong (yang kemudian oleh
Pemerintahan VOC mengangkatnya sebagai Kapiten der Chineezen). Dalam
perkembangannya untuk mendukung pertanian tebu dan gula, Gubernur Jenderal
Henricus Zwaardecroon merasa perlu mendatangkan imigran baru dari Tiongkok.
Namun kehadiran imigran Cina di Batavia tidak terlalu berhasil mendongkrak
volume bisnis VOC di Batavia. Ketika aliran imigran ini makin deras masuk,
Gubernur Jenderal membatasi dan menghambat masuknya imigran baru lagi. Namun,
itu tidak mudah. Lalu muncul keputusan pada tahun 1732 untuk mengembalikan dan
‘mendeportasi’ atau mengusirnya ke tengah lautan. Orang Tiongkok yang sudah
turun temurun di Hindia dan imigran-imigran Tiongkok yang baru kadung mencintai
tanah air yang baru, menentang keras keputusan sepihak itu. Ibarat kata siapa
yang berkuasa di Batavia? Orang Belanda sejatinya adalah anak kemarin sore, sementara
orang Tiongkok sudah beranak pinak sejak baheula. Pada tahun 1740 terjadi
pemberontakan orang Cina di Batavia. Ni Hoe Kong berada ditengah-tegah terjadinya
pemberontakan, suatu pemberontakan yang berakhir tragis dengan terbunuhnya
sia-sia sekitar 10.000 orang Cina karena ulah kejam militer VOC yang memiliki
senjata yang lebih kuat . Ni Hoe Kong dalam posisi sulit. Kapitein Ni Hoe Kong
dibantu oleh tiga luitenan (lihat Daghregister, 26 September 1740). Ketiga
luitenan tersebut adalah Oeij Teko, Oeij Sonko, Khouw Tsinko (lihat Tijdschrift
voor Neerland's Indie, 1840). Ni Hoe Kong dicurigai ikut bersekongkol dengan pemberontak
karena Ni Hoe Kong menyembunyikan orang bersenjata di rumahnya. Ni Hoe Kong di
Batavia tidak sendiri tetapi juga terdapat tiga saudaranya yang lain yakni
Nicoangkong, Nilierkong dan Nitjetkong. Mereka berempat adalah anak buah dari
pangeran dari Kaisar Tiongkok sebelumnya (lihat Nederlandsch gedenkboek of
Europische Mercurius,1741). Pasca Perang Cina (lebih tepatnya disebut
Chinezenmoord), Gubernur Jenderal yang baru Johannes Thedens (1741-1743) mulai
beres-beras cuci piring: cooling down. Johannes Thedens, meski ada risiko,
menganggap orang Cina adalah potensi ekonomi yang perlu dimaksimumkan untuk
tujuan VOC. Dalam posisi orang Cina setengah marah dan setengah frustasi,
Johannes Thedens mulai membangkitkan kehidupan orang-orang Cina kembali seperti
sebelum terjadinya perang. Memusuhi orang-orang Cina hanya memperburuk
sendi-sendi ekonomi VOC. Orang-orang Cina bukanlah musuh yang sebenarnya, musuh
VOC yang sebenarnya adalah orang Inggris dan Prancis yang setiap saat dapat
melumpuhkan orang Belanda, orang-orang Cina yang ada di Hindia Timur adalah
orang-orang dari Tanah Tiongkok yang mengadu peruntungan dan mencari kehidupan
baru di Hindia Timur. Johannes Thedens dengan sadar mulai membina kerjasama
dengan orang-orang Tionghoa dengan mengangkat (kembali) pimpinannya. Kebijakan
umum VOC menjadikan penduduk pribumi sebagai subjek diperluas dengan menjadikan
orang Cina sebagai subjek. Pemerintah VOC akan mengontrol orang-orang Cina di
Hindia Timur melalui para pemimpinnya dengan mengangkat (kembali) sejumlah
letnan Cina. Pasca perang (Chinezenmoord) Pemerintah VOC mulai meningkatkan
penataan pola bertempat tinggal di setiap kota-kota utama. Penataan ini juga
sekaligus untuk melakukan pengawasan ketat terhadap orang-orang Cina. Ibarat
kata, yang sudah berlalu, berlalulah. Pola bertempat tinggal orang Tionghoa dan
migran Cina seperti di Batavia, Semarang dan Soerabaja serta Tangerang
disatukan dalam satu area tertentu yang disebut kampement. Area kampement ini
dibatasi oleh batas-batas tertentu yang pada intinya ingin membedakan pemukiman
orang-orang Eropa/Belanda di satu pihak dengan pemukiman orang Tionghoa dan
pribumi di pihak lain. Babak baru partisipasi orang-orang Cina dimulai lagi.
Namun para pedagang Cina generasi berikutnya tidak terdeteksi di batavia.
Pedagang Cina yang muncul berada di Ternate, Semarang, Timor dan tempat-tempat
lainnya. Apakah pedagang-pedagang Cina yang selama ini berbasis di Batavia,
trauma dengan kejadian tahun 1740 dan telah relokasi ke tempat-tempat lain? Yang
jelas pedagang-pedagang Cina tersebar di berbagai tempat di Hindia Timur, dan
diantaranya pada era Pemerintah Hindia Belanda banyak yang muncul sebagai
konglomerat. Di Semarang muncul nama
ayah-anak Oei Tjie Sien dan Oei Tiong Ham dan di Medan dua bersaudara Tjong
Jong Hian dan Tjong A Fie. Keluarga Oei di Semarang sangat berpengaruh,
demikian juga keluarga Tjong di Medan. Pengaruh mereka tidak hanya diantara
komunitas Tionghoa tetapi lebih jauh dapat mempengaruhi arah program Pemerintah
Hindia Belanda. Nama Oei Tjie Sien kali pertama diberitakan tahun 1859
(Samarangsch advertentie-blad, 29-07-1859). Oei Tjie Sien semakin berkembang bisnisnya di Semarang
dan menjadi konglomerat. Sementara Tjong Yong Hian lahir tahun 1855 di Kainchew
(Canton). Pada tahun 1880 keluarga
Tjong Yong Hian di Penang pindah ke Sumatra’s Ooskust di Laboehan Deli, dimana
orang-orang suku Keh (Hokkian) banyak berdiam. Empat tahun kemudian (1884) Tjong Yong Hian pindah
dan diangkat sebagai letnan Cina di Medan. Tjong A Fie sendiri pada tanggal 4 November 1885
oleh controleur Laboehan Deli diangkat menjadi letnan di Laboehan Deli. Pada
tanggal 7 Juni 1886 Tjong A Fie diangkat sebagai kepala suku Keh di Laboehan
Deli. Dua bersaudara inilah yang kemudian menjadi dua konglomerat tidak tertandingi
di Medan. Dalam konteks inilah kemudian generasi Cina berikutnya mulau bersekolah
dan banyak diantaranya melanjutkan ke perguruan tinggi di Belanda.
Pada tahun 1911 pemuda-pemudi Cina sudah cukup banyak di Belanda. Hal itulah kemudian pelajar/mahasiswa Cina asal Hindia di Belanda mendirikan organisasi yang diberi nama Chung Hwa Hui. Organisasi ini didirikan pada tanggal 5 April 1911. Dalam ulang tahunnya yang pertama diadakan pertemuan Chung Hwa Hui yang dipimpin Yap Hong Tjoen, kandidat dokter di Leiden (lihat De Telegraaf, 07-04-1912). Dalam pidato Yap Hong Tjoen di pertemuan Chung Hwa Hui tersebut disebutkan menguraikan awal pendirian organisasi. Pada saat pendirian yang menjadi pengurus terdiri dari Yap Hong Tjoen (ketua); Teng Sioe Hie (sekretaris); Be Tiat Tjoen (bendahara). Komisaris terdiri dari Lie Tjwan Tien dan RAL Tan (alias Tan Tjing Sen). Disebutkan tujuan dari asosiasi adalah: A. untuk mempromosikan persatuan antara Cina yang tinggal di Belanda, dan untuk mempromosikan kepentingan mereka. B. Membangkitkan Cina di Hindia Belanda untuk lebih mengembangkan diri secara intelektual setelah studi pendahuluan selesai. C. Pembentukan Dana Pendidikan. Organisasi ini didirikan setelah tiga tahun sebelumnya (1908) pelajar/mahasiswa pribumi asal Hindia mendirikan organisasi Indische Vereeniging yang dipelopori oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Seperti disebut di atas, Tan Malaka tiba di Belanda pada akhir tahun 1913 yang mengikuti pendidikan di sekolah keguruan di Haarlem (dimana di sekolah ini Soetan Casajangan lulus dengan gelar sarjana pendidikan tahun 1911).
Pelajar/mahasiwa Cina asal Hindia di Belanda pertama adalah Oei Jan Lee,
yang Oei Jan Lee lulus dari Gymnasium Willem III School, Afdeeling HBS di
Batavia tahun 1880 dan langsung berangkat ke Belanda. Sementara itu, Tan Tjioen
Liang sudah berada di Belanda tahun 1883 (lihat Delftsche courant, 11-12-1883).
Disebutkan di Politeknik di Delft terdaftar Tjoen Liang Tan, seorang Cina,
putra kapten Cina di Buitenzorg. Tan Tjoen Liang menyelesaikan HBS lima tahun
di Batavia pada tahun ini. Pada tahun 1885 Oei Jan Lee lulus ujian kandidat di bidang hukum di
Rjiksuniversiteit te Leiden (lihat Het vaderland, 19-10-1885). Pada tahun 1887
Tan Tjoen Liang lulus ujian transisi (overgangs-examen) di Polytechnische
School di Delft (lihat Delftsche courant, 15-06-1887). Oei Jan Lee akhirnya
lulus ujian dan mendapat gelar sarjana hukum (lihat Dagblad van Zuidholland en
's Gravenhage, 15-10-1888). Oei Jan Lee tampaknya belum puas, lalu melanjutkan
studi ke tingkat doktoral. Pada bulan Januari 1889 Mr Oei Jan Lee meraih gelar
doktor bidang hukum di Leiden (lihat Nieuwe Vlaardingsche courant, 16-01-1889).
Tan Tjioen Liang sempat pulang ke Tanah Air di Buitenzorg dan baru
menyelesaikan sarjananya pada tahun 1894. Lalu kemudian pada tahun 1896 Raden
Kartono diterima di Polytechnische School di Delft. Raden Kartono adalah abang
dari RA Kartini.
Antara pelajar/mahasiswa pribumi dan pelajar/mahasiwa Cina adal Hindia Belanda begitu akrab, saling mengunjungi. Dalam banyak hal pelajar/mahasiwa Cina mengikuti apa yang baik yang telah dilakukan pelajar/mahasiswa pribumi seperti disebut di atas pendirian Chung Hwa Hui didirikan setelah berdirinyanya Indische Vereeniging. Demikian dengan StudieFond yang didirikan Soetan Casajangan bersama Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon di Belanda pada tahun 1911 (setelah dirinya digantikan yang lain sebagai ketua Indische Vereeniging). Saat Soetan Casajangan kembali ke tanah air pada tahun 1913, Studifond ini diintegrasikan ke dalam administrasi Indische Vereeniging.
Yap Hong Tjoen meski tidak menjadi ketua lagi, terus aktif membangun
organisasi Chung Hwa Hui di Belanda. Pada bulan Desember 1913 dibentuk Chung
Hwa Hui Hich Pan di Amsterdam (Studiefond CHH). Disebutkan Studiefond CHH
tersebut telah dibuat akta oleh Yap Hong Tjoen dkk dihadapan notaris Chs.
Miseroy (lihat De nieuwe courant, 22-12-1913). Disebutkan Studiefond CHH
bertujuan untuk memberikan kompensasi finansial kepada kaum muda keturunan Cina
(berjenis kelamin laki-laki atau perempuan) yang berasal dari Hindia Belanda,
yang berkelakuan baik dan berakhlak mulia dan yang berkeinginan untuk
mengunjungi tempat pendidikan. lembaga-lembaga di Belanda, tetapi yang tidak
atau tidak sepenuhnya mampu membiayai sendiri. Disebutkan ketua Chineezen
Vereeniging (CHH) juga sebagai ketua Studiefond dimana kontrol atas segala
sesuatu yang menyangkut dana dipercayakan kepada sebuah komite, yang terdiri
dari setidaknya lima dan paling banyak sembilan orang senior yang tinggal di
Belanda yang dengan demikian AD/ART CHH telah mencapai tujuannya yang
dinyatakan dalam Pasal 2 sub C. Yap Hong Tjoen lulus ujian akhir di Leiden dan mendapat gelar dokter
(lihat Algemeen Handelsblad, 11-06-1915). Mangaradja Soangkoepon kembali ke
tanah air pada tahun 1915.
Oei Jan Lee adalah anak kapten Cina di Banda; Tan Tjioen Liang adalah anak kapten Cina di Buitenzorg. Yap Hong Tjoen adik dari kapten Cina di Jogjakarta. Oleh karena itu diantara sarjana-sarjana Cina asal Hindia di Belanda tidak hanya tanggungjawab diantara komunitasnya sesame asal Hindia, juga sesuai kedekatan mereka dengan negeri leluhur juga ada tangungjawab terhadap ke negeri Tingkok. Dalam konteks inilah kita lihat kemudian ketika Tan Malaka di Tiongkok, tetapi melihat tanah kelahirannya sebagai suatu yang diperjuangkan (mengentaskan penjajahan oleh Belanda).
Seperti halnya orang Cina di Indonesia umumnya, meski Tjong Yong Hian dan
Tjong A Fie di Medan sudah menjadi warga negara (Pemerintah Hindia Belanda),
tetap terhubung dengan kampong halaman. Tjong Yong Hian sudah beberapa kali pulan
kampong ke Swatow. Pada tahun 1903 Tjong A Fie dilaporkan telah berkunjung ke
Cina. Sebelumnya Tjong A Fie sebagai Kapten Cina diizinkan oleh pemerintah cuti
selama enam bulan (De locomotief, 05-09-1902). De Sumatra post, 10-09-1902:
dengan kapal s.s. ‘Sumatra’ tiba di Penang. Para penumpang antara lain Tjong A
Fie dan keluarga. Tidak hanya Tjong A Fie dan
Tjong Yong Hian yang berada di Sumatra’s Oostkust, tetapi juga orangtuanya. Ibu
Tjong A Fie meninggal April 1899. Kemudian ayahnya meninggal pada bulan
Februari 1906. Ayah Tjong A Fie adalah bernama Kim Sam Hap, berpangkat letnan
dan meninggal di Pangkalan Berandan. Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie sudah kaya
raya. Jabatan mereka juga sudah banyak. Mereka berdua tampaknya tidak butuh
lagi dukungan kuli yang banyak untuk menjaga posisi mereka di rantau. Pemerintah
di Swatow tidak memerlukan uang kiriman dari TKI (tenaga kerja internasional)
mereka yang bekerja di Deli. Uang yang diinvestasikan oleh Tjong Yong Hian dan
Tjong A Fie di Swatow sudah lebih dari cukup untuk mengimbangi perolehan devisa
melalui TKI. Oleh karenanya, kuli dari Swatow lambat laun mulai dikurangi
jumlah tidak hanya ke Sumatra (utamanya ke Deli) tetapi juga ke Semenanjung dan
Siam. Kuli Swatow (tempat asal
Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie) yang datang dan yang kembali sudah mengalami
penurunan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi secara absolut jumlah kuli asal
Swatow yang berada di Deli pernah mencapai 150.000 orang. Tjong Yong Hian meninggal dunia di Medan tahun
(1911). Konon Tjong Yong Hian meninggal mendadak karena diketahui memiliki dua
kewarganegaran (Hindia Belanda dan Tiongkok). Untuk urusan komunitas Tionghoa,
Tjong A Fie lantas diangkat menjadi pengganti Tjong Yong Hian dan pangkatnya
dinaikkan menjadi mayor. Bawahan Tjong A Fie yang letnan menjadi kapten dan
direkrut letnan baru. Namun, mereka itu bukan datang dari saudaranya (ketika
Tjong Yong Hian merekrut adiknya, Tjong A Fie untuk menjadi letnan). Namun demikian, Tjong A Fie sudah terlanjur mengakar
di Medan. Tjong A Fie adalah warga Medan, tetapi seperti yang lainnya, juga
tidak melupakan kampong halaman di Swatow dan menolong kawan-kawan sekampung
yang tinggal di Penang dan Singapoera. Tjong A Fie tidak memiliki keluarga atau
teman-teman dekat di Jawa ataupun di Batavia. Para perantau Hokkian umumnya
berbasis di pantai timur Sumatra, Semenanjung dan Siam (kini Thailand). Tjong A
Fie adalah tokoh Tionghoa terpenting di Medan, dan belum ada yang menyainginya
dari kalangan Tionghoa. Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie adalah segelintir orang
Cina yang sukses di Hindia yang juga tidak melupakan kampong halaman.
Kontribusi kedua konglomerat Medan ini mengakibatkan Swatow menjadi makmur
(sebagaimana Amsterdam, Rotterdam dan lainnya di Belanda menjadi makmur). Pada
tahun 1921 Tjong A Fie intrik-intrik dialamatkan kepada Tjong A Fie. Namun
pendapat orang-orang Belanda yang dialamatkan kepadanya tidak dihiraukan. Segera
setelah Tjong A Fie merayakan tahun baru Cina secara besar-besaran di mansionnya di Medan
secara tidak terduga dan hanya beberapa jam setelah pesta perayaan itu usai,
Tjong A Fie dilaporkan meningga dunia. Tjong A Fie meninggal dunia di Medan, 4
Februari 1921. Disemayamkan di rumah duka di mansion Tjong A Fie di daerah
Kesawan.
Musuh yang sejatinya antara orang Indonesia dan Cina bukanlah persaingan diantarnya, tetapi para penjajah yang dalam hal orang Belanda di bawah rezim Pemerintah Hindia Belanda. Dalam konteks ini yang dianggap mampu melawan itu adalah Gerakan komunis. Dalam hal inilah Tan Malaka (pemimpij Indonesia yang terusir dari negerinya) mendapat tempat di Tiongkok bahkan cukup dekat dirinya dengan Sun Yat Sen (pemimpin Cina yang juga pernah diasingkan).
Han Tiauw Tjong setelah mendapat gelar sarjana, tampaknya belum puas,
lalu kemudian melanjutkan studi ke tingkat doktoral, Pada tahun 1922 Han Tiauw
Tjong berhasil meraih gelar doktor di Universiteit te Delft (lihat De Maasbode,
14-09-1922). Disebutkan di Universiteit te Delft promosi menjadi doktor di
bidang teknik Han Tiauw Tjong pada tanggal 13 di Technische Hoogeschool dengan
met lof (pujian atau cumlaude). Sebelumnya, pada tanggal 4 Maret 1922 dalam
pertemuan Chung Hwa Hui yang diadakan di Den Haag, Han Tiouw Tjong dalam pidato pengunduran dirinya, sebagai ketua
Chung Hwa Hui menguraikan kebangkitan China. Setelah itu, ketua baru, Be Tiat
Tjong, berterus terang. yaitu pidato penerimaannya, dimana ia membahas posisi
orang Cina di Hindia. ‘Kami orang Cina, mendukung orang Indonesia (baca:
pribumi) sesama orang Asia dan kami sebagai orang Cina, bukan sebagai orang
(pribumi) Indonesia, karena kami memang bukan. Sejauh yang diketahui, Han Tiauw
Tjong dapat dikatakan orang kedua orang Cina asal Hindia yang meraih gelar
doktor. Yang pertama adalah Oei Jan Lee dalam bidang hukum di Leiden pada tahun
1888. Dalam hal ini Han Tiouw Tjong berhasil mempertahankan desertasi dengan
judul De Industrialisatie van China (lihat Het Vaderland: staat- en
letterkundig nieuwsblad, 13-09-1922). Disebutkan Han Tiouw Tjong, insinyur
mesin lahir di Probolinggo. Orang Indonesia yang telah meraih gelar doktor di
Belanda hingga 1922 sudah ada beberapa mahasiswa. Yang pertama meraih gelar
doktor (PhD) adalah Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913 di Universiteit te
Leiden dalam bidang sastra dan filsafat dengan predikat pujian (cumlaude). Lalu
kemudian disusul Dr. Sarwono (medis, 1919), Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922) dan
RM Koesoema Atmadja (hukum 1922). Setelah kelulusan Han Tiauw Tjong bersama
istri melakukan resepsi dengan mengundang sejumlah pihak di Restaurant Royal
(lihat De Maasbode, 15-09-1922). Resepsi ini juga terkait dengan perpisahan
karena keberangkatan mereka ke Cina dalam beberapa hari ke depan. Dalam resepsi
ini turut hadir promotor Prof Dr JH Valckenier, Konsuler Tiongkok di Den Haag,
Wang Kouang Kij; para anggota Kedutaan Cina, dan beberapa teman Cina dan
Belanda dari Han Tiauw Tjong. Tentu saja sebelum keberangkatan ke Cina, Han
Tiouw Tjong kembali dulu ke tanah air. Ini dapat dilihat keberangkatan Han
dengan kapal ss Prinses Jualiana dari Amsterdam pada tanggal 16 September
dengan tujuan akhir Batavia (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-09-1922).
Dalam manifes kapal tercatat nama Han Tiouw Tjong dengan istri beserta dua
anak. Han Tiauw Tjong. Tentu saja sebelum keberangkatan ke Cina, Han Tiouw
Tjong kembali dulu ke tanah air. Ini dapat dilihat keberangkatan Han dengan
kapal ss Prinses Jualiana dari Amsterdam pada tanggal 16 September dengan
tujuan akhir Batavia (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-09-1922). Dalam
manifes kapal tercatat nama Han Tiouw Tjong dengan istri beserta dua anak. Tidak diketahui apakah Dr
Han Tiouw Tjong telah ke Cina. Yang jelas pada bulan April diberitakan Dr Han
Tiouw Tjong berangkat dengan kapal ss Koningin der Nederlanden ke Sabang (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 27-04-1923). Dalam manifesr kapal tercatat nama Han
Tiouw Tjong dengan istri beserta dua anak.
Pada bulan April 1923 di Belanda Dr Oei Kiauw Pik berhasil meraih gelar doktor dalam bidang kedokteran (lihat De avondpost, 04-04-1923). Disebutkan Oei Kiauw Pik, seorang Cina kelahiran Jawa, yang studi kedokteran di Leiden, dipromosikan menjadi doktor ilmu kedokteran di Wina (Austria). Ini menambah mahasiswa Cina asal Indonesia yang meraih gelar doctor di Belanda.
De Preanger-bode, 10-07-1924: ‘Diantara mereka
yang mengabdikan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu Barat karena cinta pada
tempat kelahiran mereka, biasanya ditemukan nama-nama penduduk Cina yang telah
menetap disini selama lebih dari seratus tahun. Demikianlah nama (marga) Tan
berulang kali kita jumpai, dan salah satu contoh terbaru adalah kasus Dr Oei
Kiauw Pik yang akan segera tiba di Jawa setelah menyelesaikan studinya di
Eropa. Dr Oei memperoleh gelar doktor medicinae di Universitas Wina, adalah
putra dari Oei Swan Tie yang terkenal dari Wonokromo (Soerabaya), bersekolah di
sekolah THHK di kota buaya, kemudian pergi ke Belanda melanjutkan studi dan
akhirnya berangkat ke Leiden selepas HBS. Dari sana, Oei berangkat ke Wina
sebagai mahasiswa dan merupakan orang Cina pertama disana yang
memperoleh gelar seperti itu, memimpin Wiener Journal dan majalah lainnya.
memuji kehadiran dan promosinya. Oei berkeinginan untuk menetap di Soerabaja
sebagai spesialisasi penyakit anak-anak dan tentunya akan sangat disambut baik
oleh masyarakat Cina. Dapat dilihat bahwa uang papanya yang terutang ke Hindia
dihabiskan dengan baik untuknya. Hadir kembali dalam bentuk yang menarik untuk
kemaslahatan negeri’.
Lalu apakah mahasiswa Cina asal Tiongkok di Belanda? Yang jelas pelajar Tiongkok tidak melanjutkan studi ke Jepang. Mengapa. Tentu saja juga tidak ke Hindia Belanda, karena perguruan tinggi hanya ditemukan di Belanda. Sudah barang tentu pelajar Cina tidak melanjutkan studi ke Inggris. Mengapa? Yang jelad di Belanda sudah ada konsulat Tiongkok di Den Haag, dimana pada tahun 1922 konsuler Wang Kouang Kij turut menghadiri resepsi kelulusan Han Tiouw Tjong.
Lantas mengapa ada konsulat Tiongkok di Belanda? Sudah barang tentu
karena ada hubungan perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok dengan
pelabuhan-pelabuhan di Belanda. Apakah ada komunitas Tiongkok di Belanda? Tidak
terinformasikan. Boleh jadi konsulat Tiongkok juga untuk melindungi
pelajar/mahasiswa Cina adal Hindia di Belanda. Sebab bagaimanapun orang Cina di
Indonesia tetap menjadi warga negara Tiongkok.
Mahasiswa Cina asal Indonesia di Belanda umumnya mengambil studi di bidang kedokteran dan bidang teknik. Tentu saja tidak ada yang mengambil bidang keguruan dan pertanian dan kedokteran hewan. Hanya Oei Jan Lee yang mengambil bidang hukum pada masa lampau. Bagaimana dengan di sekolah perdagangan/ekonomi? Yang pertama mengambil studi ekonomi dari mahasiswa Cina asal Indonesia adalah Kwee Djie Hoo (yang kelak pada tahun 1950 menjadi Konsul Indonesia di Hong Kong).
Nederlandsch Handelshoogeschool di Rotterdam adalah perguruan tinggi yang terbilang baru. Beberapa mahasiswa pribumi asal Hindia sudah ada yang kuliah di bidang ekonomi ini, yang pertama terinformasikan adalah Sjamsi Widagda. Pada tahun 1921, Mohamad Hatta lulusan Prins Hendrik School (PHS) di Batavia diterima di Nederlandsch Handelshoogeschool. Samsi Widagda dengan akta diploma ekonomi (perdagangan) kemudian melanjutkan studi ke tingkat sarjana di Nederland Handelhoogeschool. Samsi Widagda lulus ujian sarjana pada tahun 1923 (lihat Arnhemsche courant, 21-03-1923). Samsi Widagda belum selesai, belum pulang ke tanah air, masih ingin melanjutkan ke tingkat doktoral untuk meraih gelar doctor. Pada tahun 1925 Samsi Widagda dipromosikan doktor (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-11-1925). Desertasi Sjamsi Widagda berjudul De Ontwikleing voor der Handelspolitiek van Japan. Seperti disebut di atas, pada tahun 1927 Tan Malaka yang sempat ditangkap di Filipina kemudian dideportasi ke Tiongkok di Amoy.
Pada tahun 1929 nama Kwee Djie Hoo lulus ujian kandidat di sekolah tinggi
perdagangan di Rotterdam (lihat De Maasbode, 04-10-1929). Disebutkan di
Nederlandsch Handelshoogeschool dalam bidang perdagangan (handelswetenschap)
lulus antara lain Kwee Djie Hoo.
Kwee
Djie Hoo di sekolah Prins Hendrik School (PHS) di Batavia lulus ujian akhir
HBS-3 tahun (lihat Bataviaasch nieuwsblad. 01-05-1926). Lalu kemudian lanjut ke
HBS-5 tahun dan lulus tahun 1928. Kwee Djie Hoo langsung berangkat ke Belanda
dan diterima di Nederlandsch Handelshoogeschool di Rotterdam. Sudah barang
tentu, Kwee Djie Hoo akan sering bertemu dengan Mohamad Hatta, kebetulan
keduanya lulusan PHS Batavia.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar