Laman

Kamis, 13 April 2017

Sejarah Kota Padang (11): Sejarah Pemimpin Padang 1621-1814; Catatan Kuno Berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Sejarah pemerintahan Padang dimulai tahun 1621. Sejarah ini ditemukan dalam catatan kuno yang berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ (Oprichting van den Boom) yang transkripsinya diterjemahkan oleh redaktur  Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad yang diterbitkan pada edisi 08-03-1883. Catatan ini berisi sejarah Padang 1621-1814 yang mengacu pada pembebasan dari Atjeh tahun 1666. Periode 1621-1666 sebagai periode kehadiran Atjeh di Padang dipisahkan dalam catatan tersebut.

Sumatra-courant, 20-03-1884
Oleh karenanya, sub judul catatan kuno ini adalah: ‘Parie Mangatakan Tatakala Atjes matoengoe Nagarie Padang dan mengatokan Wallanda doedoek die Nagarie Padang laloe kapada ahkier nja’. Mungkin artinya kira-kira begini: ‘Ketika Aceh mendiami Nagari Padang dan pada masa Belanda menduduki Nagari Padang hingga kini’, Sub judul ini dengan sendirinya menjelaskan judul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’. Mungkin pohon yang dimaksud adalah pemerintahan lokal (dengan panglima sendiri) seiring dengan kehadiran kolonial (Belanda dan Inggris).  

Dalam catatan kuno ini diuraikan bagaimana datangnya Belanda dan bagaimana terjadinya pengusiran Atjeh (yang sudah sudah berada selama 45 tahun). Juga diuraikan tentang kedatangan Inggris dan kembalinya Belanda. Dalam lampiran catatan kuno ini disajikan daftar pemimpin di Padang. Yang pertama menjadi pemimpin adalah Maharadja Besar I yang bertitel Bandahara, suku Si Megat bertahun 1621. Panglima tidak disebutkan, tetapi diduga yang menjadi Panglima adalah orang Atjeh.

Sebagai perbandingan, ketika Belanda (era Pemerintahan Hindia Belanda) memulai invasi ke Deli, Resident Riaou, Netscher yang memimpin ekspedisi ke Deli bulan Februari 1863. Mantan Resident Tapanoeli ini menulis laporannya yang dimuat di dalam surat kabar yang terbit di Batavia (1865) menggambarkan kota Laboehan (Deli) sebagai berikut: ‘Satu pemandangan yang aneh, diantara beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah pria Atjeh dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. The House of sultan dikelilingi pagar. Juga terdapat empat rumah panggung rendah yang dihuni oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat dari paku sawit dan rapi dengan dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala Bataksche seperti cottage, yang mengakui supremasi Deli. The Mesdjid adalah sebuah bangunan papan yang cukup terawat dengan baik ukuran rendah…Populasi Deli ada di pantai dari Maleijers, di pedalaman Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya; mereka tidak lebih dari beberapa ribu jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir rendah dan terutama kampung Deli. Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran. Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak. Daerah yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang hingga atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak ini ada kepala suku yang memerintahkan sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka (Batak) Mohammedanism tampaknya klaim telah dibuat…’.  

Pada tahun 1666 (era VOC), setelah Atjeh terusir (dari Padang) yang menjadi Panglima adalah Oerangkaja Ketjil yang berasal dari suku Tandjoeng. Ini berarti panglima pertama adalah Oerangkaja Ketjil, Dari catatan kuno ini yang dimulai 1621 hingga 1814 disusun redaktur Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad yang diterbitkan pada edisi 20-03-1884. Dalam daftar ini juga terdapat nama-nama Bandahara dan Panghoeloe (sejak 1621).

Sebagaimana diketahui lebih lanjut, Soetan Iskandar III (suku Melayu) adalah Panglima ke-23 (1834-1867). Soetan Iskandar meninggal dan digantikan oleh Merah Indra II (Si Megat) yang berlangsung dari 1867-1876 dan kemudian Maharadja Besar III (Si Megat) sejak 1876 (Panglima terakhir).

Catatan kuno berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ yang diterjemahkan oleh redaktur Sumatra Courant pada tahun 1883 ke dalam bahasa Belanda besar kemungkinan sumber awal tentang sejarah Padang yang dibuat secara tertulis. Pertanyaannya: Dimanakah catatan kuno versi aslinya?

Panglima dan Regent van Padang

Catatan kuno pemerintahan di Padang yangt berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ diduga dibuat pada era Panglima Soetan Mansoer (Panglima ke-21) setelah beberapa waktu kehadiran kembali Belanda tahun 1814 (Pemerintah Hindia Belanda). Antara 1666-1814 tentu sangat lama. Oleh karenanya daftar tahun pemimpin Padang hanya terlihat valid sejak 1783 (Panglima ke-16 Radja Djohan II). Ini mengindikasikan bahwa  ketika catatan ini dibuat sekitar tahun 1814, para orang tua masih ingat perubahan-perubahan yang terjadi 30 tahun ke belakang. Redaktur yang menyusun daftar (1884) berdasarkan catatan kuno (1814) tidak menemukan tahun antara 1666-1783. Karenanya dari daftar pemimpin Padang tersebut tidak menyebut periodenya.

Artikel ini coba menelusuri dari surat kabar sejaman (1666-1783). Namun itu tentu tidak mudah, karena porsi pemberitaan pemerintah lokal di surat kabar berbahasa Belanda cenderung porsinya (sangat) kecil. Akan disusun kemudian daftar baru berikut periodenya (jika memungkinkan).

Suksesi para panglima ini terus berlangsung hingga tahun 1910. Sebagaimana sudah dideskripsikan pada artikel sebelumnya, sejak era Panglima Soetan Iskandar II (panglima ke-23), jabatan pemerintah lokal diintegrasikan dengan struktur Pemerintahan Hindia Belanda dengan titel Regent van Padang. Dengan kata lain: Soetan Iskandar adalah panglima dan juga Regent van Padang. Jabatan regent van Padang ini dimulai tahun 1834 ketika Residentie Sumatra’s Westkust ditingkatkan statusnya menjadi Province Sumatra’s Westkust yang dikepalai oleh seorang Gubernur. AV Michiels adalah gubernur pertama Province Sumatra’s Westkust.

Soetan Iskandar menjadi Regent van Padang sejak 1834. Pada tahun 1867 Soetan Iskandar meninggal dunia dan digantikan dengan Panglima/Regent van Padang yang baru. Ini berarti Soetan Iskandar dengan posisi Panglima/Regent van Padang selama 33 tahun. Suatu periode yang paling lama diantara para panglima di Padang.

Penelusuran Surat Kabar

Belanda (VOC) secara teknis memulai aktivitas di Batavia pada tahun 1621 (tahun yang sama Atjeh di Padang). Ekspedisi pertama Belanda sendiri datang ke Nusantara pada tahun 1595 di bawah komandan Cornelis de Houtman. Laporan ekspedisi ini telah dimuat dalam jurnal yang terbit tahun 1598. Dalam laporan ini belum terdeteksi Padang, bahkan di dalam peta baru yang dibuat yang menjadi bagian dari jurnal 1598 tersebut.

Nama-nama tempat yang disebutkan dalam peta baru ini (Belanda) sebagaimana juga disebut dalam peta Portugis 1619 di Pantai Barat Sumatra hanya menyebut Baros dan Bathan (Batahan).

Laporan jurnalistik pertama dari Nusantara baru ditemukan pada tahun 1827. Ini terkait dengan informasi pertama tentang nama Batavia ditemukan dalam surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c edisi 31 Juli 1627. Nama Batavia dalam surat kabar tersebut mengacu pada kutipan berita berikut: ‘Kapal kargo dari Batavia pada bulan Desember 1626 telah tiba di Texel pada tanggal 24 Juli 1627’.

Sejak berita kapal kargo yang pertama dari Batavia, semakin kerap kapal kargo dari Oost Indisch yang dilaporkan yakni dari Batavia dan Suratta (Sumatra?). Kapal kargo yang dilaporkan surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. edisi 16-07-1633 memberitakan sangat rinci. Kapal-kapal yang tiba tersebut terdiri dari kapal Prins Willem, Hollandia, Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina. Kapal-kapal ini di bawah komandan Jenderal Specx. Muatan kapal-kapal tersebut berisi 36 jenis komoditas yang dirinci menurut volume (seperti pon, pikul). Komoditi tersebut antara lain lada, rotan, puli, getah dammar, gambir, indigo, kelapa, pala, berlian dan permata. Secara keseluruhan komoditi tersebut komoditas tahan lama. Selain itu juga terdapat kain (sutra dan katun) yang kemungkinan diangkut dari pelabuhan-pelabuhan di India.

Dari tahun ke tahun frekuensi kapal kargo dari Batavia semakin tinggi. Jumlah kapal juga semakin banyak, jenis komoditas semakin banyak dan volume masing-masing komoditas semakin besar. Seperti dilaporkan surat kabar Ordinaris dingsdaeghse courante, 11-08-1648 kapal-kapal tersebut dicarter oleh Nederlantfe Geoctroyeerde Ooft-Indifche Compagnie (VOC?).

Berita ini mengindikasikan bahwa perjalanan kapal kargo ini sejak dikirim dari Batavia hingga tiba di Texel membutuhkan waktu tujuh bulan. Suatu waktu yang sangat lama, tapi begitulah pelayaran saat itu. Sejak itu, berita-berita dari Batavia terus bergulir tetapi hampir semuanya tentang berita kapal.

Ketika VOC (Belanda) memperluas perdagangan ke Pantai Barat Sumatra tahun 1664, posisi Atjeh sudah lama eksis, yang di Padang sendiri dimulai pada tahun 1621. Antara Belanda dan Atjeh inilah yang menjadi pangkal perkara catatan kuno berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’.

Nama Padang sebagai nama suatu tempat di pantai barat Sumatra paling tidak baru tahun 1744 mulai dikenal (lihat Amsterdamse courant, 11-02-1744). Nama Padang sebagai suatu tempat yang penting dipertegas dengan adanya laporan bahwa kapal Winter berangkat dari (pelabuhan) Padang (Leydse courant, 22-09-1745). Dari nama kapal ini, Winter diduga adalah kapal Inggris. Selanjutnya Inggris tahun 1752 mendirikan maskapai di Natal dan Tapanoeli yang berada di bagian utara Pantai Barat (lihat Groninger courant, 14-12-1824).

Sebagaimana dilaporkan Amsterdamse courant, 07-07-1757, bahwa kapal de Princes van Oranje tiba di Porto Chinco; tanggal 30 Juli kapal Ouwerkerk tiba di Padang dan kapal de Chaloup de Overmaas tiba Porto Chinco. Juga ditemukan kapal de Spaarsaamheid tanggal 7 Maret tiba di Padang (Leydse courant, 06-07-1759). Kapal Pasgeld tanggal 23 Februari (1760) akan berangkat ke Padang dan China (Leydse courant, 12-12-1759).

Pada tahun 1761 terjadi pertempuran antara dua negara yang berseteru di Eropa di laut Pantai Barat Sumatra. Dalam hal ini Perancis mampu mengalahkan Inggris. Lalu Perancis mengambil alih pantai barat Sumatra dari Inggris. Laporan mengenai perseteruan Perancis dan Inggris ini dapat dibaca pada surat kabar Leeuwarder courant edisi no 219 tanggal 15-07-1761. Dalam perkembangan berikutnya, Inggris kembali mendapatkan kekuasaannya di pantai barat Sumatra.

Leydse courant, 26-06-1761: ‘..4 Februari 1760, kapal Perancis berlabuh di fort Ayer Bongi (Air Bangis), 7 Februari 1860 Inggris mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40 Eropa dan 60 orang pribumi.

Pada dekade-dekade tersebut, kekuatan laut Inggris yang berbasis di India sangat kuat namun kecolongan di Pantai Barat Sumatra. Tempat-tempat yang menjadi perebutan tiga negara (Inggris, Perancis dan ditambah Belanda) di Pantai Barat Sumatra tampak silih berganti seperti di Bengkulu (dan Moco-moco), Padang (dan Pariaman), Air Bangie dan Nata; Tapanoeli (dan Baros). Struktur pemerintahan Belanda (VOC) pada tahun 1764 di Pantai Barat Sumatra adalah sebagai berikut:  yang diangkat sebagai Letnan Gubernur yang berkedudukan di Padang adalah Henry van Haveren dengan perangkat-perangkatnya termasuk di Pulau Chinco, Air Bangies dan Baros.

Leydse courant, 04-05-1764: ‘Sumatra Westkust. Untuk Komandan Letnan Gubernur ditunjuk Merchant Henry van Haveren; Untuk Adminiflrateur pertama Gubernur adalah pedagang (Koopman) Mr. John Anthony Thierens, Sedangkan untuk Fifcaal dan Caffier disini digantikan oleh Merchant Jan Kalkoen van Limburg; Untuk pengawas adalah Pedagang Roeland Palm yang merangkap sebagai Rcsident dari (pulau) Chinco, dan Jan Boudewyns di Ayerbangis; serta Anthony Hend.Siebens untuk Baros. Sementara itu Adminiftreiur kedua di Padang ditunjuk untuk mempekerjakan orang lokal dibawah Koopman Frans Douglass dan yang terakhir untuk Sekretaris yang merangkap kepala Policie adalah di bawah Koopman Jan Fredrik William Nicolay’.

Berdasarkan informasi-informasi tersebut  sulit untuk mengkonfirmasi catatan kuno yang berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ tentang periode kepemimpinan panglima sebelum tahun 1783. Namun yang jelas, pemerintahan VOC sudah terindikasi di Padang sejak tahun 1764 (berdasarkan berita surat kabar Leydse courant, 04-05-1764). Pada tahun ini juga terindikasi VOC mulai melibatkan (pemimpin) orang local.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar