Laman

Sabtu, 10 Desember 2016

Sejarah Jakarta (8): Pusat Pemerintahan dan Tata Kota di Batavia 1860; Kopi Mandailing-Angkola dan Tembakau Deli



Pusat pemerintahan Hindia Belanda di Batavia semakin berkembang pesat sejak tahun 1860. Rencana tatakota sudah beberapa tahun sebelumnya dibangun. Sementara itu, berbagai ekspedisi (membuka wilayah mulai intensif dilakukan ke luar Jawa sejak ekonomi di Jawa sudah mulai jenuh. Ekspedisi ini berhasil dan dengan cepat memberi kontribusi dalam pembiayaan pembangunan, utamanya pembangunan infrastruktur ekonomi dan pengembangan sosial (kesehatan dan pendidikan).

Peta Batavia, 1825
Ibukota Batavia awalnya di Batavia lama (Oud Batavia) tempat dimana awalnya benteng (casteel) dibangun semasa Hindia Timur (VOC), Kemudian sejak pemerintahan Hindia Belanda, 1799 ibukota dipindahkan ke sekitar Weltevreden. Lalu pada era pendudukan Inggris (semasa Rapffles) ibukota Batavia dipindahkan ke Buitenzorg. Setelah Hindia Belanda menggantikan Inggris kembali, ibukota dipindahkan lagi ke Batavia (tempat yang istana negara yang sekarang).

Tata Kota-1: Istana Arah ke Utara

Batas-batas Batavia baru (Peta 1860)
Sejak Inggris hengkang dari Hindia Belanda, 1811, Pemerintah mulai menata ibukota Batavia yang baru. Ibukota Batavia lama (Oud Batavia) sudah tidak layak lagi untuk tempat pemerintahan. Selain sudah padat, sulit menata ulang (meski Gubernur Jenderal de Farra pernah membuat revitalisasi kota 1774), juga karena alasan tidak sehat dan kurang nyaman.

Hasil penataan kota yang baru, tampak dalam Peta 1860. Di dalam peta ini bangunan-bangunan di sekitar Koningsplein semakin padat (jika dibandingkan dengan Peta 1825). Dalam peta baru ini lokasi pusat pemerintahan yang berpusat di Koningsplein, di empat sisi lokasi terdapat pembatas: Ooster wal, Wester wal, Zuider wal dan Noorder wal (diagonal antara Tanah Abang dan Gunung Sahari). Boleh jadi wal (tembok) ini dibuat untuk memisahkan dengan kota lama dan juga karena alasan keamanan (ingat kembali Pembantaian Tinghoa pada tahun 1740).

Ruas sungai Ciliwung yang diperkecil (Peta 1860)
Di dalam batas-batas pusat pemerintahan ini terdapat: Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Algemeene Secretarie. Dua bangunan utama pemerintah ini dibangun saling membelakangi. Istana menghadap ke utara (Jalan Juanda yang sekarang) dan Algemeene Secretarie menghadap ke selatan (Koningsplein). Di sisi kiri dan kanan istana bangunan Wachthuis dan Weeskamer. Di sebelah barat istana terdapat gedung Harmoni (Harmony Societeit). Lalu disebelahnya kamp marinir (Bank BTN yang sekarang). Di sebelah timur istana terdapat dua hotel.

Untuk sekadar diketahui, sungai di depan istana ini bukanlah sungai Ciliwung yang asli melainkan suatu kanal. Demikian juga sungai yang melalui Pasar Baru yang sekarang bukan pula sungai Ciliwung yang asli, melainkan suatu kanal juga. Banyak orang sekarang salah persepsi. Lantas sungai Ciliwung yang asli kemana?  

Sungai Ciliwung yang asli (alamiah) telah sejak lama diperkecil yang arahnya ke utara sejajar dengan Gang Patjenongan (dalam perkembangannya jejak sungai asli ini menghilang dan muncul jalan kereta api). Sebagai ganti sungai asli, ke arah barat dibuat kanal (depan istana) yang berbelok di Harmoni melalui Molenvier (Hayam Wuruk/Gajah Mada sekarang) dan bertemu sungai yang asli di Glodok. Sementara itu, sungai Ciliwung yang disodet (sebelum masjid Istiqlal yang sekarang) ke arah timur (melalui jalan pos dan dibelokkan ke utara (jalan Gunung Sahari yang sekarang) dimana sebagian debit air diteruskan hingga ke Antjol (Pintu Antjol) dan sebagian yang lain dibelokkan melalui Mangga Dua lalu dihubungkan lagi dengan sungai yang asli di Glodok (sebelum debit air ini mencapai Glodok disodet menuju benteng dan bertemu kembali debit sungai asli yang datang dari Glodok. Antara sungai Ciliwung dan kanal (sodetan) kelak menjadi Wilhelmina Park (di era RI menjadi pertapakan masjid Istiqlal).

Tata Kota-2: Istana Arah ke Selatan

Perluasan kota ke Tandjong Priok (Peta 1880)
Tata kota makin meluas ke segala penjuru. Pembatas kota (semacam Tembok Berlin) telah dirubuhkan. Tidak ada sekat lagi antara Batavia baru dengan Batavia lama (di utara) maupun perkampungan penduduk utamanya di sebelah selatan (Bovenlanden). Perluasan kota ke arah pantai berkembang: ke barat hingga di Muara Kamal dan Muara Angke, ke timur hingga ke Muara Baroe dan Tandjong Priok. Secara spasial, Tandjong Priok semakin berkembang akibat perluasan pelabuhan menjadi pelabuhan yang sangat besar. Peta Tandjong Priok 1880.

Sementara itu, di pusat kota Batavia yang berporos di Koningsplein meski hanya sedikit perubahan tetapi perubahan itu sangat mendasar. Posisi Istana Gubernur Jenderal yang sebelumnya menghadap ke utara kini diubah menghadap ke Koningsplein. Jika sebelumnya, Istana Gubernur seakan di belakang gedung Algemene Secretarie, sekarang berpindah posisi ke sampingnya (memanjang dari utara hingga selatan). Posisi istana ini tidak berubah hingga sekarang. 

Koningsplein (Peta 1887)
Pada fase ini muncul pendapat bahwa Maluku masa lalu, Jawa adalah masa kini dan Sumatra masa nanti. Saat itu, kontribusi Maluku dalam hal ekspor sudah tidak penting, selain volumenya sedikit (disbanding era doeloe) juga rempah-rempah sudah ditemukan di bagian lain dunia. Yang lagi booming adalah industri gula di Jawa sebagai sumber devisa untuk digunakan untuk pembangunan. Pada era VOC industri gula di Batavia (manufaktur). Pundi-pundi keuangan dari surplus gula dari Jawa telah berhasil membangunan infrastruktur ekonomi ke segala sudut di di wilayah Jawa.

Namun tak diduga, tanpa harus menunggu nanti, di Sumatra muncul booming kopi. Produksi dan ekspor kopi khususnya di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) yang juga meliputi Tapanoeli terus meningkat dari waktu ke waktu. Devisa ini terus mengalir ke Jawa, karena kebutuhan pembangunan di Sumatra belum sebanyak kebutuhan di Jawa. Surplus kopi ini tidak hanya digunakan untuk membiayai perang di berbagai tempat tetapi juga memberi kontribusi yang besar dalam pembangunan fasilitas-fasilitas pemerintah di Batavia. Surplus kopi ini semakin baik ketika kopi dari Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli) mendapat apresiasi harga tertinggi di pasar internasional (Eropa dan Amerika Serikat).

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Apresiasi pemerintah Hindia Belanda atas prestasi komoditi kopi Mandailing dan Angkola adalah sebagai berikut: Pertama, pada tahun 1854 dua anak Tapanoeli (satu dari Mandailing bernama si Asta dan satu dari Angkola bernama si Angan) dikirim ke Batavia untuk studi kedokteran di Docter Djawa School (cikal bakal STOVIA). Kedua siswa terbaik dari Tapanoeli ini merupakan siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran tersebut yang berasal dari luar Jawa (siswa satu angkatan sekitar 10-12 siswa). Sejak itu secara berkala (setiap dua atau tiga tahun dua siswa dikirim ke Batavia. Mereka inilah yang kemudian menjadi dokter-dokter di Tapanoeli, Sumatra Barat, Riau dan Sumatra Timur. Kedua, pada tahun 1857 seorang siswa dari Mandailing dikirim studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru. Siswa tersebut yang kemudian dikenal sebagai Willem Iskandar selesai studi tahun 1861 dan kembali ke Mandailing. Pada tahun 1863 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (Kweekschool) di Tanobato. Atas keberhasilannya membangun sekolah guru terbaik di Hindia Belanda, ia dikirim lagi ke Belanda tahun 1875 untuk mendapat akta kepala sekolah. Namun dia tidak kembali lagi, karena dikabarkan tahun 1876 telah meninggal dunia di Belanda. Lulusannya sangat banyak dan cakap menulis buku yang menjadi guru-guru sekolah di Tapanoeli. Willem Iskander adalah pribumi pertama yang studi ke Belanda dan mendapat lisensi Eropa. Pribumi berikutnya yang studi ke Belanda baru muncul pada tahun 1903 (hampir 50 tahun jarak waktunya). Booming kopi di afdeeling Mandailing dan Angkola juga memberi dampak pada pembangunan kota Padang Sidempuan (ibukota afd. Mandailing en Angkola). 

Pembangunan di Batavia semakin menggila ketika di Deli ditemukan tembakau berkualitas tinggi (1865-1869). Dengan dibukanya terusan Suez tahun 1869 pelayaran yang semakin singkat di satu sisi telah mengurangi ongkos ekspor yang dengan sendirinya meningkatkan pendapatan pemerintah. Sedangkan di sisi lain, kabar tembakau Deli di Eropa dalam waktu singkat menjadi industri tembakau terbesar di dunia (para investor Eropa mengalir hari demi hari ke Deli). Surplus tembakau Deli pada tahun 1880 bahkan sudah melampaui surplus gulu di Jawa (yang bahkan tahun demi tahun semakin merosot, sementara tembakau Deli semakin meroket).

Sebagaimana diketahui sejak Deli muncul ke permukaan, hanya ada dua kota yang tumbuh dan kembang secara cepat, yakni Batavia dan Medan. Antara dua kota ini saling kejar-kejaran pembangunan perkotaan. Apa yang ada di Batavia ada di Medan, belum tentu sebaliknya. Untuk urusan tata kota, kedua kota ini sangat komprehensif.

Tata Kota-3: Kanal Hilang, Muncul Rel

Kota lama dan kota baru Batavia (Peta 1890)
Moda transportasi sungai/kanal di Batavia mulai tidak efektif seiring terus terjadinya pendangkalan sungai/kanal dan semakin berkembangnya moda transportasi darat. Sehubungan dengan hal tersebut pelabuhan lama (Kali Besar) telah digantikan pelabuhan baru di Tandjong Priok. Perlabuhan Tandjong Priok semakin penting ketika moda transportasi kereta api muncul. Moda transportasi kereta api semakin penting sejak kereta Api Batavia-Buitenzorg mulai dioperasikan sejak tanggal 31 Januari 1873 (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873). Inilah babak baru moda transportasi Trans-Batavia.

Tata Kota-4: Kanal Barat dan Bandara

Pemanfaatan sungai Ciliwung sebagai moda transportasi telah lama berlalu. Sungai dan kanal lambat laun makin dangkal. Debit sungai Ciliwung juga makin lama makin menipis di musim kemarau (dampak penggulan hutan di hulu). Sebaliknya di musim hujan, luapan sungai Ciliwung sangat menakutkan. Banjir kembali menjadi momok (seperti sebelum adanya kanalisasi di kota tua). Banjir tidak hanya menghantui penduduk pribumi tetapi juga orang-orang Eropa.

Untuk mengatasi permasalahan banjir, apalagi banjir tidak pilih kasih dan bahkan banjir dapat mengepung istana Gubernur Jenderal pemerintah membuat kanal baru tahun 1918. Di Manggarai, sungai Ciliwung disodet dan kanal baru yang disebut kemudian Kanal Barat. Pintu Manggarai dibuat sedemikian rupa agar dapat menyeimbangkan debit air menuju kota untuk mengatasi banjir. Kanal baru ini dibuat melalui selatan Menteng dan diteruskan ke arah barat kota. Kanal ini di satu pihak mampu menyelamatkan luapan air Ciliwung di kota, dan di pihak lain area di sekitar kanal baru dikembangkan area pemukiman baru.

Satu moda trasnportasi di Batavia yang muncul kemudian adalah pembangunan bandara. Lokasi bandara ditetapkan di area Kemajoran, suatu area yang relatif kosong antara Batavia lama dan Batavia baru. Bandara ini mulai dibangun pada tahun 1934.

Pesawat pertamakali mendarat di Hindia Belanda adalah di Medan. Dari Medan ke Singapura dan dari Singapura ke Batavia. Itu terjadi pada tahun 1924. Penerbangan pertama ini merupakan langkah radikal dalam transportasi Belanda (Nederland) dengan Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Jalur perdana Medan-Singapoera-Batavia ini kemudian menjadi jalur internasional dari Batavia ke Eropa/Belanda. Namun demikian, penerbangan domestik justru dimulai di Jawa baru kemudian menyusul di Sumatra. Intensitas penerbangan dari dank e Batavia yang tinggi menyebabkan Batavia memerlukan bandara yang besar, yakni bandara Kemajoran.

Sebelum adanya bandara Kemajoran, penerbangan Batavia-Medan secara militer sudah dimulai pada tahun 1928. Pada bulan Agustus 1930 secara resmi akan dibuka penerbangan sipil secara permanen dari Batavia-Medan. Bandara yang digunakan sebelum bandara Kemajoran selesai tahun 1940 adalah bandara militer di Tjililitan (kini disebut bandara Halim).
  
Banjir Besar


Jauh sebelum ada Kanal Barat di Batavia (Jakarta) sudah ada Kanal Selatan di hulu sungai Ciliwung/Cisadane. Proyek Kanal Selatan ini dibangun tahun 1854 oleh Belanda--suatu kanal atau terusan yang menghubungkan sungai Cisadane dan sungai Ciliwung yang daerah alirannya terletak antara kota Buitenzorg (Bogor) dan kota Depok. Kanal ini dulu disebut Westerlokkan (Kanal Barat Ciliwung).

Muara dari kanal ini sungai Cisadane di Buitenzorg disodet, tepatnya di daerah Pancasan/Empang Bogor yang sekarang (Bendungan Empang). Aliran kanal ini pada masa ini terlihat dari Empang melalui Paledang, Jembatan Merah (belakang Pasar Jalan Merdeka), Ciwaringin, Jalan Semeru, Cimanggu Barata. Di Cimanggu Barata kanal bercabang, yang satu ke kiri menuju Cilebut dan yang lain ke kanan menuju Jalan Martadinata kemudian masuk Jalan Ahmad Yani dan selanjutnya aliran air masuk ke Sungai Ciliwung. Inilah yang kemudian disebut bahwa ada kanal yang menghubungkan antara sungai Cisadane dengan sungai Ciliwung di Buitenzorg sebagai Kanal Selatan alias Kanal Barat Ciliwung. Fungsi kanal ini tidak hanya untuk mengatur debit air sungai Cisadane jika terjadi banjir di Tangerang (setelah proses kanalisasi selesai di Batavia) tetapi juga untuk kebutuhan pertanian.  

Air dari kanal Westerlokkan ini kemudian menjadi sumber irigasi untuk mengairi persawahan dan perkebunan antara sungai Ciliwung, sungai Krukut (hulu di Setu Citajam) dan sungai Pesanggrahan. (ketiga sungai ini sangat berdekatan dan jaraknya satu sama lain sangat dekat di Pondok Terong). Aliran kanal dari Empang Cisadane dibuat melalui Cileubeut, Bojong Gede dan Citajam. Lantas di daerah Citajam kanal ini dipecah menjadi dua aliran. Ke arah barat melalui Cipayung, Mampang dan terus ke Pondok Labu. Ke arah timur melalui Pondok Terong, Ratu Jaya, Depok, Pondok Cina dan terus ke Srengseng (setu Djagakarsa) dan Tanjung Barat (Pasar Minggu), Doeren Tiga, Tebet dan Boekit Doeri (masuk ke Tjiliwung dan kemudian dialihkan ke Kanal Barat Batavia). Sementara itu, di Tjitajam (Tjipajoeng) kanal ini dialirkan ke setu Tjitajam (hulu kali Kroekoet). Selanjutnya di hilir, kali Kroekoet di Depok mendapat pasokan air dari kali bata (Kalibata) dan kali Mampang yang airnya dibendung di Bendoengan Oedik/Hilir. Bendungan ini menjadi semacam reservoir untuk Waterleiding di Pedjompongan (kini Penjernihan). Selanjutnya kali Kroekoet mengalir terus ke Glodok/Loear Batang dan selanjutnya masuk ke laut.

Untuk sekadar dicatat bahwa di kali Kroekoet di Pedjompongam/Petamboeran di masa lampau airnya disodet yang boleh disebut sebagai Kanal Barat Batavia yang debitnya di hilir kanal dibuang ke Meora Angke (kali Angke/hilir kali Pesanggrahan) dan ke Moera Karang (kali Grogol). Dalam perkembangannya ketika dibangun stasion Manggarai tahun 1914, di Manggarai sungai Ciliwung disodet lagi (Pintoe Manggarai) dan dibuat kanal yang disebut sekarang sebagai Kanal Barat (Kanal Selatan Batavia). Aliran Kanal Barat Batavia yang berada di selatan Perumahan Menteng (Nieuw Gondangdia) ini ujungnya bertemu dengan pangkal Kanal Barat Batavia di Petamboeran/Karet.

Last but not least. Jika ada Kanal Barat dan Kanal Selatan di Batavia, tentu saja ada Kanal Timur, yaitu sungai Ciliwung di masa lampau disodet di Gambir yang airnya dialirkan dengan membuat kanal via Pasar Baroe di Goenoeng Sahari. Kanal Goenoeng Sahari ini boleh disebut Kanal Timur Batavia. Selanjutnya di hilir, Kanal Goenoeng Sahari di pecah dan debit airnya sebagain diteruskan ke laut melalui Pintoe Antjol dan sebagian yang lain dimasukkan kembali ke sungai Ciliwung asli di Mangga Dua. Juga sungai Ciliwung disodet di ujung jalan Djoeanda yang sekarang dengan membentuk kanal ke Harmoni/Molenvier (terus ke Glodok dan bertemu sungai Ciliwung asli yang dari Mangga Dua). Untuk sekadar diketahui ruas sungai Ciliwung antara titik sodetan di Djoeanda dengan titik pertemuan Kanal Goenoeng Sahari/sungai Ciliwung di Manggadua dikecilkan (yang sisi bekas sungai Ciliwung yang asli menjadi jalur kereta api trans Batavia-Buitenzorg. Oleh karena itu dalam hal ini, kanal barat dan kanal timur di Batavia (doeloe) harus dibedakan dengan terminologi sekarang di Jakarta (kini) sebagai Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT).
  
Bendungan Katulampa, kanal timur Ciliwung 
Satu lagi kanal yang dibuat di era Hindia Belanda di hulu sungai Ciliwung adalah Oosterslokkan (kanal timur Ciliwung)—suatu kanal yang mengairi persawahan di wilayah sisi timur sungai Ciliwung. Kanal  ini bermuara atau disodet di sungai Ciliwung di Katulampa terus melewati Sukaraja kemudian Nanggewer dan lalu Cibinong, Cilangkap, Jatijajar, Cimanggis, Cisalak, Cijantung, Pasar Rebo dan berakhir di Ramboetan. Air kanal ini tampaknya digunakan oleh Waterleidingdrukontiaste (sisa air kanal masuk ke kali Tjipinang dan di Tjipinang Moeara masuk ke Kali Soenter lalu ke Soenter terus ke laut).

Banjir Batavia di masa doeloe dan Banjir Jakarta di masa kini adalah membicarakan soal sungai/kali. Semua kali/sungai yang ke Batavia/Jakarta melewati Depok/Buitenzorg. Sungai utama adalah Kali Ciliwung. Di Depok di sisi barat sungai Ciliwung adalah kali Baroe, kali Bata, kali Grogol, kali Baroe, kali Kroekoet dan kali Pesangrahan. Masih di Depok, di sisi timur sungai Ciliwung adalah kali Tjipinang dan Kali Soenter. Semua sungai yang disebut di Depok ini kerap membuat banjir di Jakarta, sementara di Depok sendiri jarang terjadi banjir. Kini di Depok perumahan sangat luar biasa banyaknya, yang mana warganya tiap hari membanjiri Jakarta (untuk bekerja). Namun demikian, Jakarta harus tetap waspada banjir yang diakibatkan luapan sungai/kali di Depok karena dampak pembangunan perumahan. Guyonan banjir yang ada selama ini bahwa banjir di Jakarta akibat air bawaan dari Bogor. Tapi kini harus ditambahkan banjir di Jakarta juga akibat air luapan di Depok (akibat perumahan). Oleh karena itu, pemerintah Jakarta harus bekerjasama dengan pemerintah di Depok dan pemerintah di Bogor. Caranya mudah: Pemerintah Jakarta dapat melakukan intervensi dengan memperlancar arus lalu lintas warga masuk Jakarta (manfaat bagi Depok), dan dengan begitu dapat melakukan intervensi (manfaat bagi Jakarta) dengan turut membangun sistem drainasi perkampungan dan perumahan terintegrasi di Depok agar lebih optimal mengurangi volume air dari Depok yang masih kerap menimbulkan banjir di Jakarta. Saat ini di Depok tedapat sebanyak 23 situ yang kurang terkelola dengan baik (sudah banyak situ yang lenyap sejak era Batavia). Situ-situ yang ada makin lama makin sempit dan makin dangkal. Dalam hal ini Pemerintah Jakarta dapat memberi kontribusi untuk normalisasi kali dan normalisasi situ. Kali-kali kite dapat terbantu (lingkungan), tapi juga situ ikut terbantu (banjir).

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar