Laman

Rabu, 15 Februari 2017

Sejarah Bandung (23): Bandung Lautan Api, Ini Rincian Faktanya; Bumi Hangus di Padang Sidempuan Demi Jaga Harga Diri



van Mook (koran 1946)
Bandung Lautan Api, bukanlah mitos. Ini kejadian yang benar-benar terjadi, Tidak hanya di Bandung, juga di kota-kota lain di Indonesia. Bagaimana disebut ‘lautan api’, informasinya jarang diungkapkan. Artikel ini menelusuri seperti apa itu Bandung Lautan Api, Untuk pembanding disarikan versi Bumi Hangus di Padang Sidempuan, kota kampung halaman Kolonel Abdul Haris Nasution dan Amir Sjarifoeddin Harahap.

Politik bumi hangus (verschroeide aarde) terjadi dua cara: Pertama, pihak yang menyerang melakukan pembakaran baik akibat granat, bom darat atau udara. Pasukan sekutu dan pasukan Jepang banyak melakukan tindakan ini seperti di Birma, Singapora, Australia, Batam dan Soerabaja. Kedua, pihak yang diserang melakukan pembakaran dengan cara konvensional agar bangunan tidak dapat digunakan musuh. Ini banyak dilakukan oleh para pejuang RI dan penduduk seperti di Bandung, Padang Sidempuan,.

Politik Bumi Hangus

Pendudukan oleh militer Jepang atas Batavia terjadi pada tanggal 5 Maret 1942. Orang-orang Belanda du Batavia belum menyadari karena begitu cepat sudah terjadi militer dimana-mana. Tindakan bumi hangus (verschroeide aarde) oleh Belanda atas gedung-gedung tertentu tidak sempat dilaksanakan meski sudah direncanakan.

Nieuwe Apeldoornsche courant, 16-03-1942:‘Angkatan bersenjata Hindia Belanda (Nederlandsc Indie) tidak punya waktu tersisa untuk pelaksanaan yang efektif politik "bumi hangus" di ibukota Batavia. Setelah pendudukan Jepang pada tanggal 5 Maret ibukota Nederlandsch Indie kembali ke kehidupan normal’.

Ini mengindikasikan praktek bumi hangus sudah ada di pihak Belanda sebelum umum dilakukan oleh militer dan penduduk pribumi pada tahap berikutnya. Dalam berita-berita lain, tidak terlaksananya bumi hangus sebagian orang-orang Belanda sedikit agak lega. Bangunan-bangunan yang ditargetkan seperti kantor telepon, perpusatakaan urung dilaksanakan karena itu adalah asset. Hanya kerugian yang terjadi jika itu terlaksana.

Sebaliknya di pihak pribumi (tentara, laskar dan penduduk) melakukan politik bumi hangus umumnya dilakukan terhadap bangunan-bangunan strategis (Belanda) dan sejumlah rumah penduduk yang memadai yang dianggap dapat untuk dimanfaatkan musuh (Sekutu/Belanda).

Oleh karenanya, perbandingan bumi hangus antara sekutu/Belanda di satu sisi dengan pribumi di sisi lain tidak appel to apple. Namun kesadaran untuk melakukan pembumihangusan terhadap bangunan-bangunan oleh pribumi (tentara, lascar dan penduduk) saat diserang siapapun pemiliknya adalah tindakan yang terpuji dan bersifat patriot. Dalam hal ini pribumi (tentara, lascar dan penduduk) tidak kehilangan secara fisik dan juga tidak kehilangan harga diri. Sebaliknya Belanda telah kehilangan harga diri ketika mereka menginginkan agar digunakan Jepang untuk kebutuhan sendiri terhadap pabrik kina di Bandoeng.

Amigoe di Curacao, 17-09-1945: ‘…alat-alat produksi tidak diragukan lagi diderita oleh pendudukan dan tidak boleh melupakan fakta bahwa hal itu masih bisa memenuhi permintaan dunia untuk kina, sedangkan produksi berada jauh di bawah maksimum yang dapat dicapai sebelum perang di Hindia Belanda. Selama tahun-tahun pertama perang, perkebunan di Priangan tetap teris diproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan Jepang, sementara juga terus memproduksi pabrik kina yang berada di Bandung, namun selama beberapa waktu dari sekarang di Hindia Belanda mungkin tidak bisa memenuhi semua permintaan. Hal ini karena kurangnya kapal yang dapat melakukan pengiriman, sebagai akibatnya kapasitas pabrik di dekat Bandung telah melebihi permintaan dunia untuk kina. Bila diterapkan pada malam pendudukan politik bumi hangus, populasi tanaman yang sudah ada ini (kina) sudah dianggap tidak penting lagi’.

Jelas dalam hal ini penjajah (sekutu/Belanda/Jepang) dalam konteks bumi hangus (verschroeide aarde) cenderung memiliki perhitungan rasional ekonomi (asset dan potensi ekonomi, karena itu hakikat melakukan kolonial). Harga diri dihitung soal kalah atau menang.

Keesings historisch archief: geïllustreerd dagboek van het hedendaagsch wereldgebeuren met voortdurend bijgewerkten alphabetischen index, 07-13-10-1945: ‘…situasi di Jawa tidak menentu, ketegangan terus meningkat dimana-mana..,sangat dikhawatirkan POW Belanda yang ditahan Jepang berada dibawah penjagaan pribumi…Sorkarno tanggal 9 telah membentuk pasukan untuk mencegah kembalinya Belanda…sekutu telah menghancurkan gudang logistic persenjataan dan mesiu di Surabaya untuk mencegah jatuhnya ke tangan nasionalis…istana Bogor telah dipasang bendera merah putih…pada tanggal 11 Oktober Soekarno melakukan protes terhadap Jenderal Christison adanya gangguan agen-agen NICA dan tentara Belanda…Soekarno member instruksi untuk mencegah pendaratan Belanda di Jawa/ Soekarno mengancam jika tidak diindahkan sekutu maka keamanan jumlah yang sangat banyak orang Belanda, yang masih di tangan rakyat Indonesia, tidak dapat dijamin oleh Pemerintah Republik…orang Indonesia sendiri bisa mengmbail tindakan sendiri…Soekarno memperingatkan bahwa orang Indonesia dapat seaktu-waktu melakukan politik bumi hangus terhadap semua bangunan peninggalan Belanda di kota.  

Bagi pribumi, harga diri tidak menghitung kalah menang, tetapi wujud dari perlawanan yang riil, yakni memperlambat serangan atau merugikan penyerang (penjajah). Melakukan tindakan pembakaran terhadap bangunan milik Belanda adalah patritisme dan tindakan pembakaran pada bangunan sendiri adalah untuk menjaga harga diri (jangan asset pribumi dimanfaatkan Belanda). Oleh karenanya, politik bumi hangus oleh pribumi adalah tindakan rasional tersendiri, tindakan patriot untuk menjaga harga diri. Tindakan pribumi serupa inilah yang ditemukan di beberapa kota, termasuk di Bandung dan Padang Sidempuan. Ancaman bumi hangus ini sudah sama-sama dipahami oleh sekutu maupun pihak pribumi..

Pendudukan Sekutu: 'Bandung Lautan Api'

Sekutu sudah nekad, Memberi ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya.

Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat), Amir Sjarifuddin Harahap lantas bergegas ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution.

Secara khusus, pengaturan dan ijin (legalitas) pemangku pertahanan dari pemerintah pusat dimulai dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibawah komando Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Sejak ibukota RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya.  

Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi III Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran. Terjadinya kobaran api yang besar ini dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’.

Ultimatim tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21 November 1945 yang mana tentara sekutu meminta Bandung Utara dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden. Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.

Politik Bumi Hangus di Bandung Selatan Demi Harga Diri

Politik bumi hangus di Bandung terjadi di Bandung Selatan. Tindakan bumi hangus ini bersamaan dengan serangkan mortir yang dilancarkan oleh republic ke Bandung Utara tempat dimana pasukan Inggris berada. Tindakan ini telah memicu kemarahan sekutu yang dalam hal ini Inggris. Ini bukan provokasi tetapi tindakan patriot antara TRI dan penduduk di Bandung.

Limburgsch dagblad, 26-03-1946: ‘Dilaporkan dari Bandung, Minggu malam di Bandung Selatan telah terjadi kebakaran hebat berdasarkan pemantaun yang dilakukan patroli pesawat. Ini mengingatkan tempat kejadian menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama yang disebabkan oleh serangan udara di London pada tahun 1940. Beberapa menit sebelum tengah malam terjadi kebakaran di Onion saat yang bersamaan saat dilakukan tembakan mortir yang ditujukan ke Bandung Utara dalam melawan posisi Inggris. Meskipun tidak mungkin untuk melakukan estimasi kerusakan di malam hari, adalah, tanpa diragukan lagi, lebih dari sepertiga dari Zuid Bandung dibakar. Ini adalah politik bumi hangus yang digunakan oleh pejuang dengan maksud untuk menunda ultimatum Inggris. Kebakaran Minggu itu yang disebabkan sebagian besar oleh lingkaran Republik berakibat permohonan TRI penundaan operasi Inggris ditolak’.

Aksi bumi hangus yang dilakukan oleh republik karena sebelumnya Inggris menolak penundaan ultimatum. TRI coba memuinta ultimatum ditunda tetapi atas penolakan itu penduduk gerah dan melakukan tindakan bumi hangus. TRI tidak bisa menenangkan penduduk. Terjadilah pembakaran dimana-mana. Republik dituduh dibantu tentara Jepang sehingga cukup tersedia bahan bakar yang menjadi api mudah berkobar.

Nieuwe Apeldoornsche courant, 26-03-1946: ‘Politik bumi hangus menyebabkan pembakaran intens di Bandung. Terjadi sebelum meninggalkan kota, mereka memiliki bangunan utama dan juga rumah-rumah pribadi dibakar. Aneta melaporkan bahwa bagian selatan Bandung hari Minggu terjadi kebakaran. Adegan bumi hangus ini menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama, disebabkan oleh serangan udara Jerman di London pada tahun 1940. Pada tengah malam terlihat 16 lokasi kebakaran besar, dan ledakan berat terdengar. Bangunan resmi seperti kantor telepon dan stasiun kereta api utama terbakar. Kantor pemerintah dan kantor desa-desa habis terbakar. Orang Indonesia rupanya memanfaatkan begitu melimpah bahan peledak dan minyak bumi, karena hampir setiap api mulai segera berkembang menjadi kebakaran besar. Senin siang terlihat TRI yang tersisa sebagai dalam kelompok-kelompok, yang mungkin bersembunyi.  Pagi-pagi Britsch Indiers, Poenjabs dan Mahratta berhasil menembus di bagian timur dari Bandung Selatan. Mereka bertemu lawan sehingga terjadi pertempuran. Bangunan kota rusak berat dan juga di jalan-jalan ditemukan granat besar yang digunakan tentara republic yang bersumber dari Japanneezen. Dalam penyisiran ini ditemukan mayat dua sersan mayor Jepang. Hal ini jelas bahwa sejumlah Japanneezen berkolaborasi dengan para pasukan republic. Semua itu berawal dari permohonan penundaan operasi pendudukan ditolak oleh Inggris, sehingga TRI, tentara Republik, tidak mampu untuk menenangkan penduduk’.

Pasukan Inggris pada pukul 2.36 yang mana de 36ste brigade-groep merangsek ke Tjimahi dan de 49ste brigadegroep ke bagian timur Bandoeng Selatan dalam rangka pengosongan dan pendudukan Bandung Selatan. Sebuah kanon 75 mm mengiringi battalion yang terdiri dari resimen kedelapan Punjabi's, sementara bom mortir di posisi depan pasukan Inggris. Sekitar dua jam kemudian aksi pembakaran sudah mulai yakni pukul lima sore. Hal itu membuat panic terutama dari kalangan Tionghoa yang menyebabkan mereka eksodus ke sagala arah lalu kemudian diarahkan untuk menuju sector utara dengan memperlihatkan tanda untuk bisa masuk. Pada pagi Senin, dua batalion mulai membersihkan sektor timur rel bagian utara dan selesai pada pukul 11. Untuk mencegah terror dan kehancuran yang lebih besar di belakang garis pendudukan ditempatakan brigade-36 dan brigade-49. Konsolidasi ini selesai pada sorea hari tanpa ada kerugian yang diderita (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 27-03-1946).

Lebih lanjut dilaporkan kantor pos, semua jendela hilang, atap penuh penuh lubang, dinding retak, Meski demikian masih dimungkinkan untuk direnovasi. Orang-orang Cina paling banyak kerugian, tidak ada orang-orang Indonesia di jalan, mungkin dalam beberapa hari akan berdatangan. Dalam insiden hari Minggu tidak ada korban jiwa di pihak Inggris. Beberapa bom mortir meluncur di kamp Tjihapit. Juru bicara Inggris mengatakan akibat pembakaran yang ditimbulkan jumlah kerusakan tidak masuk akal. Survei udara yang dilakukan Senin, beberapa desa sengaja dihancurkan. Lingkungan Cina di Selatan Bandung Timur rusak parah; kiri dan kanan Soemedang weg sepanjang 500 meter hancur sepenuhnya. Beberapa gudang, dimana karet disimpan, habis terbakar. Jumlah pengungsi yang mengalir di distrik utara puluhan ribu. Pengintaian udara juga menunjukkan bahwa aliran kendaraan bermotor dan gerobak sapi dari Bandung ke arah selatan-barat sepanjang Kopo weg, Penjara Bandjeui masih utuh, tapi tahanan dideportasi oleh republik. Dalam plot di Pasoendan weg ditemukan dua belas orang Eropa. Penyendera telah ditangkap dan operasi mencari penyendera terus dilakukan.

Nieuwe courant, 27-03-1946 melaporkan bahwa Bandung menjadi lautan api di malam hari dan menjadi debu di pagi hari. Kemungkinan pembakaran hanya murni kejahatan. Rumah dan harta pendudukjuga dibakar yang mengakibatkan kerugian besar. Koresponden kami di Bandung melaporkan hari Minggu di markas (sebelum politik bumi hangus), Komandan Divisi 23 Kolonel Abdul Haris Nasution menjawab saat dikonfirmasi: ‘Saya telah mencoba untuk mengakhiri semua pertempuran, tapi situasi sangat sulit’. Nasution hari Minggu pagi kembali ke Bandung dari Batavia dimana sebelumnya Nasution telah memberitahukan Sjahrir tentang situasi di Bandung. Dari Batavia, Nasution membawa pesan khusus dari Sjahrir, TRI untuk tidak melawan dan pemerintah Indonesia menugaskan Bandung selatan agar terus melindungi dua ratus ribu orang Indonesia dan Cina. Oleh karena permintaan untuk menunda sepuluh hari pengosongan ditolak Inggris maka terjadi peristiwa lautan api. Dalam situasi kejadian itu terdapat banyak tentara independen, seperti Banteng Hitam dan organisasi lainnya. Di dalam operasi pengosongan ini Jepang mengangkat bendera kuning dan tidak mengganggu jalannya operasi, sebaliknya bahwa tidak ada pasukan Belanda yang ikut berpartisipasi aktif dalam operasi.

Politik bumi hangus di Bandung telah menyebabkan lautan api. Area yang kebakaran meliputi sepertiga dari Bandung Selatan. Jumlah bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150 bangunan (Algemeen Handelsblad, 30-03-1946).

Bandung Utara vs Bandung Selatan

Sejak Belanda mulai mendirikan ibukota Preanger di Bandoeng (1829), area Bandung sudah dirancang secara terpisah yang dibatasi oleh jalan pos Trans-Java (lihat Artikel pertama serial sejarah Bandung ini). Belanda lebih memilih bagian sisi utara jalan pos ini karena lebih kering (Artikel-5). Pada tahun 1846 pemisahan area orang-orang Eropa/Belanda dengan pribumi semakin jelas dengan pendirian kantor Bupati di sisi selatan jalan pos (Artikel-4). Lalu migrasi orang-orang Tionghoa dari Buiternzorg sejak 1860an yang mengambil sisi utara jaln pos sebelah barat (Artikel-14). Ini menunjukkan semakin mempertegas bahwa sisi selatan jalan pos Trans-Java adalah wilayah pribumi yang kerap disebut Bandung Selatan. Sedangkan sisi selatan kerap disebut Bandung Utara. Antara utara dan selatan terjadi gap yang semakin intens: secara fisik lebih kering (jarang banjir), bangunan-bangunan umum terkonsentrasi di utara, taman-taman dan perumahan elit yang semakin meluas ke utara.

Ketika sekutu (Inggris dengan tentara Poenjab dan Maratta) melakukan pendudukan di Bandung (sejak 17 Oktober 1945) yang mengambil tempat di Bandung Utara dan yang pada akhirnya melakukan upaya pengosongan seluruh Bandung (utara, selatan, timur dan barat radius 11 Km) pada batas ultimatum tanggal 24 Maret 1946, persoalan utara-selatan Bandung mencuat kembali yang dinyatakan sebagai dua sisi area pertempuran. Singkat kata: pasukan republic melancarkan serangan mortir dari selatan ke utara dan pasukan sekutu melakukan pengosongan dan pendudukan meluas ke selatan. Saat pengosongan inilah terjadi politik bumi hangus yang menyebabkan Bandung Selatan menjadi ‘lautan api’.

Seperti dideskripsikan sebelumnya, area kebakaran terkonsentrasi di Bandung Selatan, jumlah bangunan dan desa yang dibakar umumnya di Bandung Selatan. Konsentrasi militer sekutu berada di sepanjang rel kereta api (dari Tjimahi hingga ke Tjikoedapateh). Area pertempuran antara sekutu dan republic terjadi di pusat kota. Target-target utama pasukan republic adalah stasion kereta api, kantor telepon, kantor pos, penjara Bantjeui, dan target lainnya di seputar itu (yang menjadi bagian dari Bandung Utara, sisi utara jalan pos Trans-Java) serta penjara Soekamiskin (di kejauhan).

Sejumlah bangunan yang menjadi target republic dan juga bangunan-bangunan yang menjadi tugas pengamanan oleh pasukan sekutu hanya terjadi kerusakan dan tidak ada yang dilaporkan terbakar. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-06-1946 melaporkan bahwa bangunan-bangunan yang lebih besar milik perusahaan utilitas (pemerintah Hindia Belanda) tidak ada kerusakan berat. Hal ini juga terkait dengan posisi pasukan republic yang juga  bertanggung jawab jangan sampai ikut terbakar dalam kejadian politik bumi hangus. Perusakan dan pembakaran umumnya terjadi oleh ekstrimis (bukan TRI) di lingkungan milik pabrik dan lingkungan bisnis pedesaan. Bisnis Cina telah hancur sebagian besar. Sepanjang jalan menuju Oedjoengbroeng sebagian besar gudang-gudang hancur, Soekamiskin (penjara besar) yang telah dikosongkan juga terjadi kerusakan. Ke selatan, pengamatan menemukan beberapa kerusakan seperti pada stasiun Lamadjan. Pusat-pusat perlawanan (pertempuran) berada di tempat yang disebut ‘benteng desa’ yang berupaya menahan lajunya patrol sekutu.

Belanda Menggantikan Sekutu (Inggris)

Seperti diduga oleh republic, sekutu yang dipimpin oleh Inggris dalam pendudukan,  termasuk di Bandung yang awalnya Inggris memastikan Belanda tidak turut aktif, kenyataannya (dalam perkembangan lebih lanjut) ternyata berbanding terbalik antara yang disepakati dengan kenyataan di lapangan. Pasukan militer Belanda secara perlahan menguntit di belakang sekutu dalam hal ini Inggris. Keadaan terkini, justru pasukan Belanda telah mengambil alih ‘kepemimpinan’ Inggris di Bandung.

Nieuwe courant, 26-06-1946: ‘melaporkan dengan judul Bandung Dibawah Komando Nederlandsch. Pasukan republic di Bandung selatan melancarkan protes. Dalam fase ini TRI bekerjasama dengan kelompok-kelompo misterius (dalam hal ini laskar) mulai melakukan tindakan praktek pengrusakan terutama di selatan sungai Tjitaroem. Yang dihancurkan antara lain, jembatan, berkembang ke Soekamiskin, lokasi brigade Belanda di sisi utara jalan pos. Dalam operasi, banyak ditemukan mortar di jalan yang ditinggalkan ketika pejuang republic melarikan diri. Di sisi utara dan selatan Tjimahi para penembak jitu Belanda terkena tembakan dan dinyatakan empat orang Belanda luka. Kerigian di pihak republic tidak diketahui. Pengambilalihan resmi komando Inggris oleh pasukan Belanda di Kabupaten Bandung telah terjadi di 18 tempat. Markas Nederlandsche terletak di Bandung dibawah komando Mayor Jenderal De Waal. Markas Green Brigade dibawah Kapten Van Gulik konsentrasi di Tjiiandjoer. Brigade-7 Infanteri Britisch Indiers sudah melakukan perjalanan (kembali) ke Batavia. Bandara di Andir telah digantikan oleh sebuah unit dari penerbangan militer Belanda, untuk kepentingan pengamatan udara.  

Itulah rangkaian kejadian politik bumi hangus di Bandung (selatan) yang menyebabkan terjadinya lautan api. Praktis pada bulan Juni 1946 Bandung kembali dikuasai oleh Belanda setelah pasukan sekutu (Inggris) membuka jalan bagi Belanda. Pada tahap berikutnya Belanda yang melakukan serangan terhadap TRI dan penduduk yang kemudian dikenal yang disebut Politie Actie atau Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948).

Agresi Militer Belanda-II: Aksi Bumi Hangus di Padang Sidempuan

Pada saat Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota
Politik bumi hangus tidak hanya ditemukan di Bandung yang menyebabkan lautan api (vlammenzee) tetapi politik bumi hangus juga terdapat di kota-kota lain di Jawa dan Sumatra. Setelah Bandung, politik bumi hangus di Kota Padang Sidempuan menjadi perhatian pers. Kota Padang Sidempuan adalah kota kampong halaman Kolonel Abdul Haris Nasution dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Politik bumi hangus di Padang Sidempuan terjadi tahun 1949, tigas tahun setelah politik bumi hangus di Bandoeng (1946).

Ini bermula ketika pasukan Belanda yang semakin menguat di Parapat lambat laun berhasil menguasai Tapanuli bagian utara seperti Porsea, Balige dan Tarutung. Dengan semakin derasnya aliran pasukan Belanda yang dikerahkan di Sumatera Timur dan Tapanuli, pihak Belanda tampaknya ingin segera menguasai seluruh wilayah Keresidenan Tapanuli terutama Sibolga sebagai ibukota Keresidenan. Pasukan Belanda berharap jika Sibolga sudah dikuasai, sementara Padang (Sumatera Barat) sudah lebih dahulu dikuasai, maka pasukan Belanda merasa mudah menguasai Padang Sidempuan dan wilayah Tapanuli Selatan. Pasukan Belanda berharap Dengan dikuasainya Padang Sidempuan dan sekitarnya, maka terbuka lebar untuk menjepit salah satu pasukan terkuat RI yang ada di Bukittinggi. Ini jelas, suatu rencana yang sangat taktis dan strategis. Selanjutnya, pasukan Belanda melancarkan agresi militer kembali.

Dalam agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948 (dan berakhir tanggal 13 Juli 1949). PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.

Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948.

Dalam tahun 1948 ini tiga putra-putri terbaik Mandheling en Ankola dibunuh. Pertama, seorang kritikus dan esais terkenal bernama Ida Nasoetion diculik dan dibunuh tanggal 23 Maret 1948 di Bogor. Gadis berumur 26 tahun ini adalah Presiden PMUI (Persatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia). Kedua, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dibunuh pada tanggal 19 Desember 1948 di Surakarta. Amir Sjarifoeddin adalah mantan Perdana Menteri RI, mantan Menteri Penerangan dan mantan Menteri Pertahanan RI. Ketiga, Mr. Masdoelhak Nasution, PhD, diculik dan dibunuh militer Belanda di Yogyakarta 21 Desember 1948. Masdoelhak Nasution kelahiran Sibolga adalah doktor hukum 'cum laude' lulusan Universiteir Leiden yang menjadi penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta yang sebelumnya menjabat sebagai Residen Sumatra Tengah berkedudukan di Bukittinggi.

Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu, pemerintah RI memutuskan untuk melebur semua pasukan dan laskar yang ada. Pemerintah republik menugaskan pasukan republik dibawah pimpinan Mayor Bejo menahan serangan serdadu Belanda yang tengah menuju Padang Sidempuan dari arah Sibolga. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan Batangtoru. Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK agar tidak dapat dimanfaatkan pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan di jembatan Batangtoru. Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan Belanda yang dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori akhirnya dapat memukul mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli. Kedua pasukan ini akhirnya mundur ke Padang Sidempuan.

Setelah Batangtoru berhasil direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke Penyabungan. Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan dan para laskar diperintahkan melakukan taktik rintangan dan bumi hangus. Seluruh jembatan yang menuju ke Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon besar yang tumbuh sepanjang jalan-raya ditumbangkan ke tengah jalan, permukaan jalan yang rata diberi berlobang dimana-mana.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949 (Pemurnian Sumatera): ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini dikomunikasikan: Di pulau-pulau lepas pantai Sumatera di Selat Malaka berlangsung pembersihan. Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan Belanda telah menduduki tempat ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di Sumatera,  Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga), Pagar-Alam (barat daya Lahat) dan Loeboek Linggau (barat laut Lahat) TNI telah dimurnikan (didesak keluar kota). Di Yogya sebanyak 169 mantan perwira TNI telah melaporkan diri (penghianat republik)’.

Semua itu dilakukan agar kendaraan militer pasukan Belanda tidak dapat melewatinya atau paling tidak untuk membuatnya bergerak tersendat-sendat. Sementara itu, bangun-bangunan dan gedung yang masih berdiri yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya dibakar atau diruntuhkan.

Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 07-01-1949: ‘..Di Padang Sidempoean kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari TNI dibakar. Kondisi penduduk di bagian selatan Tapanoeli tampaknya kurang menguntungkan daripada di bagian utara’’

Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda mendapati ibukota Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan warganya.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-01-1949: ‘di Tapanoeli TNI dan laskar republik telah mundur ke gunung..di sini tidak ada kebijakan bumi hangus yang diterapkan kecuali di Padang Sidempoean, Selatan Tapanoeli. Penduduk diminta meninggalkan kota, diancam dengan pembalasan jika mereka bekerja sama dengan Belanda’.

Pemerintah RI Kabupaten Tapanuli Selatan pimpinan Bupati, Sutan Doli Siregar, Patih, Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok. Lantas mereka ini meneruskan perjalanan ke Panyabungan.

Kalisati Siregar adalah alumni sekolah ekonomi di Batavia.yang kemudian berdinas di Kantor Statistik di Batavi, Pada masa pendudukan Jepang, Kalisati pulang kampung di Padang Sidempuan. Atas kemampuannya, pemerintah pendudukan Jepang di Padang Sidempuan mengangkat Kalisati menjadi Kepala Kantor Perdagangan. Kalisati Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Hariman Siregar (Ketua Dewan Mahasiswa UI dan tokoh penting peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974/Malari).

Di Sipirok, perlawanan terhadap serangan pasukan Belanda dilakukan oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar. AGS ini baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok pada tanggal 3 Januari 1949 dibawah komando Brigade-B pimpinan Mayor Bejo.

Maskud Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Dr. Arifin Siregar, seorang ekonomi lulusan negeri Belanda. Setelah berkecimpung di lembaga-lembaga internasional diluar negeri Arifin Siregar diminta pulang ke tanah air untuk membantu tugas-tugas negear. Arifin M. Siregar (Arifin Maskud Siregar) pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia, Menteri Perdagangan dan Dubes Indonesia untuk negara Belanda.

Anggota AGS ini diantaranya bekas para laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dalam agresi militer Belanda yang pertama antara lain: bekas pasukan Naga Terbang, bekas anak buah Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok yang seluruhnya dipersenjatai dengan senapan locok yang ada ketika itu. Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik. Pasukan republik ini harus mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta anggota yang gugur dan terluka.

Pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan.

Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan: “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa rakyat Indonesia telah berhasil melalui diplomasi di PBB. Juga tentang akan adanya penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh pemerintah Belanda di Den Haag.

Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae untuk melanjutkan perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar guna mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik kepada masyarakat di pedalaman.

Binanga Siregar adalah Wakil Residen Tapanoeli. Sedangkan  yang menjadi Residennya adalah Abdul Hakim Harahap. Kelak, ketika terjadi genjatan senjata dan dilakukan KMB di Den Haag, Abdul Hakim Harahap adalah penasehat ekonomi delegasi RI ke Den Haag, Abdul Hakim Harahap yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Perancis) sepulang dari KMB menjadi Wakil Perdana Menteri dalam kabinet terakhir di Jogjakarta (Kabinet Halim). Setelah ibukota RI pindah kembali ke Jakarta (1950), Abdul Hakim Harahap ‘nganggur'; sementara Binanga Siregar diangkat sebagai Residen di Sumatra Timur. Lalu pada saat penataan Provinsi Sumatra Utara selesai dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, tahun 1951 Abdul Hakim Harahap diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara (hingga 1953).

Mengetahui pemerintah Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Bunga Bondar. Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda berikut kendaraan lapis baja mereka meneruskan penyerangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang dilakukan pasukan Belanda, pasukan Republik menunjukkan perlawanan. Akhirnya pemerintah Tapanuli Selatan terpaksa mengungsi meninggalkan Arse menuju Simangambat.

Pasukan Belanda sangat bernafsu untuk menguasau kota Padang Sidempuan, karena kota ini merupakan persimpangan ke empat penjuru mata angin. Ke arah barat ke Sibolga, ibukota Kresidenan Tapanuli (pelbauhan laut); ke selatan menuju Bukit Tinggi (ibukota RI di pengungsian); ke timur menuju Labuhan Batu (terus ke Medan); dan ke utara via Sipirok menuju Tarutung (terus ke Medan). Kedudukan kota Sipirok yang menuju utara adalah jalur utama jalan Sumatra di pedalaman antara Padang dan Medan melalui Bukit Tinggi, Panyabungan, Padang Sidempuan, Sipirok, Tarutung, Pematang Siantar. Oleh karenanya bisa dipahami mengapa pasukan Belanda bernafsu menguasai Sipirok dan mengapa pasukan republik ingin tetap mempertahankannya.

Pertempuran Benteng Huraba: Merebut Kembali Padang Sidempuan

Dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti diadakan perundingan yang melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada ada di luar kota Padang Sidempuan. Tujuan diadakan perundingan ini untuk menyusun strategi dalam merebut kota Padang Sidempuan dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan perlawanan terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari MMB-I Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, pasukan MBK Tapanuli dan Kompi Brigade-B yang dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat yang dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan dengan dukungan masyarakat. Dalam pertempuran yang direncanakan secara matang dan terkoordinasi dengan baik terjadi cukup alot. Pertempuran yang berlangsung selama tiga hari akhirnya dapat merebut kembali kota Padang Sidempuan.
Mengapa begitu heroik pertempuran di Padang Sidempuan. Pertama, Kota Padang Sidempuan adalah kota terbesar jalur menuju Bukit Tinggi (ibukota RI di pengungsian). Jika kota ini jatuh, maka akses pasukan Belanda dari utara akan mudah menjepit pertahanan ibukota RI di Bukittinggi. Kedua, Tapanuli Selatan yang beribukota Padang Sidempuan adalah area/kota yang masih tersisa di Sumatra Utara dimana Belanda belum sepenuhnya dapat menguasai. Ketiga, menjaga harga diri kampong halaman yang mana para perantau tengah berjuang di kota-kota lain jangan sampai kampong halaman jatuh ke tangan Belanda. Orangtua, saudara dan kerabat para perantau berada di Tapanuli Selatan khususnya Padang Sidempuan, seperti Abdul Haris Nasution. Keempat, perlawanan terhadap pasukan Belanda di Tapanuli Selatan khususnya di Padang Sidempuan mendapat tambahan spirit yang mana Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi III/Siliwangi telah mengirim para komandan terpilih di jajaran Siliwangi seperti Letkol AE Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adji (resimen yang bermarkas di Bogor) ke Tapanuli Selatan untuk turut membantu mengkoordinasikan agar fungsi (pertahanan) territorial RI tetap berlangsung efektif. Pangkat tertinggi selama ini yang ada di Tapanuli Selatan adalah berpangkat mayor, salah satunya Mayor Maraden Panggabean (kelak menjadi Panglima TNI di era orde baru).
Setelah kota Padang Sidempuan direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibu pertiwi, tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul dengan pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru. Suasana panik dan serangan darat dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi untuk bertahan di Huta Huraba.

Pasukan Belanda yang sudah menguasai wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan khawatir terjadi lagi perlawanan balik. Pasukan Belanda menyusun rencana strategis baru untuk melumpuhkan lawan dan memukul mundur sejauh-jauhnya dari Padang Sidempuan. Karena itu, pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB pasukan Belanda mulai melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba. Rencana penyerangan dimulai dari Pijorkoling dengan taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat jurusan. Pasukan Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout) yang desersi dari anggota MBK Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri. Dalam serangan Belanda yang tidak diduga pasukan RI ini berhasil merebut Benteng Huraba. Pasukan MBK Tapanuli dan Brigade-B mundur ke Huta Tolang.

Posisi Benteng Huraba yang diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya garis front utama untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Karena itu pasukan Belanda waktunya untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang, Komandan MBK yang datang dari Panyabungan mengumpulkan seluruh pasukan yang ada dan melakukan konsolidasi untuk penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda yang sudah bertahan di Benteng Huraba. Dalam pertempuran di Benteng Huraba ini pasukan gabungan memulai penyerangan pada saat fajar dengan menggunakan mortir. Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membuthkan waktu. Baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan mundur ke Padang Sidempuan. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran yang heroik itu.

Meski Padang Sidempuan telah dikuasai pasukan Belanda, paling tidak Benteng Huraba masih bisa dipertahankan. Area Benteng Huraba adalah area yang sangat sempit diantara dua lajur pegunungan Bukit Barisan yang merupakan jalan akses menuju Panyabungan (ibukota Tapanuli Selatan yang baru) dan jalan menuju ibukota RI di Bukit Tinggi. Benteng Huraba adalah lambing pertahanan Sumatra Utara (kini di atas benteng/bukit itu dibangun monument perjuangan yang berbentuk Benteng (seperti buah permainan catur).

Pada tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar, sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasil perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Penduduk Sipirok sangat yakin tanggal 22 Mei 1949 ketika terjadi aksi pencegatan di Jembatan Aek Kambiri Sipirok, Jenderal Spoor tewas, ketika melakukan inspeksi dari Sibolga ke Padang Sidempuan lalu via Sipirok menuju Tarutung (lalu ke Medan). Sebab hari pertempuran itu, konvoi Belanda balik arah ke Padang Sidempuan yang mana markas militer di Padang Sidempuan dan pos-pos penjagaan Belanda sepanjang jalan antara Sipirok dan Padang Sidempuan terlihat bendera Belanda dalam posisi setengah tiang. Kisah heroik di Aek Kambiri ini telah saya buktikan dalam artikel lain, yang tewas (dugaan kuat) bukanlah Jenderal Spoor. Boleh jadi petinggi militer Belanda utusan Jenderal Spoor dari Jakarta. Saat Maraden Panggabean sebagai KASAD (1969) hal ini telah dokonfirmasi. Luit. col. JPHE van Lier, kepala urusan politik di kabinet van generaal Spoor, mengatakan selama periode itu, Jenderal Spoor tidak berada di Sumatra. ‘Pada hari Minggu 22 Mei saya telah diskusi dengan General di kantornya di Koningplein-Zuid, Batavia (lihat De Tijd : dagblad voor Nederland, 24-04-1969). Itu pengakuan Luit. col. JPHE van Lier saat dikonfirmasi tahun 1969. Yang dimuat dalam surat kabar De Tijd.
Saat itu pertempuran dianggap Belanda telah mereda dan untuk meyakinkan Spoor untuk kedatangannya ke Tapanoeli petinggi militer Belanda diutus lebih dahulu. Saat itu pertahanan militer terkuat berada di Bukittinggi yang menjaga ibukota RI. Utusan inilah yang diduga keras yang tewas. Jenderal Spoor sendiri dilaporkan meninggal di Batavia tanggal 25 Mei. Jarak antara kejadian Aek Kambiri tanggal 22 Meii dengan tanggal kematian Spoor 25 Mei memang begitu dekat. Persepsi tentang Spoor tewas di Aek Kambiri tetap ada hingga masa ini terutama di Sipirok. Saat kejadian pasukan RI dipimpin Letnan Sahala Pakpahan, pasukan yang berada dibwah komando Mayor Maraden Panggabean. Singkat kata: hanya Tuhan yang tahu duduk perkara yang sebenarnya..

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar