Jumat, 13 September 2019

Sejarah Tangerang (37): Tanah Partikelir di Ring-1 Batas Sungai Tangerang, Cianten dan Cikaniki; Ring-2 Batas Sungai Cidurian


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
 

Keberadaan tanah-tanah partikelir (land) dimulai pada era VOC/Belanda. Lahan-lahan yang subur di daerah aliran sungai Tjiliwong dijual pemerintah VOC kepada swasta dan membentuk land (semacam negara dalam negara). Keberadaan negara-negara mini ini diakui, tidak hanya oleh pemerintah VOC, tetapi juga diakui pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah pendudukan Inggris, bahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sendiri keberadaannya diakui. Hanya pemerintahan penduduk militer Jepang yang tidak mengakuinya.

Peta 1724 dan Peta 1940
Land-land yang terkenal sejak awal antara lain land Antonij yang berubah nama menjado land Weltevreden (kini wilayah Senen), land Depok, land Struiswijk (kini area kampus UI Salemba). Lalu land-land yang sudah ada diperluas ke daerah aliran sungai Bekasi (sungai Tjilengsi) di timur dan juga diperluas ke daerah aliran sungai Tangerang (sungai Tjisadane). Dalam artikel ini, area antara sungai Bekasi dan sungai Tangerang adalah Ring-1. Dalam perkembangannya, wilayah land diperluas lagi (Ring-2), yakni ke arah timur dari sungai Bekasi hingga ke sungai Tjitaroem (sungai Krawang) dan ke arah barat dari sungai Tangerang hingga ke sungai Tjidoerian (sungai Tjikande). Pada fase pembentukan tanah partikelir (land) Ring-1 ini land terjauh di sebelah barat adalah land Tjiampea. Baru pada era pemerintah Hindia Belanda land Bolang dan Djasinga dibentuk.

Artikel ini hanya membatasi dinamika pembentukan tanah partikelir (land) di wilayah Ring-2, yaitu land-land  yang berada diantara sungai Tangerang dan sungai Tjidoerian. Lalu secara khusus memfokuskan pada keberadaan land-land di wilayah hulu (pedalaman) yang kebetulan kini wilayah tersebut dipisahkan dari kabupaten Bogor dan kemudian disatukan dengan membentuk kabupaten Bogor Barat. Kandidat ibu kota Kabupaten Bogor Barat dipilih di kecamatan Cigudeg (tempo doeloe dikenal sebagai land Bolang).

Senin, 09 September 2019

Sejarah Tangerang (36): Sejarah Asal Usul Cengkareng; Pembangunan Mookervaart dan Perkampungan Migran dari Ciampea


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Secara defacto, dulu Cengkareng masuk wilayah jurisdiksi distrik Tangerang. Akan tetapi pada masa ini Cengkareng, secara dejure masuk wilayah Jakarta. Ketika pembangunan bandara untuk pengganti bandara Kemayoran, bandara ini disalahartikan dengan menyebut bandara Cengkareng. Padahal secara administratif tempat dimana bandara Cengkareng justru dibangun di wilayah Tangerang, tepatnya di kecamatan Benda (Banda). Nah, lho!

Bandara di Benda, Cengkareng di kanal Mookervaart (Peta 1902)
Untuk demi keadilan, kini nama bandara Cengkareng disebut banda(ra) Soekarno-Hatta. Namun demikian masih sering dipersepsikan bahwa bandara Soekarno-Hatta dengan penyebutan yang keliru dengan nama lama bandara Cengkareng. Jakarta sentris sulit dihilangkan. Dampaknya: Tangerang terabaikan. Padahal sejarah awal Cengkareng di masa lampau justru bermula dari Tangerang, bukan dari Batavia. Lho, koq! Bagaimana bisa. Nah, itu dia!

Lantas bagaimana asal usul sejarah awal Cengkareng? Itu pertanyaannya. Perkampungan Cengkareng awalnya dihuni dan diberi nama oleh orang-orang Ciampea yang bermigrasi dari hulu sungai Tjisadane ke hilir sungai Tangerang. Nama awalnya, ditulis oleh orang Eropa/Belanda dengan (coding) Tjankarang, lalu bergeser menjadi Tjankareng dan akhirnya ditulis menjadi Tjengkareng. Padahal dari dulunya sudah disebut oleh orang-orang Tjiampea dengan lafal Tjengkareng. Bagaimana proses sejarah ini berlangsung di masa lampau? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 03 September 2019

Sejarah Tangerang (35): Sejarah Cigudeg Sejak 1713, Antara Ciampea dan Jasinga; Kandidat Ibu Kota Kabupaten Bogor Barat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Cigudeg punya sejarah? Tentu, dong. Sejarah Cigudeg bahkan hampir seumur sejarah Bogor (Buitenzorg). Cigudeg paling tidak telah diakses dari benteng (fort) Tangerang di era VOC/Belanda. Ini bermula ketika militer VOC/Belanda memperluas kekuatan benteng Tjiampea dengan membangun benteng (fort) baru tahun 1713 di Panjawoengan (kini desa Kalong, kecamatan Leuwisadeng, kabupaten Bogor). Setelah benteng Panjawoengan dibangun menyusul benteng Djasinga. Wilayah Cigudeg ini kini berada di jalur ekonomi antara Ciampea dan Jasinga.

Susukan, Banyuwangi, Cigudeg dan perkebunan teh (Peta 1906)
Wilayah yang termasuk jauh di mata dekat di hati ini meliputi kecamatan-kecamatan Ciampea, Cibungbulang, Leuwiliang, Leuwisadeng, Cigudeg, Jasinga dan lainnya akan dipisahkan dari kabupaten Bogor dan kemudian disatukan dengan membentuk kabupaten Bogor Barat. Ibu kota kabupaten baru ini direncanakan di kecamatan Cigudeg. Popularitas Cigudeg tidak setinggi Leuwiliang dan Jasinga, akan tetapi ada keutamaan kecamatan Cigudeg dibanding yang lain: udaranya yang sejuk dan lanskapnya yang mempesona. Dari kecamatan Cigudeg, kota Tangerang terlihat jelas, tetapi kurang terlihat kota Bogor karena terhalang lereng gunung Salak. Itu dapat saya rasakan 30 tahun lalu pada tahun 1989. Wujud spasial inilah yang dari sudut pandang kota Bogor: Cigudeg jauh di mata tetapi dekat di hati.   

Lantas seperti apa sejarah Cigudeg? Itu pertanyaan utamanya. Paling tidak hingga ini hari masih ada tersisa perkebunan teh Cirangsad di kecamatan Cigudeg (desa Banyuresmi dan desa Banyuwangi). Di desa Banyuwangi inilah kesadaran saya lahir sebagai kandidat peneliti. Kini, Cigudeg menjadi kandidat ibu kota kabupaten (Bogor Barat). Untuk mengembalikan kenangan yang tidak terlupakan di Cigudeg, mari kita telusuri Sejarah Cigudeg berdasar sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 02 September 2019

Sejarah Tangerang (34): Sejarah Ciampea, Surga di Cisadane; Bukit Kapur dan Situs Tarumanegara, Lokasi Kampus IPB Berada


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Ciampea bukanlah kota kemarin sore. Sebelum kota Bogor terbentuk, Ciampea sudah menjadi kota perdagangan terpenting di hulu sungai Tjisadane di era VOC. Mengapa Ciampea maju pesat saat itu? Ciampea adalah kota paling ujung di daerah aliran sungai Tangerang, sebagai tempat utama (interchange) yang menjadi pusat transaksi utama di sebelah barat gunung Salak. Untuk mencapai Ciampea dari Batavia tidak dari Tjiloear (oosterweg, sisi timur sungai Tjiliwong), juga bukan dari Depok (middenweg, sisi barat sungai Tjiliwong), melainkan dari jalan sisi barat (westerweg) mengikuti sisi timur sungai Tjisadane dari Tangerang dan Serpong. Untuk memperkuat jalur perdagangan di daerah aliran sungai Tjisadane ini, pasca letusan gunung Salak (1699) benteng Tangerang diperkuat dengan membangun benteng baru di Serpong dan di Tjiampea. Dari sinilah (ruang dan waktu) sejarah baru Ciampea dimulai.

Benteng Serpong, Ciampea dan IPB Bogor
Pada masa ini nama kota (kampong) Ciampea menjadi nama kecamatan di kabupaten Bogor. Tidak jauh dari Ciampea kampus raksasa dibangun: Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada masa ini, sejarah Ciampea seakan (hanya) dilihat dari kota Bogor (Buitenzorg), tetapi sejatinya di masa lampau, keberadaan Ciampea justru (hanya) dilihat dari kota Tangerang. Akibat kesalahan paralaksis pada masa ini, menyebabkan Ciampea seakan terpencil, bahkan masih terpencil meski kampus IPB sudah relokasi dari Baranangsiang. Oleh karenanya sejarah Ciampea kurang mendapat perhatian dan juga upaya-upaya penggalian sejarah Ciampea menjadi terhambat. Padahal Ciampea sudah terkenal sejak jaman kuno di era kerajaan Tarumanegara (bahkan jauh sebelum adanya kerajaan Pakwan-Padjadjaran). Nah, lho!

Lantas bagaimana sejarah Ciampea terpinggirkan? Nah, itu dia! Kesalahan paralaksis faktor penyebabnya. Dalam artikel ini kita bangkitkan (kembali) marwah kota Ciampea, suatu surga di masa lampau yang berada di hulu sungai Tjisadane yang menyinari (membangun kemakmuran) di seluruh wilayah di sekitar Bogor Barat yang sekarang. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe dari sudut pandang (kota) Tangerang.  

Sabtu, 31 Agustus 2019

Sejarah Kota Palembang (4): Belanda Absen 30 Tahun dalam Penemuan Sriwijaya 1920; Konsentrasi di Jawa dan Abai di Tapanuli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini Klik Disini

Baru-baru ini budayawan Ridwan Saidi membuat penyataan yang kontroversi: ‘Kerajaan Sriwijaya adalah fiktif’. Ridwan Saidi bersikukuh kesimpulan itu berdasarkan analisis yang dilakukannya bertahun-tahun. Tentu saja banyak yang terperanjat, sebab penemuan kerajaan Sriwijaya sudah paten bahkan sejak era Pemerintahan Hindia Belanda. Budayawan Vebri Lintani akan melaporkan Ridwan Saidi. Vebri Lintani membantah keras pernyataan Ridwan Saidi, Vebri Lintani meminta Ridwan membuktikan pernyataannya.

Petunjuk S Beal (1887) dan candi Padang Lawas (1920)
Banyak kerajaan-kerajaan kuno di nusanatra (baca: Indonesia).  Namun tidak semua terdefinisi dan terdata dengan baik. Yang datanya sudah banyak ditemukan dan telah dianalisis dengan baik paling tidak ada dua buah: Sriwijaya dan Majapahit. Keberadaan kerajaan Purnawarman yang data awalnya terdapat dalam prasasti Tugu agak kurang mendapat perhatian, seakan mengalami jalan buntu. Peninggalan-peninggalan kuno berupa artefak, candi atau bangunan dan infrastruktur lainnya masih banyak yang terabaikan. Sejumlah candi di Jawa dan Sumatra telah dipelihara dengan baik (dipugar) seperti Borobudur, Prambanan, Muara Takus dan Padang Lawas, tetapi tidak sedikit bekas candi yang tersungkur di tanah atau terbenam di dalam tanah. Semua itu adalah tanda-tanda kejayaan Indonesia (baca: nusantara) di masa lampau. Seorang pemerhati peradaban Belanda pernah mengatakan: kita orang Belanda hanya Eropa sentris yang hanya melihat kejayaan Venesia, padahal di depan mata kita disini (Hindia Belanda) ada peradaban yang sejajar dengan Venesia.    
.
Apakah Ridwan Saidi dan Vebri Lintani memiliki kapasitas untuk urusan teliti meneliti? Artikel ini tidak dalam konteks itu. Akan tetapi lebih pada seluk beluk penemuan awal situs-situs kuno tersebut oleh para pemerhati dan peneliti. Penemuan awal ini kemudian kita ketahui menjadi jalan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mendalami, mendefinisikan, menganalisis dan tentu saja merekonstruksi kembali situs-situs tersebut.

Minggu, 25 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (33): Kronologis Sejarah Tangerang, Terbentuknya Kota Tangerang; Dari Jaman Portugis Hingga Era NKRI


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Tangerang adalah salah satu wilayah yang catatan sejarahnya terang benderang. Cukup banyak data tertulis yang bisa diakses pada masa ini. Demikian juga sejarah terbentuknya kota Tangerang, datanya cukup tersedia yang dapat diurutkan secara kronologis. Begitu kayanya data sejarah wilayah Tangerang dan kota Tangerang, kita pada masa ini tidak perlu lagi menggunakan cerita rakyat atau hikayat. Demikian juga soal analisis, penulis-penulis Belanda juga telah melakukan analisis-analisi awal yang dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap data yang ada.

Tangerang: dari tempo doeloe hingga masa kini
Sejarah Tangerang dan sejarah kota Tangerang memiliki data sejarah yang dapat dikatakan lengkap dan bersifat kontinu. Oleh karena itu sejarah Tangerang dan sejarah kota Tangerang tidak sepotong-sepotong. Dengan mengikuti data sejarah yang kontinu kita dapat melihat perjalanan sejarah Tangerang dan sejarah kota Tangerang secara komprehensif (menginput semua aspeknya). Awal sejarah Tangerang dan kota Tangerang bukan di jaman kuno tetapi di era modern. Penulis-penulis Portugis, Belanda dan Inggris telah memberi kontribusi sejak awal. Surat kabar berbahasa Belanda dan berbahasa Inggris juga telah memberitakannya. Demikian juga para ahli geografi sosial sudah memetakannya ke dalam peta-peta. Tentu saja para pelukis telah menggambarkannya dengan baik. Jangan lupa masih ada catatan harian kasteel Batavia, Daghregister Singkat kata: Wilayah Tangerang dan kota Tangerang sangat beruntung memiliki data historis yang tercatat (terdokumentasi) dengan baik. Semua data dan informasi tersebut sangat penting untuk menjelaskan sejarah Tangerang dan kota Tangerang.   

Artikel ini berisi susunan kronologis yang memuat sari sejarah Tangerang dan kota Tangerang. Sejarah Tangerang dan kota Tangerang dalam kronoligi ini hanya mendaftar hal yang penting-penting saja. Penting dalam mendukung kronologis sejarah yang lengkap (bersifat kontinu). Untuk itu mari kita mulai dari nama Tangerang sendiri.

Sejarah Tangerang (32): Penjara dan Schout Tangerang, 1824; Mengapa Begitu Banyak Jumlah dan Ragam Penjara di Tangerang?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Penjara di Tangerang paling tidak sudah ada pada tahun 1824. Ini sehubungan dengan pembangunan kantor polisi Tangerang di Tanah Tinggi (lihat Bataviasche courant, 10-04-1824). Saat itu Afdeeling (kabupaten) Tangerang masih dipimpin oleh seorang Schout. Fungsi Schout saat itu lebih banyak bertugas dala, urusan keamanan daripada menjalankan fungsi pemerintahan. Penjara adalah salah satu sarana bagi Schout Tangerang. Schout sendiri diadopsi oleh orang Belanda dari Prancis, di Amerika disebut Sheriff.

Jeugdgevangenis di Tanah Tinggi, Tangerang (1935)
Pada masa ini di Tangerang terdapat sejumlah penjara: Lapas Kelas I Tangerang, Lapas Pemuda Kelas IIA Tangerang, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang, Lapas Anak Perempuan Kelas IIB Tangerang, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Tangerang. Semua penjara ini berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Memang tidak ada pemerintah daerah memiliki penjara (seperti tempo doeloe).

Namun dalam perkembangannya, di Tangerang tidak hanya sudah diadakan penjara bagi umum (gevangenis), tetapi juga kemudian diadakan penjara bagi pria (mannengevangenis) dan juga penjara khusus bagi wanita (vrouwengevangenis) dan penjara anak-anak (jeugdgevangenis). Lantas mengapa semua penjara itu harus berada di Tangerang? Mungkin pertanyaan ini tidaklah penting-penting amat. Akan tetapi mengapa begitu banyak penjara di Tangerang tentu masih perlu dicari tahu. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (31): Sejarah Teluknaga, Suatu Teluk Tempo Doeloe; Kalimati dan Kalibaroe Tjisadane di District Teloknaga


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Apa itu teluk naga? Itu adalah nama desa dan juga sekaligus nama kecamatan di Kabupaten Tangerang. Bukan itu yang dimaksud. Yang ingin ditanyakan adalah apakah nama Teluknaga di Tangerang dulunya adalah benar-benar suatu teluk? Apa, iya? Desa Teluknaga pada masa ini berada di sisi timur sungai Cisadane yang lokasinya jauh dari lautan. Namun pertanyaan tetaplah membutuhkan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan keingintahuan.

Peta kuno Teloknaga di muara sungai Tangerang
Kini, nama Teloknaga menjadi nama kecamatan di Kabupaten Tangerang. Nama-nama desa di kecamatan Teluknaga adalah sebagai berikut: Babakan Asem, Bojong Renged, Kampung Besar, Kampung Melayu Barat, Kampung Melayu Timur, Kebon Cau, Lemo, Muara, Pangkalan, Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Tegal Angus dan Teluknaga. Pada era kolonial Belanda, Teloknaga adalah suatu tanah partikelir (land). Berdasarkan nama land, Teluknaga dijadikan sebagai nama onderdistrict di District Maoek. District Maoek juga kini dijadikan nama kecamatan di Kabupaten Tangerang.

Teluknaga itu sejatinya tempoe doeloe adalah suatu teluk. Suatu teluk yang diberi nama Naga. Dengan kata lain seluruh wilayah kecamatan Teluknaga yang sekarang di masa lampau adalah lautan (muara sungai Tangerang atau sungai Tjisadane). Bagaimana cara membuktikannya? Tentu saja kita harus menggali data sebanyak mungkin, lalu kemudian menganalisisnya. Dalam hal ini, sumber data utama adalah peta-peta kuno. Sumber-sumber pendukung lainnya adalah surat kabar, majalah dan buku serta Daghregister (catatan harian Kasteel Batavia). Untuk membuktikan bahwa Teluknaga berasal dari suatu teluk, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Untuk sekadar catatan: Tidak hanya kecamatan Teluknaga (di Kabupaten Tangerang), tetapi juga kecamatan Muara Gembong (di Kabupaten Bekasi) juga dulunya adalah lautan (muara sungai Karawang atau sungai Tjitaroem).