Laman

Selasa, 14 Februari 2017

Sejarah Bandung (22): Pikiran Rakyat dan Sakti Alamsyah; ‘Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung’

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Tokoh PPPKI (1929): Thamrin, Soetomo, Soekarno dan Parada
Ini adalah kisah tentang Sakti Alamsyah dan kawan-kawannya: Mereka yang terjun dalam bidang pers, antara lain Mochtar Lubis, Adam Malik, Parada Harahap dan AM Hoetasoehoet. Di bidang militer antara lain Abdul Haris Nasution, Zulkifli Lubis dan Mengaradja Onggang Parlindungan. Yang berprofesi sebagai politisi antara lain Amir Sjarifoeddin Harahap, Zanul Arifin Pohan, Burhanuddin Harahap dan Abdul Hakim Harahap. Diantara teman-teman Sakti Alamsyah tersebut hanya Abdul Haris Nasution dan Mangaradja Onggang Parlindungan yang pernah lama menetap di Bandung.

Kisah Sakti Alamsyah di Bandung sangat mirip dengan kisah Radjamin di Surabaya (Walikota pribumi pertama Kota Surabaya). Keduanya, lahir sebagai Anak Tapanuli (Selatan) tetapi meninggal sebagai 'Anak Bandung' dan 'Arek Surabaya'. Seperti umumnya orang-orang Tapanuli, 'sekali merantau tidak akan kembali', mereka terbiasa mengikuti pepatah 'dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung'. Mereka tidak melihat dekat Indonesia antara Pakantan hingga Sipirok, tetapi melihat jauh antara Sabang hingga Merauke. Mereka adalah generasi Indonesia yang sebenarnya (Truly Indonesia).

Dari Pikiran Rakyat Hingga Pikirkan Rakyat

Surat kabar Pikiran Rakyat Bandung terbit kali pertama tanggal 30 Mei 1950. Surat kabar ini dipimpin oleh Djamal Ali. Dalam jajaran direksi terdapat Palindih, Sakti Alamsyah dan Asmara Hadi. Motto surat kabar ini ‘Mengadjak Pembatja Berfikir Kritis’.

Djamal Ali adalah direktur dan editor Pikiran Rakyat (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 30-12-1950). Palindih, Sakti Alamsyah dan Asmara Hadi adalah ‘kader’ dari Djamal Ali.

Surat kabar Pikiran Rakyat adalah ‘reinkarnasi’ dari majalah Fikiran Ra’jat yang terbit di Bandung pada tahun 1927 dibawah pimpinan dan yang menjadi ‘corong’ Soekarno. Surat kabar Pikiran Rakyat, sesuai namanya, ulasannya (editorial) terbilang kritis, sebagaimana mottonya: ‘Mengadjak Pembatja Berfikir Kritis’

Meski Soekarno memiliki majalah, tetapi kenyataannya Soekarno lebih sering mengirim tulisannya ke surat kabar Bintang Timoer di Batavia. Bintang Timoer dipimpin oleh Parada Harahap, orang yang pernah mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan tahun 1919. De leader Parada Harahap dan de follower Soekarno memiliki karakter yang sama: jiwa revolusioner. Saat Soekarno diadili dan diasingkan, Parada Harahap tahun 1933 memprovokasi Belanda dengan memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke Jepang (termasuk di dalamnya M. Hatta yang baru lulus sarjana di Belanda).

Perjuang Pers

Di Jakarta, surat kabar beroplah tinggi, Indonesia Raya dibawah pimpinan Mochtar Lubis mengkritisi Soekarno yang mulai sedikit arogan dengan menurunkan editorial ‘Soekarno bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan Jepang’. Editorial ini membuat Soekarno kaget dan ‘kebakaran jenggot’.

De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan’.

Sejak itu, hubungan Soekarno dan Mochtar Lubis terus menghangat dan menggelinding kemana-mana. Mochtar Lubis tidak mau ditekan, malah memprovokasi dengan berkunjung ke Amerika Serikat (De nieuwsgier, 17-05-1951). Melihat situasi ini, Adam Malik berangkat ke Bandung sehubungan dengan perayaan ulang tahun yang pertama Pikiran Rakyat (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-05-1951). Sudah barang tentu, Adam Malik mendapat undangan dari sohibnya Sakti Alamsyah. Kedatangan Adam Malik ke markas Pikiran Rakyat tentu saja tidak sekadar ikut merayakan ulang tahun Pikiran Rakyat, tetapi juga ada pembicaraan ‘bilateral’ antara Adam dan Sakti tentang soal yang besar: polemik antara Soekarno dan Mochtar Lubis.

Saat itu, Adam Malik adalah pemimpin kantor berita Antara, kantor berita dimana Mochtar Lubis pernah menjabat sebagai direktur (untuk menggantikan Adam Malik). Pada masa pendudukan Jepang, Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah sama-sama pernah bekerja di radio militer Jepang (atas rekomendasi Parada Harahap). Sebelum mendirikan surat kabar Indonesia Raya, Mochtar Lubis sempat bekerja dengan Parada Harahap.

Demonstrasi militer

Arogansi Soekarno terus memuncak. Tidak hanya pers yang mulai ditekannya, tetapi Soekarno sudah mulai mencampuri urusan militer. Dalam soal internal militer ini, Abdul Haris Nasution tampaknya bereaksi. Abdul Harus Nasution melihat pers mulai tidak berdaya, apalagi Soekarno telah terlalu jauh mencampuri internal militer.

Militer seolah dipertentangkan. Kolonel Abdoel Haris Nasution dan kawan-kawan seperti Kolonel Gatot Soebroto, Kolonel Tahi Bonar Simatupang dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di satu pihak dan di pihak lain Kolonel Bambang Supeno dan Kolonel Zulkifli Lubis (Kepala Intelijen RI).

Akhirnya muncul demonstrasi besar tahun 1952. Demosntrasi ini konon dipimpin oleh Abdul Haris Nasution sendiri, Kepala Staf Angkatan Darat.

Abdul Haris Nasution diangkat menjadi KASAD tahun 1950, Sebelumnya Abdul Haris Nasoetion adalah Panglima Divisi Siliwangi di Bandoeng. Di Bandung, selain jabatan Panglima, jabatan strategis lainnya adalah Direktur Peroesahaan Sendjata dan Mesioe (kelak disebut PINDAD) yang dijabat oleh Letkol Ir. AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan, seorang insinyur kimia alumni Jerman yang baru pulang bergerilya di Jawa Timur.  

Massa yang ditaksir sekitar 30.000, para demonstran menuntut pembubaran parlemen. Gelombang massa kemudian bergerak ke istana yang didamping para militer dan persenjataan militer seperti tank. Inilah debat Sukarno dan Nasution saat itu.

Presiden Sukarno: ‘Engkau benar dalam tuntutanmu, tapi salah dalam caranya. Soekarno tidak sekali-kali akan menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalion TNI!’.
Kolonel Abdul Haris Nasution: ‘Kalau ada kekacauan di dalam negeri, orang hanya menoleh pada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tapi si prajurit yang harus mati. Adalah sewajarnya apabila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung’.
Presiden Sukarno: ‘Menyatakan apa yang terasa dalam hatimu kepada Bung Karno boleh saja. Akan tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia, jangan! Sekali-kali jangan!’ (Boleh jadi Soekarno sambil menepuk-nepuk dadanya)

Yang tidak diduga, ketika Soekarno turun dari istana untuk menghadapi para demonstran, yang mendampinginya adalah Kolonel Zulkifli Lubis. Tampaknya Soekarno lebih aman dan lebih berani jika didampingi Zulkifli Lubis. Sementara, Ketua Parlemen, Zainul Arifin Pohan yang tengah berada di istana hanya terpaku diam seribu bahasa ditangga istana. Zainul Arifin Pohan tampaknya tenang-tenang saja dan yakin tidak terjadi huru-hara.

Demonstrasi di depan Istana Presiden (1952)
Saat terjadi dialog sengit antara pimpinan demonstran (Kolonel Abdul Haris Nasution) dan orang yang didemo (Presiden Soekarno), Kolonel Zulkifli Lubis tidak berada disamping Soekarno, melainkan disamping Mayjen Abdul Haris Nasution. Posisi ini dapat diartikan sebagai berikut: (1) Zulkifli Lubis memberi kesempatan kepada Soekarno untuk ‘sedikit marah’ dihadapan dua petinggi militer, (2) Dengan posisi seperti itu, Abdul Haris merasa dia tidak sendiri, karena kawannya Zulkifli Lubis ada disampingnya dan (3) posisi itu besar kemungkinan inisiatif bersama antara Zainul Arifin Pohan dan Zulkifli Lubis yang sama-sama paham adat ‘dalihan na tolu’ yakni tidak boleh ada yang direndahkan tetapi diputuskan rasional secara mufakat.

Hasilnya, tidak terjadi huru-hara. Tidak ada yang diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan. Zainul Arifin Pohan, Zulkifli Lubis dan Abdul Haris Nasution berada dari kampong yang sama di Kotanopan (Tapanuli Selatan) yang masih menganut paham ‘dalihan na tolu’. Presiden kembali ke istana dijempau Zainul Arifin Pohan, sementara Abdul Haris Nasution dan Zulkifli Lubis masih menyambung pembicaraan sebentar di lapangan. Demonstrasi akhirnya bubar.

Atas kejadian itu, Kolonel Abdul Haris Nasution diberhentikan sebagai Kepala KASAD dan Jenderal Simatupang yang menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) juga ikut mengundurkan diri. Ini menambah daftar tokoh-tokoh yang menyuarakan pendapat semakin bertambah setelah Mochtar Lubis dan kawan-kawan. Sejarah militer Indonesia dimulai dari Sudirman. Lalu kemudian Sudirman digantikan oleh TB Simatupang dan posisi TB Simatupang digantikan oleh Abdul Haris Nasution.

Demosntrasi Pers

Kolonel Zulkifli Lubis tetap di istana, Zainul Arifin Pohan tetap di parlemen. Untuk tetap menjaga keutuhan NKRI, Kolonel Abdul Haris Nasution ‘pulang kampung’ dan dengan merngasingkan diri mulai menulis buku. Hasilnya buku Pokok-Pokok Perang Gerilya.

Zainul Arifin Pohan, ayah Barus dan ibu Kotanopan. Saat kecil sebelum merantau ke Batavia bersekolah di Kotanopan dan menjadi santri Pesantrean Mustofawiyah di Poerbabaru (dekat Kotanopan). Pesantren ini seusia dengan Pesantren Gontor. Pesantren Kotanopan adalah basis NU pertama di luar Jawa. Saat terjadi perang, Zainul Arifin adalah pimpinan Hizbullah di Jawa Barat dan ketika di parlemen Masyumi dimekarkan dengan munculnya Partai NU. Zainul Arifin Pohan adalah Ketua Partai NU yang pertama.

Mochtar Lubis terus mengobarkan semangat kebebasan pers. Solidaritas sesama pers juga terus meningkat. Mulai dari wartawan hingga pemilik, mulai dari surat kabar hingga percetakan, mulai dari dosen hingga mahasiswa. Dukungan juga terus mengalir dari daerah, seperti Bandung, Medan dan Soerabaja. Akhirnya demonstrasi besar kembali muncul, kini tidak dipimpin oleh Abdul Haris Nasution tetapi oleh Mochtar Lubis yang baru-baru ini pulang dari Amerika Serikat.

Demonstrasi Kebebasan Pers (1953)
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para wartawan memprotes, soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia. Pada demonstrasi, seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia yang diadakan dalam aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini yang berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi mahasiswa akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah  Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’.

Lantas dimana Parada Harahap? Sudah dapat diduga. Parada Harahap tidak mau dipusingkan oleh kisruh militer dan juga tidak mau pusing dengan kisruh jurnalistik. Parada Harahap menyibukkan diri di kampus sebagai Direktur Akademi Wartawan. Bagi Parada Harahap, semua yang berseteru adalah teman baiknya. Parada Harahap adalah mentor politik Soekarno dan Parada Harahap adalah mentor jurnalistik Mochtar Lubis. Namun Parada Harahap membiarkan AM Hoetasoehoet untuk memimpin mahasiswa untuk menggalang mahasiswa berdemo.

Parada Harahap pendiri organisasi jurnalistik pribumi di Medan tahun 1918. Pimpinan Sumatranen Bond dan pendiri PPPKI (1927). Memimpin tujuh orang pertama ke Jepang (1933). Memiliki 13 media selama hidupnya termasuk mendirikan kantor berita pribumi pertama Alpena (1925). Di era pendudukan Jepang pension. Anggota BPUPKI (1945).  Di era perang kemrdekaan menjadi pemimpin dan editor majalah Detik di Bukitinggi (ibukota RI, sejak Soekarno ditangkap dan diasingkan). Kepala Litbang Departmen Penerangan. Sejak 1952 mengakuisisi surat kabar legendaries berbahasa Belandam, Java Bode. Pada tahun 1953 mendirikan Akademi Wartawan, Ketua Kopertis pertama. AM Hoetasoehoet adalah mahasiswanya di Akademi Wartawan yang juga ketua dewan mahasiswa. AM Hoetasoehoet sambil kuliah bekerja di surat kabar Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis). AM Hoetasoehot pada tahun 1949 direkrut dar Padang Sidempuan sebagai ketua tentara pelajar yang membantunya menerbitkan majalah detik yang membawa percetakan dari Padang Sidempuan. AM Hoetasehoet kelak dikenal sebagai pendiri IISIP Lenteng Agung, Jakarta).

Zainul Arifin Pohan Menjadi Wakil Perdana Menteri

Setelah Abdul Haris Nasution diberhentikan, jabatan panglima kosong dan dipegang oleh Presiden Soekarno. Zainul Arifin Pohan, mantan Panglima Hisbullah diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri II (dari 30 Juli 1953).

Wakil Perdana Menteri I focus pada program nasional pemerintah, Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri II akan focus pada rekonstruksi nasional (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-08-1953).

Pada saat kekosongan ini terjadi pemberontakan DI/TII di Atjeh September 1953. Anehnya, yang pertama datang ke Atjeh bukan Soekarno (panglima tertinggi merangkap KASAD) dan juga bukan Wakil Perdana Menteri I (Wongsosuseno) dan Menteri Pertahanan (Iwa Koesoema) melainkan Zainul Arifin Pohan (Wakil Perdana Menteri II). Apakah karena Zainul Arifin Pohan mantan Panglima Perang Hisbullah di Jawa Barat?

Pada awal pengakuan kedaulatan RI, sejumlah daerah resah dan melakukan pemberontakan. Di Aceh, timbulnya pemberontakan karena janji M. Hatta tidak ditepati. Orang Aceh telah banyak membantu Pemerintah Republik. RI berutang kepada orang Aceh. Sementara orang Aceh berutang kepada orang Tapanuli, karena sejak era Belanda banyak guru-guru dan dokter-dokter sari Tapanuli Selatan yang dikirim ke Aceh (termasuk ayah dari SM Amin Nasution, Gubernur Sumatera Utara yang pertama). Ketika terjadi pemberontakan di Aceh, Soekarno dan Hatta tidak berani datang. Yang dikirim adalah Zainul Arifin Pohan (Wakil Perdana Menteri II).

Trio dari Mandailing dan Angkola
Sepulang dari Medan, Zainul Arifin Pohan berdiskusi dengan Soekarno. Untuk mengamankan Atjeh harus ada jadi korban. Gubernur Sumatra Utara (meliputi Kresidenan Tapanuli, Kresidenan Atjeh dan Kresidenan Sumatra Timur) Abdul Hakim Harahap terpaksa harus ‘dicopot’. Sebagai penggantinya dipanggil SM Amin Nasution (mantan Gubernur Sumatra Utara). Alasannya hanya satu: Abdul Hakim Harahap kelahiran Djambi (hanya bisa berbahasa Batak, Indonesia, Belanda, Inggris dan Perancis) dianggap tidak pas untuk bernegosiasi dengan pemberontak dan menganggap SM Amin Nasution kelahiran Atjeh lebih sesuai karena bisa berbahasa Atjeh dan juga memahami adat istiadat orang Atjeh. Abdul Hakim Harahap lalu diminta bertugas ke pusat (di Jakarta). Abdul Hakim Harahap di masa agresi militer Belanda adalah penasehat delegasi RI ke KMB di Den Haag (karena ahli ekonomi yang mampu menguasai tiga bahasa asing). Pada saat pencopotan Gubernur Sumatra Utara, di Jawa Barat terjadi promosi kepala kepolisian daerah (Kapolda), Mustafa Pane.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 20-10-1953: ‘Mustafa Pane dipromosikan menjadi Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Barat (sebelumnya sebagai Wakil Kepala). (Berita lainnya): Kepala Staf Teritoruial VII Let. Kol. Warouw mengultimatum agar pengikut Kahar Muzakkat melaporkan diri ke pos terdekat aparatur negara 20 Oktober s/d 1 November 1953. Berita lainnya: Gerangan, yang baru-baru ini melakukan kunjungan ke Wakil Perdana Menteri I, Mr. Wongsonegoro meminta izin untuk agar Kartosmrtrjo diberikan kembali hidup normal atau dapat dibebaskan’. De nieuwsgier, 22-10-1953 Gubernur Amin ke Medan. Gubernur baru dari Sumatera Utara Mr. SM. Amin Nasution Krungraba, kemarin sore tiba dengan pesawat GIA dari Jakarta ke Medan. Mr Amin dijempuat di bandara oleh, Residen Binanga Siregar dan lainnya.

Pemberontakan DI/TII di Atjeh dapat segera diatasi. Namun pemberontakan DI/TII di Jawa Barat masih belum mereda. Jika pemberontakan di Atjeh muncul karena pengingkaran janji pemerintah (M. Hatta) terhadap rakyat Atjeh, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat merupakan persoalan lama.

Pada saat ibukota RI pindah ke Jokjakarta (1946), TNI yang berada di bawah komando Abdul Haris Nasution merapat ke Jokjakarta. Namun di Jawa Barat muncul faksi yang berbeda (tidak ikut mengungsi) dan ingin mendirikan DI/TII dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, pasukan DI/TII Kartosuwiryo menolak kehadiran TNI. Dalam hal ini DI/TII dalam menegakkan NKRI mengambil kesempatan dalam kesempitan yang dianggap sebagai tindakan yang merupakan penyimpangan dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menghalangi upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah negara RI yang sah (dalam hal ini berhadapan dengan TNI). Tentu saja ini membuat gerah Abdul Haris Nasution (Panglima Divisi Siliwangi) dan Zainul Arifin Pohan (Panglima Hisbullah).

Setelah pemberontakan DI/TII di Atjeh dan Makassar dapat diselesaikan dan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat untuk sementara dapat diredakan, Zainul Arifin Pohan dihadapi dengan kesibukan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang akan dilaksanakan 18–24 April 1955.

De nieuwsgier, 08-04-1954: ‘Pemerintah meminta Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan untuk mengendalikan provinsi Sunda Ketjil (Nusa Tenggara) dan melakukan inspeksi langsung’. De vrije pers: ochtendbulletin, 03-05-1954: ‘Infiltrasi di Sumbawa. Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, yang baru saja kembali ke Jakarta pada kunjungan orientasi ke Sumbawa, Minggu sebagian pengikut Kahar Muzakkar di Pulau Sumbawa. Sekitar dua atau tiga bulan lalu menyusup elemen Kahar Muzakkar dari Sulawesi (Celebes) ke Sumbawa melalui Bima. Infiltrasi kata Wakil Perdana Menteri II masih menunjukkan tahap awal. Sudah ada menangkap beberapa orang untuk penyelidikan’.

Soekarno dan Zainul Arifin Naik Haji

Figur Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan adalah figur pemimpin yang unik pada masa itu. Zainul Arifin Pohan tidak hanya mantan panglima di era perang tetapi juga di parlemen adalah mantan ketua komisi pertahanan. Karenanya, sejak menajdi wakil perdana menteri Zainul Arifin Pohan kerap diserahi tugas-tugas pertahanan terutama dalam menangani sejumlah pemberontakan di daerah. Untuk urusan agama (Islam) kapasitas Zainul Arifin Pohan tidak perlu diragukan. Karenanya, selama Menteri Agama berhalangan, Zainul Arifin Pohan yang mengambil alih (kebetulan keduanya sama-sama NU)..

De nieuwsgier, 09-07-1954: ‘Menteri Agama, Kiai hadji Masjkur, sehubungan dengan ziarah ke Mekkah diserahkan tugasnya kepada Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin. Dengan kata lain, Wakil Perdana Menteri II Zainul Arifin sepanjang tidak ada Menteri Kijai Hadji Masjkur akan menangani urusan agama sebagai Menteri. Transfer tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian, Mohammad R. Kafrawi’.

Kini giliran Soekarno dan Zainul Arifin Pohan berangkat naik haji ke Mekah setelah tiga urusan Negara yang sangat penting selesai. Urusan Negara itu adalah: Pertama, Zainul Arifin Pohan telah berhasil meredakan pemberontakan di Jawa Barat (Kartosuwirjo) dan menumpas pemberontakan di Aceh (Daud Beureuh) dan Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar). Saat pemberontakan itu terjadi yang menjadi panglima secara dejure adalah Presiden Sukarno tetapi secara defacto yang menjadi panglima adalah Wakil Perdana Menteri, Zainul Arifin Pohan. Kedua, persiapan pelaksanaan Pemilu 1955 yang juga cukup menyita banyak perhatian, karena Zainul Arifin Pohan telah banyak menangkis berbagai usulan yang tidak sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dari peserta pemilu, terutama dari Partai PKI. Ketiga, Urusan lainnya yang tidak kalah penting sebelum berangkat naik haji adalah bahwa proses pembangunan Masjid Istiqlal sudah berjalan. Soekarno dan Zainul Arifin Pohan adalah dua orang penting di depan yang memulai merealisasikan gagasan pendirian masjid besar di Jakarta (yang kemudian dikenal sebagai Masjid Istiqlal).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1955: ‘Presiden Naik Haji. Presiden Sukarno akan menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada 14 Juli tahun ini. Selain itu Presiden dan rombongan akan mengunjungi Pakistan dan Mesir, juga singgah di New Delhi, dimana Presiden berada untuk setengah hari sebagai tamu pemerintah India. Di New Delhi, Presiden Sukarno akan berbicara kepada publik. Dari New Delhi, Presiden akan berangkat presiden ke Karachi, dimana Presiden juga akan diterima sebagai tamu negara. Presiden Soekarno bermaksud untuk melanjutkan perjalanan setelah dari Pakistan terus ke Kairo dalam rangka memenuhi undangan dari Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser. Di Mesir, Presiden Sukarno akan berada selama lima hari. Sekali lagi, presiden akan menyampaikan pidato kepada publik. Presiden juga berencana untuk mengunjungi piramida, sungai Nil, bekas istana Farouk dan lainnya. Setelah ini, berangkat haji ke Mekkah dan akan diterima juga sebagai tamun Negara di Arab Saudi yang akan mengadakan pidato. Rombongan Presiden akan terdiri dari sekitar 30 orang yang akan berangkat pada 14 Juli dan tanggal 5 Agustus kembali ke Jakarta’.

Dalam perjalanan naik haji ini juga bersamaan dengan kunjungan kenegaraan yang tentu saja dikaitkan dengan hasil-hasil Konferensi Asia Afrika di Bandoeng. Setelah dari India, Presiden Sukarno ke Pakistan. Diibukota Karachi, Presiden mengatakan bahwa langkah-langkah lebih lanjut pemerintah Indonesia akan melakukan pengembangan hubungan budaya antara Pakistan dan Indonesia. Dalam kunjungan Presiden pada hari terakhir, Jumat di Mesir Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser melakukan sholat Jumat di Masjid Al Azhar yang telah berusia 1.000 tahun. Di masjid ini Presiden sekaligus berdoa sebelum berangkat ke tanah suci.

Antara istana Gamal Abdel Nasser hingga ke bandara dielu-elukan ribuan penduduk Mesir. Di bandara Presiden dan rombongan diantar oleh Ketua Dewan Revolusi Mesir dan Rektor Universitas Al Azhar. Rektor memberikan kepada Presiden Sukarno salinan Quran langka yang dicetak di atas kertas linen (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-07-1955).

Setelah berakhir kunjungan di Mesir (Kamis), rombongan Indonesia lainnya yang bergabung dengan rombongan Presiden Sukarno untuk menunaikan ibadah haji dipimpin oleh Wakil Pernana Menteri Zainul Arifin Pohan. Rombongan Wakil Perdan Menteri Zainul Arifin Pohan tiba di Kairo hari Jumat dan secara bersama-sama berangkat dari Kairo ke Jeddah. Di Kairo Zainul Arifin Pohan melakukan pembicaraan dengan Wakil Perdana Menteri Mesir, Gamal Salim.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-07-1955: ‘Wakil Perdana Menteri Mesir diundang (Wakil Pernana Menteri Zainul Arifin Pohan) sebagai tamu negara dari Pemerintah Indonesia untuk menghadiri 17 Agustus di Jakarta. (Gamal Salim) akan tinggal di Indonesia dua minggu dimana Mesir juga akan berpartisipasi dalam pameran perdagangan internasional ketiga di Jakarta yang akan dibuka 18 Agustus sekaligus untuk mengkonsolidasikan hubungan perdagangan antara Mesir dan Indonesia’.‘

Burhanuddin Harahap dan Parada Harahap: Sukarno dan Abdul Haris Nasution versus Mochtar Lubis dan Zulkifli Lubis

Perjuangan pers Mochtar Lubis tiada henti. Selain belum mendapatkan kebebasan pers, Mochtar Lubis membongkar kasus korupsi di tingkat menteri (Ruslan Abdul Gani, Djodi Gondokusumo). Akibatnya, pada tahun 1955 Kabinet Ali Satroamidjojo jatuh dan mengundurkan diri karena tidak tahan tekanan.

Kabinet Ali Satroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) yang dibentuk tanggal 12 Agustus 1955. Salah satu anggota kabinet yang diangkat adalah Abdul Hakim Harahap sebagai menteri Negara tetapi secara defacto juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Abdul Hakim Harahap, mantan Gubernur Smatera Utara (dicopot karena dampak Pembenrontakan Atjeh). Pada tahun ini juga diadakan pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Partai pemenang adalah Masyumi (pimpinan Burhanuddin Harahap) yang diikuti di urutan kedua PNI (Soekarno) dan disusul di tempat ketiga Partai NU (Zainul Arifin Pohan).

Pada saat yang relatif bersamaan dengan Pemilu, Abdul Hakim Harahap diperintahkan oleh Burhanuddin Harahap untuk membenahi militer. Saat itu tidak ada komandan (KASAD), tetapi ada tentara, maka perlu dipilih dan diputuskan siapa yang menjadi komandan baru. Dalam suatu pertemuan antara kolonel-kolonel se Indonesia, Abdul Hakim Harahap  memutuskan agar mereka mau bersatu.

Abdul Hakim Harahap adalah mantan Residen Tapanoeli semasa Perang Kemerdekaan (Agresi Militer Belanda II) yang juga merangkap sebagai wakil gubernur militer yang sudah terbiasa mengatasi permasalahan internal militer di Tapanuli saat terjadi perang. Setelah Sumatra Timur dikuasai Belanda TNI mengungsi ke Tapanuli dan menumpuk di Padang Sidempuan. Dalam konsentrasi yang tinggi ini kerap terjadi friksi-friksi antar satu kesatuan dengan kesatuan yang lain. Untuk menentramkan ini, Panglima Divisi Siliwangi Abdul Haris Nasution mengirim komando terbaik di bawah pimpinan Kawilarang dan Ibrahim Aji. Tentu saja dua komandan terbaik di Divisi Siliwangi ini siap dan tulus: ‘Siap komandan, Siap mengamankan kampong halaman’. Dalam fase ini Kawilarang dan Ibrahim Aji berkoordinasi dengan Residen Tapanoeli, Abdul Hakim Harahap.

Kandidat pimpinan tentara yang menguat adalah Kolonel Abdul Haris Nasution dan Kolonel Zulkifli Lubis. Akhirnya yang terpilih adalah Kolonel Abdul Haris Nasution. Setelah Abdul Hakim melapor ke Burhanuddin Harahap, Kolonel Abdul Hakim Nasution kembali diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) pada tanggal 1 November 1955. Kolonel Zulkifli Lubis dibebaskan dari semua tuduhan melawan Soekarno (saya pernah bercakap-cakap dengan beliau pada tahun 1984 di Bogor).

Kolonel Abdul Haris Nasution dan Kolonel Zulkifli Lubis tergolong adalah adik-adik Abdul Hakim Harahap dari Tapanuli. Oleh karena itu tidak begitu sulit mempertemukannya dan membuat keputusan. Abdul Hakim Harahap kelahiran Djambi, Kolonel Zulkifli Lubis kelahiran Atjeh dan Abdul Haris Nasution kelahiran Kotanopan. Hal ini teringat dengan pertikaian antara Soekarno dengan Abdul Haris Nasution di depan istana (1952) yang menengahinya adalah Zainul Arifin Pohan (Abdul Haris Nasution sekampung dengan Zainul Arifin Pohan)

Pertikaian antara Sukarno dan Kolonel Abdul Haris Nasution lalu kemudian dianggap selesai. Dengan begitu, NKRI kembali memiliki komandan militer aktif. Di belakang sukses mempertemukan Sukarno-Nasution adalah Parada Harahap, Burhanuddin Harahap dan Abdul Hakim Harahap.

Parada Harahap adalah tokoh pemersatu bangsa (pendiri PPPKI 1927). Parada Harahap adalah mentor politik Soekarno. Sementara, Burhanuddin Harahap adalah Ketua Partai Masyumi yang menjadi Perdana Menteri RI. Sedangkan Abdul Hakim Harahap sebelum menjadi menteri adalah Gubernur Sumatra Utara (1951-1953) yang sebelumnya (di masa agresi militer Belanda) menjabat sebagai Residen Tapanuli. Abdul Hakim Harahap adalah tokoh Masyumi di Tapanuli dan Burhanuddin Harahap tokoh Masyumi di Sumatra Timur (Medan).

Dalam perkembangan selanjutnya keduanya (Sukarno-Nasution) menjadi sangat dekat satu sama lain. Namun di sisi lain muncul kerenggangan antara Sukarno dan Zulkifli Lubis yang sehaluan dengan Mochtar Lubis. Meski begitu posisi Presiden Sukarno tetap terjaga. Parada Harahap dan Kolonel Abdul Haris Nasution dapat menengahinya. Namun di sisi lain Kabinet Burhanuddin Harahap juga harus dibubarkan (tanggal 3 Maret 1956).

Ketika terjadi pemberontakan terhadap Soekarno yang dikenal sebagai PRRI di Sumatra Barat (1957), Presiden Soekarno kebingungan. Untuk mengeluarkan keputusan penyerangan, Soekarno meminta persetujuan M. Hatta (Wakil Presiden), dan M. Hatta menolak (ini pangkal perkara mengapa dwi tunggal pecah untuk selamanya).

Kejadian yang mirip dengan ini pernah terjadi ketika mengeksekusi orang-orang yang dianggap berada di belakang peristiwa pemberontakan PKI di Madiun (1947), Soekarno abstain dan M. Hatta mendelegasikan kepada Kolonel Gatot Subroto. Amir Sjarifoeddin ‘disingkirkan’ dan ‘dikorbankan’.

Keputusan diambil sendiri oleh Soekarno. Ketika mengerahkan pasukan, Abdul Haris Nasution abstain dan mendelegasikan kepada Ahmad Yani. Abdul Haris Nasution enggan karena beberapa teman-temannya juga telah merapat ke Bukittinggi. Setelah perang, Abdul Haris Nasution bergegas ke Medan untuk melakukan normalisasi. Kolonel Simbolon dicopot dan digantikan Letkol Djamin Ginting. Lalu hal yang sama dilakukan di Padang dan Palembang. Di tangan Abdul Haris Nasution semuanya menjadi beres. Mungkin di dalam hati Abdul Haris Nasution dan Soekarno, seperti ini:

Presiden Sukarno: ‘Engkau benar dalam tuntutanmu, dan juga benar dalam caranya. Soekarno kali ini menyerah karena paksaan. Dan percaya kepada TNI!’.
Kolonel Abdul Haris Nasution: ‘Kalau ada kekacauan di dalam negeri, orang hanya menoleh pada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tapi si prajurit yang harus mati. Adalah sewajarnya apabila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung’.
Presiden Sukarno: ‘Menyatakan apa yang terasa dalam hatimu kepada Bung Karno boleh saja. Kali ini Bapak Republik Indonesia, tengah terancam! Pertahankanlah NKRI!’.(Mungkin, boleh jadi Soekarno tidak lagi menepuk-nepuk dadanya, tetapi menyodorkan tangannya untuk bersalaman)

Zainul Arifin Pohan Tertembak, Kartosuwiryo Dihukum Mati

Setelah Soekarno ‘pecah kongsi’ dengan M. Hatta, Soekarno hanya tergantung pada dua orang: Zainul Arifin Pohan dan Abdul Haris Nasution. Keduanya sama-sama mantan panglima di Jawa Barat. Zainul Arifin Pohan adalah Panglima Hizbullah (kini Ketua Parlemen/NU) dan Abdul Haris Nasution adalah Panglima Divisi Siliwangi (kini Kepala Staf/AD).

Zainul Arifin Pohan merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, setelah pemilu 1955, Zainul Arifin juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Soekarno lewat Dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.

Hal yang masih tersisa adalah pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Pada tahun 1960 dilakukan Operasi Gabungan oleh pasukan TNI dengan rakyat. Dalam operasi militer ini, pasukan Kartosuwiryo terus terdesak dan melemah akibatnya banyak yang menyerah.

Pada tanggal 14 Mei 1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul Arifin Pohan tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII untuk membunuh presiden. Sebulan kemudian, Abdul Haris Nasution yang menjabat KASAD sejak 1955 pada Juni 1962 statusnya dinaikkan menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (kini disebut Panglima TNI), posisi yang sejak 1953 kosong karena TB Simatoepang mengundurkan diri dan diambilalih Presiden Soekarno.

Kartosuwiryo sendiri kemudian dapat ditangkap pada tanggal 4 Juli 1962. Atas kesalahan Kartosuwiryo selama ini dijatuhi hukuman mati. Zainul Arifin wafat tanggal 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan pada bahunya selama sepuluh bulan.

Soekarno kehilangan sohib yang pernah menemaninya menuaikan ibadah haji 1954, pejabat yang bertindak atas dirinya (dejure) sebagai panglima lapangan (defacto). Namun demikian, masih ada Abdul Haris Nasution yang kini posisinya telah setingkat dengan posisi TB Simatoepang, rekan yang pernah membelanya dalam demonstrasi militer ke depan istana (1952).

G 30 S/PKI, Abdul Haris Menjadi Sasaran

Gerakan PKI yang melancarkan pembunuhan terhadap petinggi TNI, menyebabkan sejumlah jenderal terbunuh. Jenderal Abdul Haris Nasution masih mampu menghindar tetapi putrinya Ade Irma Suryani tidak tertolong. Tragedi malam 30 September 1965 yang diduga dilakukan oleh PKI menyebabkan situasi keamanan tidak terkendali (chaos). Tragedi ini dikenal sebagai tragedy G 30 S/PKI.

Pergolakan ini dan untuk memulihkan keamanan (pasca terbunuhnya petinggi TNI) pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang dikenal sebagai Supersemar. Pengendali keamanan diberikan kepada Soeharto.

Dalam fase normalisasi keamanan ini akhirnya jabatan Panglima Abdul Haris Nasution yang dipegang sejak Juni 1962 berakhir Februari 1966. Presiden Soekarno di sisi lain seakan diasingkan yang menyebabkan regim lama akan berakhir dan akan muncul regim baru.

Parada Harahap: Mentor Trio Pemimpin Indonesia Pertama (Soekarno, Hatta dan Amir)

Trio Indonesia yang pertama sudah nyaris dilupakan oleh para pemimpin Indonesia namun tidak demikian oleh rakyat. Trio Indonesia yang pertama, Soekarno, Hatta dan Amir tidak akan pernah dilupakan. Secara defacto mereka bertigalah yang secara intens memberi warna sebelum era Belanda berakhir dan selama pendudukan Jepang. Soekarno dan Hatta di satu sisi berkolaborasi dengan Jepang, sedangkan di sisi lain, Amir Sjarifoeddin menentang Jepang. Satu tokoh penting lainnya yang berseberangan dengan Jepang adalah Sjharir.

Amir Sjarifoeddin kelahiran Medan tahun 1910 bersekolah dan semasa remaja di Medan. Keduanya, diduga kuat telah kenal satu sama lain selama di Medan.

Trio Indonesia pertama sangat menghormati Parada Harahap. Trio Indonesia pertama ini banyak belajar dari Parada Harahap untuk soal politik praktis (di lapangan). Parada Harahap adalah mentor politik Soekarno, Hatta dan Amir. Parada Harahap, meski hanya tamat sekolah dasar namun memiliki IQ di atas rata-rata orang Eropa. Pada umur 17 tahun, Parada Harahap telah membuat heboh di Medan dengan inisiatifnya membongkar kekejaman yang dilakukan oleh para planter terhadap koeli perkebunan (poenalie sanctie). Ini terjadi tahun 1916. Inilah debut politik Parada Harahap yang dimulai dari Medan. Tentu saja saat itu Amir Sjarifoeddin Harahap kelahiran Medan, Adam Malik Batubara kelahiran Pematang Siantar dan Sakti Alamsjah kelahiran Sungai Karang masih kanak-kanak.

Setelah lulus sekolah dasar di Padang Sidempuan, karena orang tua tidak sanggup membiayai cita-cita untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi (MULO), Parada Harahap mengubah haluan untuk merantau ke Sumatra Timur. Sulit dibayangkan dengan apa Parada Harahap pergi ke Sumatra Timur (besar kemungkinan dengan jalan kaki, karena akses jalan belum ada antara Padang Sidempuan dengan Medan). Di Sumatra Timur melamar sebagai pekerja kebun dan diangkat sebagai krani (administrasi perusahaan perkebunan). Belum genap setahun posisi dinaikkan dan membantu dalam urusan akuntansi perusahaan. Parada Harahap sangat cepat dalam berhitung dan juga memiliki kemampuan linguistic yang baik. Parada Harahap dapat mengalahkan seorang akuntan Jerman. Namun diantara tugas-tugas pekerjaannya sebagai krani perkebunan milik swasta tidak tahan melihat penderitaan para kuli. Rasa iba dan kesadaran berbangsa di tangan kanan dan jiwa yang memiliki keberanian di tangan kiri, posisi dan reputasinya mulai dikorbankan. Parada Harahap membongkar kasus kekejaman terhadap kuli dan menulis laporan dan mengirimkan ke surat kabar Benih Merdeka di Medan. Laporan ini diolah oleh M. Yunus dan menjadi berita yang menghebohkan di Jawa (setelah surat kabar local di Jawa melansir artikel itu). Investigasi perusahaan dilakukan dan akhirnya Parada Harahap terlacak dan kemudian dirinya dipecat. Sejak itu Parada Harahap hijrah ke Medan dan melamar sebagai wartawan surat kabar Benih Merdeka dan diangkat langsung menjadi editor tahun 1918. Namun tidak lama, surat kabar Benih Merdeka dibreidel karena pemimpinya menjadi sasaran tembak Belanda (karena menjadi pemimpin SI di Medan). Parada Harahap lalu pulang kampong dan mendirikan surat kabar di Padang Sidempuan dengan nama Sinar Merdeka pada tahun 1919.

Pada tahun 1920 Parada Harahap mulai ikut terlibat dalam pergerakan politik dengan membentuk Sumatranen Bond cabang Sibolga. Setelah beberapa waktu Parada Harahap hijrah ke Batavia dan tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun 1924 Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena (dengan merektur editor WR Supratman dari Bandung). Pada tahun 1926 Parada Harahap melakukan kunjungan jurnalistik ke berbagai tempat di Sumatra dan menerbitkan buku dengan judul ‘Dari Pantai ke Pantai). Pada tahun ini juga (1926) Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Timoer  yang langsung tirasnya melejit hingga yang tertinggi di Batavia.

Sebagai sekretaris Sumatranen Bond, pada tahun 1927 menggagas dibentuknya supra organisasi kebangsaan. Rapat yang diadakan di rumah Husein Djajadiningrat meresmikan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia) yang mengangkkat M. Husni Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sendiri sebagai sekretaris.

Tiga 'macan' parlemen di Pedjambon, Batavia
Hadir dalam rapat ini antara lain, tiga anggota Volksraad (MH Thamrin, Mangaradja Soangkoepon dan Abdoel Rasjid), Soetan Casajangan, Soetan Goenoeng Moelia dan beberapa petinggi dari organisasi sosial seperti Boedi Oetomo, Kaoem Betawi, Pasoendan. Soetan Casajangan adalah penggagas dan pendiri organisasi mahasiswa pribumi di Belanda, Indisch Vereeniging tahun 1908. Saat itu yang menjadi sekretaris adalah Husein Djajadiningrat. Mangaradja Soangkoepan yang datang tahun 1910 dan Soetan Goenoeng Moelia yang datang tahun 1911 adalah anggota Indisch Vereeniging. Pada saat pendirian PPPKI ini Husein Djajadiningrat adalah dosen di Rechschool, Soetan Casajangan sebagai direktur Normaal School di Meester Cornelis dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai guru Eropa di Batavia. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia adalah kelahiran Padang Sidempuan yang sekampung dengan Parada Harahap. Dr, Abdoel Rasjid (anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli)  adalah adik kandung dari Mangaradja Soangkoepon (anggota Volksraad dari dapil Sumatra Timur). Dr. Abdoel Rasjid adalah pendiri Bataksch Bond pada tahun 1919 di Batavia..

Saat itu (1927), secara akademik Parada Harahap kalah dibandingkan dengan para seniornya. Namun secara politik praktis kiprah Parada Harahap tidak ada tandingannya. Parada Harahap telah memulai sejak lama dengan Benih Merdeka dan Sinar Merdeka. Secara financial Parada Harahap cukup mumpuni, selain memiliki tujuh surat kabar juga memiliki usaha di bidang lain dan juga menjadi ketua sarikat pengusaha (semacam Kadin) di Batavia.

Dua Indonesia Paling Revolusioner
Dengan portofolio yang tinggi, Parada Harahap dapat memainkan peran politiknya secara optimal, sebagai seorang yang cerdas, pemberani, revolusioner, kaya dan punya modal social yang kuat dalam membentuk networking. Musuhnya hanya satu: Belanda. Parada Harahap tidak punya ‘hutang’ apapun terhadap Belanda. Karena itu Parada Harahap bebas memainkan peran yang langsung berbenturan dengan kepentingan Belanda. Pada situasi dan kondisi inilah Soekarno kerap datang dari Bandung ke Gang Kenari (Kantor PPPKI) bertandang dan berdiskusi dengan Parada Harahap. Keduanya memiliki visi dan misi yang sama: Indonesia harus bangkit. Keduanya juga jago dalam beretorika dan memiliki jiwa revolusioner. Pada masa interaksi inilah Soekarno kerap mengirim tulisannya ke surat kabar Bintang Timoer. Sementara itu, M. Hatta sudah sejak di Pantai Barat Sumatra dikenal Parada Harahap sebagai aktivitas pergerakan sebagai anggota muda di Sumatranen Bond. Inilah alasan mengapa hanya ada tiga foto yang terpampang di kantor PPPKI: Selain Soeltan Agoeng, juga ada Soekarno dan M. Hatta.

Trio pertama pemimpin Indonesia
Pada kongres PPPKI yang kedua yang dilakukan pada tahun 1928, juga untuk kali pertama dilangsungkan kongres para pemuda yang disebut Kongres Pemuda. Ini berarti elemen pergerakan semakin lengkap yakni antara senior (PPPKI) dan junior (Indonesia Moeda). Dua kongres yang waktunya relatif bersamaan antara senior dan junior, gaung pergerakan semakin menguat. Panitia Kongres Pemuda 1928 terdiri dari sejumlah mahasiswa dalam suatu komite. Bendahara komite adalah Amir Sjarifoeddin Harahap. Bagaimana kongres pemuda terbentuk dapat menjawab hubungan Parada Harahap sebagai ketua Kadin Batavia dengan Amir Sharifoeddin yang berposisi sebagai bendahara. Besar kemungkinan Parada Harahap sudah mengenal baik Amir Sjarifoeddin di Medan (Parada Harahap dan ayah Amir Sjarifoeddin, Djamin Harahap seumuran dan sama-sama lahir di Padang Sidempuan) dan pernah sama-sama berkiprah di Medan (Parada Harahap sebagi editor dan Djamin Harahap sebagai mantra polisi dan adjunct djaksa di Medan). Catatan: foto di atas adalah foto pada Kongres PPPKI yang ketiga tahun 1929.

Parada Harahap semakin disorot oleh para petinggi Belanda dan selalu diincar oleh polisi dan intel Belanda. Namun semua tuduhan atau delik pers Parada Harahap lolos. Simak berikut ini:

Soerabaijasch handelsblad, 03-01-1931: ‘Kami selalu melihat dia (Parada Harahap) sebagai orang ‘putaran suara’. Mungkin dia memiliki gagasan bahwa ia seperti lingkaran memiliki jumlah tak terbatas sisi. Direkturnya, yang giat Parada Harahap, yang populer disebut ‘Batavia Paradepap’ yang memiliki banyak delik pers sebagai pemimpin Bintang Timoer’.

De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan kepada Parada Harahap  bahwa ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya (sumber penerimaan). Parada menjawab: ‘Bagaimana saya bertanggungjawab?’. Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’. ‘Iya betul, tapi saya hanya bertanggungjawab untuk bagian jurnalistik’, jawab Parada Harahap enteng lalu menandaskan, ‘bagian administrasi bertanggungjawab untuk iklan’. Polisi terus mencecar: ‘Ah’, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?’. Parada Harahap spontan menjawab: ‘Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.

Parada Harahap sebagai pejuang pers, merasa tidak cukup dengan hanya ada PPPKI (sebagai sekretaris) dan meski MH Thamrin juga telah membentuk Dewan Pers (kasus Soetomo yang terus di serang pers Belanda). Parada Harahap lalu menggalang kekuatan lewat para wartawan untuk mendirikan sarikat wartawan.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 (Congres Inlandsche Journalisten): ‘Kongres wartawan pribumi pertama diadakan di Semarang pada 8 Agustus. Kongres ini diketuai oleh jurnalis Semarang, sekretaris, jurnalis Sumatra, Paroehoem. Program: editor Bahagia Semarang, Pak Yunus, akan mengadakan kuliah tentang: "Jurnalisme dan pengembangan bisnis surat kabar"; Haji (Agus) Salim akan berbicara pada "Jurnalisme dan kode etik; RM Soedarjo tentang ‘Orang-orang dan Jurnalisme; Maradja Loebis: ‘Jurnalisme dan kehidupan sosial’; Saeroen, Siang Po: ‘Jurnalisme dan gerakan rakyat’ dan Parada Harahap: "Jurnalisme dan ekonomi’, sementara editor Soeara Oemoem akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan malaise. Kemudian, organisasi wartawan dibentuk dengan Mr Saeroen sebagai ketua dan Bapak Parada Harahap sebagai sekretaris dan (merangkap) bendahara. Komisaris adalah  Bakrie, Yunus dan Koesoemodirdjo’.

Parada Harahap bukan asing dalam soal urusan bersarikat di bidang pers. Parada Harahap pada tahun 1918 di Medan pernah mendirikan sarikat wartawan yang merupakan gabungan pers pribumi dan pers Tionghoa untuk membendung tekanan pers Belanda. Setelah 13 tahun, Parada Harahap membentuk lagi sarikat wartawan. Alasannnya selalu sama: melawan pers Belanda. Hal yang sama juga: Parada Harahap selalu menyertakan Tionghoa. Itulah Parada Harahap, nasionalis yang musuhnya hanya satu: Belanda.

Meski di satu sisi Parada Harahap selalu disorot pers Belanda dan menekannya, namun di sisi lain pers Belanda juga cover both side dan memberikan penilaian sesuai dengan kode etik pers (independen). Sebagaimana pers pribumi, pers Belanda juga ada paksi-paksinya yang satu sama lain adakalanya memiliki pandangan yang berbeda.

Soerabaijasch handelsblad, 15-09-1931: ‘Wartawan muda Batak Parada Harahap, direktur dan editor Indonesisch nationalist meskipun ia mungkin dalam berbagai artikel mencerahkan bagi nasionalisme untuk hari yang akan datang, dia berada di atas semua realis. Dia melakukan, tanpa menjauhkan apa yang disebut orang Prancis il prend son bien öu il le trouve. Dia dengan senang hati merekomendasikan contoh Barat saat ia menemukan berguna, dan memuji dan menghargai dimana ia menemukan sesuatu untuk memuji dan menghargai, bahkan jika itu adalah dengan orang Eropa. Singkatnya, ia praktis dan turun ke bumi dan karena itu sangat dibenci dan kadang-kadang - dengan permukaan cemburu pada perusahaannya yang berjalan dengan baik - dibenci oleh orang-orang mabuk nasional. Yang menyebut dirinya nasionalis, tapi kutukan dan berkampanye untuk melukai dia. Ada banyak kebencian, persaingan dan kecemburuan dan disebut beberapa kejanggalan dan bertindak tidak sopan di pihaknya’.

Tidak hanya Parada Harahap, tokoh-tokoh revolusioner lainnya juga ditekan oleh polisi/pemerintah Belanda. Surat kabar diawasi dan dibreidel. Tokoh politik diawasi dan sewaktu-waktu dapat ditangkap. Sukarno selepas dari penjara belum menentu sikap permanen, masih berpikir keras. Parada Harahap juga terus berpikir agar tegak percaya diri, proses kebangkitan bangsa tetap berjalan dan mampu berjalan lebih cepat agar segera terwujud kemerdekaan.

Parada Harahap tidak memiliki hutang kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, Parada Harahap bertahun-tahun ‘dizalimin’ oleh polisi kolonial Belanda dan telah ratusan kali dipanggil ke meja hijau di pengadilan dan tak terhitung pula berapa kali harus masuk penjara.

Parada Harahap meretas jalan melihat di timur negeri Sakura. Parada Harahap telah lama menutup diri dan membelakangi di sebelah barat Negara Ratu di Belanda. Undangan ke Jepang, sesama Asia jelas menantang. Parada Harahap memutuskan secara sadar konsekuensinya dan membuat gebrakan, bersedia melakukan perjalanan misi ke Jepang. Suatu misi berskala internasional, suatu misi pribumi yang jelas keluar dari mainstream orang-orang pribumi.

De Sumatra post, 16-10-1933: ‘Pemimpin surat kabar Bintang Timoer, Mr. Parada Harahap akan berangkat 7 November disertai sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang. Rombongan akan kembali melalui Manila’. [Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933: ‘Jumlah yang ‘wisata’ ke Jepang sebanyak tujuh orang. Diantarnya tiga wartawan, satu orang guru, satu orang  kartunis, dan dua pengusaha (Batavia da Solo). Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar (Jawa)].

Mesir dan Jepang adalah Negara berdaulat. Oleh karenanya, kedua Negara ini memiliki hubungan diplomatik dengan Nederlansch Indie (Hindia Belanda) yang dikuasai oleh Pemerintah Kolonial. Motif Jepang mengundang ‘delegasi’ pribumi ke Jepang kemungkinan besar karena alasan bisnis dan politik Asia. Sebaliknya, kedatangan delegasi Mesir ke Nederlansch Indie karena alasan kerjasama budaya (utamanya keagaaman dan pendidikan Islam).

De Sumatra post, 08-11-1933 (national dinner): ‘Pada tanggal 8 di rumah Mr. Thamrin diadakan jamuan makan malam untuk menghormati Komisi Mesir. Yang hadir adalah atas nama Liga Bupati (Bond van Regenten) yang dipimpin Mr. Soejono; atas nama Vereeniging dari Akademisi, Dr Soeratmo dan Dr Ratulangi; atas nama Nationale Fractie, Mochtar dan Soeangkoepon; atas nama pers berbahasa Melayu, Mr Parada Harahap; dan atas nama masyarakat Arab, Mr Alatas’.

Sementara itu, Sukarno, sekali lagi tidak menentu, malahan setelah ditangkap justru ingin keluar dari dunia politik (dan juga keluar dari Partindo). Konsolidasi di tubuh Partai Indonesia tampaknya tidak berhasil. Meski Sukarno telah memilih Partai Indonesia (selepas dari penjara) sebagaimana diucapkannya pada Kongres PPPKI yang baru berlalu, tetapi dalam kenyataannya Sukarno harus keluar dari Partai Indonesia. Apakah Sukarno semakin gamang setelah kali kedua Sukarno ditangkap?

De Sumatra post, 21-11-1933: ‘Sukarno keluar dari politik. Batavia, 21 November (Aneta). Dewan Utama Partai Indonesia mengumumkan bahwa telah menerima surat dari Soekarno, di mana ia mengumumkan bahwa ia pensiun dari gerakan politik. Dia juga menyebut bahwa Sukarno juga keluar sebagai anggota Partai Indonesia, yang permintaan itu dipenuhi oleh Chief Executive. Keputusan Sukarno dan juga atas pengunduran diri Gatot Mangkoepradja sebagai Kepala Badan, Dewan Eksekutif terdiri saat ini sebagai berikut: Ketua: Mr. Sartono, Wakil ketua Amir Sjarifoedin dan bendahara: Soewirjo. Sekretaris pertama: Njonoprawoto, Sekretaris kedua Soleman. Dewan: Sidik Djojosoekato, Djauhari Salim dan Toembel’.

Akhirnya Parada Harahap berangkat dengan rombongan ke Jepang. Inilah saat pertama muncul politik luar negeri Indonesia ketika anak-anak pribumi bekerjasama dengan Jepang. Selama ini gerakan politik anak-anak pribumi hanya terbatas politik dalam negeri (di dalam lingkup Nederlansch Indie dan Nederland). Ini ibarat anak-anak pribumi dipaksa harus memilih: blok barat (Nederland/Europe) atau blok timur (Japan/Asia). Parada Harahap (senior/jurnalistik) dan Mohamad Hatta (junior/mahasiswa) memainkan peran penting. Parada Harahap tidak punya hutang terhadap Belanda, maka pilihan Parada Harahap tidak ada pilihan harus menjalin aliansi dengan Jepang.

Mohamad Hatta juga tergolong tidak punya hutang terhadap Belanda, namun seperti lazimnya anak-anak pribumi yang mendapat pendidikan dari guru-guru Belanda (di Nederlansch Indie atau Nederland) cenderung berkolaborasi (ingin kesetaraan) tetapi, Hatta tampaknya sedikit melenceng dan lebih revolusioner dibanding yang lain dan sudah terang-terangan ‘ogah’ sama Belanda dan masih ‘mikir-mikir’ berkolabari dengan Jepang. Parada Harahap dan Mohamad Hatta menjadi sisa dua pribumi revolusioner yang menjadi pusat perhatian intel/polisi di Hindia Belanda (Sukarno telah diasingkan ke Flores).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-11-1933 (Gratis Reisje. Inlanders naar Japan): ‘Dua jurnalis, satu dealer dan satu guru telah meninggalkan Priok dengan kapal Jepang, Nagoya Maru yang dipimpin Mr. Parada Harahap, editor dari Bintang Timoer. Disamping itu, seorang mahasiswa jurnalis akan tiba di Jepang secara terpisah untuk merekam situasi politik dan ekonomi, di Jepang’.

De Gooi- en Eemlander : nieuws- en advertentieblad, 28-11-1933: ‘Hatta, yang dikenal sebagai ‘Gandhi Indonesia’ disambut di Jepang, pergi ke sana untuk mendapatkan hubungan Commerciale. Sekarang pergi ke Jepang sebagai tokoh politik muda’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-12-1933: ‘Inlanders ke Jepang. Aneta-Iwaki mentransmisikan tanggal 4 kelompok yang dipimpin oleh direktur BintangTimur, Mr. Parada Harahap, telah tiba di Kobe’.

Parada Harahap saat ini dapat dianggap sebagai ‘menteri luar negeri’ Indonesia yang membuka ruang bagi tokoh-tokoh penting lainnya, utamanya Soekarno, Hatta dan Amir. Parada Harahap hanya berpendidikan formal sekolah rakyat (SD), tetapi semangat belajar sangat luar biasa (otodidak).

Setali tiga uang, adik ‘dongan sahuta’ Parada Harahap pada nantinya, Adam Malik (keduanya kebetulan pernah penghuni tetap penjara Padang Sidempoean) yang hanya sekolah menengah pertama (SMP) akan menjadi menteri luar negeri (sesungguhya) ketika membuka ruang bagi tokoh-tokoh lainnya seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, dan JB Soemarlin.

Dari tujuh anggota rombongan ke Jepang sesungguhnya komposisinya sangat unik. Seperti kata pers Belanda mengapa tidak ada unsur pemerintah. Ternyata ketujuh orang itu adalah ‘pemerintah’ mewakili rakyat Indonesia. Parada Harahap adalah sekretaris PPPKI (cikal bakal pemerintahan Indonesia). Masing-masing anggota memiliki fungsi ganda: Parada Harahap (wartawan revolusioner, pengusaha sebagai ketua Kadin Batavia dan pengurus PPPKI); Abdullah Lubis (wartawan, Direktur Pewarta Deli, mantan anggota dewan kota Medan, mewakili daerah); M. Hatta (akademisi sarjana ekonomi, pengurus organisasi mewakili pemuda/pelajar di luar negeri).Empat orang lagi berlatar belakang guru (Bandung), penguasaha perdagangan (Batavia), pengusaha manufaktur (Pekalongan) dan seorang pelukis/fotografer (Solo). Parada Harahap awalnya mengajak Sukarno, tetapi Sukarno sendiri sedang memiliki banyak masalah dalam hubungannya dengan konsolidasi partai (Partai Indonesia), apalagi dirinya baru keluar dari penjara (lebih hati-hati).

Ini tahun 1933. Parada Harahap saat ini menjadi pusat perhatian intel dan pemerintah kolonial Belanda. Semua koran berbahasa Belanda di Nederlansch Indie (Indonesia) menyajikan berita dan opini tentang Parada Harahap. Koran-koran yang terbit di Nederland (Belanda) juga tidak ketinggalan menyorot Parada Harahap. Sebab tokoh sentral Parada Harahap dalam hal ini bukan soal Inlander vs Moderlander lagi, tetapi sudah berada pada level Asia vs Eropa (head to head). Dari sisi pers, Parada Harahap telah membuat pers Belanda tampak heboh dan gaduh.

Dulu, tahun 1925, Parada Harahap pernah menyerang pers Belanda (lihat De Indische courant, 17-09-1925). Kala itu, hanya Parada Harahap yang berani perang terbuka dengan pers Belanda. Sekarang, sepak terjang Parada Harahap telah membuat gaduh pers Belanda.

Di dalam kegaduhan pers Belanda tersebut, Parada Harahap tengah berada di atas angin. Angin yang berhembus ke arah timur. Entah ada kaitan atau tidak mengapa pula koran Parada Harahap diberi nama Bintang Timoer (sebelumnya korannya bernama Bintang Hindia). Bintang Timoer (Parada Harahap) vis-à-vis Matahari Terbit (Jepang).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 28-12-1933: ‘Unsur-unsur eksentrik revolusioner Indonesia ke Jepang dengan dalih kunjungan komersial, tidak hanya perhatian pemerintah. Juga menjadi hal-hal baru yang dipantau oleh bidang politik. Di tempat lain, di belakang nama-nama otoritas perdagangan Indonesia kualitas mereka, dan mereka seharusnya telah terlihat. Aneh di Jepang dua wartawan [salah satu Parada Harahap], seorang pedagang batik,‘master sekolah’ [M. Hatta] dan mahasiswa adalah penamaan orang sebuah ‘commissionnal’. Apakah Anda punya jawaban yang memuaskan untuk apa Mr Parada Harahap dari Bintang Timur di Jepang menyatakan baik di meja sebuah ‘sukiyaki dinner’ di Kikusui, hasil wawancara (ini tidak dikonfirmasi) Namun dia [Parada Harahap] mengatakan.; Kami ingin membantu membangun hubungan antara masyarakat Jepang dan Jawa, dan tujuan lain maka kita ingin (adat) masyarakat di Jawa di negara Anda dapat terhubung. Selanjutnya, berbicara tentang jutaan Java bahwa Jepang ingin tahu apa yang harus Parada Harahap dapat dilakukan. Terbaik melalui pers Melayu Karena Pemerintah Nederlandsche juga Hindia Belanda dan untuk kepentingan mereka mewakili Pemerintah Jepang melalui duta besar untuk Tokyo, Parada Harahap memberikan jaminan pada penciptaan hubungan harmonis antara bangsa-bangsa (sic) dari Jawa dan Jepang meskipun penting untuk melakukan, namun maksud terselubung dari seluruh disebut bandelsgedoe ini. Ini komite perdagangan tidak ada pejabat, adalah murni pribadi, agak transparan, hobi. Dan bahkan jika beberapa ‘acara resmi’ memiliki, maka itu bukan di jalan misi dagang untuk membuat hubungan ramah antara masyarakat’.

Parada Harahap adalah simpul pergerakan politik Indonesia. Di satu sisi Parada Harahap, revolusiner memiliki track record yang konsisten melawan Belanda, di sisi lain, Parada Harahap adalah pemilik portofolio paling tinggi di mata orang Jepang. Di Jepang, posisi sosialnya dinaikkan menjadi The King of the Java Press. Saat ini, Parada Harahap memimpin Bintang Timoer di Batavia (Jawa Barat) dengan edisi daerah di Surabaya (Jawa Timur) dan Semarang (Jawa Tengah). Disamping itu Parada Harahap juga memiliki surat kabar berbahasa Belanda, Volkscourant. Total Parada Harahap memiliki lima media.

Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933 (Java in Japan: The King of the Java Press): ‘The King of the Java Press’ telah tiba di Jepang. Dan ada resepsi diberikan, dia dijamu layaknya seorang raja, Mr Parada Harahap dari Bintang Timoer dan partainya dari atas  tampaknya benar-benar melakukan yang terbaik mereka dan dengan demikian sepenuhnya diperlakukan tuan tamu mereka dalam roh, yang merupakan kunjungi lonjakan negara dari Jawa ke Jepang ini, untuk alasan apa pun, sehingga sekuat mungkin untuk mendorong, dan dengan cara lain yang begitu mahal dapat memfasilitasi kontak dengan gerakan masyarakat adat. Misi Perwakilan Comirercial dari Jawa, yang orang-orang ini wartawan koran, termasuk agen batik diizinkan berbicara. Di kapal mereka disambut oleh Mr Shinzaburo Ishiwara, ‘general manager’ dari Ishiwara Sangyo Kaisha Kabushiki Kobe. Berkenaan dengan tujuan kunjungan mereka, pemimpin kelompok, Raja dari Pers Jawa, Mr. Parada Harahap, yang memimpin lima surat kabar Melayu diantaranya Bintang Timoer, berbicara bahwa: ‘Kami datang ke sini untuk melihat-lihat dan menikmati tempat-tempat terkenal keindahan alam dan juga untuk melihat ke pemimpin lingkaran perdagangan dan industry. Kami dapat untuk membantu dengan pembentukan hubungan persahabatan antara masyarakat Jepang dan Jawa. Mr Parada Harahap juga murah hati dengan nasihat yang baik. Ia berpikir bahwa Jepang akan melakukan sendiri benar mengerti populasi millionen di Jawa, yang ingin datang untuk mengenal negara ini dan ini bisa dilakukan dengan bantuan pers cukup baik kemudian ternyata bahwa Mr Parada Harahap siap untuk menyebarkan berita tentang Jepang sebanyak mungkin dan mengatakan masih akan menulis tentang Jepang dalam sebuah buku-hampir tidak bisa membawa semua niat ini, karena ia takut kunjungan singkat hanya selama tiga minggu, ia berpikir ke Jepang untuk memutar kembali waktu berakhir tentang Cherry Blossom dan sebagai anggota dari ‘Indonesia Parliamentary Party’.

De Indische courant, 29-12-1933 (Harahap in Japan: The King of the Java Press): ‘Sudah pergi, sebagai salah satu di kalangan luas di negeri ini, dengan perusahaan dari editor kepala Bintang Timur, ParadaHarahap yang membuat perjalanan ke Jepang, menurut Java Bode. Tampaknya dari majalah Jepang terbaru adalah perusahaan menerima enam ini ke Kobe dengan kehangatan dan kehormatan, yang jauh melebihi pentingnya orang-orang yang bepergian. Bahkan pers - atau tampaknya - telah datang dari pria terkesan. Kita mengatakan tampaknya karena kemungkinan tidak dikecualikan bahwa Jepang berguna mulai kunjungan sebagai kesempatan untuk mengambil di Hindia Belanda, yang mereka dapat menghasilkan saja. The Osaka Mainichi, sebuah majalah yang memiliki sirkulasi tetap terhadap jutaan, Parada Harahap menggambarkan sebagai ‘Raja pers Java’. Dia adalah kepala dari lima surat kabar pribumi, termasuk Bintang Timur. "Kami ingin membangun antara masyarakat Jepang dan Jawa hubungan baik dan untuk tujuan kita berniat, yang Anda inginkan. Jasa Jawa Pers Jepang akan melakukannya dengan baik untuk membuat dirinya dimengerti oleh jutaan orang baik di Jawa, dan ini mungkin - kami percaya - capai melalui pers. Ada saat ini 240.000 orang Eropa di Jawa dan sebagian besar dari mereka dapat berlibur di Eropa tidak mampu, karena ada hambatan harga tinggi dan perjalanan panjang. Jepang adalah posisi yang sangat menguntungkan untuk menarik pekerja keras Eropa, yang memiliki kebutuhan liburan, untuk dirinya sendiri. Hal ini sangat disayangkan bahwa, meskipun di Jawa banyak yang diketahui tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial dan atletik di Eropa, pada saat ketika orang-orang sedikit yang diketahui tentang Jepang dan ini adalah Jepang sendiri dalam ukuran kecil yang bertanggung jawab karena saya takut bahwa itu adalah pertukaran berita tentang kehidupan di Jepang dan Jawa diabaikan. Saya bersedia bertukar berita dengan Jepang seluas mungkin untuk menyebar. Saya berencana untuk menulis buku tentang Jepang. Saya hampir tidak bisa berharap untuk mencapai perjalanan, tujuan saya tapi rencana saya untuk kembali ke Jepang pada saat cherry blossom sebagai anggota dari Indonesia Parliamentary Party’.

Berita ini juga dilansir De Sumatra post yang terbit di Medan. Oplah De Sumatra Post di Padang Sidempoean cukup tinggi. Parada Harahap sangat terkenal di Padang Sidempuan yang mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di kota itu pada tahun 1919.

Parada Harahap berangkat ke Jepang pada kunjungan pertama (7 November) hanya dilirik pers Belanda sebagai berita kecil. Kini, setelah Parada Harahap pulang, pers Belanda matanya mulai terbelalak.

Soerabaijasch handelsblad, 11-01-1934 (De Javasche Perskoning. Keert terug.): ‘Dengan kapal ‘Panama Maru, yang hari Sabtu kapal diharapkan merapat di Tandjong Perak, akan kembali Mr. Parada Harahap, Editori Chief dari Bintang Timoer, yang selama tinggal di Jepang memiliki kesan menjadi poster sebagai  tokoh jurnalieme Hindia Belanda. Kapal meninggalkan hari berikutnya ke Batavia, belum diketahui apakah di sini The King of Java Press akan pergi ke darat dengan Panama Maru atau akan terus berlanjut ke Batavia’.

Parada Harahap dan rombongan tiba kembali di tanah air. Tidak langsung ke Batavia, melainkan turun di Surabaya. Ini bukan tanpa scenario. Untuk melihat situasi dan kondisi dipilih turun di Surabaya. Alasannnya logis, Surabaya adalah kampong halaman Sukarno dan Soetomo. Tapi bukan karena itu, tapi di Surabaya sudah lama tinggal Dr. Radjamin Nasution. Saat itu Radjamin Nasution adalah anggota dewan kota (gementeeraad) Surabaya, mantan kepala bea dan cukai Tandjong Perak. Radjamin Nasution adalah ketua Sarikat Pekerja pelabuhan Tandjong Perak. Sebagaimana diketahui, Tandjong Perak adalah pelabuhan tujuan utama kapal-kapal Jepang. Jika sewaktu-waktu ada penangkapan polisi Belanda, Parada Harahap akan mudah berlindung. 

De Indische courant, 13-01-1934 (Parada Harahap. Kembali dari Jepang. Wawancara): ‘Wartawan  pribumi Mr. Parada Harahap telah tiba disini pagi ini dengan Panama Maru dari Osaka Shosen Khaisa. Dia tinggal di sini selama beberapa hari, dan kemudian ke Batavia. Mr. Parada memiliki lima surat kabar pribumi, di Batavia dan Bandung. The "Bintang Timoer", yang Mr Parada kepala redaksi majalah adalah yang terbesar dan paling penting. Dari tujuh, dua warga Indonesia di Jepang tertinggal di belakang, agar sana untuk membuat kemajuan dalam belajar untuk universitas; baik belajar dalam kimia. Kelompok, yang mencakup seorang guru dan seorang apoteker yang diam di Jepang selesai sekitar satu bulan program ke Tokyo. Tapi itu bukan maksud Bapak Parada, hanya untuk dilihat, industri besar apa yang ia harus tur hanya Pabrik mobil, pesawat terbang, dll. Dia ingin melihat negara dengan mata kepalanya sendiri, juga membuat studi tentang perusahaan-perusahaan kecil, termasuk di bidang pertanian hortikultura dan daerah peternakan. Di sana mereka punya di Hindia lagi. Bahwa Jepang barang manufaktur sangat murah adalah dongeng. Barang yang diproduksi di semua rentang harga murah. Setiap negara akan menerima barang, yang bisa berada di sana. Disimpan jadi itu akan membuat akal untuk Jepang, di HIndia kini menjejalkan dengan barang-barang mahal. Populasi mereka tidak bisa membayar. Memang semakin mahal dan karena itu pergi barang yang lebih baik ke Amerika dan Eropa. Essentials untuk Jepang adalah bahwa ada pasar untuk itu. Dan itu saja. Jepang masih lebih murah menghasilkan mereka, daripada sebagian besar negara di dunia. Sebuah kecenderungan tertentu untuk Mr Parada telah membuktikannya. Upah rendah, metode untuk geperfectionneerd secara rinci, tingkat yen rendah. Harga jual juga rendah. Oleh karena itu, barang-barang Jepang terbang ke luar negeri. Dua yen secara kasar setara dengan emas. Jepang bertujuan untuk segalanya untuk mengepung Eropa. Pendidikan adalah baik-baik saja, menemukan satu universitas besar, yang memberikan yang terbaik profesor mengajar. Bahwa lembaga pendidikan tinggi yang disimpan di bangunan yang indah dan dilengkapi dengan cara yang paling modern perpustakaan luas dengan buku dalam semua bahasa. Pengajaran bahasa telah berkembang sangat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap Jepang yang pergi ke luar negeri, diperbolehkan untuk mengajar bahasa Negara tujuan. Dengan demikian, ada dua orang Indonesia di Jepang, salah satu dari Hindia Belanda, yang lain dari Singapura, yang mengajar dalam bahasa pribumi. Dengan demikian, Mr Parada Harahap mengatakan kepada kami beberapa hal dari kesan-kesan. Dia yakin bahwa Hindia dalam beberapa hal dapat belajar banyak Jepang. Asli dari negara yang dapat belajar untuk menusuk, untuk menjadi aktif dan berkembang. Besar motivasi diri adalah hand. Hal ini hoognoodig baginya, dia tidak mendapatkan di belakang dan di bawah tekanan. Mr Parada mengatakan kepada kami akhirnya bahkan sebagian, bahwa ia akan menunjukkan. Tayangannya dalam artikel dan dalam bentuk buku. Buku yang ditulis dalam bahasa Melayu muncul sekitar bulan April sebagai terhadap waktu yang sama, sebuah kelompok kedua Indonesia akan berangkat ke Jepang’.

Setelah rombongan Parada Harahap ke Jepang ini kelompok kedua dilaporkan akan berangkat ke Jepang. Namun ini ternyata tidak jadi (tidak terdeteksi dalam surat kabar). Kunjungan yang mirip justru ketika Jepang dikabarkan menyerah kalah dari sekutu, 1945. Sukarno dan Hatta berangkat ke Saigon untuk menemui atas undangan petinggi pemerintah.militer Jepang di Asia Tenggara. Kunjungan Sukarno dan Hatta tersebut dalam kaitannya dengan persiapan kemerdekaan Indonesia.

Parada Harahap yang datang dari pers merdeka, wartawan revolusioner yang kini pemilik lima surat kabar, yang juga ketua kamar dagang dan industri pribumi, ketika pulang dari Jepang berjalan dengan tegak. Wartawan dari pers Belanda mewawancarai Parada Harahap. Inilah kali pertama pers pribumi revans terhadap pers Belanda. Koran-koran di Belanda menurunkan laporan tentang Parada Harahap, diantaranya De Telegraaf (edisi 29-01-1934), Het Vaderland: staat-en letterkundig nieuwsblad (edisi 29-01-1934), De banier: staatkundig gereformeerd dagblad edisi 16-02-1934, Algemeen Handelsblad edisi 14-02-1934, De tribune: soc. dem. Weekblad edisi 15-03-1934 dan koran-koran lainnya.

Untuk mendapat cover both side, wartawan Belanda harus sibuk pula menerjemahkan koran-koran berbahasa Jepang yang terbit di Jepang, seperti Osaka Mainichi, Tokyo Nichi Nichi dan lainnya. Algemeen Handelsblad merangkum isu Parada Harahap sebagai keprihatinan terhadap pemerintah Belanda. Pers di Belanda Mulai Khawatir Keberadaan Bangsa Belanda di Indonesia.

Algemeen Handelsblad, 14-02-1934 (Onze Oost Japans Politike Belansg-Stelling. Meer aandacht gevraagd): ‘Ada juga diantara para pemimpin gerakan masyarakat adat untuk kepentingan Hindia Belanda di Jepang, negara Oriental, begitu luar biasa dalam waktu singkat, Westersch begitu luar biasa mampu untuk berbelanja dan jangan ragu untuk melemparkan dirinya sebagai juara Asia dan masyarakat. Perjalanannya telah menarik banyak minat di kalangan pribumi dan disebut akan, seperti yang telah dilaporkan, waarschijniyk diikuti oleh orang lain. kepentingan para pemimpin pribumi kami untuk Jepang didorong oleh serikat "Kaigai Kyolky Kyokai," serikat membuat propaganda untuk tujuan oleh Jepang, yang berbasis di Hindia. Seorang wartawan Jepang menulis tentang dalam lembar Maleisen, termasuk yang berikut: Serikat yang akan. segera memulai pendirian pesantren untuk kepentingan mahasiswa asing. Persiapan ini sudah hampir selesai. Biaya per bulan per siswa diperkirakan sekitar 50 yen (25 gulden). Ini akan dibangun sekolah menengah pertanian, sekolah perdagangan, sekolah teknik. Pada saat ini, menurut wartawan, satu telah berada di Tokyo beberapa mahasiswa dari Hindia. Pada yang terakhir Pan-Aziëeongres telah berbicara termasuk Sumatera, beberapa Gaoes bahwa kursus dalam bahasa Jepang. Saya minta maaf - demikianlah wartawan, bahwa ada begitu sedikit disebut mahasiswa Hindia, baik untuk kepentingan kemajuan Indonesia seperti untuk memperkuat persahabatan antara negara-negara Asia. Dianjurkan untuk mengirim sebanyak mungkin orang-orang muda ke Jepang. Mengapa hal ini menguntungkan untuk pergi ke Jepang tidak perlu dibahas lebih lanjut. Posisi Jepang di Dunia Dikenal. Mengenai ilmu, seperti astronomi, listrik, kedokteran, teknik, djiudjitsu, dll Jepang adalah No. 1 di dunia! Hindari propaganda ini Hindia tidak bisa meninggalkan acuh tak acuh. Dan meskipun kita tidak tahu bahwa di balik sutra Jepang mengintai kebijakan luar negeri resmi atau tidak resmi, kasus apapun, itu yakin bahwa kepentingan pribumi yang tertarik untuk Jepang, sebuah tahanan politik. Satu dapat sekitar mereka berbicara dan mengatakan bahwa ada interpretasi lain. Kami sangat menghormati tenaga kerja dan warga negara berada di bawah pemerintah pansche dan orang-orang Jepang, tapi di situlah letak bahaya, menyerukan Jepang sendiri dan bagi lingkungannya, bahwa yang terbaik adalah secara terbuka mendiskusikan. Jika Jepang memang untuk perdagangan dengan Hindia Belanda adalah mengembangkan, maka seharusnya tidak menggoda dengan para pemimpin terisolasi vftnjer gerakan masyarakat adat, tapi kehormatan ini  untuk semua sentuhan mengacu pada jalur resmi’.

Kekhawatiran pers di Belanda jelas punya alasan. Parada Harahap dan rombongan adalah satu hal, hal yang mendukung pergerakan politik Indonesia. Hal lain adalah bahwa Jepang adalah Negara yang jauh lebih maju dibanding Belanda. Indonesia dan Jepang yang sesama Asia akan menarik garis perbedaan antara barat dan timur.

Trio Baru: Soeharto, Hamengkubuwono dan Adam Malik

Trio Indonesia pertama telah lama berlalu. Semasa pemerintahan Soekarno sesungguhnya ada trio lainnya, yakni: Ir. Sukarno, Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mr. Arifin Harahap, tiga orang yang terbilang lama berada di kabinet (orde lama). Satu orang lagi tokoh berpengaruh di era Soekarno adalah Zainul Arifin Pohan (yang tertembak di sisi Sukarno).

Kini, muncul tiga tokoh baru yang akan cukup lama berada di kabinet (orde baru) yakni: Suharto, Adam Malik Batubara dan Hamengkubuwono. Kabinet Ampera I, berakhir 11 Oktober 1967.

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota besar
Dalam perkembangan kabinet Suharto akan muncul figur baru: Mayjen Maraden Panggabean (dalam Kabinet Pembangunan I, 10 Juni 1968-28 Maret 1973) sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban. Jabatan ini lalu dilepas 9 September 1971 untuk mengisi posisi Menteri Pertahanan  yang dilepas Suharto. The Big Four lama (Sukarno, Zainul Arifin Pohan, Abdul Haris Nasution dan Mr. Arifin Harahap) digantikan oleh The Big Four baru (Suharto, Adam Malik Batubara, Hamengkubuwono dan Maraden Panggabean). Kelak wakil presiden dijabat oleh Hamengkubuwono (Kabinet Pembangunan II) dan Adam Malik Batubara (Kabinet Pembangunan III).

Mungkin banyak yang bertanya-tanya: Mengapa Sukarno cukup setia terhadap orang Tapanuli? Demikian juga, mengapa Suharto cukup setiap terhadap orang Tapanuli? Jawabnya, karena orang Tapanuli termasuk yang setia terhadap Republik Indonesia. Pada saat RIS, hanya dua daerah (tanpa pernah melakukan pemberontakan) yang masih setia terhadap Republik Indonesia yakni Jawa Tengah (termasuk Jogjakarta) dan Tapanuli. Inilah dua sisa wilayah Republik Indonesia sebelum muncul istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai harga mati. Sukarno dan Suharto tidak hanya menjunjung tinggi NKRI tetapi juga bagaimana mempertahankannya dari kaum penjajah. Sukarno merebut Irian Barat (komando Jenderal Abdul Haris Nasution) dan Suharto merebut Timor Timur (komando Mayjen Maraden Panggabean).

Abdul Haris Nasution adalah orang sangat setia kepada Ir. Soekarno. Sejak era Jenderal Sudirman adalah Abdul Haris Nasution yang tidak tergantikan di seputar Sukarno. Pesaing utama Abdul Haris Nasution kemudian baru muncul yakni Suharto. Dalam peristiwa G 30 S PKI, Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran tembak utama. Abdul Haris Nasution selamat dari peristiwa pembunuhan para jenderal. Ketika, pamor Suharto naik pasca G 30 S PKI, Abdul Haris Nasution mulai mundur ke belakang.

Tiga tokoh utama pers Indonesia beda generasi
Mengapa Abdul Haris Nasution begitu sentral di era Sukarno. Siapa yang mempererat hubungan Sukarno dengan Abdul Haris Nasution?. Dia adalah Parada Harahap, mentor politik Sukarno dan M. Hatta. Mengapa pula Abdul Haris Nasution di era Suharto (orde baru) disegani dan dihormati? Siapa yang mempererat hubungan Suharno dengan Abdul Haris Nasution?. Dia adalah Adam Malik Batubara. Parada Harahap adalah mentor dari Adam Malik Batubara di bidang pers dan politik. Diantara Parada Harahap, Abdul Haris Nasution dan Adam Malik terdapat satu kawan yang memiliki karakter keras yang cenderung berlawanan dengan penguasa, baik Sukarno maupun Suharto, yakni: Mochtar Lubis. Mentor pers Mochtar Lubis adalah Parada Harahap, dan mentor Parada Harahap di bidang pers adalah Dja Endar Moeda. Ketiga tokoh pers tiga era yang berbeda ini tidak ada yang menandingi pada era masing-masing. Dja Endar Moeda adalah Radja Persuratkabaran Sumatra, Parada Harahap adalah The King of Java Press, dan Mochtar Lubis The Musketeer of Internasional Pers.

Tokoh pers Indonesia menurut jumlah berita surat kabar Belanda
Parada Harahap di mata Sukarno bagaikan abang kandung, seperti halnya Sukarno menganggap Mr. Arifin Harahap bagaikan adik kandung. Parada Harahap adalah mentor politik dari Sukarno dan Hatta. Di kantor PPPKI di Jalan Kenari dimana Parada Harahap sebagai sekretaris hanya ada dua foto yang terpampang, yakni foto Sukarno dan foto M. Hatta (dua anak muda yang revolusioner). Parada Harahap sejak di Medan 1917 adalah pemuda revolusioner yang menjadi editor surat kabar Benih Mardeka. Pada tahun 1919 Parada Harahap di Padang Sidempuan mendirikan surat kabar bernama Sinar Merdeka. Ini artinya ketika Sukarno dan Hatta masih kanak-kanak (remaja) Parada Harahap sudah berjuang dengan gayanya sendiri: merdeka atau mati.

Pada saat Ir. Sukarno dan Drs. M. Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden, senior Parada Harahap diserahi tugas besar untuk memimpin misi ekonomi ke 14 negara di Eropa untuk studi dan menyusun formulasi rancangan pembangunan ekonomi Indonesia. Inilah untuk kali kedua Parada Harahap memimpin misi ekonomi pribumi ke luar negeri (yang pertama tahun 1933 ke Jepang dengan mengikutsertakan M. Hatta yang baru lulus sarjana ekonomi di Belanda). Hasil kunjungan misi ekonomi yang dipimpimpin Parada Harahap pada tahun 1954 kemudian dirumuskan Parada Harahap dan dibukukan. Judul buku yang dicetak oleh percetakan Parada Harahap ini diberi judul Rencana Pembangunan Indonesia Lima Tahun yang diterbitkan tahun 1955. Buku ini dapat dikatakan sebagai buku Repelita pertama di Indonesia.

Tiga tokoh militer utama di era Soekarno
Ketika Sukarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (1952), Parada Harahap mengakuisisi satu perusahaan Belanda yang menerbitkan surat kabar legendaries: Java Bode. Surat kabar berbahasa Belanda yang kepemilikannya sudah di tangan pribumi sejak 1953 banyak memberitakan sepak terjang Sukarno. Inilah bukti persahabatan yang manis antara Parada Harahap dan Sukarno. Parada Harahap meninggal tahu 1959 yang bersamaan dengan diankatnya Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri Perdagangan.

Parada Harahap adalah seorang negarawan. Musuhnya hanya satu: Belanda. Jelang kemerdekaan, Parada Harahap duduk sebagai anggota BPUPKI. Ketika Presiden Sukarno berseberangan dengan Mayjen AH Nasution yang menengahi adalah Kol. Zulkifli Lubis (1954). Sebaliknya, ketika Presiden berseberangan dengan Zulkifli Lubis, yang menengahi adalah AH Nasution (1957). Anehnya, pada saat kedua kejadian itu terjadi, dua tokoh penting tidak memihak, yakni: Zainul Arifin Pohan dan Parada Harahap. Zainul Arifin Pohan adalah Panglima Hizbullah, sayap kanan Jenderal Sudirman di masa perang kemerdekaan (1946-1949) dan yang menjadi pemimpin politik NU berteman akrab dengan Sukarno sejak pasca pengakuan kedaulatan RI (1950). Sedangkan Parada Harahap jauh sebelumnya sudah berteman akrab dengan Sukarno sejak 1926. Sebagaimana diketahui Parada Harahap adalah mentor politik dari Sukarno dan M.Hatta.

Tiga pendiri organisasi mahasiswa
Lantas siapa mentor Parada Harahap? Dia adalah Radjioen Harahap gelar Sutan Casajangan, pendiri perhimpunan pelajar Indonesia (Indisch Vereeniging) di Belanda tahun 1908. Indisch Vereeniging kemudian tahun 1924 menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang diketuai oleh M. Hatta. Sutan Casajangan pulang ke tanah air 1914, pada saat menjadi guru di sekolah raja di Bukittinggi, Sutan Casajangan mendirikan surat kabar Poestaha di Padang Sidempuan. Surat kabar ini kemudian diasuh oleh Parada Harahap bersama surat kabar yang baru, Sinar Merdeka.

Sebagaimana diketahui, mentor politik dari Lafran Pane dan Ida Nasution adalah Parada Harahap. Lafran Pane pada bulan Januari 1947 di Jogjakarta mendidirkan persatuan mahasiswa di luar kampus yang dikenal sebagai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Semenetara pada bulan November 1947 di Jakarta juga didirikan persatuan mahasiswa di dalam kampus yang diberi nama Persatuan Mahasiswa Universiteit Indonesia (PMUI) oleh Ida Nasution dan G. Harahap. Ini berarti, tiga organisasi mahasiswa Indonesia pertama didirikan oleh anak-anak Padang Sidempuan. Merekalah pionir-pionir pergerakan mahasiswa di jamannya baik untuk merebut kemerdekaan maupun untuk mempertahankannya.

Mr. Arifin Harahap sangat terkenal di Negara tetangga di Australia, Singapura dan Malaysia. Mr. Arifin Harahap sangat dihormati di tiga Negara tersebut, karena sangat piawai dalam urusan pemulihan ekonomi dan perdagangan dan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Di Singapura namanya selalu disebut His Excellency M. Arifin Harahap.

Adam Malik Batubara sebagai Menteri Perdagangan juga sangat dikenal di Singapura dan Malaysia. Nama Adam Malik Batubara tidak hanya dikenal di Singapura dan Malaysia tetapi juga namanya sangat dikenal di seluruh dunia ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Adam Malik Batubara tidak hanya menggagas dibentuknya ASEAN tetapi juga pernah menjadi Ketua Sidang PBB di New York.

Dr. Arifin Siregar adalah Menteri Perdagangan di Era Suharto. Dr. Arifin Siregar adalah seorang professional di bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan, seperti BJ Habibie yang dipanggil pulang oleh Suharto. Dr. Arifin Siregar adalah alumni Belanda yang mendapat gelar doktor (PhD) seperti Dr. BJ Habibie. Setelah menjadi Gubernur Bank Sentral (Bank Indonesia), Dr. Arifin Siregar diangkat manjadi Menteri Perdagangan.

Adam Malik Batubara adalah tokoh penting Indonesia sejak era Sukarno (orde lama)  hingga era Suharto (orde baru). Adam Malik Batubara adalah garis penghubung antara Mr. Arifin Harahap dan Dr. Arifin Siregar. Di era Sukarno, Adam Malik Batubara menggantikan Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri Perdagangan dan keduanya cukup lama berada di kabinet. Pada era Suharto, Adam Malik Batubara juga cukup lama dan cukup lama pula bersama Dr. Arifin Siregar duduk di kabinet. Adam Malik Batubara tidak tergantikan posisinya sebagai Menteri Luar Negeri baik di era Sukarno dan era Suharto. Jabatan prestise Adam Malik adalah pernah menjadi Wakil Presiden di era Suharto. Di era Sukarno, yang pernah menjabat Perdana Menteri adalah Amir Sjarifuddin Harahap dan Burhanuddin Harahap.

Tiga tokoh utama lahirnya orde baru
Indonesia di masa awal hanya terbagi dua era: Era Sukarno dan Era Suharto. Era Sukarno adalah masa merebut kemerdekaan. Tiga tokoh utama yang merupakan the founding father adalah Ir. Sukarno, Drs. M. Hatta dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (yang juga disebut trio lama). Selanjutnya era Suharto, sebagai masa mengisi kemerdekaan, tiga tokoh utama yang memulai era pembangunan adalah Suharto, Hamengkubowono dan Adam Malik Batubara (sebagai trio baru). Ini berarti antara dua era: Sukarno digantikan Suharto, M. Hatta digantikan Hamengkubuwono dan Amir Sjarifoeddin Harahap digantikan Adam Malik Batubara. Sebagaimana diketahui Mr. Arifin Harahap adalah adik kandung dari Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap.

Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah

Silsilah tokoh pers Indonesia asal Padang Sidempuan
Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah pernah sama-sama bekerja di radio militer Jepang. Pertemanan ketiga orang ini di era Jepang sangat kental. Di hari tua mereka juga tetap menjalin keakraban. Saat Mochtar Lubis ‘dimatikan’ di era Soekarno, sejumlah pihak mendukung Mochtar Lubis. Tentu saja dua temannya: Adam Malik dan Sakti Alamsyah.

Selain mendapat dukungan di pusat (Jakarta), Mochtar Lubis juga mendapat dukung dari daerah. PWI Bandung melakukan protes dengan melakukan demonstrasi dengan cara berjongkok dengan tangan di kepala yang di depan kantor PWI Bandung. Sementara daerah lain masih wait and see.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-01-1957: ‘Terhadap penangkapan Móchtar Lubis dan sensor terhadap Indonesia Raya, PWI Bandung telah memprotes keras dan melakukan di depan kantor PWI dengan tangan di kepala  dengan berjongkok sebagai bentuk protes terhadap pemberlakukan hukum pers’.

Dukungan PWI Bandung ini mudah dipahami karena dua hal. Pertama, PWI Bandung umumnya para wartawan yang berafiliasi dengan surat kabar Pikiran Rakyat (yang didirikan 30 Mei 1950). Kedua, Pemimpin Umum Pikiran Rakyat sendiri kala itu dijabat oleh wartawan bernama Sakti Alamsyah, seorang mantan penyiar di era Jepang. Sakti Alamsjah adalah Ketua PWI Bandung. Mochtar Lubis di era Jepang juga adalah redaktur di radio militer Jepang.

Kedua orang ini berusia sama yang lahir di tahun yang sama (1922). Keduanya berasal dari Padang Sidempoean: Mochtar Lubis dari Kotanopan yang lahir di Sungei Penuh, Kerinci, Jambi,  sementara Sakti Alamsjah Siregar dari Sipirok yang lahir di Sungai Karang, Serdang, Deli.

Ketika Pikiran Rakyat didirikan di Bandung tahun 1950, Sakti Alamsyah yang menjabat sebagai Pemimpin Umum, memiliki teman dongan sahuta di Bandung yang bernama Mangaradja Onggang Parlindungan yang ditunjuk pemerintah untuk menjabat direktur Pabrik Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandung sejak 1950. Tugas ini sebelumnya di Djogjakarta (1946-1949) dijabat oleh Dr. Parlindungan Loebis (Alumni kedokteran Universiteit Leiden, mantan Ketua PPI Belanda/Eropa dan ex tawanan Nazi di Jerman).

AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlidungan adalah alumni Teknik Kimia di Jerman dan Swiss Zurich) yang semasa agresi militer pertama (1945-1947) bertugas di Jawa Timur dengan pangkat terakhir kolonel. MO Parlindungan adalah anak dari guru Soetan Martoewa Radja di Pematang Siantar, alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempoean, adik kelas Soetan Casajangan (pendiri PPI tahun 1908) dan adik kelas Dja Endar Moeda (editor pribumi pertama dan pendiri Pewarta Deli, tempat dimana Adinegoro mulai menjadi editor tahun 1930). MO Parlindungan pension dari PSM tahun 1954. Setelah pension MO Parlindungan menulis buku yang bersifat kontroversial yang berjudul: Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: ‘Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833’.

Dalam perkembangan lebih lanjut, hakim pengadilan kasus Mochtar Lubis telah diganti. Karena hakim sebelumya telah diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Adam Malik memprotes Soekarno yang melanggar konstitusi, sementara Soekarno menganggap Hatta melanggar konstitusi. Adam Malik yang mantan wartawan meminta Menteri Pertahanan agar Mochtar Lubis dilepaskan. Adam Malik adalah mentor dari Mochtar Lubis.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-05-1957: ‘Kasus Mochtar Lubis ditunda hingga 4 Juni, Sabtu adalah lagi kasus Mochtar Lubis untuk pengadilan negeri di Jakarta, kali ini untuk yang dijalankan pertama kali oleh Hakim A. Razak Madjelelo, yang mengambil alih kasus tersebut dari Hakim Maengkom sehubungan dengan pengangkatannya sebagai Menteri Kehakiman. Sebagai wakil dari Kementerian Umum, Dali Mutiara tetap sebagai jaksa. Setelah pembukaan sesi, kata hakim harus menunda pertemuan karena terdakwa Mochtar Lubis sakit hingga 4 Juni. Terdakwa Mochtar Lubis, yang selanjutnya oleh Mr. Dr. Tan Kian Lok sang pembela, sejak 21 Desember ditahan CPM, di bawah kecurigaan lain, yang terpisah dari masalah yang ia jawab. Tuduhan terhadap Mochtar Lubis memegang dalam hal ini seperti diketahui, terkait dengan penerbitan laporan oleh Indonesia Raya, dianggap menyinggung pemerintah Ali Sastroamidjojo’.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-05-1957: ‘Adam Malik (partai Murba) menekankan bahwa salah satu formasi nractisch pemerintah, dan tidak boleh dianggap dari sudut pandang hukum formal. Zicth speaker bertanya, mengapa Anda, Presiden Soekarno dituduh melanggar konstitusi di hetrckkint Mei; untuk pembentukan kabinet, sementara buta untuk fakta bahwa mantan Wakil Presiden Hatta sebelumnya bertindak di luar konstitusi ketika ia harus memimpin kabinet. Mengenai pembentukan Dewan Nasional menyatakan speaker tujuan itu pemerintah telah menunjukkan kepercayaan dalam semangat dinamis masyarakat. Speaker akhirnya memendam harapan bahwa psrsbreidel tidak akan lagi diterapkan, dan ia meminta menteri pertahanan, melepaskan Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan Sjaaf  (Pemandangan)’.

Peringkat tokoh pers Indonesia dari masa ke masa
Last but not least: Ketika Pikiran Rakyat berubah wajah pada tahun 1966 motto yang digunakan sama dengan motto yang digunakan surat kabar Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis). Apakah ada kaitan antara Indonesia Raya dengan Pikiran Rakyat kurang jelas tetapi kedua koran ini sama-sama mengusung pakem independen dengan motto yang sama, yakni: Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat. Dua surat kabar yang memiliki motto yang sama pernah terjadi sebelumnya yakni surat kabar Pertja Barat tahun 1897 (milik Dja Endar Moeda) dengan surat kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan tahun 1910. Motto kedua surat kabar ini adalah 'Oentoek Sagala Bangsa'. Hubungan kedua surat kabar ini cukup jelas sebab Pewarta Deli didirikan oleh Sjarikat Tapanoeli termasuk Dja Endar sebagi pendiri dan sekaligus editor.
Afdeeling Padang Sidempuan (Tapanuli Bagian Selatan)
Singkat kata: Sakti Alamsyah, pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung jelas tidak muncul tiba-tiba. Sakti Alamsyah adalah salah satu generasi emas tokoh pers Indonesia yang berasal dari Padang Sidempuan. Mentor Sakti Alamsyah Siregar adalah Parada Harahap, dan mentor pers Parada Harahap adalah Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Untuk sekadar mengingatkan kembali, Dja Endar Moeda adalah editor pertama pribumi (sejak 1897). Ketiga tokoh ini kampungnya saling berdekatan di afdeeling Padang Sidempuan. Dja Endar Moeda (1861-1926) di Kampong Sabungan yang bertetangga dengan Parada Harahap (1899-1959) di Kampung Pargarutan dan Sakti Alamsyah (1922-1983) di Kampung Parau Sorat yang bertetangga dengan Pargarutan .

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama dalam artikel ini adalah surat kabar namun tidak saya sebutkan lagi di artikel ini karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.





Profil Tiga Tokoh Pers Nasional
Uraian
Dja Endar Moeda
Tirto Adhi Soerjo
Parada Harahap
Lahir
1861
1880
1899
Pendidikan
Kweekschool (1880-lulus 1884)
Docter Djawa School (1894-tidak selesai)
Sekolah Rakyat (1906, sekolah 3 tahun)
Pengalaman kerja
Guru di berbagai tempat
-
Juru tulis di perusahaan
perkebunan
Mulai menulis
1887
(Soeloeh Pengajar)
1897
1916
(De Cranie)
Mulai editor koran
1897
Pertja Barat
1902
Pembrita Betawi
1918
Benih Mardeka
Koran utama (mulai)
Pertja Barat (1900), Pembrita Atjeh (1909) dan Pewarta Deli (1910)
Medan Prijaji (1907)
Sinar Merdeka (1919), Bintang Hindia (1923), Bintang Timoer (1930), Tjaja Timoer (1938), Java Bode (1950)
Jumlah editor media
8
4
20
Jumlah pemilikan media
8
1
15
Jumlah media bahasa asing
2
-
3
Jumlah delik pers
2
2
101
Pemilikan media (mulai)
1900
1907
1919
Pemilikan percetakan (mulai)
1900
1908
1930
Prestasi/julukan
Raja Persuratkabaran Sumatra
-
Wartawan terbaik versi Jurnalistik Eropa/Belanda
The King of Java Press
Lama di dunia pers (tahun)
29
12
41
Wilayah jurnalistik
Padang, Sibolga, Medan dan Banda Aceh
Batavia, Tjiandjoer, Bandoeng
Medan, Padang Sidempoean, Sibolga, Batavia, Bandoeng, Semarang, Soerabaija, Bukittting, dan Makassar
Jumlah karya (buku)
10
0
13
Meninggal
1926
1918
1959
Masa hidup (tahun)
65
38
60
Aktivitas lain
Penulis buku pelajaran dan pengarang novel, pemimpin jamaah haji
-
Penulis buku umum, penulis scenario film, dosen, pejabat pemerintah
Organisasi
Insulinde
Sarikat Islam
Sekretaris PPPKI dan Anggota BPUPKI
Pionir
Jurnalistik pribumi
-
Pendiri sarikat wartawan, pendiri kadin, pendiri akademi jurnalistik, pendiri kopertis, pemulis repelita
Penghargaan pemerintah
-
Bapak Pers Nasional
(1973); Pahlawan Nasional (2006)
Bintang Mahaputra Utama
(1992)
Keluarga
Cucu: Dr. Ida Loemongga, PhD, perempuan pribumi pertama bergelar PhD di bidang kedokteran (1932); Mr. Gele Haroen, Resident pertama Lampung
-
Anak: Mr. Aida Dalkit, Perempuan pertama ahli hukum di Sumatra (1957)

***



Ringkasan Kronologis: Tiga Tokoh Pers Indonesia
Tahun
Dja Endar Moeda
Tirto Adhi Soerjo
Parada Harahap
1861
Lahir di Padang Sidempoean


1879
Masuk Kweekschool Padang Sidempoen, lulus tahun 1884


1880

Lahir di Blora

1886
Diangkat menjadi guru di Batahan, Natal.


1887
Editor  majalah Soeloeh Pengadjar (terbit di Probolinggo)


1894

Masuk STOVIA?

1895
Roman Hikajat Tjinta Kasih Sajang (penerbit Otto Bäumer di Padang, 1895)


1897
Menulis roman berjudul: ‘Hikayat Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’


1897
Bulan November diangkat menjadi editor Pertja Barat di Padang


1899


Lahir di Padang Sidempoean
1900
Mengakuisisi (membeli) Pertja Barat


1900
Membeli Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baumer en Co)


1901
Menerbitkan majalah Insulende.
Menerbitkan majalah Tapian Na Oeli


1902

Diangkat sebagai Editor Pembrita Betawi (penerbit/percetakan  firma Albrecht en Co pimpinan Karel Wijbrands)

1903
Membuka percetakan di Medan dan membentuk klub sepakbola ‘Letterzetters Voetbal Club’
Asisten Editor Soenda Berita

1904
Berkunjung ke Bintang Hindia di Amsterdam (kerjasama media)
Soenda Berita (bekerja sama dengan Koningin- Wilhelmina School)

1905
Menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Padang


1905
Didakwa dengan delik pers dan dihukum cambuk


1906
Menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda Sumatraasch Nieuwsblad di Medan
Menikah dengan putri Fatimah, anak dari Sultan Batjan di Batjan 8 Februari 1906 [15-03-1906 kembali ke Batavia]
Masuk sekolah rakyat tiga tahun
1907
Editornya Sumatraasch Nieuwsblad di Padang Mr C. van Deutekom didakwa dengan delik pers
Menerbitkan Medan Prijaji di Buitenzorg dan kemudian ke Bandoeng

1908

Editor majalah bulanan militer (penerbit firma VA van der Ilucht & Co)

1909
Menerbitkan koran Pembrita Atjeh di Kotaradja (Banda Aceh)
Editor Pentjaran Warta (orgaan voor Boedi Oetomo, afdeeling Batavia). Pada tahun ini BO, Pentjaran Warta dan TAS berpolemik dengan Douwes Dekker, editor Bataviaasch NBL

1910
Menerbitkan koran Pewarta Deli di Medan
Mei, diasingkan ke Lampong setelah habis masa hukuman dan September kembali ke Batavia.

1911

Berpolemik dengan pengurus Sarikat Militer Boemi Poetra

1912

Editor Soeara Keadilan (penerbit Fortnnadrukkerij). Berpolemik kembali dengan DD dari Bat.NBL.



TAS, editor Medan Prijaji tersandung delik pers, dihukum penjara dan diasingkan.

1914

Direktur dan editor  NV Medan Prijaji bermasalah dengan para kreditornya. Medan Prijaji dijual
Merantau ke Deli
1915

Medan Prijaji diterbitkan di kota Medan oleh anak-anak Padang Sidempoean
Editor majalah De Cranie
1917


Membongkar kasus poenali sanctie di perkebunan
1918

Meninggal dunia pada 17 Agustus 1918 di Batavia
Editor Benih Mardeka di Medan
1919


Menerbitkan Sinar Merdeka di Padang Sidempoan dan merangkap editor Poestaha Padang Sidempoan (terbit sejak 1915)
1922


Masuk organisasi pergerakan pemuda dan politik
1923


Hijrah ke Batavia dan Editor Bintang Hindia
1926
Meninggal dunia di Kotaradja (Banda Aceh) 1926


1959


Meniggal dunia di Jakarta 11 Mei 1959
1965

Pramoedya Ananta Toer  (1965-1979) menulis biografi TAS dan menyebutnya 'De Pionier’

1973

Diangkat pemerintah sebagai Bapak Pers Nasional. Makamnya dipindahkan ke Bogor

1992


Dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama (Kepres No. 48 Tahun 1992).
2006

Dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional (Keppres RI no 85/TK/2006)

2015
Diapresisi sebagai Kakek Pers Nasional di Blog ini



Karya
Karya
Karya

·      Dja Endar Moeda. ‘Hikajat tjinta kasih sajang’. Otto Bäumer, 1895
·      Dja Endar Moeda. ‘Hikajat dendam ta' soedah: kalau soedah merewan hati’. 1897.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab sariboe pantoen: ibarat dan taliboen, Volumes 1-2’. Insulinde, 1900.
·      Dja Endar Moeda, L.J.W. Stritzko. ‘Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni toean’. 1900.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab boenga mawar: pembatjaan bagi anak2’. Insulinde, 1902.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar’. 1902.
·      Dja Endar Moeda. ‘Hikajat sajang taq sajang: riwajat Nona Geneveuva ...’ 1902
·      Dja Endar Moeda. ‘Riwajat Poelau Sumatra’. 1903.
·      Dja Endar Moeda. ‘Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar’. 1903.
·      Dja Endar Moeda, dan Djamaloedin (Baginda). ‘Kitab kesajangan: bergoena oentoek anak-anak jang baharoe beladjar membatja hoeroef Belanda’. 1904.
Tidak ada
·      Melati van Agam (Swan Pen, pseud. van Parada Harahap). 1923.
·      Dari pantai kepantai: Perdjalanan ke Soematra October-Dec. 1925 dan Maart-April 1926 (Parada Harahap). Bintang Hindia. 1926.
·      Menoedjoe matahari terbit: perdjalanan ke Djepang November 1933 - Januari 1934 (Parada Harahap). Bintang Hindia. 1934.
·      Riwajat Dr Abdul Rivai (Parada Harahap). Handel Mij Indische Drukkerij. 1939.
·      Pers dan journalistiek (Parada Harahap). Handel Mij. Indische Drukkerij. 1941.
·      Vietnam merdeka! (Parada Harahap). Usaha Penerbit Tintamas. 1948.
·      Sa’at Bersedjarah: Ichtisar dan Pemandangan jang Didapat dari Persidangan Komite Nasional Indonesia Pusat, Dilangsungkan di Malang pada Tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947 (Parada Harahap). Djakarta: NV Gapura. 1951.
·      Kedudukan pers dalam masjarakat (Parada Harahap). 1951.
·      Ilmu Djoernalistik (Parada Harahap). Djakarta: Akademi Wartawan. 1952.
·      Indonesia Sekarang (Parada Harahap). Bulan Bintang. 1952.
·      Toradja (Parada Harahap). N.V. Penerbitan. 1952.
·      Serba sedikit tentang ilmu pers (Parada Harahap). Akademi Wartawan. 1952.
·      Industri Eropa dan five year plan (rentjana lima tahun) pembangunan Indonesia (Parada Harahap). Beringin Trading Company. 1957.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar