Jumat, 08 Februari 2019

Sejarah Kota Depok (56): Melacak 12 Nama Keluarga (Geslachtsnaam) di Depok; Awal Mula Pencatatan dan Penulisan Last Name


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Di Depok tempo dulu ada nama keluarga (geslachtsnaam), jumlahnya 12 buah: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, Zadokh. Mereka ini adalah pewaris Land Depok milik Cornelis Chastelein. Nama keluarga Zadokh disebutkan telah hilang. Paling tidak nama keluarga tersebut ditulis di belakang nama sudah dilakukan pada tahun 1812. Nama-nama keluarga tersebut masih digunakan hingga masa ini.

Silvester Jacobus Laurens lahir di Depok 17 Oktober 1811 (Java government gazette, 11-07-1812); Johanna Laurens lahir di Depok 30 September 1811 (Java government gazette, 19-12-1812). D. Jonathans di Depok (Bataviaasch handelsblad, 30-08-1869). Reiner Leander di Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-08-1878). Rijkloff Johannes Loen van Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 16-02-1894). Daniel Jozef Bacas, Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-03-1897). JE Isakh di Depok (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1915). L Samuel menikah di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1916). Sara Tholense menikah di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 31-03-1920). Leena Jacob di Depok (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-03-1921). RF Soedira di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1926). A Joseph di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 15-03-1937),

Pertanyaannya sejak kapan nama-nama tersebut ditabalkan sebagai nama keluarga. Lalu sejak kapan awal mula pencatatannya. Pada era VOC, orang Eropa/Belanda sudah sejak lama menggunakan nama keluarga di belakang nama, bahkan jauh sebelum mereka datang ke Hindia Timur seperti Cornelis de Houtman. Namun ada juga nama-nama keluarga yang baru yang harus ditetapkan melalui proses pengadilan. Lantas bagaimana dengan nama-nama keluarga yang di Depok yang jumlahnya 12 buah. Tentu saja masih menarik untuk ditelusuri sabab musababnya.

Rabu, 06 Februari 2019

Sejarah Kota Palembang (2): Pembentukan Pemerintahan dan Tata Kota Palembang; Pribumi di Ilir, Cina Eropa di Ulu (1825)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini Klik Disini

Era VOC/Belanda berakhir, era Pemerintahan Hindia Belanda dimulai. Pembentukan Pemerintahan Hindia Belanda di Palembang dimulai pada tahun 1805. Ini sehubungan dengan penempatan T Haarvlegter sebagai Residen di Palembang pada tahun 1805. Pada tahun 1809 pemerintahan di Palembang diperkuat dengan mengangkat J Groenhoff van Woortman sebagai Residen, sementara T Haarvlegter sebagai Tweede Resident yang merangkap sebagai Boekhouder (lihat Almanak 1810).

Kota Palembang 1877
Pengangkatan Residen Woortman berdasarkan Resolutien yang dibuat Rade van Indie pada tanggal 3 April 1810 (lihat Bataviasche koloniale courant, 06-04-1810). Untuk mendukung pemerintahan ini dari Batallion Batavia ditempatkan satu detasement di Palembang.

Namun tidak lama kemudian pengalihan kekuasaan terjadi dari Belanda ke pihak Inggris (Luit. Gen. Raffles) tahun 1811. Di Palembang, pada tanggal 17 Mei 1812 dibuat butir-butir persetujuan (articles  of  agreement) yang dilakukan oleh Colonel  RR Gillespie dan Sultan (Palembang).

Selasa, 05 Februari 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (16): Belanda Menyatukan Tanah Jajahan Tapi Menentang Persatuan di Hindia; Pecah Belah NKRI


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Hanya satu motif Belanda sejak era VOC dan Pemerintah Hindia Belanda yakni keuntungan. Investasi besar bukan untuk biaya meningkatkan kesejahteran penduduk pribumi di tanah jajahan tetapi untuk meratakan jalan dalam meraih keuntungan. Biaya besar untuk membangun benteng-benteng besar, belanja senjata dan membayar serdadu untuk menghancurkan perlawanan penduduk dan berperang melawan pesaing (Poertugis, Inggris dan lainnya). Bagi penduduk yang patuh dikenakan retribusi dan pajak untuk baiya pengadministrasian wilayah dan membayar gaji pejabat dan pegawai.

Semua itu dimaksudkan untuk memfasilitasi para investor swasta dan investor pemerintah dalam berusaha di bidang perdagangan, pertanian, industri dan perusahan=persuahan jasa. Keuntungan perusahaan menjadi keuntungan bagi pemerintah dan kerajaan Belanda dalam bentuk-bentuk pajak perusahaan. Hanya perusahaan yang menguntungkan yang didukung oleh pemerintah. Dalam hal ini, hanya sebagian kecil keuntungan pemerintah tersebut yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan sosial (kesehatan dan pendidikan penduduk). Penduduk menyumbang tenaga yang seharusnya dihitung sebagai biaya untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan.

Untuk mencapai misi tersebut secara maksimal, VOC dan Pemerintah Hindia Belanda (melalui Menteri Koloni) berusaha menyatukan semua tanah jajahan dalam satu administrasi tanah jajahan. Gubernur Jenderal VOC/Belanda di Batavia dapat mengirim militer ke Malabar, Ceylon atau Afrika Selatan. Demikian juga Pemerintah Hindia Belanda dapat mendorong pengusaha yang patuh dan penduduk yang tunduk untuk mengumpulkan sumbangan untuk membantu kesulitan orang Belanda di India atau di Afrika Selatan. Pemerintah hanya menghitung keuntungan dari investasi para insvestor utama di Belanda (termasuk invesasi keluarga kerajaan).

Minggu, 03 Februari 2019

Sejarah Kota Palembang (1): Asal Mula Terbentuk Kota Palembang; Pembangunan Benteng VOC 1662, Relokasi Kraton 1780


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini Klik Disini

Kota Palembang masa kini adalah kota metropolitan yang dilintasi oleh sungai Musi. Kota Palembang bermula dari seputar lingkungan kraton. Distrik Palembang adalah distrik pertama di Sumatra yang mana pemerintahan pertama  Pemerintah Hindia Belanda dibentuk. Sejak kehadiran orang Eropa/Belanda, kota Palembang yang berkedudukan di sekitar kraton Palembang secara perlahan tumbuh dan berkembang hingga mencapai bentuknya yang sekarang.

Kraton Palembang dan Pos VOC/Belanda, 1780
Dalam berbagai literatur sudah banyak ditulis tentang keberadaan Palembang. Kota Palembang dikaitkan dengan Kerajaan Sriwijaya yang diduga bermula di bukit Seguntang sebagaimana didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit pada tanggal 16 Juni 683, Tanggal ini kemudian ditabalkan menjadi hari lahir Kota Palembang. Tentu saja banyak hal yang terjadi hingga datangnya orang-orang Eropa ke Palembang.  Itu adalah satu hal, tetapi dalam hal ini adalah bagaimana asal-usul terbentuknya Kota Palembang yang tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Deskripsi serupa ini kurang mendapat perhatian para sejarawan. Padahal inti asal usul Kota Palembang yang sekarang justru terletak disitu. Menghubungkan tanggal 16 Juni 683 dengan terbentuknya Kota Palembang yang sekarang hanya akan membuat kita gagal paham mengapa dan bagaimana Kota Palembang terbentuk menjadi seperti sekarang.

Meski sejarah Kota Palembang sudah banyak ditulis, namun sejarah Kota Palembang tentu saja masih menarik untuk ditulis ulang. Sejarah Kota Palembang tentu saja tidak hanya sekitar hal ihwal nama Palembang sendiri dan kebesaran Kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Sejarah Kota Palembang haruslah dikaitkan dengan yang lain seperti kedatangan orang Eropa, keberadaan sungai Musi, politik dan perang yang terjadi, pembangunan pusat perdagangan, pembentukan pemerintahan dan pembangunan berbagai fasilitas, pembangunan moda transportasi darat, perkembangan sosial seperti kesehatan dan pendidikan dan tentu saja perihal yang terjadi selama pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Dengan memperhatikan relasi-relasi tersebut baru dimungkinkan kita memahami fokus sejarah Kota Palembang. Untuk itu, mari kita mulai dari artikel pertama. Selamat mengikuti.

Rabu, 30 Januari 2019

Sejarah Kota Depok (55): PA van der Parra, Gubernur Jenderal dan Riwayat Hidup yang Sebenarnya; Rumah Cimanggis di Depok


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Banyak tokoh penting VOC/Belanda yang dihubungkan dengan Kota Depok yang sekarang. Salah satu yang terpenting adalah Petrus Albertus van der Parra, karena pernah menjadi Gubenur Jenderal (1761-1775). Pada masa kini, Rumah Tua Cimanggis diduga sebagai warisan dari Petrus Albertus van der Parra.  

Para Pionir di Depok
Tokoh-tokoh penting lainnya adalah Majoor Saint Martin pemilik pertama lahan (land) Tjinere dan land Tjitajam (dua lahan tersubur di sisi barat sungai Tjiliwong). Setelah itu muncul tokoh berikutya yakni Cornelis Cahstelein yang awalnya membuka lahan di Seringsing (1695) dan kemudian di Depok dan Mampang (1704). Selanjutnya Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk pemilik land Tjilodong dan sekitarnya (cucu dari Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk). Majoor Saint Martin sebelumnya pemilik land di Batavia yang kemudian land tersebut Land Kemajooran (kini Kemayoran). Saint Martin seorang tentara profesional asal Prancis yang menguasai bahasa Melayu adalah asisten dan penerus ahli botani Georg Eberhard Rumphius yang bekerja di Ambon. Land Tjinere dan land Tjitajam adalah hadiah dari pemerintah VOC/Belanda karena berhasil mengamankan Kapitein Jonker yang membuat kerusuhan di Banten. Setelah Saint Martin meninggal (1686) tugas penyusunan buku botani tersebut diteruskan oleh Cornelis Chastelein. Karena itulah Saint Martin dan Cornelis Chastelein tertarik mengusahakan lahan. Mereka berdualah orang Eropa pertama yang membuka lahan di hulu sungai Tjiliwong. Rumphius, Martin dan Chastelein adalah koneksi (berdarah) Prancis.   

Lantas bagaimana riwayat Petrus Albertus van der Parra? Sejauh ini hanya sedikit informasi yang diketahui. Data tentang Petrus Albertus van der Parra bukan tidak tersedia. Hanya saja nyaris tidak ada yang menulis riwayatnya. Untuk itu mari kita telusuri ke masa lampau.

Selasa, 29 Januari 2019

Sejarah Kota Depok (54): RSUI di Depok Rumah Sakit Universitas Indonesia; Sejarah Rumah Sakit di Depok dari Klinik Bersalin


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
**Untuk melihat semua Sejarah UI dalam blog ini Klik Disini

Universitas memiliki rumah sakit bukanlah hal baru. Yang baru adalah Universitas Indonesia memiliki rumah sakit. Selama ini Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo (RSCM) hanya bekerjasama dengan Universitas Indonesia. RSCM sendiri berada di bawah Kementerian Kesehatan. Sementara Universitas Indonesia berada di bawah Kementerian Pendidikan. Oleh karena Kementerian Pendidikan tidak mengurusi rumah sakit, maka RSUI menjadi urusan Universitas Indonesia. Ini berarti RSUI adalah Rumah Sakit PTN pertama di Indonesia.

RSUI (foto Tempo)
Namun masih ada satu hal lain lagi. Universitas Indonesia secara defacto berada di Depok. Ini dapat dilihat dari izin mendirikan bangunan IMB Depok, Akan tetapi secara derujre berada di DKI Jakarta. Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan bahwa Universitas Indonesia berada di ibukota Republik Indonesia. Sebab itu dapat menimbulkan permasalahan tersedniri bagi pasien. Misalnya di DKI Jakarta ada kebijakan libur pada hari tertentu sementara di Kota Depok hari kerja, maka dosen dan pegawai Universitas Indonesia yang menjadi dokter dan pegawai di RSUI menjadi akan turut libur. Oleh karena itu ada kemungkinan RSUI di Depok tutup (shutdown) selama hari libur di DKI Jakarta sementara di wilayah Depok adalah hari kerja.

Kehadiran RSUI di Depok akan sendirinya menguntungkan warga Kota Depok. Paling tidak telah menambah daftar rumah sakit yang ada di Depok dan menambah pilihan warga Kota Depok untuk berobat (rawat jalan dan rawat inap). Itulah keutamaan RSUI di Depok yang secara defacto benar-benar dibutuhkan warga Kota Depok. Keutamaan lainnya adalah RSUI adalah rumah sakit pendidikan dan rumah sakit kesehatan masyarakat. Itu dimaksudkan bahwa RSUI bukan rumah sakit komersil (swasta) tetapi lebih berorientasi untuk dunia pendidikan (termasuk penelitian dan pengabdian masyarakat), Semoga saja dapat mempercepat peningkatan status ksehatan masyarakat warga Kota Depok.

Sejarah Menjadi Indonesia (15): Sejarah Serindo dan Srimulat, Zulkaidah Harahap, dan Djujuk Djuariah; Tilhang dan Teguh


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada dua grup hiburan tua di Indonesia: Srimulat dan Serindo. Srimulat yang mengusung seni lawak dan musik didirikan di Solo tahun 1950 dan setelah eksis selama 39 tahun kemudian bubar di Jakarta tahun 1989. Serindo yang mengusung opera dan musik didirikan di Djakarta tahun 1956 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957). Setelah berkiprah selama 29 tahun, Serindo kemudian dibubarkan di Padang Sidempuan tahun 1985. Grup Srimulat melahirkan pelawak-pelawak terkenal; Grup Serindo meninggalkan lagu-lagu legendaris seperti Sinanggartullo dan mempopulerkan lagu Butet.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957
Dua tokoh penting Srimulat adalah Teguh Slamet Rahardjo dan RA Srimulat. Dua seniman ini menikah tahun 1950 dan kemudian mendirikan grup Srimulat. Nama grup Srimulat diadopsi dari nama RA Srimulat (anak seorang wedana). Salah satu tokoh penting dalam grup Srimulat adalah Djudjuk Djuariah. Sementara tokoh penting Serindo adalah Tilhang Gultom, seorang mantan camat (wedana) Salah satu dan satunya perempuan (ratu) di grup Serindo adalah Zulkaidah Harahap yang piawai dalam bermain suling. Setelah Tilhang Gultom meninggal kepempimpinan diteruskan oleh Zulkaidah Harahap. Djudjuk Djuariah lahir di Surakarta 1947 dan meninggal di Yogyakarta 2015. Zulkaidah Harahap lahir di Sipirok tahun 1947 dan meninggal dunia di Pematang Siantara 2013.

Bagaimana perjalanan sejarah dua grup Serindo dan Srimulat dalam panggung hiburan Indonesia sudah banyak ditulis. Namun demikian masih perlu diluruskan dan diperkaya dengan data-data baru. Keutamaan dua grup hiburan rakyat ini karena keduanya telah turut dalam memberikan kontribusi seni pada fase awal panggung hiburan Indonesia. Srimulat memberi hiburan dalam seni pertunjukan seni Jawa, Serindo dalam seni pertunjukkan seni Batak. Untuk itu, mari kita telusuri.   

Minggu, 27 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (12): Diponegoro 1825, Pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat; Luit.Col. HG Nahuijs, Residen di Soeracarta


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Dua tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) adalah Pangeran Diponegoro dan Residen Nahuijs. Dalam hal ini, Diponegoro adalah pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat, sementara Luitenant Colonel HG Nahuijs adalah mantan Residen Soeracarta. Keduanya adalah sama-sama pahlawan. Pangeran Diponegoro menjadi pahlawan (nasional) Indonesia dan Residen Nahuijs menjadi pahlawan (lokal) Belanda.

Dalam penulisan sejarah di berbagai tempat di Indonesia, setiap tokoh lokal digambarkan melawan (keseluruhan orang) Belanda dan sebaliknya orang Belanda hanya menyebut pejabat tertentu menghadapi perlawanan pemimpin lokal tertentu. Karena itu terkesan pemimpin lokal tertentu muncul sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi Belanda, sementara nama pejabat tertentu tenggelam sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi pemimpin lokal. Faktanya Hindia (baca: Indonesia) itu sangat luas dan orang-orang Belanda menyebar di berbagai tempat sebagai pejabat. Oleh karena itu dalam sejarah Indonesia hanya muncul nama-nama sebelum dan sesudah Pangeran Diponegoro seperti Sultan Hasanoedin dan Radja Sisingamangaradja. Sementara siapa itu Admiral Spelman dan siapa itu para Gubernur Sumatra’s Weskust kurang dikenal. Setali tiga uang, bagaimana pemimpin lokal (pahlawan nasional) menghadapi musuh lokal (penghianat bangsa) juga kurang terinformasikan. Akibatnya pahala para pahlawan nasional dicatat dengan rinci (bahkan ada yang ditambahkan) sementara seberapa besar dosa para penghianat bangsa dilupakan begitu saja, seakan tidak memiliki kesalahan apa-apa.  

Bagaimana Pangeran Diponegoro berhadapan (head to head) dengan Residen Nahuijs jarang atau nyaris tidak terinformasikan. Padahal kedua tokoh ini berada di waktu dan tempat yang sama. Residen Nahuijs adalah satu-satunya pejabat tertinggi di wilayah Djocjocarta sementara Pangeran Diponegoro adalah satu-satunya pemimpin lokal terkenal yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kehadiran orang asing. Dalam penulisan sejarah, detail peristiwa kurang tergambarkan dengan jelas akibatnya kita kurang mendapatkan landasan (domain) sejarah. Untuk itu mari kita telusuri ke TKP berdasarkan sumber-sumber yang ada pada masa lampau.

Jumat, 25 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (11): 1001 Teks Nama Yogyakarta; Jogja, Djogja, Djokja Jogdja, Jocja, Jogya, Djokjo, Jugya dan Lainnya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama Yogyakarta sudah lama diproklamirkan, tetapi tidak semua orang munuruti. Masih banyak yang menuliskannya dengan nama Jogjakarta. Tahun 1884 warga Semarang sudah mengusulkan agar nama Jogjakarta ditulis dengan Djokjakarta (lihat De locomotief, 26-08-1884). Namun usul itu nyatanya tidak dituruti. Akibatnya hingga kini nama Yogyakarta dan Jogjakarta, keduanya masih eksis.

De locomotief, 26-08-1884
Ketika kota-kota lain sudah beres soal penulisan nama, Yogyakarta nyatanya belum selesai. Padang, Medan, Bogor dan Depok sejak doeloe tidak ada masalah. Jacatra menjadi Djakarta lalu Jakarta. Samarang menjadi Semarang. Sourabaja, Soerabaija berakhir dengan Surabaya. Soeracarta, Soerakarta berakhir dengan Surakarta. Bandong, Bandoeng menjadi Bandung. Tidak ada lagi orang Bandung menulis Bandoeng. Yogyakarta dan Jogjakarta hingga kini masih eksis. Penulisan nama Yogyakarta dan Jogjakarta di satu sisi dan di sisi lain Djokjakarta (versi Semarang) tidak hanya itu tetapi juga persoalan apakah perlu disingkat: Yogya, Jogja, Djokja. Yang sudah lama beres adalah penulisan karta, kerta dan carta akhirnya mengerucut menjadi karta. Sesungguhnya, orang Yogyakarta sendiri belum sepenuhnya tuntas menulis nama kotanya. Jogja Istimewa, Jogja Never Ending.

Pada masa lampau, penulisan nama Yogyakarta tidak hanya dua tiga macam, tetapi sangat banyak ragamnya. Boleh dikatakan 1001 macam penulisan. Itu semua bersumber dari apa yang dipikirkan, diucapkan dan ditulis tidak sejalan dengan apa yang diinginkan, didengar dan dibaca. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri.

Rabu, 23 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (10): Cartasoera dan Soeracarta 1745, Mataram dan Jogjacarta 1755; Vastenburg Solo, Vredeburg Yogya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta adalah dua kraton yang berpangkal dari satu: Kerajaan Mataram. Dua kraton menjadi terpisah karena perbedaan-perbedaan di sisi internal. Pada sisi eksternal VOC/Belanda ingin menjalankan kebijakan baru yang menjadikan penduduk (pribumi) sebagai subjek. Sebelumnya VOC hanya menjalankan kontak perdagangan yang longgar terutama di kota-kota pantai hingga tahun 1666.

Cartasoera dan benteng VOC/Belanda (1724)
Kerajaan Mataram lahir terkait dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Mataram ini bermula di Padjang. Lalu dalam perkembangannya, pusat kerajaan dipindahkan ke Kota Gede yang sekarang berada di Yogyakarta. Pada era Sultan Agung kebijakan ekspansi dimulai (untuk menguasai seluruh Jawa dan Madura). VOC/Belanda yang telah memindahkan pusat perdagangannya dari Ambon ke muara sungai Tjiliwong (Batavia) tahun 1619 menjadi batu sandungan. Lalu pada tahun 1628 Sultan Agung (bersama Chirebon dan Banten) menyerang Batavia. Serangan ini gagal. Pada tahun 1666 kebijakan VOC/Belanda diubah (untuk seterusnya) bahwa penduduk dijadikan sebagai subjek. Satu yang pertama dimulai dengan menaklukkan Kerajaan/Kesultanan Gowa-Tallo di Somba Opoe (Macassar) tahun 1667 di bawah pimpinan Admiral Spelmann yang turut dibantu Aroe Palaka. Peta 1724

Lantas bagaimana selanjutnya dengan Mataram? Babak baru VOC/Belanda dimulai. Setelah melakukan ekspedisi-ekspedisi ke pedalaman di Sulawesi dan Sumatra, VOC/Belanda mulai melakukan beberapa ekspedisi ke pedalaman di wilayah Jawa. Ekspedisi dilakukan ke hulu sungai Tjiliwong (eks Kerajaan Padjadjaran) pada tahun tahun 1687. Ekspedisi ini dimulai dari muara sungai Tjimandiri (Pelabuhan Ratu yang sekarang). Sebelumnya telah dilakukan ekspedisi ke ke Kerajaan Mataram melalui benteng Missier di Tegal pada tahun 1681.