*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini
Apakah ada Hari Bahasa Indonesia? Bahasa
Indonesia adalah bahasa yang unik, bahasa yang dibedakan dengan bahasa Melayu.
Bahasa Indonesia dengan sadar dikonstruksi dengan menggunakan aksara Latin
tentang apa yang ditulis sama dengan yang didengar dan dilihat serta yang
dibaca. Bahasa Indonesia dengan sendirinya menjadi bahasa yang sangat simpel. Bahasa
Indonesia didengar dan dilihat sama dengan dibaca, ditulis dan dihitung. Namun
kapan hari Bahasa Indonesia? Harusnya dihitung tidak terlalu rumit.
Meresmikan Hari Lahir Bahasa Indonesia. Ilham Safutra. 30 Agustus 2020. Jawa Pos. Mengapa hari lahir (nama) bahasa Indonesia perlu diperingati? Nama bahasa Indonesia tidak muncul begitu saja, tetapi ada penciptanya. Disetujuinya nama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan juga melalui perdebatan. Pertanyaannya, setiap tanggal berapa dan bulan apa hari lahir bahasa Indonesia diperingati? Ada lima pilihannya. Pertama, 28 Oktober 1928 mengacu pada Kongres Pemuda II dengan putusan Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kedua, 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara yuridis tanggal 18 Agustus 1945 UUD RI 1945 bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Ketiga, 2 Mei 1926 mengacu pada usulan M. Tabrani pada Kongres Pemuda I mengusulkan nama bahasa Indonesia dalam butir ketiga ikrar pemuda untuk menentang usul M. Yamin. Dalam Anak Nakal Banyak Akal (1979) Tabrani menceritakan ia menolak nama bahasa Melayu sebagai nama bahasa persatuan karena tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, bahasa persatuannya disebut bahasa Indonesia. Keempat, 10 Januari 1926 tanggal ini kali pertama nama bahasa Indonesia muncul dalam sejarah Indonesia pada tulisan Tabrani berjudul Kasihan di koran Hindia Baroe. Kelima, 11 Februari 1926 tanggal Tabrani menulis artikel di Hindia Baroe berjudul Bahasa Indonesia (https://www.jawapos.com/)
Lantas bagaimana sejarah Hari Bahasa Indonesia, kapan? Seperti disebut di atas, Bahasa Indonesia dan nama Bahasa Indonesia dihubungkan dengan nama Mohamad Thabrani dan Kongres Pemuda Tahun 1926 dan 1928. Apakah benar? Lalu bagaimana sejarah Hari Bahasa Indonesia, kapan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Hari Bahasa Indonesia, Kapan? Apakah Nama Bahasa Indonesia Terkait Kongres Pemuda Tahun 1926 dan 1928?
Saat orang Indonesia belum menyadari nama Indonesia, sudah sejak 1850 nama Indonesia disebut (oleh seorang Inggris) Richard Logan. Lalu kemudian seorang Jerman Adolf Bastian mengadopsi bnama Indonesia dan menggunakannnya secara intens. Cornelis van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat di Hindia juga mengadopsi nama Indonesia.
Sejak buku Adolf Bastian berjudul ‘Indonesien oder die Insein des
Malayischen Archipels’ diterbitkan tahun 1884, nama Indonesia semakin banyak
yang mengadopsinya dari waktu ke waktu. Sejak 1884 majalah ilmiah Tijdschrift
van het Aardrijkskundig Genootschap terus menginformasikan nama Indonesia di
dalam sejumlah artikel yang dimuat. Pada tahun 1889 Dr C Snouck Hurgronje
menulis buku yang berjudul ‘Mekka’ yang diterbitkan tahun1889 di Den Haag juga
menggunakan nama Indonesia. Pada tahun 1890 Johann Dietrich Eduard Schmeltz
menulis buku yang berjudul ‘Indonesische Prunkwaffen’ yang diterbitkan
tahun1890. Adolf Bastian sendiri tetap konsisten menggunakan nama Indonesia
seperti dalam bukunya berjudul ‘Java’ (berbahasa Jerman) yang diterbitkan pada
tahun 1893 di Leiden dan buku berjudul ‘Lose Blätter aus Indien’ (berbahasa
Jerman) yang diterbitkan pada tahun 1898 di Batavia. Nama Indonesia dari sisi
Jerman, yang juga diamini orang Belanda secara masif ini, terkesan seperti
‘serangan balik’ ke sisi Inggris yang secara sporadik mempopulerkan nama
Melayu. Publikasi nama Indonesia selanjutnya: TJ Bezemer en H Kern berjudul Volksdichtung
aus Indonesien: Sagen, Tierfabeln und Märchen diterbitkan tahun 1904 oleh drukker/uitgever
Nijhoff. Banaspati berjudul Van Indonesische weefsels diterbitkan tahun 1905. Alb.
C. Kruyt berjudul Het animisme der Indonesiërs diterbitkan Van Sijn tahun 1906.
Albertus Christiaan Kruyt berjudl De Indonesische rechter in het hiernamaals
diterbitkan tahun 1907 oleh penerbit Müller. C Spat berjudul Het Indonesisch
heidendom diterbitkan tahun 1909 oleh drukker/uitgever De Koninklijke Militaire
Academie. Buku berjudul Herziening van het vervreemdingsverbod voor
Indonesische gronden diterbitkan tahun 1916. JC van Eerde menerbitkan buku
berjudul Over de verwanten van de Indonesiërs yang diterbitkan drukker/uitgever
De Bussy pada tahun 1917.
Lantas bagaimana dengan orang pribumi sendiri? Orang pribumi sudah lama menggunakan aksara Latin, bahasa Belanda diajarkan di sekolah-sekolah, siswa-siswa pribumi banyak yang sekolah di sekolah-sekolah Eropa di Hindia dan bahkan sudah banyak mahasiswa pribumi yang studi di universitas-universitas di Belanda. Dalam konteks inilah, nama Indonesia sudah diketahui sejak lama. Mahasiswa-mahasiswa pribumi di Belanda tentu saja lebih terpapar lagi tentang nama Indonesia disebut dalam berbagai aspek.
Nama Indonesia diantara penulis-penulis Eropa/Belanda dan di berbagai media
(buku, majalah dan koran) sudah lama muncul frase atau idiom yang terkait
dengan nama Indonesia. Frase atau idiom tersebut seperti „linguistiek" of
„indonesisch” (1898); Indonesisch recht (1898), Indonesisch eigendom (1898); Indonesisch
karakter (1901); Indonesisch motief (1901); Indonesisch van ornementatie
(1901); Indonesisch tjjn (1901); Indonesische kleuren (1901); Indonesisch
versteringskunst (1901); Indonesisch kunstgebied (1901); Indonesische taal
(1902); Indonesisch van beginsel (1902); Indonesisch idioom worden (1903); oud-Indonesisch
gebruik (1903); Indonesisch gebied (1904); amerhand het karakter aangenomen van
een bonte staalkaart van talen, Indo- Germaansch, Semitisch en Indonesisch
doorééngemengd (1903); Indonesisch vlechtwerk ornament (1903); oud Indonesisch
sprookje (1905); een geheel Indonesisch milieu (1906); het Indonesisch
heldendom (1906); Indonesischen stam (1909); het ruime Indonesische (1909); een
bekend Indonesisch bezweringsmiddel (1909); een Indonesisch kind (1909); indonesisch
agrarisch gebied (1910); één algemeen indonesisch adatrecht evenzeer ontbreekt
als één indonesische taal (1910); dat we hier lets zuiver Indonesisch voor ons
bobben, zonder vreemde invloeden (1911); Austronesisch is een door Schmidt
voorgestelde, thans algemeen aangenomen kollektiefnaam voor Indonesisch (1912);
het Indonesisch taaleigen eenigszins meer vertrouwd (1913); Indonesisch
weefsels (1913); het toenemende aantal Indonesisch studenten aan Nederiandsche
universiteiten (1913); het Indonesisch niet is een minderwaardige taal (1914); beslist
Indonesisch (1914); jeugd op Indonesisch gebied (1914); beoogen die verstrooide
Indonesische stof bijeen te brengen in stelselmatige orde en met gebruik van
eenvormige (1915); studie van het Indonesisch adatrecht (1915); dat goed
Indonesisch is (1915); oudsher een eigen Indonesisch vermaak zijn geweest
(1915); het Indonesisch Christendom (1916); eerlang ook van een groot
Indonesisch volk zal kunnen sprake zijn (1917).
Para terpelajar orang pribumi baik di Hindia maupun yang studi di Belanda sudah barang tentu telah memahami sejak lama begitu intensnya nama Indonesia diantara nama-nama yang juga eksis seperti Hindia. Orang Hindia, Inlandsch, Inlander, Indier, pribumi, Insulinde dan sebagainya.
Ibarat huruf u dalam ejaan Melayu (w/u, h/u), ejaan van Ophuijsen (oe),
ejaan Eropan lainnya seperti bahasa Inggris (u) yang sudah lama diketahui, baru
diputuskan secara tunggal sebagai u pada tahun 1972 (EYD=Ejaan yang
disempurnakan). Sejak itu, seperti kata mahu, maoe, maoo, mau disepakati untuk
menyamakan perbedaan penulisan kata yang baik dan benar menjadi mau. Analog
dengan ini, hal itulah yang terjadi pada masa lampau tentang nama Indonesia.
Pada tahun 1917 di Belanda akan diadakan Kongres Hindia. Kongres ini diikuti oleh pelajar/mahasiswa asal Hindia (Belanda, Cina dan pribumi) antara lain Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia), organisasi yang digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pada tahun 1908 dan Chung Hwa Hui, organiasi pelajar/mahasiswa Cina di Belanda didirikan pada tahun 1911. Ketua Kongres Hindia pada tahun 1917 dipimpin oleh HJ van Mook.
De nieuwe courant, 14-10-1917: ‘Indische Vereeniging. Pada Sabtu malam,
di Koffieguis di Zuid Holland diadakan rapat tahunan dan mengadakan pemilihan
pengurus baru. Yang terpilih adalah RM Noto Dhiningrat (ketua), Soerjomihardjo
(sekretaris), RM Tjohro-adi-Soerjo (bendahara), Baginda Dahlan Abdoellah
(pengawas) dan RM Noto Soeroto (arsiparis). Sebagai delegasi dan pembicara di
Leidsche Indologencongres (Kongres Hindia) diangkat Dahlan Abdoellah,
penunjukan telah diterima. Memutuskan untuk mengadakan rapat umum pada hari
Sabtu pertama setiap bulan, dimana topik-topik penting tentang tanah air akan
dibahas, dan pertemuan luar biasa selanjutnya, jika memungkinkan kuliah, juga
dari orang luar, akan berlangsung. Salah satu anggota secara sukarela
memberikan ceramah di setiap pertemuan tentang ekspresi gerakan Hindia, yang
tawarannya diterima dengan sepenuh hati oleh pertemuan tersebut.
Kelompok-kelompok lokal juga akan didorong untuk mengadakan pertemuan secara
berkala. Organ perhimpunan Hindia-Poetra selanjutnya akan muncul pada interval
yang tidak teratur, berisi seperti ceramah dan pengumuman, juga di mana artikel
oleh anggota dan lainnya akan dimasukkan, dan bukan hanya risalah dan laporan
tahunan’. Catatan: Indische Vereeniging pada tahun 1916 disebutkan diketuai
oleh Raden Loekman Djajadiningrat (lihat Dagblad van Zuid-Holland en
's-Gravenhage, 09-08-1916). Dalam kepengurusan tersebut Dahlan Abdoellah
disebut sebagai archivaris.
Dalam forum kongres itu (yang diadakan 28 November 1917), yang berbicara mewakili Indische Vereeniging antara lain Sorip Tagor Harahap, Dahlan Abdoellah dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Dahlan Abdoellah menyampaikan makalah sebagai perwakilan Indische Vereeniging. Sebagai pembahas untuk makalah lain, dari Indische Vereeniging antara lain Sorip Tagor Harahap dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Pembicara dari Chung Hwa Hui adalah Han Tiauw Tjong, ketua asosiasi Cina Chung Hwa Hui sendiri).
Dahlan Abdoellah dalam paparannya di kongres menyambaikan banyak hal.
Salah satu yang dapat dikatakan dalam hal ini cukup penting adalah soal nama
Indonesia. Kutipan dari makalah pembicara Dahlan Abdoellah mewakili Indisch
Vereeniging “Kami, orang Indonesia, di Hindia Belanda merupakan bagian utama
dari penduduk Hindia dan karenanya kami memiliki hak untuk berpartisipasi lebih
dari sebelumnya”. Selanjutnya Mr Han Tiauw Tjong ketua asosiasi Cina Chung Hwa
Hui mengamini apa yang disampaikan oleh Dahlan Abdoellah, menyatakan “Cina
tidak menginvasi Hindia dan karena itu tidak berlebihan kami disambut disana,
menjadi kolaborator yang sangat diperlukan untuk pembangunan negara’.
Di dalam Kongres Hindia di Belanda ini untuk pertama kali nama Indonesia secara resmi diadopsi oleh orang pribumi. Seperti disebut di atas, nama Indonesia diintroduksi oleh orang Inggris (Logan) dan kemudian dipopulerkan oleh orang Jerman (Bastian) dan selanjutnya diterima diantara orang-orang Belanda di Hindia. Dalam hal ini, seperti disebut di atas, nama Indonesia bukan asing diantara orang-orang terpelajar pribumi, terutama pelajar/mahasiswa di Belanda. Ini juga mengindikasikan bahwa orang pribumi sudah mengenal secara luas nama Indonesia, nama yang sudah beredar luas dalam literatur akademik.
Nama Indonesia yang diusulkan oleh Indische Vereeniging tentu saja tidak
asing bagi pelajar/mahasiswa Cina dan mahasiswa Belanda asal Hindia di dalam
forum tersebut. Seperti disebut di atas, nama Indonesia sudah wujud sejak lama
dan tersebar di berbagai teks akademik maupun media umum. Perwakilan Belanda
dan perwakilan Cina di dalam forum menyetujui usul mahasiswa pribumi yang
tergabung dalam Indische Vereeniging. Singkatnya: dalam Kongres Hindia kedua berikutnya
(1918), nama kongres sudah disebut Kongres Indonesia. Tanggal 28 November 1917
adalah hari bersejarah tentang nama Indonesia. Nama Indonesia sudah lama
dikenal, tetapi secara kelembagaan (formal) baru dipatenkan pada tahun 1917.
Hal serupa ini juga, seperti kita lihat nanti yang terjadi dengan nama Bahasa
Indonesia (1928) dan nama Republik Indonesia (1945).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Apakah Nama Bahasa Indonesia Terkait Kongres Pemuda Tahun 1926 dan 1928? Nama Indonesia dan Nama Bahasa Indonesia
Kongres Hindia di Belanda (Belanda, Cina dan pribumi) tahun 1917 awal nama mula nama Indonesia terlembagakan. Sejak itu nama Indonesia secara khusus digunakan secara massif oleh golongan pribumi seperti nama perusahaan, nama asosiasi, nama perhimpoenan, nama media dan nama perjuangan. Pada tahun 1922 nama Indische Vereeniging diubah menjadi Indonesisch Vereening, lalu kemudian nama Indische Vereeniging diubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada tahun 1924. Seiring dengan perubahan nama menjadi Perhimpoenan Indonesia, majalah Hindia Poetra yang menjadi organ organisisasi diubah namanya menjadi Indonesia Merdeka.
De Indische courant, 30-12-1925: ‘Kongres Pemuda Indonesia. Kami telah
mendengar dari sumber yang dapat dipercaya bahwa kongres pemuda Indonesia pertama
akan diadakan di Weltevreden selama hari-hari Paskah mendatang. Tujuan dari
kongres tersebut adalah untuk membangkitkan semangat kerja sama di berbagai
asosiasi pemuda di negeri ini, sehingga meletakkan dasar bagi persatuan
Indonesia, di mana Hindia kemudian harus dilihat dalam konteks dunia yang lebih
luas. Kerja sama seperti itu sulit ditemukan dalam perkumpulan-perkumpulan
nasional besar kaum lanjut usia, yang karena kepedulian terhadap keberadaan
sosial mereka, hanya memiliki sedikit kontak dengan gagasan-gagasan baru,
cita-cita baru yang kini menggemparkan dunia, dan yang sedang mempersiapkan
dunia. dari hubungan baru. Perhatian khusus akan diberikan pada konvensi ini
untuk memajukan warga negara Indonesia dengan mengantisipasi segala sesuatu
yang memecah belah. Selanjutnya, beberapa topik yang sangat topikal dan penting
bagi Indonesia akan dibahas. Penyelenggaraan kongres ini berada dengan panitia:
Tabrani (ketua); Bahder Djohan (wakil ketua), Soemarto (sekretaris), J Toule
Solehuwy (bendahara); Komisaris P. Pinontoan. Selain Tabrani, semua adalah
siswa STOVIA dan Rechthoogeschool’,
Indonesia Merdeka adalah nama perjuangan yang pertama kali di apungkan Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Lalu dengan latar belakang itu di Indonesia (baca: Hindia Belanda), para pemuda mulai menyatukan persepsi untuk membentuk persatuan nasional dengan mengusung azas (perjuangan) nasional.
Sementara itu, sejak Jong Java (sayap pemuda Boedi Oetomo di Jawa) didirikan tahun 1915 di Batavia, lalu muncul Jong Sumatranen Bond tahun (Desember) 1917 di Batavia, lalu Jong Ambon tahun 1918? dan Jong Minahasa tahun 1920? Dan sebagainya termasuk Jong Batak pada tahun 1925 (lihat De locomotief, 11-12-1925). Yang menjadi induknya adalah Bataksche Bond didirikan pada tahun 1919 di Batavia. Ketua Jong Batak pertama adalah Aminoedin Pohan (lihat majalah Jong Batak edisi No. 3, Maret 1926). Organisasi-organisasi (senior dan junior) yang sudah terbentuk tersebut hampir semuanya berazaskan kedaerahan (termasuk Boedi Oetomo, yang didirikan tahun 1908). Hanya ditemukan dua organisasi (kebangsaan) yang berazaskan nasional yakni Indische Vereeniging yang didirikan tanggal 25 Oktober di Leiden, Belanda dan Medan Perdamaian di Padang yang didirikan tahun 1900. .
Pada bulan Meret 1926 di Weltevreden, Batavia kembali berkumpul sejumlah pemuda untuk membentuk komite kongres pemuda (lihat De locomotief, 10-03-1926). Dalam pertemuan itu disepakati untuk menyelenggarakan Kongres Pemoeda yang direncanakan diadakan pada tanggal 29 April hingga 2 Mei 1926. Dari pertemuan ini dibentuk komite sementara yang terdiri dari: Tabrani (voorzitter), Bahder Djohan (vicevoorzitter), Soemarto (secretaris), J Tonle Solehuwij en Paul Pinontoan. Tujuan kongres adalah untuk membangkitkan semangat kerja sama di berbagai perkumpulan pemuda di negeri ini, guna meletakkan dasar bagi kebangsaan Indonesia.
Mohamad Tabrani adalah pemimpin redaksi surat kabar Hindia Baroe. Bahder Djohan adalah mahasiswa STOVIA yang juga ketua Jong Sumatranen Bond dengan sekretaris/bendahara Diapari Siregar (juga mahasiswa STOVIA). Soemarto adalah sekretaris Jong Java (dimana sebagai ketua adalah Djaksodipoera), J Tonle Solehuwij dari Jong Ambon dan Paul Pinontoan dari Jong Minahasa. Nama Tabrani sendiri mulai menjadi redaktur di surat kabar Hindia Baroe pada bulan Juli 1925 (lihat De Indische courant, 20-07-1925). Beberapa bulan kemudian Parada Harahap, jurnalis senior di Batavia menginisiasi pembentukan asosiasi jurnalis di Batavia, Uniknya Parada Harahap hanya mengajak jurnalis muda. Lalu terbentuk asosiasi jurnalis pribumi dan Cina yang diresmikan pada tanggal 6 Oktober (lihat Hindia Baroe, 07-10-1925). Dalam organisasi jurnalis ini sebagai ketua adalah Thabrani dan sekretaris WR Soepratman. Parada Harahap sendiri menjadi salah satu komisaris. Pertemuan pembentukan organisasi ini diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden (lihat De Sumatra post, 29-09-1925). Parada Harahap adalah pemimpin surat kabar Bintang Hindia yang juga pemilik kantor berita pribumi Alpena (dimana WR Soepratman sebagai pemimpin redaksi). Surat kabar Hindia Baroe didirikan pada bulan Februari 1924, yang nama sebelumnya adalah surat kabar Neratja. Sebelum mendirikan surat kabar Bintang Hindia, Parada Harahap adalah salah satu redaktur di surat kabar Neratja. Dalam hal ini Parada Harahap yang membawa WR Soepratman di surat kabar Kaoem Kita di Bandoeng ke Batavia pada tahun 1924 dan kemudian membawa M Tabrani dari Bandoeng yang baru lulus OSVIA Bandoeng. WR Soepratman di Batavia tinggal di rumah Parada Harahap. Bintang Hindia sendiri didirikan pada tahun 1923 di Batavia. Parada Harahap saat ini adalah sekretaris Sumatranen Bond yang mana sayap pemudanya Jong Sumatranen Bond dipimpin oleh Bahder Djohan sebagai ketua dan Diapari Siregar sebagai sekretaris. Oleh karena itu, komite Kongres Pemuda 1926 yakni Tabrani (voorzitter) dan Bahder Djohan (vicevoorzitter) terhubung dengan Parada Harahap.
Dalam surat kabar De locomotief, 10-03-1926 juga disebutkan subjek-subjek yang akan dibahas: Kesatuan konstitusional oleh Djaksodipoera dan Soemarto; Kesatuan etnologis oleh Solehuwij; Kesatuan linguistik oleh Djamin; Posisi perempuan oleh Bahder Djohan dan Agama oleh Pinontoan. Disebutkan kesatuan bahasa sendiri akan muncul secara alami dengan terbentuknya negara, menunjuk ke Belanda, di mana dengan terbentuknya negara itu bahasa Belanda muncul dari dialek-dialek. Bahasa tunggal mana yang akan menjadi bahasa Indonesia kurang penting, bisa jadi bahasa Melayu, Jawa, dan mungkin bahkan bahasa Belanda; di sinilah letak tugas berat bagi kaum intelektual.
De locomotief, 25-03-1926: ‘Kongres
Pemuda Indonesia. Sehubungan dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya,
mengenai rencana penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia di Batavia, yang mana
Tabrani DI, pemimpin redaksi surat kabar Hindia Baroe, sebagai ketua panitia
persiapan, maka dengan ini dapat kami umumkan sebagai berikut: Minggu lalu
telah diadakan pertemuan para pemimpin berbagai perkumpulan pemuda, seperti
Jong-Jawa, Jong-Sumatranen Bond, Jong Ambon. Jong Minahasa, Jong Batak Bond,
Sekar Roekoen (Jong-Sundanese Bond), dan lain-lain untuk membahas lebih lanjut
rencana tersebut. Di sini diputuskan bahwa Kongres Pemuda pertama akan
diselenggarakan di Batavia pada tanggal 29 April dan 1-2 Mei. Rancangan agenda
telah disusun, tetapi belum disetujui secara resmi, karena masih menunggu
jawaban dari perkumpulan pemuda lainnya, dan juga dari Perhimpoenan Indonesia
di Belanda. Topik pertama yang akan dibahas adalah pemikiran besar Indonesia,
kedudukan perempuan dalam masyarakat Indonesia modern, dan sebagainya.
Mahasiswa dari Stovia, AMS Jogja dan AMS Bandoeng serta mahasiswa dari
perguruan tinggi di Batavia dan Bandoeng telah mendaftar sebagai pembicara’.
Jelang hari-H penyelenggaraan Kongres Pemoeda terinformasikan bahwa kongres dimulai pada tanggal 30 April 1926 dan akan berakhir tanggal 2 yang akan diadakan di Vrijmetselaarsloge, Waterlooplein (lihat De Indische courant, 29-04-1926). Disebutkan Jumat malam, 30 April pukul 8, pidato pembukaan oleh ketua dan ceramah oleh Soemarto tentang "Persatuan Indonesia." Sabtu malam, 1 Mei, pukul 8 malam, ceramah oleh Bahder Djohan tentang "Masa depan perempuan dalam masyarakat Indonesia", yang ceramahnya akan dilengkapi oleh Nyonya Adam. Minggu pagi, 2 Mei, pukul 9 pagi, ceramah oleh Jamin tentang "Potensi masa depan bahasa dan sastra Indonesia" dan setelah istirahat ceramah oleh P Pinontoan tentang "Tugas agama dalam gerakan nasionalis". Setelah ini, pidato penutupan oleh ketua, Tabrani, dan pada malam hari pukul 8 malam makan malam bersama di restoran Insulinde di Petjenongan.
Gedung Lodge "Lux Orientes" di Weltevreden (kini disebut
Gambir) juga disebut gedung Vrijmetselaarsloge di Waterlooplein (kini disebut
lapangan Banteng). Vrijmetselaarsloge dalam bahasa Belanda, Freemason's Lodge
dalam bahasa Inggris. Mengapa disebut Gedung Vrijmetselaarsloge karena di Gedung
Lux Orientes ini tempat klub Freemason. Letak gedung Lux Orientes ini tidak
jauh dari kantor surat kabar Bintang Hindia dan kantor berita pribumi Alpena.
Pada akhirnya Kongres Pemuda dapat direalisasikan tiga hari pada tanggal 30 April (hari Jumat malam), dan dilanjutkan hari Sabtu malam tanggal 1 Mei dan hari Minggu tanggal 2 Mei sejak pagi. Kongres Pemuda ini tampaknya akan berhasil menyelesaikan agendanya.
De locomotief, 01-05-1926: ‘Het Jeugdcongres te Weltevreden. Kongres Pemuda di Weltevreden. Seorang wartawan melaporkan kepada kami dari Weltevreden hari ini, 1 Mei. Kongres Pemuda dimulai kemarin di gedung Lodge "Lux Orientes" di bawah pimpinan M Tabrani. Tadi malam ketua membuka kongres dengan pidato, yang ditambahkan sebagai berikut: Pembicara, Atas nama panitia kongres, pembicara mengucapkan selamat datang kepada semua “putri dan putra Indonesia”. Kongres ini merupakan tonggak sejarah gerakan pemuda dan diselenggarakan untuk menghasilkan pemikiran yang lebih luas dan lebih besar tentang Indonesia Raya dan untuk memberikan kesempatan bagi semua anak Indonesia untuk mengekspresikan perasaan kebangsaannya. Menurut ketua, kita harus saling mengulurkan tangan untuk mencapai tujuan dan cita-cita kita: kemerdekaan Indonesia, tanah air kita tercinta. Putri dan putra Indonesia, Tabrani melanjutkan — dalam perjalanan sejarah telah ada (penderitaan, yang jauh di belakang kita), yang tidak menjadi tanggung jawab kita, tetapi tetap saja sangat diperlukan, karena kita menyadarinya dan kita soroti secara singkat saat ini. Nah, sumber-sumber sejarah membuktikan bagaimana bangsa-bangsa ini dulunya mampu memerintah secara mandiri, meskipun banyak yang perlu dikatakan tentang kualitasnya. Fakta dari sejarah ini juga membuktikan adanya semangat giat, inisiatif, dan kepahlawanan. Ya, bahkan ada halaman-halaman dalam buku sejarah ini yang bisa kita banggakan. Hari-hari itu diikuti oleh masa kebingungan, yang mengakibatkan penurunan dalam jajaran dan dengan dominasi inilah penyebab penurunan umum lebih lanjut. Gambaran masa lalu kita sebelum kedatangan orang-orang Barat itu gelap, tetapi situasinya menjadi lebih buruk dengan kedatangan orang-orang Barat ini. Meskipun masa lalu itu harus disebut gelap, itu seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengungkapkan ratapan! Jauhkan pikiran bahwa seseorang tidak akan mampu melakukan tindakan besar. Waktu baru kerja dan perjuangan tanpa pamrih telah tiba bagi seluruh negara dan rakyat kita. Bangkitlah, saudara-saudari, demikian pembicara, —dan bersiaplah untuk berkorban demi tanah air kita tercinta, demi pembebasan negara dan rakyat kita. Itu bukan hal yang mustahil, karena 300 tahun perkenalan kita dengan Belanda. Melalui perkenalan itu lahirlah cita-cita dan cita-cita itu begitu indah sehingga patut diperjuangkan dan jika perlu mati untuk itu. Para peserta kongres pemuda sekarang ingin bekerja sama dalam tujuan besar ini. Pertama dan terutama, harus ada kerja sama yang kuat untuk mencapai tujuan, pembentukan front persatuan untuk pembebasan negara kita. Kita, seperti dikatakan Tabrani, merupakan inti dari ras Indonesia yang sedang muncul. Marilah kita orang Indonesia dari semua pulau di Nusantara bersatu. Kemudian ketua menyatakan dewan direksi terbuka. Pernyataan dukungan dibacakan dari perwakilan dan asosiasi lainnya; Jong Java, Jong Sumatra, Ikatan Pemuda Teosofis, Mahasiswa Ambon, Jong Minahasa, Jong Islamietenbond, Jong Batak. Sarikat Minahassa, Boedi Oetomo afdeeling Batavia, Mahasiswa Indonesia (Sekar Roekoen), Darmo, Ali Tirtosoewirjo, Prawira dan Nona Koesoema Soemantri; selanjutnya dari Mohammadjjah afdeeling Batavia. Pasoendan tidak terwakili. Sekretaris Kongres Pemuda, Soemarto, kemudian memberikan ceramah tentang: "Ide persatuan Indonesia", yang diikuti oleh perdebatan, tanggapan. Sabtu malam konferensi akan dilanjutkan dengan ceramah oleh Bahder Djohan tentang: "Kedudukan perempuan dalam masyarakat Indonesia". Ceramah akan dilengkapi oleh Nona S Adam. Pada hari Minggu beberapa ceramah lagi akan diberikan. Kongres akan ditutup pada sore hari. Pada Jumat malam kongres dihadiri oleh Dahler, anggota Volksraad, Prof Dr B Schriecke dari Rechthoogeschool Batavia dan Dr Kajadu dari departemen investigasi politik’.
Secara keseluruhan banyak perserta yang berbicara
dalam Kongres Pemuda ini, baik sebagai pembawa makalah maupun sebagai pembahas
(forum). Selain nama-nama Tabrani, pembawa makalah Bahder Djohan, Soemarto dan
Nona S Adam dan Pinontoan, juga pembahas di forum sebagai berikut (lihat De locomotief, 07-05-1926): Djaksodipoero, ketua Jong
Java; Djamaloedin perwakilan Jong Sumatrnanen; Okker mewakili Jeugd Vereeniging
van Theosofen; Abdoel Soekoer perwakilan dari persatoean peladjar Ambon; Palar,
perwakilan Jong Minahasa; Haroen al Rasjid perwakilan Jong Islamieten Bond afdeeling
Batavia; Aminoedin Pohan ketua Jong Batak; Waktoedi perwakilan Sekar Roekoen; Damanhoeri
perwakilan Mohammadiyah afdeeling Batavia; Ali Tirtosoewirjo mewakili dirinya
sendiri; Nona Koesoema Soemantri mewakli dochter van Indonesia (klub Indonesia
di Soerabaja, Dr Soetomo) dan Nata Prawira mewakili dirinya sendiri.
Dalam Kongres Pemuda tahun 1926 tidak terinformasikan tentang bahasa
persatuan. Mengapa? Karena belum terbentuk persatoean diantara organisasi-organisasi
pemuda yang ada. Yang sudah terbentuk adalah kesadaran untuk bersatu dan
menganggap persatuan adalah sangat penting untuk mencapai cita-cita bersama:
kemerdekaan Indonesia. Seperti disebut di atas, sebelum kongres diadakan
Tabrani mengatakan: kesatuan bahasa sendiri akan muncul secara alami dengan
terbentuknya negara, menunjuk ke Belanda, dimana dengan terbentuknya negara itu
bahasa Belanda muncul dari dialek-dialek. Bahasa tunggal mana yang akan menjadi
bahasa Indonesia kurang penting, bisa jadi bahasa Melayu, Jawa, dan mungkin
bahkan bahasa Belanda. Dalam hal inilah, menurut Tabrani letak tugas berat bagi
kaum intelektual. Sementara itu, pada saat kongres hari ketiga Minggu pagi, 2
Mei, pukul 9 pagi, ceramah Mohamad Jamin hanya seputar topik tentang "Potensi
masa depan bahasa dan sastra Indonesia". Dalam kongres ini tidak
terinformasikan ada tidaknya kesepakatan tentang bahasa yang digunakan para
pemuda Indonesia.
Kongres Pemuda tahun 1926 belum ada yang disepakati kecuali nama Indonesia yang sudah dianggap nama kolektif untuk tanah air, yang menjadi wilayah semua penduduk yang mana organisasi pemuda terwakili di dalam kongres. Jangankan untuk menentukan nama bahasa (baca: Bahasa Indonesia), bahasa apa yang akan digunakan di tanah air Indonesia juga belum disepakati. Kongres Pemuda pertama tahun 1926 baru satu tahap dalam rangkaian menuju persatuan (pemuda) Indonesia. Pada tahun 1927 Kongres Pemuda sedang direncanakan.
De locomotief,
10-03-1927: ‘Kongres Pemuda Indonesia. Jumat sore lalu, tanggal 4 ini, Komite
Kongres Jong Indonesia bertemu di Weltevreden. Hidangan utama diskusi adalah persiapan
Kongres Pemuda kedua dan pemilihan panitia. Diputuskan untuk mengadakan Kongres
Pemuda kedua pada bulan Agustus. Dari pokok-pokok yang akan dibahas, kita
perhatikan: 1. Gagasan Indonesia Raya dan penjabarannya. 2. Arti penting pers
dalam pembangunan nasional Indonesia 3. Emansipasi wanita Indonesia. 4. Masalah
emigrasi. 5. Kesehatan. 6. Signifikansi internasional Indonesia. 7. Wajib
belajar. 8 Arti penting olahraga bagi ketahanan fisik bangsa Indonesia. Berbeda
dengan kongres pertama, kali ini akan diselenggarakan berbagai kegiatan seni
dan kompetisi olahraga juga tidak akan
dilupakan. Pemilihan panitia sementara sehubungan dengan keberangkatan awal
Tabrani ke Eropa menghasilkan hasil sebagai berikut: Ketua Bahder Djohan
(Semi-dokter), wakil ketua Nona Soetji Soemarni (guru), sekretaris 1 Wahab (Stovia), sekretaris 2
Tirtawinata (RHS), bendahara 1 Nelwan (Stovia), bendahara 2 Louhanapessij
(Normaalschool). Anggota: Nona S. Adam (Normaalschool); M Soepit (RHS); P. Pinontoan (Stovia); J. Toule Soulehuwij (RHS);
Darwin (Stovia); Diapari Siregar (Stovia); GM L Tobing (Stovia); Gindo Siregar
(Stovia); TH Pangemanam; Abdullah Sjoekoer (RHS) dan Tabrani (Jurnalis). Tabrani mengatakan dalam pidato
perpisahan singkatnya antara lain bahwa Kongres Jong Indonesia harus menjadi
sumber energi yang darinya organisasi-organisasi pemuda yang ada dan yang akan
didirikan dapat menarik kekuatan mereka dalam mewujudkan gagasan Indonesia
tentang persatuan. Pukul 7 malam ketua baru menutup rapat, setelah mengucapkan
terima kasih kepada Tabrani atas nama panitia yang baru dibentuk atas segala
upaya yang telah dilakukan oleh promotor Kongres Pemuda Indonesia pertama ini
dengan penuh semangat menyebarkan gagasan Indonesia tentang kesatuan’.
Dalam struktur komite Kongres Pemuda kedua tahun 1927 tidak ada nama Tabrani. Hal ini karena Tabrani akan berangkat studi jurnalistik ke Eropa. Namun dalam pidato perpisahan singkat Tbarani antara lain menyatakan bahwa kongres pemuda Indonesia harus menjadi sumber energi yang darinya organisasi-organisasi pemuda yang ada dan yang akan didirikan dapat menarik kekuatan mereka dalam mewujudkan gagasan Indonesia tentang persatuan. Pernyataan Tabrani pada tahun 1927 seakan menegaskan bahwa persatuan pemuda Indonesia pada hakikatnya belum terbentuk tetapi sedang bergerak kesana. Hal itulah mengapa direncanakan Kongres Pemuda kedua pada tahun 1927 ini.
Di dalam Kongres Pemuda 1926, belum adanya kesepakatan bahasa apa yang
digunakan dan topik yang dibawakan oleh Mohamad Jamin berjudul "Potensi
masa depan bahasa dan sastra Indonesia" adalah satu hal. Hal lain adalah
bahwa nama Indonesia sudah formal (sejak 1917) dan telah tersebar luas. Nama
Indonesia itu sendiri jauh sebelum itu sudah terkodifikasi di dalam akademik
(artikel di jurnal dan buku). Seperti disebut di atas penggunaan nama Indonesia
sudah digunakan oleh para ahli seperti wilayah Indonesia, nuansa Indonesia,
hukum adat Indonesia, bahasa Indonesia dan lain sebagainya.
Apa yang dimaksud para ahli tentang bahasa Indonesia (bahasa ditulis dengan huruf kecil) sangat interpretatif. Yang dimaksud bahasa Indonesia dalam hal tersebut bisa bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Melayu di wilayah Melayu dan bahasa Melayu di wilayah non-Melayu (bahasa Melayu Pasar).
Idem dito dengan hukum adat Indonesia sudah barang tentu yang dimaksud
adalah hukum adat Jawa, adat Sunda, adat Batak dan sebagainya. Singkatnya belum
ada penulis yang menyatakan ‘bahasa Indonesia’ atau ‘Bahasa Indonesia’ dalam
tanda kutip sebagai dua kata dalam satu kesatuan apa yang dimaksud dengan Bahasa
Indonesia.
Sementara Mohamad Tabrani di Eropa, yang terjadi di Batavia adalah bahwa Kongres Pemuda kedua pada tahun 1927 tidak terealisasikan. Mengapa? Yang jelas tidak ada lagi nama Mohamad Tabrani. Bahder Djohan yang diplot menjadi ketua komite Kongres Pemuda 1927 tengah sibuk menghadapi ujian dokternya. Namun di pers Eropa/Belanda, di Belanda muncul satu tulisan yang menyebut nama bahasa Indonesia sebagai ‘Bahasa Indonesia’.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928: ‘Kronik. Bahasa Indonesia. Akhir-akhir ini kaum nasionalis banyak berbicara dan menulis tentang gagasan persatuan. Pembentukan pusat persatuan, yang di dalamnya semua organisasi nasionalis, dari Sarekat Islam hingga Boedi Oetomo (Boedi (yang bahkan memiliki anggaran dasar untuk orang kulit putih), telah memberikan bentuk baru pada gagasan persatuan. Memang benar bahwa beberapa organisasi pribumi telah mengeluh bahwa pusat yang didirikan di Bandoeng adalah urusan pribadi para pemimpin saja, tetapi secara umum pembentukan ikatan yang lebih kuat antara semua asosiasi rakyat yang besar ini tampaknya dianggap sebagai kemenangan penting dari gagasan persatuan - gagasan tentang keberadaan persatuan Indonesia, yang dalam kekuatan sistem pendidikan harus diperhatikan. Sekarang masalah lain harus dipecahkan. Bahkan, selama ini, di kalangan nasionalis intelektual dari berbagai ras — misalnya, Batak, Jawa, Ambon, dan Madura — bahasa yang umum adalah bahasa Belanda. Bagaimanapun, bahasa inilah yang, sebagai bahasa pengantar, memperkenalkan prinsip-prinsip pengetahuan Barat di sekolah Belanda-Indonesia, kemudian lebih jauh menginisiasi pengetahuan Barat itu di HBS atau AMS, dan kemudian, bagi yang istimewa, membuka ruang-ruang ilmu pengetahuan Barat di universitas. Namun, sekarang, penolakan terhadap penggunaan bahasa Belanda tampaknya mulai muncul, terutama di kalangan pemuda — di kalangan Jong Java, Jong Islamietenbond, dan organisasi pemuda terkini Pemoeda Indonesia (PI). Jadi, dalam hal ini, ada konflik dengan cita-cita nasionalis mereka. Alih-alih bahasa Belanda, bahasa Indonesia harus dipilih, yang akan menjadi bahasa Indonesia — Bahasa Indonesia. Dan karena tidak ada satu bahasa pun yang digunakan oleh semua orang Indonesia, orang ingin menunjuk bahasa yang paling luas untuk tujuan ini — dan ini adalah lingua franca pasar, pelabuhan, dan jalan raya — bahasa Melayu. Bukan bahasa Melayu "asli", seperti yang dilestarikan di kepulauan kita dalam bentuk paling murni di Minangkabau di Padangsche Bovenlanden, tetapi bahasa Melayu sehari-hari. Bahasa Melayu yang digunakan oleh pedagang Cina dan Arab serta kusir Makassar, pemandu Bali, pendayung perahu Dayak, dan pembantu rumah tangga Jawa. Bahasa Melayu sehari-hari ini. yang sebelumnya dapat digunakan oleh orang Hindia yang lebih terpelajar dengan cukup fasih — kosakatanya biasanya lebih banyak daripada orang Eropa, yang juga menggunakan bahasa ini — makin tidak digunakan lagi: bahasa itu telah digantikan oleh bahasa Belanda. Belum lama ini terjadi pada suatu pertemuan besar pribumi bahwa seorang Jawa harus melanjutkan pidato yang dimulai dalam bahasa Melayu dalam bahasa Belanda. karena perbendaharaan kata Melayu-nya kurang memadai. Oleh karena itu, kursus-kursus dan kolom-kolom majalah sekarang dibuka untuk mengajarkan bahasa Melayu sosial ini secara lebih menyeluruh kepada kaum muda. Dan bahasa Melayu ini selanjutnya harus disebut Bahasa Indonesia mulai sekarang. Dikatakan. untuk menghindari kebingungan dengan bahasa orang Melayu, memang, orang dapat berasumsi, untuk menjaga kepekaan yang bersifat nasionalistis yang lebih sempit: bagaimanapun juga, tampaknya orang Melayu menetapkan nada dalam persatuan nasional Indonesia. Praktik harus membuktikan apakah usaha untuk mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Melayu dalam lalu lintas rasial intelektual dapat diwujudkan. Bagaimanapun juga itu akan menjadi bahasa Melayu, diselingi dengan bahasa Belanda, karena bagaimanapun juga banyak konsep, yang oleh orang Barat dibawa ke Timur, tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa Melayu asli. Itu tampaknya bukan kemajuan. Bahwa orang-orang Hindia menghargai bahasa mereka sendiri dan, misalnya, mendukung penggunaannya di dewan-dewan (raads) kabupaten, berusaha untuk melengkapi bahasa mereka sejauh perluasan wilayah konseptual menuntut hal ini, tentu saja terhormat. Penggantian bahasa Barat yang kaya dengan bahasa Timur yang miskin dan rusak seperti bahasa Melayu interpersonal (kita tidak berbicara tentang "Melayu") mungkin dapat memberikan kepuasan di kalangan tertentu, para penggunanya akan merugikan diri mereka sendiri karenanya’.
Artikel yang dimuat di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928 (tanpa nama penulis; sangat mungkin para redaktur) tampaknya telah meninjau dinamika perkembangan terakhir di Hindia soal persatuan (termasuk Pemoeda Indonesia yang menjadi sayap pemuda Partai Nasional Indonesia=PNI) dan munculnya gerakan anti bahasa Belanda. Dalam hal ini dapat diperhatikan apa yang menjadi bahasa persatuan tidak terinformasikan di dalam Kongres Pemoeda tahun 1926, berkembang di kalangan para pemuda–seperti di kalangan Jong Java, Jong Islamietenbond, dan organisasi pemuda terkini Pemoeda Indonesia (PI) anti bahasa Belanda dan mengedepankan bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa Indonesia dengan nama ‘Bahasa Indonesia’.
Artikel yang dimuat di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928
seakan menjembatani tentang apa yang belum lama berkembang dengan kemungkinan
apa yang akan ditetapkan kemudian. Hal serupa ini yang terjadi lebih dahulu pada
nama Indonesia, suatu nama yang berkembang (inkubasi) dalam tulisan sejak lama
sebelum nama Indonesia diadopsi secara formal pada Kongres Hindia di Belanda
pada tahun 1917. Akankah nama ‘Bahasa Indonesia’ ini akan diakomodir pada
kongres pemuda Indonesia selanjutnya?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar