Senin, 24 Februari 2020

Sejarah Jakarta (95): Sejarah Sukabumi di Batavia, Tempat Kelahiran Si Pitung; Dari Soeracarta Hingga Distrik Goenoeng Parang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Seperti kata pepatah ‘tidak ada yang muncul sendirian secara tiba-tiba, semua terhubung satu sama lain;. Dalam memahami sejarah suatu tempat, pepatah ini sangat berguna. Nama Soekaboemi ternyata hanya ada di tiga tempat, tiga tempat bernama Soekaboemi ini ternyata terhubung satu sama lain: Soeracarta, Batavia dan Goenoeng Parang (Tjiandjoer). Ini ibarat nama Batavia di Hindia dan nama Batavia di Eropa/Belanda. Relasi dapat diuji dengan data.

Kampong dan Rawa Soekaboemi (Peta 1824)
Pada masa ini Si Pitung disebut lahir di kampung Pengumben dekat Rawa Belong. Namun pada era kolonial Belanda, [Si] Pitoeng disebutkan tinggal di kampong Soekaboemi. Tiga nama tempat ini berada di Land Soekaboemi. Land ini pernah dimiliki oleh Andries Christoffel Johannes de Wilde. Akses menuju land ini dari jalan pos Westernweg (Batavia-Buitenzorg) di pal tujuh (area Land Pal Merah). Saat itu, Land Soekaboemi termasuk remote area, tidak termasuk wilayah Batavia tetapi masuk wilayah Meester Cornelis. Land Soekaboemi terbilang sangat jauh dari kota Meester Cornelis (kini Jatinegara).

Pada tempo doeloe, pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda ditempatkan di berbagai titik di seputar Batavia, termasuk di suatu area di barat daya Batavia. Di area barat daya tersebut kemudian terbentuk sejumlah perkampongan, salah satu diantaranya kampong Soekaboemi. Pasukan pribumi tersebut diduga kuat berasal dari kasmpong Soekaboemi di Soeracarta. Pada awal era Pemerintah Hindia Belanda, area di kampong Soekaboemi ini dikapitalisasi dengan membentuk tanah partikelir (land) yang disebut Land Soekabomi. Pada era Pendudukan Inggris dibentuk dua land baru di luar Residentie Batavia yakni di Tjipoetri dan di Goenoeng Parang. Pemilik pertama dua land ini adalah Andries Christoffel Johannes de Wilde. Tanah partikelir di Goenoeng Parang kemudian disebut Land Soekaboemi (yang menjadi cikal bakal Kota Sukabumi yang sekarang). Bagaimana itu bisa terhubung? Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (94): Sejarah Pejompongan, Landhuis di Land Laanhof; Bendungan dan Kanal Sungai Kroekoet, Instalasi Air Bersih


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Asal-usul nama Pejompongan bukan dari djompo, tapi dari djompong. Land Laanhof berada di kampong Pedjompongan. Oleh karena itu Land Laanhof juga adakalanya disebut Land Pedjompongan. Kampong Pedjompongan tidak jauh dari kampong Djati. Lantas apa hubungan kampong Djati dan kampong Pedjompongan? Hubungan dua perkampongan ini menjadi asal-usul nama Pedjompongan.

Pejompongan (Peta 1890)
Nama Pedjompongan sudah terkenal sejak tempo doeloe, bahkan sejak era VOC/Belanda. Tanah Abang awalnya ditempati oleh pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda yang berasal dari Jawa. Hal inilah yang menyebabkan area tempat tinggal mereka disebut Tanah Abang. Mereka menanam jati ke arah hulu. Di area hutan jati kemudian terbentuk perkampongan yang disebut kampong Djati. Mereka juga menanam jati ke arah hulu. Di area hutan jati yang baru ini kemudian terbentuk perkampongan yang disebut Pedjompongan. Nama kampong Pedjompongan semakin terkenal karena di area perkampongan ini sungai Kroekoet disodet dan mengalirkannya melalui kanal hingga ke Angke. Lebih ke hulu dari kampong Pedjompongan dibangun bendungan untuk mengairi persawahan di Pedjompongan. Area sekitar bendungan di sungai Kroekoet ini kemudian terbentuk kampong Bendoengan (hoeloe dan hilir). Setelah adanya bendungan ini, pemerintah mengkapitalisasi lahan di perkampongan Pedjompongan yang disebut Land Laanhof (land yang kali pertama dimiliki oleh keluarga Laanhof. Peta 1890

Lantas seperti apa sejarah Pedjompongan keseluruhan? Jelas memiliki sejarah yang panjang. Tidak hanya soal area penempatan pasukan pendukung militer VOC/Belanda, tetapi juga soal pembangunan kanal. Pembangunan bendungan juga terkait dengan perkampongan Pedjompongan. Tidak hanya sampai disitu, di kampong Pedjompongan juga dibangun instalasi air bersih yang kelak memunculkan nama area Perdjernihan. Di area Pendjompongan juga dibangun perumahan (sebelum perumahan Kebajoran dibangun). Untuk menambah pengetahuan tentang sejarah Pedjompongan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 23 Februari 2020

Sejarah Jakarta (93): Sejarah Palmerah, Landhuis di Land Djepang; Asal Usul Pal Merah Bukan Palm Merah, Jadi Apa Dong?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini 

Setiap jengkal tanah di Jakarta memiliki sejarah. Hebatnya, setiap jengkal pula data sejarahnya tersedia. Soal kelengkapan sejarah di Indonesia, sejarah Jakarta dapat dikatakan yang paling lengkap. Bahkan sejarah Jakarta sejak era VOC/Belanda tersedia. Dalam hal ini sejarah Pal Merah belumlah lama. Oleh karena itu, sejarah Pal Merah haruslah ditulis dengan baik.

Peta 1890
Beberapa waktu yang lalu, Plh Wali Kota Jakarta Barat menyatakan asal usul nama Pal Merah berasal dari salah satu nama pohon khas yang ada di wilayah itu, yakni ‘palem merah’. Sangat naif. Karena Pal Merah mirip dengan Palm Merah, maka Pal Merah berasal dari palm merah. Tentu saja tidak menyebut berasal dari Palang Merah (karena terlalu jauh). Namun yang dekat (sangat mirip) tentu saja tidak otomatis Pal Merah berasal dari palm merah. Seperti halnya Pal Meriam, mengapa tidak berpikir jika Pal Merah berasal dari Pal berwarna merah? Peta 1897

Bagaimana memulai memahami sejarah Pal Merah? Yang jelas, jangan mulai dari lahan/kebun palem merah. Mulailah dari keberadaan jalan Westernweg (dari Batavia ke Buitenzorg via Pal Merah). Di sekitar pal berwarna merah tersebut sudah sejak lama terbentuk land Djepang. Tapi jangan pula land Djepang tersebut land yang dimiliki oleh orang Jepang. Dalam hal ini sejarah tidak sulit dipahami, tetapi sejarah jangan pula digampangkan. Untuk menambah pengetahuan sejarah Pal Merah. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (92): Sejarah Gang Solitude, Pal Meriam di Meester Cornelis (Landhuis Solitude); Area Pertempuran Inggris, 1811


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Jalan Pal Meriam, tempo doeloe juga disebut gang Solitude. Di ujung gang ini terdapat landhuis dari land Solitude. Sebelum terbentuk land Solitude, area ini adalah rawa-rawa yang termasuk area perbatasan kampong Oetan Kajoe dan kampong Salemba. Pada era pendudukan Inggris, di area ini terjadi pertempuran antara militer Belanda dengan militer Inggris. Di area ini dibangun benteng pertahanan Belanda. Pangkal gang Solitude ini juga disebut Pal Meriam, karena terdapat penanda pal (Km).  

Peta 1890
Pada tahun 1811 terjadi pendudukan Inggris. Salah satu pusat pertempuran yang terjadi berada di sekitar Pal Meriam. Setelah militer Inggris menguasai Struiswijk (Salemba), pasukan Inggris mengepung pasukan Belanda di sekitar benteng dan gudang mesiu di Pal Meriam. Pasukan Inggris mengepung dari arah Salemba dan dari arah rawa-rawa. Saat itu masih hutan dan rawa-rawa. Setelah dibangun kanal baru menuju Rawa Sari, area tersebut menjadi mengering dan kemudian dikapitalisasi dengan membentuk land baru yang disebut land Solitude. Land Solitude sebelumnya berada di Pondok Bamboe. Peta 1897

Lantas apa pentingnya sejarah gang/jalan Solitude/Palmeriam? Tentu saja sejarah (gang) Solitude sudah pernah ditulis. Namun lebih banyak kelirunya jika dibandingkan kebenarannya. Sejarah area yang disebut Solitude lebih banyak dari yang pernah ditulis. Oleh karena itu, sembari meluruskan sejarah Solitude, artikel ini menjadi penting. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 22 Februari 2020

Sejarah Jakarta (91): Jacatra Tidak Pernah Diubah Menjadi Batavia; Nama [D]jakarta Digunakan Untuk Gantikan Nama Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Sering, jika tidak dikatakan selalu, disebut nama Batavia tempo doeloe adalah [D]jakarta (baca: Jacatra). Pernyataan itu keliru. Kenyataannya tidak pernah Jacatra digantikan dengan Batavia. Keduanya, Batavia dan Jacatra sama-sama eksis. Tentu saja dalam hal ini, nama Jacarta lebih dulu eksis jika dibandingkan dengan Batavia. Nama Jacatra sudah ada sebelum kedatangan orang-orang VOC/Belanda mendirikan Kasteel Batavia.

Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 15-06-1630
Bagaimana persepsi Batavia menggantikan Jacatra mungkin kurang disadari. Dalam bahasa akademik kurang teliti. Lantas bagaimana persepsi itu muncul adalah satu hal. Satu hal yang lain yang juga penting adalah mengapa nama ibu kota Republik Indonesia yang dipilih adalah [D]jakarta. Dua pertanyaan ini sejatinya menjadi dua pertanyaan untuk menjawab Sejarah Jakarta secara keseluruhan, mulai sejak tahun 1619 hingga tahun 1950. Setelah tahun 1950 bukan lagi Sejarah Jakarta, tetapi Sejarah Ibu Kota Republik Indonesia.  

Kesalahan persepsi kerap terjadi dalam sejarah. Kekeliruan terjadi bukan kurang andalnya analisis tetapi kurang tersedianya yang valid atau kurang termanfaatkannya data secara maksimal. Satu lagi sebab munculnya kekeliruan, analisis sejarah cenderung linier (garis lurus dimensi satu). Analisis sejarah dengan pendekatan dua dimensi (bidang integral) dan tiga dimensi (ruang) sangat membantu memahami sejarah keseluruhan. Pendekatan dimensi dua (spasial) dan dimensi tiga sangat berguna untuk meluruskan sejarah yang bengkok. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe dengan menerapkan analisis non sejarah.    

Jumat, 21 Februari 2020

Sejarah Jakarta (90): Sejarah Rawa BangkE, Diubah Rawa Bening dan Kini Rawa Bunga; Tempo Doeloe Namanya Rawa BangkA


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Penamaan suatu tempat geografis adakalanya membuat kita sedikit bingung. Tempo doeloe tidak dikenal nama Rawa Bunga, Yang dikenal adalah Rawa Bangke. Lalu pada masa kini karena namanya kurang enak di telinga penduduk, lalu diubah namanya menjadi Rawa Bening dan kemudian (yang terakhir) diubah lagi menjadi Rawa Bunga. Dimana letak Rawa Boenga pada peta-peta lama tidak ditemukan. Tragis, bukan? Dimana letak nama tempat Jakarta (baca: Jacatra) dan dan dimana letak nama tempat Bogor bisa ditemukan dengan mudah pada peta-peta lama. Jadi, perubahan nama Rawa Bangke menjadi Rawa Bunga telah menimbulkan masalah (bukannya memecahkah masalah!).

Rawa Bangkai (Peta 1890 dan Bunga Bangkai (Now)
Perubahan nama tempat tidak lazim. Sebab dapat membingungkan. Nama tempat adalah salah satu penanda navigasi dalam penelusuran sejarah. Sejauh yang diketahui sejak era VOC tidak pernah terjadi penggantian nama. Penggantian nama harus berdasarkan aturan hukum, seperti halnya juga diterapkan pada perubahan nama seseorang. Jakarta (baca: Jacatra) tidak pernah diubah menjadi Batavia. Yang benar adalah nama Jacatra/Djakarta digunakan untuk menggantikan nama Batavia. Setali tiga uang nama Bogor tidak pernah diubah menjadi Buitenzorg, tetapi sebaliknya nama Bogor digunakan untuk menggantikan nama Buitenzorg. Anda bingung? Yang lebih membingungkan nama Rawa Bangka yang bergeser menjadi Rawa Bangke telah dihilangkan dari muka bumi dan digantikan dengan Rawa Bunga. Tempo doeloe, Samarang bergeser menjadi Semarang (perubahan a menjai e juga), juga Japara menjadi Jepara, Tagal menjadi Tegal namun tiga nama yang disebut terakhir tidak dipersoalkan sehingga selamat dari permasalahan perubahan nama. Hanya Rawa Bangka (nama pulau) yang mengalaminya (korban dari pergeseran dialek/aksen). Rawa BElong dalam hal ini juga selamat dari nama aslinya Rawa Balong (nama kolam ikan).

Perubahan nama Rawa Bangke menjadi Rawa Bunga adalah satu hal. Pertanyaannya mengapa Rawa Bening atau Rawa Bunga? Bukankah lebih tepat disebut Rawa Bangke menjadi Rawa Bangka? Satu hal lain yang lebih penting adalah bagaimana sejarah Rawa Bangke sendiri. Tentu saja sejarah Rawa Bangke belum pernah ditulis. Lantas sepenting apa sejarah Rawa Bangke harus ditulis? Itulah pertanyaan yang ingin kita jawab dalam menyusun Sejarah Jakarta. Semoga kita menemukan nama Rawa Bangka telah bergeser menjadi Rawa Bangke. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 19 Februari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (41): Sejarah Pelayaran di Indonesia 1595-1950; Dispach di Tambora 1815, Loudon di Krakatau 1883


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah pelayaran di Indonesia sesungguhnya gambaran sejarah pelayaran di era kolonial 1595-1945. Selama 350 tahun kapal-kapal Belanda lalu lalang di Hindia Timur (baca: Indonesia) untuk mengangkut barang dan orang. Kapal-kapal Belanda kali pertama datang di bawah komandan laut Cornelis de Houtman. Kapal yang berangkat dari Texel tahun 1595 tiba di Atjeh tahun 1596. Inilah awal kolonisasi Belanda di Indonesia. Kapal-kapal Belanda harus pula berakhir pada tahun 1950 dan harus kembali ke Belanda di bawah Direktur Penataran Angkatan Laut di Indonesi C. van der Linden dan Komandan Angkatan Laut Belanda di Indonsia K van Dongen.

Serah terima angkatan laut dari Belanda ke Indonesia, 1950
Di antara kapal-kapal yang lalu lalang di Indonesia (1595-1950) ada dua kapal yang sangat berani yakni Kapal Dispach dan Kapal Loudon. Dua kapal ini tidak menghadapi perang, tetapi sedang berada di lokasi dimana dua gunung meletus. Kapal Dispach sedang patroli di Indonesia Timur ketika gunung Tambora meletus 1815; sedangkan Kapal Loedon tengah berlayar di pantaii barat Sumatra ketika gunung Krakatau meletus 1883. Kapal Dispach yang memastikan bahwa gunung Tambora telah meletus; dan kapal Loudon yang memastikan gunung Krakatau telah meletus.

Sayangnya sejarah kapal era kolonial tersebut kurang terinformasikan dalam sejarah pelayaran di Indonesia. Boleh jadi informasi ini tidak penting-penting amat, tetapi kenyataannya sejarah pelayaran Indonesia sendiri sejatinya adalah kelanjutan sejarah pelayaran era kolonial. Dalam hal ini, memahami sejarah pelayaran era kolonial di Indoneia sebenarnya adalah suatu pendekatan (proksi) untuk memahami sejarah pelayaran Indonesia itu sendiri. Dengan demikian, sejarah pelayaran di Indonesia sesungguhnya adalah sejarah yang panjang, yakni suatu aktivitas pelayaran yang dalam hal ini dibatasi sejak kehadiran Belanda di laut Indonesia tahun 1696. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 18 Februari 2020

Sejarah Jakarta (89): Kelapa Gading, Tidak Hanya Sekadar Nama Tempat; Geografis Berada Antara Poelo Ketjil - Poelo Gadong


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada sejarah Kelapa Gading? Yang jelas area Kelapa Gading masa kini cukup terkenal. Bagaimana pun, sejarah Kelapa Gading tentu saja perlu didokumentasikan, bukan karena ia kini terkenal tetapi karena nama Kelapa Gading mengambil nama kelapa berwarna gading. Tentu saja bukan pula karena warnanya gading tetapi karena jenis kelapa gading sudah sangat dikenal sejak tempo doeloe. Penggunaan kalapa dalam penamaan suatu tempat paling tidak sudah dikenal sejak era Pakwan-Padjadjaran: Coenda Calapa (Soenda Kalapa), nama pelabuhan terkenal di muara sungai Tjiliwong.

Peta 1903 dan Now
Penggunaan nama kelapa dalam menamai suatu tempat diduga karena alasan navigasi pada tempo doeloe, bukan karena alasan geografis. Pohon kelapa, tidak hanya banyak manfaatnya mulai dari batang, daun, buah dan airnya, tetapi juga vigour pohon kelapa dapat menjulang tinggi di antara pohon-pohon besar. Pohon kelapa secara fisiologis tidak tumbuh di rawa, tetapi di tanah yang kuat karena akarnya yang pendek (monokotil). Pohon kelapa diduga salah satu jenis pohon purba yang tersisa (daunnya yang tahan panas dan tahan angin badai). Selain itu, pohon kelapa bisa tumbuh terpisah dari daratan seperti di Poeloe Kalapa. Pohon kelapa juga kerap digunakan sebagai menara pengintai. Satu batang pohon kelapa tentu saja tidak ekonomis, karena itu tanaman kelapa harus ditanam banyak dalam suatu budidaya (untuk menghasilkan minyak goreng). Karena itu muncul nama-nama Kebon Kalapa (dekat Istana Presiden yang sekarang), Pondok Kalapa (di Jakarta timur yang sekarang) dan Kalapa Dua di wilayah selatan dan wilayah barat Jakarta. Itulah kisah heroik tanaman kalapa, Rayuan Pulau Kelapa membuat kita tergoda untuk menulis sejarah Kalapa Gading. Seperti halanya nama Kelapa, nama Rawa juga banyak ditemukan nama tempat di Jakarta.

Kalapa Gading [kini, Kelapa Gading] suatu nama kampong tempo doeloe pada masa ini menjadi suatu area yang ditabalkan menjadi nama sebuah kecamatan di wilayah Jakarta Utara. Kecamatan ini terdiri dari tiga kelurahan: Kelapa Gading Barat, Kelapa Gading Timur dan kelurahan Pegangsaan Dalam hubungan ini ada pertanyaan kecil keluruhan mana yang lebih dulu ada (barat atau timur?), Pertanyaan lainnya adalah apakah ada nama kelurahan Pegangsaan Satu? Pertanyaan-pertanyaan kecil ini memnjadi password kita untuk menjawab pertanyaan besar tentang sejarah Kelapa Gading. Untuk itu, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 17 Februari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (40): Sejarah Awal Penerbangan di Indonesia 1913-1954; Hilgers, Hussni, van der Hoop, Adisoetjipto


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah penerbangan di Indonesia tentu saja sudah banyak ditulis. Namun isinya tentu saja masih jauh dari lengkap. Penggalian data dan analisis akan terus berlangsung sepanjang data yang selama ini tersimpan di laci dan rak dapat diakses diinternet. Selama ini hanya menyebutkan nama-nama van der Hoop dan Adisoetjipto, tetapi fakta kini tidak hanya itu saja. Nama-nama yang lebih awal seperti Jan Hilgers dan D. Hussni kurang terinformasikan.

De Preanger-bode, 17-02-1913/ De Telegraaf, 23-12-1924
Sejarah Indonesia adalah sejarah yang panjang. Demikian juga sejarah penerbangan di Indonesia. Sepanjang apa sejarah Indonesia dan sepanjang apa sejarah penerbangan di Indonesia tergantung si penulis sejarah. Seperti biasanya dalam penulisan sejarah Indonesia selalu ada pilih kasih, membesarkan yang mana dan mengerdilkan yang mana. Cara-cara serupa itu bukan sejarah Indonesia, tetapi sejarah para penulis sejarah Indonesia. Sejarah Menjadi Indonesia adalah penulisan sejarah yang ditulis secara proporsional, apakah sejak VOC atau sejak era Portugis, yang penting sejauh data dan fakta yang dapat diperoleh. Ibarat manusia, sejarahnya harus dimulai dari kelahirannya, bila perlu sejak masih dalam kandungan. Dalam hal ini, sejarah penerbangan Indonesia tidak hanya dibatasi ketika kali pertama terselenggaran penerbangan jarak jauh dari Amsterdam ke Batavia pada tahun 1924.  

Siapa Jan Hilgers dan D. Hussni mungkin sepintas tidak penting, tetapi kenyataannya pada tempo doeloe merekalah yang memulainya sebelum yang lain mengikutinya. Pada masa ini Haerul dari Pinrang boleh jadi tidak dianggap penting, tetapi kenyataannya Haerul telah memulainya. Sejarah di satu sisi memang bermula tetapi di sisi yang lain sejarah tidak pernah berakhir. Untuk menambah pengetahuan sejarah awal penerbangan di Indonesia (1913-1954), mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.