*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini
Ada yang berpendapat bahwa negara satu-satunya
di dunia yang tidak mewariskan bahasa kolonial adalah Indonesia. Satu yang
jelas di masa lampau, saat orang Belanda memperkenalkan bahasa Belanda di
Indonesia (baca: Hindia), orang Belanda juga mengadopsi bahasa Melayu
(dwibahasa). Yang lebih jelas lagi, ketika bahasa Melayu bertransformasi
menjadi Bahasa Indonesia, bahasa Belanda mulai mendapat saingan yang akhirnya Bahasa
Indonesia mampu menyingkirkan bahasa Belanda.
Bahasa Belanda sempat digunakan sebagai bahasa resmi di Nusantara ketika Belanda menjajah sebagian wilayah kepulauan ini. Bahasa Belanda bukan merupakan bahasa resmi lagi sejak Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 serta di Papua setelah diserahkan ke Indonesia pada 1963. Bukan berarti setelah kemerdekaan Indonesia, bahasa Belanda tidak lagi digunakan dan dipelajari di Indonesia. Bahasa Belanda merupakan sebuah bahasa sumber atau rujukan yang sangat penting di Indonesia; beberapa dokumen penting pemerintahan tertulis dalam bahasa Belanda. Para penutur fasih bahasa ini sekarang umumnya orang-orang tua saja, terutama di Jawa dan Bali. Mereka pernah mempelajari bahasa ini di sekolah dan masih menggunakannya, terutama pada reuni atau untuk berbincang dengan para wisatawan Belanda. Universitas Indonesia di Jakarta sudah beberapa dasawarsa memiliki "Seksi Belanda". Selain itu, bahasa Belanda juga dapat dipelajari di universitas lain di Indonesia. Biasanya berhubungan dengan kajian hukum, sebab hukum Indonesia sebagian berdasarkan hukum Belanda, dan banyak dokumen dari masa penjajahan masih berlaku. Di samping itu, banyak sumber rujukan sejarah, linguistik, filologi, kedokteran, teologi Kristen, misiologi banyak yang ditulis dalam bahasa Belanda (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah kekuatan Bahasa Indonesia dan menghilangnya bahasa Belanda di Indonesia? Seperti disebut di atas, bahasa Belanda pernah eksis di Indonesia semasa Pemerintah Hindia Belanda, namun seiring dengan munculnya Bahasa Indonesia, bahasa Belanda terancam dan kemudian benar-benar terancam lalu punah setelah kemerdekaan Indonesia. Lalu bagaimana sejarah kekuatan Bahasa Indonesia dan menghilangnya bahasa Belanda di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kekuatan Bahasa Indonesia dan Menghilangnya Bahasa Belanda di Indonesia; Bagaimana Tata Bahasa Indonesia?
Sejatinya, orang Belanda sejak awal di Indonesia (baca: Hindia) berusaha mempelajari bahasa Melayu. Mengapa? Demikian juga orang Indonesia (non Melayu seperti orang Jawa dan orang Batak) berusaha mempelajari bahasa Melayu. Mengapa? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yang menjadi mengapa bahasa Belanda tidak lestari di negara Indonesia (bandingkan dengan di negara Malaysia).
Ketika orang Indonesia sudah memiliki Bahasa Indonesia, orang Indonesia
juga diharapkan tetap melestarikan bahasa masing-masing. Dengan latar belakang
orang Indonesia berbagai suku, berbagai bahasa dan berbagai adat tersebut yang
menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa (Bahasa Indonesia) bersaing
dengan bahasa Belanda. Atas nama Bahasa Indonesia kemudian pada akhirnya bahasa
Belanda kalah telak di Indonesia dan Bahasa Indonesia menjadi digdaya di Indonesia.
Dalam sejarah bahasa-bahasa di Indonesia, sejatinya bahasa Melayu adalah bahasa baru, yang sejak zaman kuno telah menjadi lingua franca dalam navigasi pelayaran perdagangan di nusantara (pulau-pulau diantara dua daratan luas/benua). Bahasa Melayu yang menggantikan bahasa Sanskerta sebagai lingua franca terus berkembang di wilayah pesisir terutama di kota-kota pelabuhan seperti Baroes, Atjeh, Djambi, Palembang, Malaka, Broenai, Ternate, Amboina, Makassar, Soerabaja, Semarang dan Banten.
Bahasa Melayu sebagai lingua franca baru yang terus berkembang di
kota-kota pelabuhan yang kemudian juga berkembang di pasar-pasar (termasuk
pasar di pedalaman). Bahasa Melayu yang kemudian disebut bahasa Melayu Pasar
ini sejatinya tidak dapat dikatakan sebagai bahasa, tetapi hanya sekadar alat
komunikasi. Bahasa Melayu Pasar yang terus berkembang inilah kemudian menjadi
cikal bakal terbentuknya Bahasa Indonesia. Sementara bahasa Melayu non pasar
(yang tidak berkembang) dikelompokkan sebagai bahasa daerah yang setara dengan
bahasa daerah lainnya seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Lampung dan
bahasa Batak.
Oleh karena itu Bahasa Indonesia tidak salah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu, tetapi perkembangan lebih lanjutnya tidak melalui bahasa Melayu (sebagai bahasa daerah) melainkan melalui bahasa Melayu Pasar di pelabuhan-pelabuhan dan pasar-pasar. Namun perlu disadari bahwa yang disebut bahasa Melayu Pasar bukanlah suatu bahasa tetapi hanya semata-mata alat komunikasi (kreol). Bahasa Melayu Pasar atau bahasa kreol inilah yang kemudian berkembang dan dikembangkan menjadi Bahasa Indonesia. Lantas bagaimana semua itu berlangsung?
Dalam studi bahasa-bahasa di nusantara, pada zaman kuno (awal sejarah) di berbagai pulau-pulau sudah eksis bahasa-bahasa yang berbeda dari kelompok populasi yang berbeda-berbeda. Pada tahap awal terjadi interaksi antar bahasa-bahasa yang berbeda (yang satu sama lain mengambil/mengadopsi). Oleh karena itu setiap bahasa dari berbagai kelompok populasi tersebut tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan suatu bahasa (kelompok populasi tertentu) menjadi lebih cepat karena yang satu mendominasi dibanding yang lain (penyebaran pengaruh karena size populasi atau kekuatan perang). Sebagai implikasinya, ada bahasa-bahasa yang punah di atas munculnya satu bahasa yang dominan. Pada tahap berikutnya diduga kuat, terutama dalam hal ini di pulau Sumatra dan pulau Jawa, masing-masing telah terbentuk bahasa tunggal, yakni: bahasa di Sumatra dan bahasa di Jawa. Pada tahap selanjutnya terjadi interaksi antara bahasa di Jawa dan bahasa di Sumatra sebelum kehadiran pengaruh (bahasa) asing masuk. Dua pengaruh bahasa asing ini yang pertama (berasal dari arah barat) adalah bahasa Sanskerta (Hindu/Boedha), dan kemudian disusul bahasa Arab/Persia (Islam).
Pengetahuan kita tentang bahasa-bahasa pada awal sejarah sangat minim. Bahkan boleh dikatakan tidak ada satupun catatan bahasa yang diketahui pada awal sejarah. Sejarah bahasa di nusantara baru mulai diketahui pada abad ke-5 (prasasti Tugu/Jakarta dan prasasti Muarakaman/Kutai). Kedua prasasti ini berbahasa Sanskerta menggunakan aksara Pallawa. Dalam konteks inilah dipahami pengaruh (bahasa) asing (Hindoe/Boedha) sudah masuk di Indonesia (baca: nusantara).
Catatan tertua tentang nama-nama tempat di nusantara muncul pada abad ke-2. Dalam catatan geografis Ptolomeus (150 M) disebut nama Barousai tempat dimana kamper (camphora) diimpor. Nama hapur/kapur diduga kuat telah masuk ke dalam bahasa Yunani kuno. Nama Latin Cinnamomum camphor aini kelak lebih dikenal sebagai kapur Barus. Sementara itu di dalam peta-peta Ptolomeus sudah diidentifikasi pulau Sumatra sebagai Aurea Chersonesus dan pulau Kalimantan sebagai Taprobana. Kedua pulau ini diidentifikasi dilalui garis equator (garis khatulistiwa). Dalam peta Aurea Chersonesus ini di pantai barat bagian utara diidentifika nama kota pelabuhan Tacola yang diduga sebagai Angkola; dalam peta Taprobana diidentifikasi nama Melea di pedalaman (bagian barat) diduga Malawi dan Muruduti dpantai (bagian timur laut) yang diduga Marudu. Masih pada abad ke-2 berdasarkan catatan Tiongkok dinasti Shu disebut Kerajaan (dari) Yeh-tiao telah mengirim duta besar ke Tiongkok karena telah membuka pos perdagangan di Annam (Yeh-shin). Kerajaan Yeh-tiao ini beberapa ahli sejarah pada era Pemerintah Hindia Belanda mengidentifikasi sebagai Sumatra (sumber kamper). Dalam catatan Tiongkok abad ke-6 era dinasti Leang (502-556) disebutkan nama Po-lu-sse. Nama ini oleh sejumlah peneliti pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah Ba-ru-s. Nama-nama lainnya yang disebut dalam catatan tersebut adalah Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li atau Ktu-tchiu. Nama-nama tersebut diduga adalah Mo-chia-man sebagai nama Pa-sa-man, nama Tu-k'un adalah Ti-koe, nama Pien-tiu atau Pan-tiu adalah Pan-ti dan nama Pi-song adalah Si-pi-sang/Ha-pe-song dan nama Kiu-li adalah (Huta) Pu-li. Semua nama-nama tersebut tampaknya berada di pantai barat Sumatra (lihat peta).
Era Hindu/Boedha dan Islam
Pantai barat Sumatra tampaknya sudah lama dikenal luas di Eropa dan Tiongkok. Sebelum ditemukan catatan tentang orang Arab (Islam) di pantai barat Sumatra sudah lebih dahulu ditemukan di Tiongkok pada tahun 618 M. Sebagaimana diketahui tahun awal Hijriah dimulai tahun 622 M ketika Nabi Muhammad dan pengikut pindah dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M.
Keberadaan pedagang-pedagang Arab/Islam di Tiongkok bersumber dari
catatan dinasti Tiongkok Min Shu yang dikompilasi pada akhir abad ke-16
berdasarkan sumber-sumber kuno oleh Ho Ch'iao-yüan menyatakan T'u-shu
Chi-ch'êng, Chih-fang-tien, bab 1052, halaman 5a bahwa antara tahun 618 dan 626
empat orang Muhammad (Nabi) membawa Islam di Tiongkok. Satu orang mengajar di
Canton, satu orang di Yang-chow, dan dua orang lainnya di Ch'üan-chow.
Sementara itu P'an-yü-hsien-chih bab 53 halaman la menyatakan bahwa ketika
navigasi pelayaran perdagangan dibuka pada dinasti T'ang, Mohammad (beragama)
Muslim adalah Raja Madinah. Sebagaimana diketahui turunnya ayat pertama (Al
Quran) di gua Hira pada tahun 610 M. Nabi Muhammad sendiri lahir di Mekkah
tahun 570 M. Muhammad menerima wahyu pertama 610 pada usia 40 tahun. Pada tahun
622 Nabi Muhammad dan pengikut pindah dari Mekkah ke Madinah (sebagai awal
tahun Hijriyah). Jika dibandingkan catatan Tiongkok di atas, empat orang
Muhammad sudah berada di Canton pada tahun 618 (sebelum hijrah).
Keberadaan pedagang-pedagang Arab/Islam di Barus (Sumatra) dapat diketahui dari adanya makam-makam tua orang Islam yang berasal dari abad ke-1 Hijriah. Pada salah satu nisan di Barus bertarih 44 H. Nisan tertua di Barus tersebut yang sama dengan tahun 665 M terjadi pada masa Dinasti Umayyah.
Hingga abad ke-7, di nusantara tidak hanya pengaruh asing (Hindoe/Boedha)
yang sudah ada seperti ditunjukkan prasasti di Jakarta dan Kutai (berbahasa
Sanskerta menggunakan aksara Pallawa), juga sudah ada pengaruh asing lainnya
(Islam) di pantai barat Sumatra (berbahasa dan menggunakan aksara Arab).
Bagaimana dengan pengaruh dari asing dari Tiongkok? Meski tidak/belum ada
indikasi pengaruh Tiongkok di nusantara, tetapi pengetahuan tentang nusantara
di Tiongkok sudah tercatat sejak lama (abad ke-2) hingga abad ke-6 seperti
disebut di atas. Lalu bagaimana dengan bahasa-bahasa di nusantara sebagai bahasa
lokal?
Prasasti tertua yang ditemukan di pantai timur Sumatra berasal dari tahun 682 M (prasasti Kedoekan Boekit). Bandingkan dengan nisan tertua di Barus yang bertahun 665 M. Prasasti Kedoekan Boekit yang ditemukan di Palembang mengindikasikan dua bahasa (dwibahasa) yakni bahasa Sanskerta dan bahasa Sumatra yang ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Dalam hal ini pengaruh asing dalam bahasa Sanskerta masih eksis di satu sisi, dan di sisi lain sudah terindentifikasi pengaruh bahasa lokal.
Dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682 M) bahasa lokal yang digunakan mirip dengan bahasa Batak yang sekarang. Namun selama ini para peneliti selalu menginterpretasi bahasa itu sebagai bahasa Melayu. Misalnya awalan ma/mar pada kata kerja pada masa ini hanya ditemukan dalam bahasa Batak. Demikian juga dalam penyebutan bilangan dalam teks tersebut semuanya ditemukan dalam bahasa Batak seperti angka tlu/tolu untuk menyatakan tiga. Secara khusus penyebutan bilangan belasan seperti sapulu dua (biner) di dalam teks hanya ditemukan dalam bahasa Batak untuk menyebut angka dua belas. Nama tempat yang disebut di dalam teks Minanga temuan mirip dengan nama tempat Binanga di Tanah Batak di Padang Lawas (pantai timur Sumatra) yang berdekatan dengan Barus di pantai barat Sumatra. Kosa kata binanga dalam bahasa Batak adalah pertemuan dua sungai. Sementara itu di dalam prasasti Talang Tuwo (684) di Palembang dan prasasti Kota Kapur (Bangka) pada tahun 686 ditemukan awalan ni dan akhirnya na yang ditemukan dalam bahasa Batak sebagai awalan di dan akhiran nya. Prasasti-prasasti yang ditemukan di bagian selatan pantai timur Sumatra tersebut (Kedoekan Boekit, Talang Tuwo dan Kota Kapur) yang tahunnya berdekatan mengindikasikan situasi dan kondisi penaklukan. Pada prasasti Kota Kapur mengindikasikan adanya invasi ke Jawa.
Bahasa lokal yang ditemukan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di bagian selatan pantai timur Sumatra tersebut mengindikasikan awal catatan tentang bahasa local di nusantara, meski sejatinya lebih mirip bahasa Batak, tetapi diinterpretasi sebagai awal catatan keberadaan bahasa Melayu. Fakta bahwa bahasa Batak memiliki kemiripan yang tinggi dengan bahasa Melayu dibandingkan dengan bahasa-bahasa lokal lainnya. Lantas apakah dalam hal ini bahasa Batak adalah bahasa Sumatra yang masih tetap lestari? Lalu apakah bahasa Melayu terbentuk dari bahasa asli Sumatra? Yang jelas sejumlah peneliti pada era Pemerintah Hindia Belanda menyimpulkan bahwa di dalam bahasa Batak tersimpan (lestari) banyak kosa kata yang berasal dari era Austronesia seperti ama dan ina (ayah dan ibu) dan juga banyak ditemukan kosa kata yang bersifat endemik seperti kosa kata eme untuk padi, dahanon untuk beras dan indahan untuk nasi serta tentu saja binanga (pertemuan dua sungai atau muara).
Banyak ahli sejarah dan ahli linguistik pada era Pemerintah Hindia
Belanda menyimpulkan bahasa Melayu awalnya berkembang di wilayah pesisir pantai
timur Sumatra. Dalam konteks inilah kita membicarakan bahwa bahasa Melayu di
pantai timur Sumatra tumbuh dan berkembang (diperkaya) seiring dengan interaksi
penduduk lokal dan pedagang asing dari arah barat seperti India, Arab dan
Persia. Lambat laun seiring dengan semakin menguatnya pengaruh Islam di pantai
timur Sumatra, aksara Melayu pada akhirnya menggunakan aksara Arab. Bagaimana
dengan aksara Pallawa? Pada masa ini aksara Jawa memiliki kedekatan dengan
aksara Pallawa (sama-sama bersifat abugida). Aksara Batak sendiri tidak mirip
dengan aksara Pallawa tetapi lebih mirip dengan aksara Fenesia (bersifat abjad).
Dalam hal ini aksara Fenesia menurunkan aksara Yunani/Latin (bersifat alfabet).
Pengaruh asing khususnya (bahasa dan aksara Arab) yang kuat dalam pertumbuhan
dan perkembangan bahasa Melayu di pnatai timur Sumatra, di semenanjung Malaya
dan pulau-pulau yang berada diantaranya, lambat laun menjadi lingua franca baru
untuk menggantikan bahasa Sanskerta dalam navigasi pelayaran perdagangan.
Pengaruh bahasa Melayu inilah yang kemudian semakin meluas hingga jauh ke
bagian timur nusantara seperti di wilayah Maluku (wilayah yang sangat minim
pengaruh Hindoe/Boedha). Pengaruh bahasa Melayu juga kemudian semakin menguat di
pantai utara pulau Jawa.
Bahasa Melayu yang terus tumbuh dan berkembang, teks bahasa Melayu yang jauh
lebih lengkap ditemukan dalam prasasti Trengganu (semenanjung Malaya) pada abad
ke-14. Pada abad yang sama juga ditemukan dalam teks Tanjung Tanah Kerintji
(pedalaman Sumatra). Antara dua sumber bahasa Melayu terdapat banyak persamaan,
tetapi juga perbedaannya tidak sedikit. Dalam teks Tanjung Tanah masih
ditemukan awalan ma dan sa, tetapi tidak lagi ditemukan dalam teks prasasti
Trengganu (sudah menjadi me dan se).
Era Eropa dan Tiongkok
Sebelum kehadiran orang asing dari Eropa di nusantara, pada dasarnya sudah terbentuk kosa kata elementer bahasa Melayu. Kosa kata yang bersifat teknis juga sudah terserap dalam bahasa Melayu terutama dari bahasa Sanskerta dan bahasa Arab/Persia. Gambaran daftar kosa kata tersebut ditemukan dalam kamus kecil yang disusun Pigafetta pada tahun 1521.
Sebagaimana diketahui Portugis menaklukkan Malaka dan mendudukinya pada
tahun 1511. Pelaut-pelaut Portugis dari Malaka melakukan navigasi pelayaran
perdagangan ke Maluku (1511) dan ke pantai timur Tiongkok pada tahun 1519 dan
kemudian ke pantai utara Borneo tahun 1522. Sementara itu pelaut-pelaut Spanyol
tib di Filipina dan kemudian ke Maluku pada tahun 1521. Saat inilah Pigafetta menyusun
kamus kecil yakni daftar kosa kata yang digunakan di Maluku (baca: Ternate) dan
di Malaka plus di pulau-pulau lainnya (Filipina?). Ada kemiripan bahasa yang
digunakan di Maluku dan Malaka tetapi juga ada beberapa perbedaan: mera, puti,
garam, matte di Malaka, mira, pute, garamsira, mati di Meluku; maulana, lambu, tangan,
salamualaikum di Maluku, lebe, lembu, sangan, salamat di Malaka; ada sejumlah
kata di Maluku seperti biniaga, belaiar, manari tidak ditemukan padanannya di
Malaka, demikian sebaliknya. Untuk sebutan bilangan: sarus. anam di Maluku, sa,
onam di Malaka.
Dalam kamus Pigafetta tampaknya belum ada kosa kata yang didaftarkan yang berasal dari bahasa-bahasa Eropa. Boleh jadi karena Portugis sendiri baru bermukim di Malaka pada tahun 1511. Perbandingan bahasa di Malaka dan Maluku tidak dapat diinterpretasi yang mana yang lebih mirip dengan bahasa Melayu yang sekarang. Mengapa? Boleh jadi bahasa Melayu masih terus tumbuh dan berkembang sebagai lingua franca.
Perkembangan bahasa Melayu tersebut tentu saja tidak hanya di Malaka dan Ternate
(Maluku), tetapi juga di berbagai tempat di nusantara. Dalam ekspedisi Chengho
(1405-1433) dicatat oleh Mahuan nama-nama tempat (pelabuhan) yang disinggahi:
Pa-lim-bang (Palembang), Man-la-ka (Malaka); A-lu (Aru); Su-man-ta-la (Sungai
Karang?), Lambri (di Aceh) plus Pahang dan Kelantan serta Champa (Vietnam). Ekspedisi
Chengho juga menyinggahi Jawa, tetapi tidak diidentifikasi secara eksplisit di
kota pelabuhan mana.
Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu sulit diidentifikasi karena minimnya data yang tersedia. Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah adanya kemiripan bahasa yang dicatat oleh Pigafetta (1521) dengan kamus yang disusun oleh Frederik de Houtman pada tahun 1597 di Madagaskar. Sebagaimana diketahui ekspedisi pertama Belanda ke nusantara (1595-1597) dipimpin oleh Cornelis de Houtman dimana dalam ekspedisi ini termasuk Frederik de Houtman.
Dalam ekspedisi yang dipimpin Cornelis de Houtman ini mereka sempat lama
di Madasgaskar sebelum melanjutkan pelayaran ke nusantara. Pelayaran ini
setelah melalui lautan India, mencapau pulau Enggano di barat pulau Sumatra.
Dari Enggano pelayaran dilanjutkan ke Dampin (Lampung) dan lalu Banten dan
seterusnya ke Sidajoe, Arasbaja (di Madura), Lombok (pantai timur Lombok) dan
Bali (pantai timur Bali).
Dalam kamus Frederik de Houtman di Madagaskar ini sejumlah kosa kata mirip dengan yang dicatat Pigafetta di Ternate dan di Malaka. Namun banyak juga perbedaan. Artinya, cukup banyak kosa kata di kamus Frederik de Houtman yang tidak memiliki padanan dalam kamus Pigafetta, tetapi memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa lain non Melayu seperti kosa kata yang ditemukan dalam bahasa Jawa dan bahasa Batak. Kosa kata beta di dalam kamus Frederik de Houtman di Madagaskar memiliki kemiripan dengan kosa kata beta yang ditemukan dalam bahasa-bahasa di Maluku. Bagaimana hal itu terjadi?
Setelah ekspedisi Belanda pertama yang dipimpin Cornelis de Houtman,
ekspedisi-ekspedisi Belanda terus menyusul dan dari waktu ke waktu jumlahnya
semakin banyak. Pada tahun 1605 ekspedisi yang dipimpin admiral van Hagen
berhasil menaklukkan benteng Portugis di Amboina (lalu Frederik de Houtman
menjadi gubernur Belanda di Amboina). Pada tahun 1612 ekspedisi Belanda
menakulukkan Portugis di Solor dan Koepang (Timor). Lalu pada tahun 1619
Belanda/VOC mendirikan benteng di muara sungai Tjiliwong yang diberi nama
Casteel Batavia. Sejak inilah pengaruh Belanda semakin menguat di nusantara
(menggantikan Portugis dan Spanyol).
Ada satu masa di masa lampau, namun sulit ditentukan penanggalannya, bahwa ada sejumlah kosa kata yang memiliki kemiripan pada wilayah yang sangat luas. Masa ini adakalnya disebut era bahasa-bahasa Austronesia, mulai dari nusantara hingga jauh ke barat di Madagaskar, ke timur hingga Maori dan Hawai, serta ke utara hingga Formosa dan selatan Jepang di kepulauan Ryukyu. Dalam konteks inilah dapat dhubungkan mengapa ada kosa kota beta di Madagaskar yang mirip dengan kosa kata yang digunakan di Maluku.
Bahasa-bahasa Austronesia pada
era terdahulu diduga kuat menjadi ranah terbentuknya bahasa Melayu (sebagai
lingua franca baru). Namun kapan terbentuknya bahasa Melayu ini sulit
diketahui. Yang jelas, dalam teks prasasti-prasasti yang ditemukan di bagian
selatan pantai timur Sumatra seperti prasasti Kedoekan Boekit (di Palembang) lebih
mengindikasikan bahasa Batak daripada wujud bahasa Melayu (yang baru terbentuk
kemudian?). Dalam konteks inilah kita pada masa kini masih menyaksikan bahasa
Batak seakan menunjukkan eksistensi bahasa Austronesia masih lestari secara
terbatas di pulau Sumatra. Dengan kata lain pada saat HN van der Tuuk menyusun kamus
bahasa Batak tahun 1850 jumlah kosa kata asing masih sangat terbatas di dalam
bahasa Batak. Sebaliknya, kosa kata asli bahasa Melayu (tidak ditemukan
padanannya dalam bahasa asing seperti Arab, Tiongkok dan Eropa) dapat ditemukan
kemiripannya dengan kosa kata yang ada di dalam bahasa Batak misalnya aku=ahu, ko=ho,
kami=hami, kamu=hamu, kapur=hapur, apa=aha, satu=sada, tebal, tabal=hapal,
kutu=hutu, makan=mangan, terbang, tarbang=habang, kata=hata, hujan=udan, jalan=dalan,
kotor=hotor dan lainnya. Lantas mengapa secara fonetis/morfologis pengucapan
kosa kata elementer bahasa Batak tersebut lebih lembut daripada bahasa Melayu?
Apakah perbedaan itu karena perbedaan geografis? Yang jelas populasi berbahasa Batak
jauh di pedalaman dan Melayu di pesisir pantai.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Era VOC dan Pemerintah Hindia Belanda
Kehadiran orang Belanda di nusantara (baca: Hindia Timur) telah menyebabkan revolusi dalam bahasa Melayu. Meski kamus Frederik de Houtman (versi baru yang diselesaikan selama ditahan dua tahun di Atjeh dan diterbitkan di Amsterdam tahun 1603) masih digunakan, namun orang Belanda mulai mengembangkan kamus itu untuk tujuan yang lebih spesifik lagi bukan hanya untuk kebutuhan bahasa percakapan di pelabuhan/pasar (tetapi kebutuhan para misionaris dalam penyebaran Injil).
Lantas mengapa kamus
Frederik de Houtman yang dijadikan para misionaris Belanda di Amboina (Maluku)
sebagai rujukan awal dan bukan kamus Pigafetta (1521)? Yang jelas kamus
Pigafetta baru ditemukan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Sementara kamus
Frederik de Houtman (berjudul Spraeck ende woord-boeck in de Maleysche ende
Madagaskarsche talen, met vele Arabische ende Turcsche woorden) sejak diterbitkan
pada tahun 1603 masih terus digunakan hingga satu abad kemudian. Paralel dengan
kamus Frederik de Houtman ini di (diperjuabelikan) di pasaran, para misionaris
di Amboina Menyusun kamus dan tata bahasa sendiri. Sebastiaan Danckaerts di Amboina menulis pada tahun 1621 dengan judul
Historisch ende grondich verhael, vanden standt des Christendoms int quartier
van Amboina, mitsgaders vande hoope ende apparentie eenigher reformatie ende
beternisse van dien (diterbitkan di Gravenhaag); Danckaerts kembali menebitkan
tulisan pada tahun 1623 berjudul Grammaticale observation dan berjudul Vocabularium
ofte Woortboeck, naer ordre van den Alphabet, int ' t Duytsch-Maleysch, ende
Maleysch-Duytsch. Eertyts ten deele ghecompaneert by Caspar Wiltens: ende
namaels oversien, vermeerdert, ende uytgegeven door Sebastianus Danckaerts (diterbitkan
di Gravenhaghe tahun 1628). Kamus dan tata bahasa Melayu terus dikembangkan
penulis-penulis Belanda/VOC seperti Johannes Roman dengan judul Kort Bericht
van de Maleysche letter-konst yang diterbutkan penerbit Joan Blaev tahun 1655
dan berjudul Grondt ofte Kort bericht van de Maleysche tale, vervat in twee
deelen yang diterbitkan tahun 1674 di Amsterdam.
Akumulasi pengetahuan orang Belanda di Hindia Timur semakin banyak. Para penulis Belanda menulis baru dengan merujuk pada tulisan-tulisan terdahulu. Ini juga seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan perdagangan dan kekuatan VOC/Belanda di Hindia Timur dimana bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Banyak Gubernur Jenderal VOC
yang bisa berbahasa Melayu seperti Antonio van Diemen (penakluk Malaka dari tangan
Portugis) dan Cornelis Speelman (penakluk kerajaan Gowa/Makassar), Tentu saja
Gubernur Jenderal (1684–1691) Willem van Outhoorn kelahiran Larike (Amboina). Jangan
lupa dengan nama Abraham van Riebeeck seorang pejabat VOC di Hindia Timur yang
kemudian ditempatkan pertama kali untuk membuka koloni baru di Cape Town tahun
1652 yang juga banyak membawa pekerja asal Hindia ke Afrika Selatan. Dalam
konteks inilah mengapa kini banyak kosa kata bahasa Melayu ditemukan dalam
bahasa Afrikaans (bahasa umum di Afrika Selatan). Setelah cukup lama di Cape
Town, kemudian Abraham van Riebeeck kembali ke Hindia dan diangkat sebagai
Gubernur Jenderal pada tahun 1709. Pada era Abraham van Riebeeck perlu dicatat
nama-nama penting yang menguasai bahasa Melayu dan juga menguasai beberapa bahasa
daerah (Jawa dan Sunda) seperti Majoor St Martin (komandan militer VOC) pemilik
pertama land Kemajoran dan Bodjong Gede; dan Cornelis Chastelein yang pernah
menjabat Direktur Umum VOC yang membuka land di Senen. Srengseng dan Depok.
Dalam konteks inilah secara perlahan terbentuk bahasa Melayu yang umum digunakan secara luas di Hindia Timur dari Atjeh hingga Papua, bahasa yang sudah berbeda dengan bahasa Melayu di komunitas orang Melayu (seperti di Riouw), yang disebut bahasa Melayu Pasar. Akumulasi bahasa Melayu Pasar inilah yang terus berkembang karena didokumentasikan oleh orang-orang Belanda, baik dalam buku, surat-surat dalam pemerintahan maupun dwi bahasa dalam perjanjian-perjanjia (kontrak) dengan para pemimpin pribumi. Para pedagang Arab dan Cina di Hindia juga turut memberi kontribusi dalam akumulasi pengetahuan bahasa Melayu Pasar bagi orang Belanda.
Bahasa Melayu Pasar yang
dapat dikatakan sebagai bahasa setengah resmi pada era VOC/Belanda dijadikan
sebagai bahasa kedua (selain bahasa Belanda). Akumulasi pertumbuhan dan
pekermbangan bahasa Melayu Pasar telah menjadi standar bahasa Melayu dalam lalu
lintas perdagangan dan pemerintahan VOC/Belanda. Seperti disebut di atas, kamus
Pigafetta yang ditulis tahun 1521 tidak termasuk dalam proses terbentuknya bahasa
Melayu Pasar ini karena belum ditemukan dokumennya. Demikian juga dengan buku Sulaltussalatin
yang berasal dari awal abad ke-17 di Semenanjung Malaka juga tidak termasuk
karena belum ditemukan. Demikian juga dengan surat-surat Radja Ternate kepada
Radja Spanyol pada tahun 1519 belum ditemukan. Dengan kata lain, akumulasi
bahasa Melayu Pasar diantara orang-orang Belanda rujukan terawal hanya
berdasarkan kamus Frederik de Houtman yang baru kemudian muncul rujukan baru
yang lebih komprehensif karya Johannes Roman dan karya George Henric Werndly,
berjudul Maleische spraakkunst: uit de eigen geschriften d. Maleiers opgemaakt,
m. inleiding en twee boekzalen v. boeken in deze tale zo van Europëers als v.
Maleiers geschreven yang diterbitkan tahun 1736 di Amsterdam.
Penulis-penulis Inggris di Bengkoeloe di pantai barat Sumatra baru berpartisipasi kemudian dalam hal bahasa Melayu. Pada tahun 1803 penulis Belanda bernama Willem van Rees menerbitkan buku kamus bahasa Melayu berjudul Maleisch handboekjen, of Hollandsch-Maleisch en Maleisch-Hollandsch woordenboekjen, naar alphabetische orde yang diterbitkan oleh Moeleman Junior di Arnhem. Pada era Pemerintah Hindia Belanda (sejak VOC dibubarkan tahun 1799), pada tahun 1812 penulis Inggris di Bengkoeloe William Marsden menerbitkan kamus bahasa Melayu berjudul A Dictionary and Grammar of the Malayan Language yang diterbitkan di London.
Kamus William Marsden di
Bengkoeloe ini tentu saja merujuk pada kamus-kamus terdahulu yang ditulis orang
Belanda. William Marsden menerbitkan kamus bahasa Melayu pada tahun 1812
seiring dengan Inggris menggantikan Belanda di Jawa (Pemerintah Hindia Belanda).
Sebagaimana diketahui Inggris yang bermukim di Bengkoeloe yang didukung Gubernur
Jenderal Inggris di Calcutta (India) menyerang Batavia pada tahun 1811 dan
menduduki Batavia dan kota-kota lain di Jawa. Namun Inggris tidak bertahan
lama. Pada tahun 1816 Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan seiring dengan
situasi dan kondisi politik terbaru di Eropa (perjanjian antara Belanda dan
Inggris dalam konteks Prancis). Sejak ini pada tahun 1819 Inggris membuka koloni
baru di Singapoera (ujung semenanjung Malaya). Singkatnya pada tahun 1824
dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris (Traktat London 1824) yang mana
dilakukan tukar guling: wilayah Inggris di Bengkoeloe dipertukarkan dengan
wilayah Belanda di Malaka). Sejak inilah wilayah Hindia Timur ditarik garis
batas terbaru antara Pemerintah Hindia Belanda (yang kini menjadi wilayah
Indonesia) dengan wilayah The Strait Settlement (yang kini menjadi wilayah
Malaysia/Singapoera).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bagaimana Tata Bahasa Indonesia? Sisa-Sisa Bahasa Belanda Diantara Kekuatan Bahasa Indonesia
Orang-orang Belanda, sadar atau tidak sadar, sejak era Frederik de Houtman (1597-1603) telah secara serius mengadopsi pentingnya bahasa Melayu seiring dengan kehadiran orang Belanda di Hindia Timur. Di satu sisi orang Belanda hanyalah dalam jumlah kecil jika dibandingkan dengan populasi di Hindia yang beragam suku dan bahasa dimana yang menjadi lingua franca adalah bahasa Melayu.
Peran penulis Inggris William Marsden dalam hal bahasa Melayu pada era pendudukan Inggris (1811-1816) segera digantikan oleh penulis-penulis Belanda. Philippus Pieter Roorda van Eysinga pada tahun 1825 menerbitkan kamus Maleisch en Nederduitsch woordenboek yang diterbitkan Ter Lands Drukkery di Batavia. Philippus Pieter Roorda van Eysinga Kembali menulis dengan judul Beknopte Maleische Spraakkunst en Chrestomathie, met Italiaansch en Arabisch karakter, benevens een volledig Hoog en Laag Maleisch en Nederduitsch Woordenboek, met Italiaansch karakter yang diterbitkan oleh Broese pada tahun 1839. Sejak ini semakin banyak yang menulis hal bahasa Melayu, antara lain: JJ de Hollander (1845) Handleiding tot de kennis der Maleische taal. Broese; W Robinson en E Netscher (1855) Proeve tot opheldering van de gronden der Maleische spelling. Genootschap; PP Roorda van Eysinga (1855) Algem. Nederduitsch-Maleisch woordenboek, in de hof-, volks- en lage taal, m. aanduid. d. woorden, welke uit Oost- en West. talen ontleend zijn; en beschouw, ov. de Maleyers, hunne geschied., taal en h. verwantschap m. Ind. en andere talen, Lat. karakters. ’s Grav; JJ de Hollander (1856) Handleiding bij de beoefening der Maleische taal en letterkunde, voor de kadetten van alle wapenen bestemd voor de dienst in Nederlandsch Indië. Geboeders.
Seiring dengan semakin banyaknya penulis-penulis
yang berkontribusi dalam bahasa Melayu di Hindia Belanda, mulai muncul komentar
dan kritik. NH van der Tuuk memberi komentar dan kritik terhadap penulisan
bahasa Melayu yang dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde
van Nederlandsch-Indie (1856) dengan judul ‘Iets over de Hoog-Maleisehe
bijbelvertaling. Apa yang menjadi kegelisahan van der Tuuk tersebut kemudian
diadopsi oleh HC Klinkert di dalam tulisannya berjudul Het Criterium voor Geschriften in de Maleische
Taal: Iets over de Maleische School en Volksleesboeken (1864?). Klinkert menyebut NH van der Tuuk adalah orang pertama yang
mengkritik sejumlah penulis (termasuk penerjemah Injil dalam bahasa Melayu)
yang kurang memperhatikan kriteria untuk bahasa Melayu (termasuk perbedaan dalam
ejaan). Sejak inilah kemudian
muncul upaya untuk melakukan kodifikasi terhadap bahasa Melayu.
NH Neubronner van der Tuuk memiliki kapasitas dalam hal kebahasaan. NH
Neubronner van der Tuuk setelah menyelesaikan doktornya di Belanda dalam bidang
linguistik suatu lembaga mengirimnya ke Hindia untuk menyelidiki bahasa Batak pada
tahun 1850. Hasil karya NH van der Tuuk tentang kamus Bataksch dan tata
bahasanya diterbitkan tahun 1863 (lihat Javasche courant, 26-09-1863).
NH van der Tuuk dan HC Klinkert dalam hal ini dapat dikatakan dua penulis pertama yang kompoten yang mengusulkan pentingya kodifikasi, menyusun kriteria (standadisasi atau pembakuan) dalam bahasa Melayu. Sasaran HC Klinkert terutama tertuju kepada GRPF Gonggrijp, JGF Riedel dan N Graafland. Dalam hal ini HC Klinkert tidak hanya mengadopsi NH van der Tuuk, juga HC Klinkert mendapat dukungan dari ali geografi PJ Veth. Kritik HC Klinkert juga menyasar kepada karya Monsieur von de Wall tentang bahasa Melayu yang diselidikinya di Riouw.
Pembakuan bahasa Melayu tidak hanya penting diantara penulis-penulis
Belanda dalam memberi kontribusi dalam hal bahasa Melayu, juga sejalan dengan
kebijakan pemerintah yang telah memperluas pendidikan bagi pribumi. Sebagaimana
diketahui pemerintah sejak 1848 mulai mendirikan sekolah-sekolah pribumi di
berbagai tempat. Untuk mempercepat perluasan sekolah pribumi tersebut
pemerintah pada tahun 1852 membuka sekolah guru pribumi (kweekschool) pertama di Soerakarta. Sekolah-sekolah dasar dan
sekolah guru yang dengan sendirinya pengetahuan bahasa Melayu.
Lembaga ilmu pengetahuan Bataviaasch Genootschap di Batavia merespon kritik HC Klinkert pada tahun 1865 dengan melakukan studi perbandingan bahasa-bahasa yang ada di Hindia Belanda atas usul KF Holle dari Bandoeng. Pengurus lembaga kemudian membuat daftar kosa kata (dalam bahasa Belanda) yang kemudian diminta kepada sejumlah anggotanya di berbagai daerah termasuk H von de Wall di Riouw dalam bahasa Melayu (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië, 1865).
Sementara
usulan kriteria atau pembakuan bahasa Melayu telah menjadi perhatian, buku-buku
bahasa Melayu terus bermunculan. Ini mengindikasikan bahwa kebutuhan pengetahuan
bahasa Melayu menjadi tidak terbantahkan lagi. Buku-buku tersebut antara lain: Anonymus
(1856) Kitab péngadjaran basa Malajoe. Lange en Co; JJ de Hollander (1856)
Handleiding bij de beoefening der Maleische taal en letterkunde, voor de
kadetten van alle wapenen bestemd voor de dienst in Nederlandsch Indië.
Geboeders; C van Heerdt (1857) Eerste gronden der Maleische taal. Van Kampen;
Jan Pijnappel (Gz) (1862) Maleische spraakkunst voor eerstbeginnenden. Nijhoff;
J Pijnappel (1863) Maleisch-Nederduitsch woordenboek. Frederik Muller; J Pijnappel
(1866) Maleische spraakkunst. Nijhoff.
Pembakuan bahasa Melayu adalah satu hal. Studi perbandingan bahasa-bahasa di Hindia Belanda (termasuk dengan bahasa Melayu) adalah hal lain lagi. Namun kedua upaya ini saling berkaitan: pembakuan tata bahasa dan juga perlunya bahasa-bahasa daerah (non Melayu) dalam pengembangan bahasa Melayu (Pasar) di Hindia Belanda.
Hingga sejauh ini di wilayah Inggris di The Strait Settlement belum ada
yang memperhatikan tentang bahasa Melayu. Memang sudah ada orang Inggris yang
memperhatikan bahasa Melayu pada masa lalu (William Marsden; 1812) semasih
Bengkoeloe masih wilayah koloni Inggris. Namun setelah William Marsden ini tidak
ada lagi orang Inggris yang memberi kontribusi dalam hal bahasa Melayu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar