Laman

Senin, 30 Oktober 2017

Sejarah Kota Depok (43): Ali Mochtar Hoeta Soehoet, Komandan Tentara Pelajar; Panitia Hari Sumpah Pemuda Pertama, Pendiri IISIP Lenteng Agung

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Ketika Kongres Pemuda diselenggarakan tanggal 28 Oktober 1928, Ali Mochtar Hoeta Soehoet umurnya baru 17 hari (lahir di Sipirok 11 Oktober 1928). Meski demikian, pada umur 25 tahun, Ali Mochtar Hoeta Soehoet pada tanggal 28 Oktober 1953 bertindak sebagai Ketua Panitia Hari Sumpah Pemuda. Tahun 1953 merupakan kali pertama hasil keputusan Kongres Pemuda 1928 diperingati. Saat itu, Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah Ketua Perhimpoenan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta. Ali Mochtar Hoeta Soehoet terpilih sebagai Ketua Perhimpoenan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta pada tanggal 19 April 1953 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1953).

De nieuwsgier, 03-03-1951
Akademi Wartawan Djakarta didirikan oleh Parada Harahap tahun 1951 (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-02-1951). Akademi Wartawan Djakarta diresmikan oleh Parada Harahap tanggal 2 Maret 1951 (De nieuwsgier, 03-03-1951). Ali Mochtar Hoeta Soehoet merupakan mahasiswa angkatan pertama. Pada bulan Juni 1952 Ali Mochtar Hoeta Soehoet dinyatakan lulus ujian tingkat satu (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-06-1952). Ini berarti ketika terpilih sebagai Ketua Perhimpoenan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta, Ali Mochtar Hoeta Soehoet duduk di tingkat dua. Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah mahasiswa angkatan pertama dan ketua mahasiswa pertama di Akademi Wartawan Djakarta. 

Komandan Tentara Pelajar

Pada tahun 1948 Wakil Presiden Mohammad Hatta meminta Parada Harahap untuk mengelola surat kabar di ibukota RI (PDRI) di pengungsian di Bukittinggi. Nama surat kabarya Detik. Tujuan penerbitan Detik ini untuk media perjuangan diantara titik-titik pengugsian pada era Perang Kemerdekaan. Akses untuk mendatangkan percetakan dan bahan-bahan sudah tertutup karena Kota Padang dan Kota Sibolga sudah diduduki oleh militer Belanda.

Parada Harahap lalu mendatangkan percetakan dari Kota Padang Sidempoean. Untuk membawa dan mengamankan percetakan tersebut Parada Harahap meminta bantuan Ali Mochtar Hoeta Soehoet, Komadan Tentara Pelajar di Padang Sidempoean untuk membawanya ke Bukittinggi. Ali Mochtar Hoeta Soehoet lalu diminta untuk turut mengelola surat kabar Detik.

Pasca pengakuan kedaulatan RI, Ali Mochtar Hoeta Soehoet hijrah ke Djakarta. Awalnya ikut bekerja bersama Parada Harahap, namun kemudian diperbantukan ke surat kabar Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis).

Ketua Panitia Hari Sumpah Pemuda

Hari sumpah pemuda terjadi pada tanggal 26 Oktober 1953, hari yang mana para pemuda bersumpah (lihat De nieuwsgier, 21-10-1953). Pada malam tanggal tersebut para pemuda di Djakarta berkumpul dan melakukan sumpah pemuda. Inilah tanggal yang dapat dikatakan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Materi sumpah yang dibacakan dalam bersumpah tersebut pada tanggal 28 Oktober 1953 itu adalah persis apa yang menjadi hasil keputusan Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Kongres Pemuda 1928 dan hasil keputusannya tidak pernah diperingati pada tahun-tahun sesudahnya. Oleh karena itu apa yang menjadi hasil keputusan Kongres Pemuda 1928 sudah lama terlupakan. Hasil keputusan Kongres Pemuda 1928 baru muncul pada tahun 1953 ketika para pemuda berkumpul dan melakukan sumpah (yang disebut Sumpah Pemuda). Sejak itulah terminologi Sumpah Pemuda ada hingga ini hari. Ini berbeda dengan tanggal 17 Agustus 1945 tanggal yang mana Indonesia merdeka dengan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan (Republik) Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945 disebut Hari Proklamasi Kemerdekaan RI. Lalu hari  ini diperingati pada tahun-tahun sesudahnya hingga masa ini. De nieuwsgier, 21-10-1953  

Mengapa pemuda bersumpah pada tahun 1953? Ini semua mengacu pada dua hal. Pertama, sejak pasca pengakuan kedaulatan RI (1949) hingga tahun 1953 terdapat banyak permasalahan yang justru mengarah pada disintegrasi bangsa. Keinginan untuk mengembalikan Papua yang masih di tangan Belanda masih ada hambatan baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam dianggap belum prioritas karena banyaknya permasalahan, dari luar ditengarai Belanda tidak akan melepaskannya. Isu lainnya adalah munculnya pemberontakan di sejumlah daerah, seperti Atjeh, Djawa Barat dan Soelawesi Selatan. Isu yang juga menjadi perhatian adalah pemerintah berseberangan dengan militer dan juga isu tekanan pers. Dua isu yang terakhir tampaknya sangat dikhawatirkan oleh pemerintah. Kedua, Soekarno, Presiden RI mulai bermimpi besar dapat diartikan dalam dua segi: ‘Indonesia Hebat’ dan ‘Sukarno adalah Radja’.

Dalam konteks inilah secara politis para pemuda diinisiasi (kembali) berkumpul untuk memperbarui kesetiaan. Ada sejumlah tokoh penting pada tahun 1953 yang terkait dan memiliki kepentingan dengan memperbarui kesetiaan pemuda yang nota bene munculnya Sumpah Pemuda, Ide ini berasal dari Parada Harahap (Tokoh Pers). Pada saat itu ada dua kelompok yang berseberangan: di satu pihak adalah pemerintah yang berpusat pada Soekarno, (Presiden) dan wakilnya, Mohammad Hatta. Sementara di pihak lain terdiri dari pemimpin militer (yang berpusat pada Kol. Abdul Haris Nasution), pemimpin media (yang berpusat pada Mochtar Lubis) serta mahasiswa. Orang-orang yang terbilang netral dalam permasalahan, selain Parada Harahap adalah Zainul Arifin (Tokoh Parlemen) dan Mohammad Yamin.

Parada Harahap menyusun rencana strategis untuk mendinginkan kedua belah pihak yang berseteru. Kedua kubu sangat dekat dengan Parada Harahap. Tujuannya adalah agar tetap terjadi persatuan dan kesatuan meski terjadi ada perbedaan pendapat. Saat itu, Parada Harahap adalah Direktur (dekan) Akademi Wartawan Djakarta dan Ketua Perguruan Tinggi Swasta (kini Kopertis). Pada saat itu, Mohammad Yamin menjadi Menteri Pendidikan (sejak 30 Juli 1953).

Mohammad Yamin adalah tokoh pemuda di masa lalu, sebagai sekretaris panitia Kongres Pemuda 1928 (bendahara Amir Sjarifoeddin). Pembina kongres pemuda adalah Parada Harahap. Saat itu Parada Harahap adalah sekretaris Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Partai Kebangkitan Indonesia (PPPKI). Saat yang bersamaan terjadi Kongres PPPKI (senior) dengan Kongres Pemuda (junior). Ketua panitia Kongres PPPKI adalah Parada Harahap. Saat itu, Parada Harahap pemilik sejumlah media, salah satu diantaranya Bintang Timoer (tiras tertinggi di Batavia) dan juga ketua himpoenan pengusaha pribumi Batavia (kini Kadin). Sponsor pembiayaan Kongres Pemuda adalah Parada Harahap. Inilah alasan mengapa bendahara panitia Kongres Pemuda ditetapkan Amir Sjarifoeddin.
.
Untuk menggerakkan mahasiswa, Parada Harahap dan Mohammad Yamin (dari sisi pemerintah) mengandalkan Ali Mochtar Hoeta Soehoet, Ketua Dewan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta. Penetapan Ali Mochtar Hoeta Soehoet ini sebagai ketua Panitia Kongres Pemuda 1953 juga untuk menghilangkan perasaan khawatir dari kubu Mochtar Lubis (media) dan Kol. Abdul Haris Nasution (militer). Sebab, Ali Mochtar Hoeta Soehoet, sambil kuliah adalah Kepala Divisi Manajemen surat kabar Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis). Sebelumnya, Parada Harahap adalah yang merekrut Ali Mochtar Lubis, Komandan Tentara Pelajar Padang Sidempoean dan membawanya ke Djakarta lalu memperkenalkannya kepada Mochtar Lubis. Dengan demikian, grand designnya sudah Ok.

Algemeen de Preangerbode, 19-02-1951
Akademi Wartawan Djakarta didirikan Parada Harahap (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-02-1951). Akademi Wartawan Djakarta diresmikan oleh Parada Harahap tanggal 2 Maret 1951 (De nieuwsgier, 03-03-1951). Pada tahun 1951 jumlah perguruan tinggi belum banyak. Selain Universitas Indonesia di Jakarta dan Universitas Gadjah Mada di Djokjakarta adalah Perguruan Tinggi Saweri Gading di Makassar, Universitas Islam di Medan, Universitas Pantja Sila di Padang, Sekolah Tinggi Hukum di Surabaya, Akademi Wartawan, Akademi Perdagangan dan Akademi Nasional serta Sekolah Tinggi Islam di Jakarta, Universitas Islam dan Universitas Buruh di Jogja dan Perguruan Tinggi Kiisna Dwipajana di Bandung (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-11-1951). Dosen-dosen di Akademi Wartawan Djakarta, selain Parada Harahap adalah Drs. Wabman Hilal, Mr. Moh. Sjah, GR. Pantouw, Mr. Drs. Sibarani, Hamka, Schilte, Situmorang dan Nn. Soh (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-02-1951). Selain itu ditambahkan Mr. Tamboenan (De nieuwsgier, 29-03-1951) dan kemudian Mr. Soenarjo (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1951). Lalu kemudian menyusul Ds. FKN Harahap, Sumarto Djojodihardjo, Ny. Mr. Sudjanadiwirja-Harahap dan Adinegoro (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-02-1952). Akademi ini telah memiliki badan hukum sebagai bentuk yayasan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-04-1952). Memasuki tahun ketiga, Akademi Wartawan mengangkat guru besar Basaroedin Nasution (De nieuwsgier,      22-08-1952) dan Ketua Senat S. Pirngadie (De nieuwsgier, 03-09-1952). Akademi Wartawan Djakarta kemudian menambah ruangan baru untuk perkuliahan di gedung Adhuc Stat di Soeropati (De nieuwsgier, 03-09-1952).

Akademi Wartawan di seberang Istana di Decapark (Peta 1942)
Rangkaian kegiatan pemuda dalam rangka hari Sumpah Pemuda ini dilakukan dua hari tanggal 26 dan 27 Oktober 1953. Kegiatan dilaksanakan di Deca Park (lapangan Monas bagian utara yang sekarang). Lokasi pertemuan pemuda ini adalah Gedung Pertemuan Djakarta yang notabene adalah kampus Akademi Wartawan Djakarta yang dipimpin Parada Harahap. Gedung ini berseberangan langsung dengan Istana Merdeka. Gedung ini hanya satu-satunya di depan Istana yang sudah barang tentu didapatkan  karena kedekatan Parada Harahap dengan Soekarno dan Mohammad Hatta. Dalam Kongres PPPKI tahun 1928, Parada Harahap mengundang dua tokoh muda berpidato di kongres senior yakni Soekarno dan Mohammad Hatta.

Ditangkap dan Ditahan

Kongres Pemuda 1953 telah berhasil dilakukan dengan hasil Sumpah Pemuda. Sejak inilah adanya sumpah pemuda di Indonesia (bukan sejak 1928). Namun perseteruan Soekarno dan Mochtar Lubis tidak ada ujungnya. Dua tokoh Indonesia yang paling teguh pada pendirian masing-masing. Parada Harahap, Mohammad Yamin dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet telah berusaha mendinginkan dua pihak pihak, namun apa daya. Kedua tokoh tersebut sama-sama memiliki pendirian yang keras, sama-sama mengusung kebenaran masing-masing. Lantas apa yang menjadi pangkal perkara munculnya perseteruan mereka. Mochtar Lubis  menulis, Soekarno tak terima.

De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan’

Pasca Kongres Pemuda 1953 dan Hari Sumpah Pemuda. Bukannya makin mendingin tetapi makin kisruh. Soekarno menganggap dirinya mulai diserang. Hal ini karena Soekarno mulai keluar dari rel. Namun Soekarno berbalik menekan dan mulai membatasi kebebasan pers. [Soekarno telah lupa, di era Belanda (1935) sejumlah surat kabar dibreidel termasuk Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap dan Fikiran Ra’jat pimpinan Soekarno]. Mochtar Lubis bereaksi dan memimpin demonstrasi. Inilah demonstrasi kebebasan pers pertama (bahkan sejak era Belanda).

Demonstrasi Pers (Java-bode, 06-08-1953)
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para wartawan memprotes, soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia. Pada demonstrasi, seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia yang diadakan dalam aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini yang berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi mahasiswa akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah  Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’

Parada Harahap seakan terjepit ditengah dua kekuatan (pemerintah dan pers) dan diantara dua sahabat yang sama-sama pendiriannya keras (Soekarno dan Mochtar Lubis). Pada tahun 1951 Parada Harahap telah menerbitkan buku berjudul Kemerdekaan Pers. Suatu buku memori Parada Harahap tentang pers bagaimana Parada Harahap dan juga termasuk Soekarno dikekang Belanda dalam kehidupan pers dan buku yang berisi pentingnya kebebasan pers. Parada Harahap yang sudah mulai menua ingin lengser ke prabon dan menjauhi dunia politik.

De nieuwsgier, 17-01-1953: Bintang Timoer terbit kembali dengan CEO Parada Harahap, Perusahaan baru ini akan menerbitkan koran dan majalah non-politik yang obyektif. Perusahaan ini juga akan menerbitkan The Times of lndonesia. Staf editorial adalah Pak Mochtar Lubis dan Hafner Jr.

Anehnya pada tahun ini pula Soekarno dan Mochtar Lubis mulai berseteru. Mochtar Lubis memajukan kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers). Soekarno malah berbalik arah.

Mochtar Lubis mendirikan surat kabar Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember 1949 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1950). Mochtar Lubis saat itu masih bersama Adam Malik di kantor Berita Antara, Adam Malik sebagai direktur dan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi. Setahun kemudian, Mochtar Lubis mendapat pengakuan dari PWI sebagai penulis artikel terbaik (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-02-1951). Tidak lama kemudian tulisan Mochtar Lubis mendapat sandungan. Mochtar Lubis dianggap menciderai Soekarno.

Situasi yang semakin menghangat inilah yang menjadi awal munculnya ide Parada Harahap untuk menggalang pemuda untuk berkumpul dan berkongres dengan dalih memperingati 25 tahun lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan dalam Kongres Pemuda 1928. Ancamannya: Soekarno dan Mochtar Lubis berseteru (keduanya adalah sahabatnya). Opportunitinya: Menteri Pendidikan adalah Mohammad Yamin dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah Ketua Dewan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta (keduanya adalah sahabatnya). Parada Harahap sendiri adalah Ketua Kopertis (dapat menjalin hubungan dengan pemerintah) dan Direktur Akademi Wartawan Djakarta (dapat menjalin hubungan dengan mahasiswa dan pemuda).

Namun semua itu Kongres Pemuda 1953 dengan Sumpah Pemuda nyatanya tidak cukup untuk mendinginkan kedua belah pihak antara Soekarno dan Mochtar Lubis. Meski demikian keduanya terus menjalankan visi misinya. Soekarno terus bergiat memimpin pemerintahan dan Mochtar Lubis terus bergiat memimpin pers. Soekarno terus memperluas hubungan dengan negara sahabat, Mochtar Lubis juga semakin meluaskan jaringannya ke pers internasional.

De nieuwsgier, 03-01-1955: ‘Pada tanggal 29 Desember, Indonesia Raya genap lima tahun dan itu adalah fakta yang menyenangkan. Dalam dunia surat kabar, Indonesia Raya Indonesia menempati tempat yang unik. Kebanyakan surat kabar di sini, jika tidak berfiliasi partai dalam arti sempit, atau menjadi bagian dari golongan tertentu. Dalam lagu pertama Indonesia Raya ditulis antara lain bahwa koran itu akan tetap jauh dari satu sisi pelaporan yang yang menyenangkan tetapi merugikan yang lain. Hal ini ingin mendidik masyarakat untuk berpikir jernih. Terhadap tindakan tidak adil dan tidak tepat dari mereka juga datang, bagaimanapun, akan praktek-praktek ini. Kami tidak akan ragu-ragu untuk mengusir apa yang salah dan berbahaya, kami mendukung apa yang harus didukung dan benar dipertimbangkan untuk kebaikan bersama. Mudah untuk menulis hal seperti itu, tetapi sulit untuk diterapkan. Ini adalah keutamaan Indonesia Raya di bawah pimpinan energik, Mochtar Lubis, bahwa selalu berpegang motto ini; ancaman dan intimidasi diabaikan. Indonesia Raya dalam ketidakadilan berpikir, melihat, bahkan menyerang, secara terbuka dan keras. Sekarang Indonesia Raya melakukan oposisi terhadap pemerintah saat ini. Ia melakukannya karena percaya bahwa pemerintah ini terlalu sedikit yang mengoreksinya, dan menulis di editorial. Jika pemerintah berikutnya, tidak peduli siapa yang bemar yang akan melakukan sesuai dengan prinsip Indonesia Raya dia akan vinoen bahwa majalah di antara lawan-lawannya. Dan itulah tradisi bahwa Indonesia Raya dengan beberapa surat kabar terbaik di dunia memiliki kesamaan. Selamat berdjoang, Indonesia Raya’

Yang paling ditakutkan oleh koran adalah pembreidelan dan yang paling ditakutkan oleh seorang editor adalah ditangkap lalu dipenjara. Mochtar Lubis tidak takut dipenjara, dan Indonesia Raya tidak takut dibreidel. Misi keduanya adalah kebenaran dan mengentaskan ketidakadilan. Inilah ciri-ciri editor dan koran yang benar-benar koran kelas dunia. Mochtar Lubis semakin menginternasional (sebagai Ketua Pers Internasional Indonesia). Ali Mochtar Lubis yang telah lulus Akademi Wartawan menjadi wartawan dengan latar belakang pendidikan pers. Ali Mochtar Lubis di Indonesia Raya semakin intens tidak hanya untuk urusan manajemen tetapi juga untuk urusan jurnalistik. Jika Mochtar Lubis berhalangan misalnya jika tengah melawat ke luar negeri, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menempati posisi Mochtar Lubis. Adigium Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis dan Mochtar Lubis adalah Indonesia Raya. Kini di mata pemerintah (Soekarno) Mochtar Lubis adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah Mochtar Lubis. Akibatnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga kerap mendapat tekanan.

De nieuwsgier, 30-01-1956: ‘Percobaan kebakaran. Di atap rumah wartawan Ali Mochtar Hoeta Soehoet, yang terkait dengan surat kabar Indonesia Raya di Djalan Petodjo Benatu nomor 8, sebuah kain yang diminyaki dilempar ke atap dan terbakar pada Kamis malam. Percobaan pembakaran ini segera dapat dipadamkan dan oleh karena itu insiden ini tidak menimbulkan konsekuensi serius’.

Mochtar Lubis dipanggil jaksa untuk kali kedua. Pertama tahun 1951 mengenai tuduhan terhadap Soekarno yang harus bertanggungjawab banyaknya peduduk Indonesia yang tewas selama pendudukan Jepang dan agresi Belanda. Kini (1956), Mochtar Lubis menyuarakan korupsi di tubuh pemerintahan Soekarno, cabinet Ali Sastroamidjojo. Tidak hanya dipanggil jaksa tetapi juga diinterogasi oleh militer. Sementara itu, antara jaksa (pemeritah) dan tentara (militer) tampak berseberangan.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-08-1956 (Tiga editor Indonesia mempertanyakan): ‘Tiga editor Indonesia terkenal diinterogasi mengenai berita yang telah diterbitkan tentang skandal korupsi di dada pemerintah. Dalam hal ini Jaksa Agung Suprapto meminta Asosiasi Jurnalis Indonesia untuk bekerja dengan membatasi publikasi berita sensasional tentang korupsi. Tiga editor yang masih harus menjalani pertanyaan lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang. Mochtar I.ubis, dari koran independen Indonesia Raya, koran yang pertama kali datang dengan cerita tentang upaya untuk menangkap menteri luar negeri, Ruslan Abdoelgani...Suhardi dari koran nasionalis, Berita Minggu menantang  surat kabar Indonesia Raya, Mochtar Lubis untuk berduel karena cerita korupsinya’. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-10-1956: ‘Editor Indonesia Raya Mochtar Lubis, yang Jumat telah tiba dari perjalanan ke luar negeri, akan dituntut karena menerbitkan berita di Indonesia Raya pada 14 Agustus 1956 di bawah judul: Ada menteri terlibat skandal Rp. 1,500.00,-. Mochtar Lubis sebagai editor yang bertanggung jawab, dituduh telah menyinggung kehormatan dan reputasi pemerintah (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) dan telah dikompromikan penyelidikan dalam kasus ini serta akan ditangani oleh pengadilan. Maengkom saat ini sebagai hakim dan mewakili Jaksa, Dali Mutiara. Mochtar Lubis sekarang menyatakan hingga Sabtu masih belum menerima panggilan’

Kasus Mochtar Lubis ini adalah pengadilan terbesar di era kemerdakaan. Tidak hanya prosesnya lama (beberapa kali ditunda), juga melibatkan banyak saksi, seperti: Kolonel Kawilarang, Lic Hok Thay, Piet de Queljoe, Letkol. Prajogo. Generaal-Majoor Nasution, Mr. Moh. Roem en adj.hoofdkommissaris Saud Wirjasendjaja. Dalam persidangan itu sendiri terjadi perdebatan sengit antara pembela di satu sisi dan Jaksa dan hakim di sisi lain. Namun yang menarik adalah ketika hakim mengaitkan artikel Mochtar Lubis--edisi 14 Agustus 1955 dan edisi 6 September 1955--(Abdul Haris Nasution). Mochtar menjawab, tidak ada permusuhan dengan Nasution, karena kami adalah kawan lama yang baik, kata Mochtar Lubis.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1956: ‘Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel anda akan menyiratkan permusuhan? Mochtar Lubis menjawab: Tidak. Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution, adalah teman lama yang baik, kata Mochtar Lubis. Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel di Indonesia Raya menuduh Perdana Menteri Ali melakukan kekotoran nama patriot Indonesia dan Indonesia Raya menuduh pemerintah melakukan konspirasi politik? Mochtar menjawab: Tidak ada maksud permusuhan, negatif dan artikel ini mengatakan bahwa koreksi pada pemerintah. Ketika ditanya oleh jaksa apa yang dimaksud dengan konspirasi politik, jawab terdakwa, bahwa istilah konspirasi politik untuk Perdana Menteri Ali adalah istilah yang terlalu sopan, karena pada kenyataannya, Perdana Menteri Ali membela Roeslen Abdulgani, yang bersama dengan Lic Hok Thay terlibat melakukan korupsi dalam sebuah kasus’.

De nieuwsgier, 08-12-1956: ‘Hadiah untuk Mochtar Lubis. Himpunan Pengarang Islam, pemimpin redaksi dari Indonesia Raya, Mochtar Lubis, sebagai pengakuan atas perjuangannya untuk kepentingan tanah air dan orang-orang, ditawarkan Qur'ani. Asosiasi percaya bahwa Mochtar Lubis adalah salah satu wartawan Indonesia yang berani dengan pendapatnya, dan juga pentingnya membela tanah air dan orang-orang, meskipun dituntut. Asosiasi ini menganggap bahwa Mochtar Lubis yang memimpin Indonesia Raya penulis yang benar-benar berani memberi komentar untuk keluar, untuk kepentingan tanah air da berani membela, bahkan sebelumnya dituntut’

Pengadilan terhadap yang berlarut-larut yang ingin membungkam Mochtar Lubis telah menyita banyak perhatian penduduka Indonesia. Pemerintah yang korup dan pers yang kredibel telah membuat penduduk Indonesia bereaksi. Mochtar Lubis pada malam ketika dalam perjalanan ke rumah saudaranya Aminuddin Lubis ditangkap oleh CPM. Sementara itu, di kantor redaksi Indonesia Raya sejumlah berkas yang akan dimuat besok hari disita (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-12-1956). Kini, reaksi dari militer sendiri yang pro keadilan. Lalu kemudian Mohammad Hatta, wakil presiden juga mulai gerah. Inilah awal munculnya keretakan antara Soekarno dengan Mohammad Hatta.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Radio Medan mengatakan: Noord Sumatera dipisahkan dari Jakarta, Soekarno ingin menyatakan keadaan darurat, pesan disensor. Pemberontakan militer Indonesia membentang di atas seluruh Sumatra Tengah dan Utara, markas besar militer di Jakarta kemarin sore telah menetapkan kebijakan penuh sensor pcrstclegrammen. Pagi ini: disebut radio Medan, dalam siaran untuk iptriile bahwa Kolonel Simbolon, salah satu komandan Indonesia, kekuatan di Tengah dan Noord Sumatra, ketaatan mengecam pemerintah Ali Sastroamidjojo. Editor harian Indonesia Raya, Mochur Lubis, pagi ini ditangkap oleh militer tetap setia kepada politie di Jakarta. Mochtar Lubis adalah orang yang telah berbicara untuk waktu fcfchuldiging pertama korupsi terhadap Menteri Luar Negeri Indonesia, Ruslan Abdulgani’.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Kolonel Simbolon adalah atasan langsung dari Letnan Kolonel berusia 34 tahun, Ahmed Hussein, yang kemarin dengan garis divisi Banteng sekitar Bukittinggi (sebelumnya Fort de Kock) telah melakukan kudeta tak berdarah. Berita Indonesia melaporkan bahwa Soekarno mempertimbangkan seluruh negara Indonesia kondisi darurat. Kabinet Indonesia pada sesi khusus memutuskan untuk mengirim militer dan delegasi sipil ke Pos Sumatra untuk bernegosiasi dengan komandan yang memberontak.

Meski Mochtar Lubis ditangkap tadi malam, dan sejumlah berkas di kantor redaksi  Indonesia Raya disita. Berkas yang disita tentang artikel permintaan halus mengundurkan diri Sokarno dan tentang pendapat para politisi tentang peristiwa di Sumatra Tengah. Koran independen ini pagi ini tetap terbit dengan E. Bahauddin bertindak sebagai editor. Mochtar Lubis dipenjara di rumah tahanan CPM (jalan) Guntur, lalu dipindahkan ke penjara militer (jalan) Boedi Oetomo. Kini, Mochtar Lubis dibela Mohammad Yamin (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-01-1957). Lalu Mochtar Lubis didukung PWI Bandung.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-01-1957: ‘Terhadap penangkapan Móchtar Lubis dan sensor terhadap Indonesia Raya, PWI Bandung telah memprotes keras dan melakukan di depan kantor PWI dengan tangan di kepala  dengan berjongkok sebagai bentuk protes terhadap pemberlakukan hukum pers’.

Dukungan PWI Bandung ini mudah dipahami karena dua hal. Pertama, PWI Bandung umumnya para wartawan yang berafiliasi dengan Koran Pikiran Rakyat (yang didirikan 30 Mei 1950). Apa ada kaitan antara Indonesia Raya dengan Pikiran Rakyat kurang jelas tetapi kedua koran ini sama-sama mengusung pakem independen dengan semboyan yang sama pula, yakni: Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat. Kedua, Pemimpin Umum Pikiran Rakyat sendiri kala itu dijabat oleh wartawan bernama Sakti Alamsyah, seorang mantan penyiar di era Jepang. Sakti Alamsjah adalah Ketua PWI Bandung. Mochtar Lubis di era Jepang juga adalah redaktur di radio militer Jepang. Kedua orang ini berusia sama yang lahir di tahun yang sama (1922). Keduanya berasal dari Padang Sidempoean: Mochtar Lubis dari Kotanopan yang lahir di Sungei Penuh, Kerinci, Jambi,  sementara Sakti Alamsjah Siregar dari Sipirok yang lahir di Sungai Karang, Serdang, Deli.

Sejak Mochtar Lubis ditangkap, dipenjarakan di rumah tanahan CPM di Guntur dan dipenjarakan di Boedi Oetoemo banyak protes dari berbagai kalangan dalam negeri dan luar negeri. Namun, anehnya PWI Pusat sebagai badan tertinggi wartawan Indonesia sejauh ini belum memberikan pernyataan. Kini, Mochtar Lubis dipindahkan dari penjara menjadi tahanan rumah.

Mochtar Lubis tidak sendiri. Semua membela Mochtar Lubis dan protes terhadap Soekarno. Sebaliknya, Soekarno tidak sendiri membebaskan negara untuk merebut kemerdekaan. Masih banyak yang lain. Lantas, seratus tokoh pemimpin pertama yang telah mengambil inisiatif sebelas tahun yang lalu untuk deklarasi kemerdekaan Indonesia, melakukan rapat saat Negara ini tengah terancam (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 24-01-1957).

Sejak Mochtar Lubis di pengadilan dan kemudian penahanan dan lalu tahanan rumah, surat kabar Indonesia Raya tetap jalan di bawah kepemimpinan Ali Mochtar Hoeta Soehoet.

Mochtar Lubis didukung oleh para Sastrawan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-01-1957), Dukungan terhadap Mochtar Lubis tidak hanya dari dalam negeri. Tetapi juga dari luar negeri seperti: International Press Institute (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-01-1957).  Mochtar Lubis menjalani Sidang Keenam dan mendapat dukungan dari Pakistan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-01-1957). Dari dalam negeri, Mochtar Lubis didukung oleh Masyumi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 08-01-1957), para penulis dari Himpunan Pengarang Islam (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-01-1957); Adam Malik minta Mochtar Lubis dilepaskan kepada Menteri Pertahanan (Abdul Haris Nasution). Mochtar Lubis juga mendapat dukungan dari Negara tetangga.

Selama ketidakhadiran Mochtar Lubis, Ali Mochtar Hoeta Soehoet tidak takut dengan represif. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap direlnya, Indonesia Raya tetap mengusung kebenaran. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tampaknya telah banyak belajar dari komandannya, Mochtar Lubis. Ali Mochtar Hoeta Soehoet, mantan Komandan Tentara Pelajar di Padang Sidempoean telah bertrasformasi menjadi komandan pers di Djakarta.

Akhirnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi target. Sebab Ali Mochtar Hoeta Soehoet ternyata tidak kalah ‘galak’ dibandingkan dengan bosnya Mochtar Lubis.

Pemimpin Redaksi [surat kabar] Indonesia Raya, Ali Mochtar Hoeta Soehoet ditahan setelah seminggu ditangkap pada tanggal 20 Agustus 1957 bersama rekannya, Mohammad Noer, dari [surat kabar[ Indonesia Raya (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-08-1957). Mereka berdua dituduh Komandan militer Djakarta Raya yang melanggar Pasal 23 Peraturan SOB dan Kepala Ordo Liga 30 Juli 1957. Keduanya bestatus tahanan kota sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Trio baru Indonesia
Mochtar Lubis tetap dalam tahanan. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga ditahan. Indonesia Raya dilarang terbit. Tamat sudah Indonesia Raya. Akan tetapi jiwa Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Lubis tetap hidup (hingga kita lihat nanti sampai umur panjang). Mochtar Lubis baru bebas tahun 1966 (era orde baru), dibebaskan oleh seniornya Adam Malik (Kantor Berita Antara) yang kini menjadi tokoh utama lahirnya orde baru. Indonesia Raya terbit kembali (1967).

Perguruan Tinggi Djurnalistik: Mentor Ali Mochtar Hoeta Soehoet Wafat

Untuk soal keberanian pers, Ali Mochtar Hoeta Soehoet banyak belajar dari Mochtar Lubis sebagaimana dulu Mochtar Lubis belajar banyak dari seniornya Parada Harahap. Namun untuk urusan pendidikan pers Ali Mochtar Hoeta Soehoet sudah barang tentu banyak belajar dari dekannya di Akademi Wartawan Djakarta, Parada Harahap, seorang tokoh pers sejak era Belanda yang menemukan Ali Mochtar Hoeta Soehoet di Padang Sidempoean pada era Perang Kemerdekaan.

Akademi Wartawan Djakarta adalah institusi pendidikan pertama di bidang pers yang beralamat di Decapark (seberang Istana). Akademi ini didirikan oleh Parada Harahap bulan Februari 1951. Ali Mochtar Hoeta Soehoet termasuk salah satu mahasiswa angkatan pertama. Setahun kemudian (April 1951) akademi baru ini dijadikan yayasan. Pada tahun 1952 Akademi Wartawan Djakarta membuka ruang perkuliahan di Tjikini. Lalu dalam perkembangannya, setelah wisuda pertama (1954) Akademi Wartawan Djakarta ditingkatkan statusnya menjadi perguruan tinggi (universitas) dengan nama baru Perguruan Tinggi Djurnalistik (Hogeschool voor journalistiek) dibawah yayasan Perguruan Tinggi Djurnalistik. Yang mana sebagai ketua Mr. Drs. MKM Tambunan. Ketua Kehormatan yayasan adalah Walikota Sudiro dan pelindung Wakil Perdana Menteri Mr Wongsonegoro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1954).

Pada tahun 1955, Perguruan Tinggi Djurnalistik, suksesi Akademi Wartawan Djakarta untuk lebih meningkatkan kualitas, pemerintah menawarkan bantuan anggaran pendidikan namun dukungan tersebut akan diberikan asalkan Perguruan Tinggi Djurnalistik dapat dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara keseluruhan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-02-1955).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-01-1955: ‘Organisasi mahasiswa jurnalistik di Jogja. Persatuan Paladjar Djurnalistik Indonesia, Persatuan Siswa Wartawan Indonesia dan Ikatan Siswa Wartawan Indonesia telah membentuk sebuah komisi hari ini [di Jogja] untuk melakukan penggabungan antara tiga organisasi dan antara semua organisasi mahasiswa dan jurnalistik di seluruh Indonesia’.

Lalu pada tahun 1956 di Perguruan Tinggi Djurnalistik dibentuk Dewan Guru (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-07-1956) yang dipimpin oleh seorang ketua dan sekretaris.

Sebagaimana diketahui Mochtar Lubis sejak 1951 sudah ada indikasi antara Soekarno (pemerintah) dan Mochtar Lubis (pers) muncul ketegangan. Lalu Mochtar Lubis di Indonesia Raya (1956) menuduh para menteri Soekarno melakukan tindak korupsi. Akibat itu, Mochtar Lubis dan Indonesia Raya (surat kabar dimana Ali Mochtar Hoeta Soehoet bekerja) mendapat tekanan dan harus menjalani sidang yang berlarut-larut. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga sempat mendapat teror Januari 1956 ketika orang tertentu melempar api ke atap rumahnya. Pada bulan Desember 1956 Mochtar Lubis ditangkap dan ditahan. Sejak itu pers nasional menjadi heboh yang mendapat sorotan internasional. Bahkan masalah pers ini diduga telah memicu munculnya pemberontakan di daerah (Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara) tahun 1957. Para pemimpin pensdiri republik bahkan melakukan pertemuan yang mendukung Mochtar Lubis. Kekisruhan yang terus menggerogoti kewibawan pemerintah juga telah memicu keretakan antara Soekarno dan Mohammad Hatta. Sebuah surat kabar Djakarta memberi komentar: ‘Dwi Tunggal: Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal’. Mochtar Lubis menjadi pusat perhatian dari semua pihak. Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai pemeran pengganti di Indonesia Raya juga ditangkap dan ditahan lagi tanggal 20 Agustus 1957. Sama seperti sebelumnya surat kabar Indonsia Raya akhirnya dibreidel. Mochtar Lubis, yang setelah ditangkap, lalu setelah empat belas hari  diubah menjadi tahanan rumah, di mana tidak ada yang bisa bertemu, tidak dapat menelepon, tidak menulis artikel untuk korannya, dan lain-lain (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-04-1957). Pada penangkapan yang kedua ini Mochtar Lubis dan Indonesia Raya tamat.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-08-1957
Penekanan pemerintah terhadap pers dan penahanan terhadap Mochtar Lubis juga berimbas ke perguruan tinggi. Pada tahun 1957 dosen-dosen di Perguruan Tinggi Djurnalistik melakukan mogok mengajar (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-02-1957). Dosen-dosen yang mogok tersebut adalah Iskandar Notobroto, Mr. St. Moh. Sjah, JW Henfling, Khouw Giok Po, Drs. Marbangun, Mr. Dr. Prujudi Atmosudirdjo, Mr. Drs. O. Sibarani, Dr. Slamet Muljono, Mr. Sumarto dan B. Soemitro. Alasan mogok karena ada protes yang dilakukan tetapi tidak digubris oleh yayasan. Dosen-dosen merasa kesulitan dalam menjalankan fungsinya. Meski tidak jelas apa yang dimaksud kesulitan dalam menjalankan fungsinya diduga terkait dengan adanya intervensi pemerintah melalui pimpinan yayasan.

Sejak pemogokan dosen Perguruan Tinggi Djurnalistik tidak terdeteksi lagi nama perguruan tinggi di bidang pers ini untuk selanjutnya. Boleh jadi Perguruan Tinggi Djurnalistik mati suri lalu mati untuk selamanya. Ini mengindikasikan tidak hanya wartawan yang ditangkap dan surat kabar dibreidel tetapi juga perguruan tinggi jurnalistik juga ditutup?

Java-bode, 12-06-1956
Lantas dimana Parada Harahap setelah Akademi Wartawan Djakarta ditutup (dan munculnya Perguruan Tinggi Djurnalistik). Parada Harahap pada tahun 1956 diberitakan menjabat sebagai Dekan Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik. Perguruan tinggi ini baru dibuka di bawah yayasan Ibnu Chaldun (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-06-1956). Dalam pembukaan perguruan tinggi yayasan Islam ini, Parada Harahap memberikan kuliah umum berjudul Pelatihan untuk Wartawan (de opleiding tot journalist).

Java-bode, 12-06-1956
Nama Parada Harahap dalam hal Akademi Wartawan Djakarta terakhir terdeteksi tahun 1953. Nama Akademi Wartawan Djakarta menghilang lalu muncul nama Perguruan Tinggi Djurnalistik. Nama Parada Harahap dalam jajaran pengurus dan dosen Perguruan Tinggi Djurnalistik tidak terdeteksi. Parada Harahap tampak memiliki kesibukan yang luar biasa di saat itu. Parada Harahap diangkat pemerintah sebagai pimpinan untuk membuat rancangan pembangunan Indonesia. Rancangan ini didasarkan atas studi banding ke 14 negara di Eropa. Pada tahun 1956 rancangan tersebut telah selesai dan diterbitkan (ke publik). Parada Harahap aktif di surat kabar Bintang Timoer, surat kabar yang diterbitkan kembali (surat kabar yang didirikan di Batavia oelh Parada Harahap pada tahun 1925 dan menghilang tahun 1937). Pada tahun ini juga buku Parada Harahap diterbitkan berjudul Toradja. Ini buku Parada Harahap yang kesekian setelah bukunya yang pertama berjudul: Perjalanan ke Sumatra: Dari Pantai ke Pantai tahun 1926. Parada Harahap juga aktif di NV De Unie, percetakan yang juga penerbit surat kabar Java Bode. Parada Harahap juga aktif di Kadin Indonesia (pemilik Beringan Trading Coy). Ini mengindikasikan Parada Harahap yang multi talenta, jurnalis, pengusaha, penulis dan akademisi talah mempelopori pendidikan jurnalistik dengan mendirikan Akademi Wartawan Djakarta.  Salah satu mahasiswa angkatan pertama akademi ini adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang kemudian menjadi ketua dewan mahasiswanya. Anehnya, setelah selesai tahun ketiga, tepatnya setelah wisuda pertama akademi ini yang mana satu diantaranya yang lulus adalah Ali Moehtar Hoeta Soehoet, nama akademi ini kemudian menghilang dan muncul Perguruan Tingga Djuenalistik. Ini seolah-olah Akademi Wartawan Djakarta diperuntukkan  Parada Harahap untuk ‘anak emasnya’ Ali Mochtar Hoeta Soehoet.

Parada Harahap dalam kuliah umumnya itu pada intinya ingin mempromosikan jurnalisme yang sehat. Apakah ini suatu isyarat yang terkesan menyindir bahwa dunia jurnalis saat itu tidak sehat, yang mana Mochtar Lubis dan Indonesia Raya tengah berjuang sendiri (dalam melawan pemerintah dan militer yang represif). Parada Harahap bagaikan guru yang ingin membina dan juga melindungi para juniornya.

Parada Harahap tidak terlalu banyak di pers praktis dan lebih banyak di dunia akademik jurnalis. Pada saat itu (1956) hanya ada sejumlah media yang tetap independen. Pada tahun ini ada tujuh wartawan Indonesia yang berangkat ke Jepang untuk menghadiri Konferensi Pers Internasional, yakni Adinegoro dari PIA, Adarn Malik dari Antara, S. Tahsin dari Bintang Timur. S. Tasrif dari Abadi, Rosihan Anwar dari Pedoman, AK Loebis dari SPS dan Mochtar Lubis dari Indonesia Raya (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 15-03-1956). International Press Institute chpater Djakarta didirikan tahun 1952 dengan dewan sebagai berikut: Mochtar Lubis (Indonesia-Raya) sebagai ketua, S. Tasrif (Abadi) sebagai sekretaris, BM Diah (Merdeka) sebagai bendahara dan Rosihan Anvvar (Pedoman) sebagai komisaris (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-02-1952). Hampir semua wartawan yang memiliki integritas berafiliasi dengan Parada Harahap. Adinegoro adalah mantan editor Bintang Timoer milik Parada Harahap pada tahun 1930. Adam Malik adalah anak buah Parada Harahap yang melanjutkan kantor berita pertama yang didirikan Parada Harahap, Alpena (bersama WR Supratman). S. Tahsin sudah barang tentu, karena Bintang Timur diterbitkan kembali oleh Parada Harahap. AK Loebis dan Mochtar Lubis serta BM Diah (marga Diah sebagaimana marga Hoeta Soehoet)) adalah juga mantan anak buah Parada Harahap. Hanya dua yang tidak berafiliasi dengan Parada Harahap yakni S. Tasrif dan Rosihan Anwar. Surat kabar Abadi yang digawangi oleh S. Tasrif adalah surat kabar milik Masyumi (pimpinan Boerhanoeddin Harahap) sedangkan Pedoman (milik dari PSI). Surat kabar berhaluan Islam lainnya adalah Pemandangan dan Duta Masjarakat. Tujuh orang yang berseberangan dengan pemerintah ini, seakan tujuh pertama orang Indonesia (yang melawan Belanda) ke Jepang tahun 1933 di bawah pimpinan Parada Harahap. Tiga diantara tujuh orang pertama Indonesia ke Jepang tersebut, selain Parada Harahap adalah Abdulah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan) dan Mohammad Hatta (yang baru lulus sarjana dari Belanda). Satu lagi surat kabar (independen) yang bersuara lantang adalah Sumber, pimpinan S. Panjaitan. Surat kabar lainnya adalah Suluh Indonesia (PNI) dan Harian Rakjat (PKI).

Surat kabar Indonesia Raya adalah tempat dimana Ali Mochtar Hoeta Soehoet ikut mengelola manajemen dan memimpin keredaksian. Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah sosok wartawan revolusioner yang mengikuti dua mentornya: Parada Harahap dan Mochtar Lubis.

Java-bode, 12-06-1956
Yayasan Ibnu Chaldun bertujuan untuk mempromosikan sains di Indonesia dengan mendirikan institusi pendidikan, melakukan penelitian ilmiah di berbagai bidang, mendirikan perpustakaan, penerbitan buku, majalah, dll. (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-06-1956). Kurator Perguruan Tinggi Ibnu Chaldun ini adalah Osman Raliby. Kampus perguruan tinggi ini memiliki masa studi lima tahun, dengan kesempatan memperoleh gelar BA dan selanjutnya dapat dilanjutkan MA. Parada Harahap dalam kuliah umum ini menyatakan bahwa perguruan tinggi yang dipimpinnya tidak hanya ingin menyebarkan pengetahuan dan sains di kalangan mahasiswa, namun lebih menekankan pada karakter, agar jurnalis yang dilatih memiliki ide baru dan berguna untuk membangun negara ini dalam arti kata yang paling luas. Setelah usai kuliah umum Menteri Agama dan Menteri Pendidikan memberikan sambutan. Yayasan Ibnu Chaldun dipimpin oleh H. Zainal Abidin Ahmad, Dr. Ali Akbar dan Sjamsuddin St. Makmur sebagai Presiden. Dewan Penasehat adalah Mohd. Natsir, Mr. Jusuf Wibisono, Adinegoro, Anwar Tjokroaminoto dan RHO Djoenaidi. Sekretariat yayasan ini berada di Jalan Kramat 45.

Java-bode, 14-08-1956
Pada tahun ketika Ibnu Chaldun didirikan dan Parada Harahap bertindak sebagai dekan, putrinya Parada Harahap yang super sibuk, sumringah pada saat menghadiri kelulusan putrinya bernama Aida Dalkit Harahap di Juridische Fakulteit van de Universiteit van Indonesia (Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Surat kabar Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-05-1956 menyebut adalah wanita pertama sarjana hukum asal Sumatra (Eerste vrouwelijke rechter op Sumatra). Pada tahun 1957, Parada Harahap mantu dua kali yakni pernikahan putri Anna Delima Harahap di Djakarta (dengan Mohamad Salim Siregar) dan Aida Dalkit Harahap dengan ahli hukum juga Datu Porkas Daulay di Pintu Padang dekat Padang Sidempoean (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1957). Berita pernikahan dua ahli hukum ini juga disajikan surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957. Disebutkan Mr. Aida Dalkit Harahap adalah putri dari Parada Harahap, Direktur Java Bode.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957
Java Bode adalah surat kabar legendaris. Surat kabar yang terbit di Semarang. Surat kabar berbahasa Belanda ini terbit pertama kali tahun 1852. Surat kabar ini terbilang yang tinggi tirasnya di jamannya. Pada tahun 1924 Parada Harahap menulis di koran ini untuk menanggapi perseteruannya dengan editor Soerabaja Handelsbald, Karel Wijbrand dalam polemik kebangsaan. Surat kabar ini pernah diakuisi oleh pengusaha koran berdarah Tionghoa tahun 1920an dan kemudian diakuisisi lagi oleh investor Belanda. Saat pendudukan Jepang koran ini berhenti (ditutup) tetapi di masa agresi terbit kembali bahkan hingga pasca pengakuan kedaulatan. Oleh karena adanya nasionalisasi pada awal tahun 1950an, Koran ini tetap terbit tapi sahamnya dibeli oleh investor pribumi yakni Parada Harahap pada tahun 1952. Dengan kata lain setelah satu abad terbit, Parada Harahap baru bisa memiliki koran legendaries ini.

Sebagaimana surat kabar Indonesia Raya (Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet) yang dibreidel tahun 1957, surat kabar Java Bode masih terbit. Pada perayaan dies natalis pertama Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik (Sekolah Tinggi Ilmu Jurnalisme dan Ilmu Politik) tahun 1957 melakukan"bazaar jurnalistik" yang diadakan di Gedung Wanita di Jakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-08-1957).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-08-1957: ‘Mochtar Lubis de beste journalist (Mochtar Lubis adalah jurnalis terbaik). Surat kabar Indonesia Raya dan editornya Mochtar Lubis terpilih sebagai surat kabar terbaik dan jurnalis terbaik di Indonesia saat ini. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei yang baru-baru ini diadakan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik di Jakarta sebagai bagian kegiatan tridarma pada saat dies natalis. Sebagai jurnalis terbaik kedua adalah direktur kantor berita PIA, Adinegoro. Mochtar Lubis diberikan piala dan hadiah mesin tik’.

Pengumuman hasil survei jurnalis terbaik ini, Mochtar Lubis tengah menghadapi tuntutan dari pemerintah/militer. Hasil survei ini merupakan suara masyarakat luas yang disurvei. Tidak lama kemudian pada bulan Agustus 1957 pemerintah/militer seakan merespon hasil survei tersebut dengan menghukum Mochtar Lubis dengan tanahan dan surat kabarnya Indonesia Raya yang digawangi oleh Ali Mochtar Lubis dilarang terbit (dibreidel) untuk selamanya. Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet hanya tinggal badan, jiwa mereka (Indonesia Raya) telah melayang.

Jika Mochtar Lubis meski ditahan dalam status tahanan rumah, tetapi gerak-geriknya dipantau, tidak boleh menjadi editor lagi, tidak boleh mengirim artikel ke media manapun. Singkat kata: Jiwa Mochtar Lubis telah dihabisi. Hal ini berbeda dengan Ali Mochtar Hoeta Soehoet hanya kehilangan Indonesia Raya, tetapi masih bisa menjadi editor di tempat lain. Ali Mochtar Hoeta Soehoet masih memiliki saham di surat kabar Sumber (pimpinan S. Pandjaitan). Oleh karenanya Mochtar Hoeta Soehoet masih aktif di PWI.

Ali Mochtar Hoeta Soehoet dalam suatu rapat umum PWI yang sekaligus melakukan pemilihan direksi baru, mengajukan usul untuk membuat kode etik wartawan dan perlunya solidaritas wartawan. Dia mengajukan empat rancangan resolusi mengenai isu terkini saat ini di dunia pers Indonesia. Rancangan resolusi ini akan dikirim ke pemerintah dan komandan tertinggi militer (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1957).

Dalam perkembangannya, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi seorang tokoh pers yang telah memainkan peran seperti seniornya: Parada Harahap dan Mochtar Lubis.

Pada tahun 1959 surat kabar Java Bode dilarang terbit oleh pemerintah karena alasan berbahasa Belanda. Pemerintah sangat alergi dengan Belanda, karena masalah Irian Barat belum selesai. Bahkan nama terminologi Betawi juga dilarang karena dianggap berasal dari terminologi Batavia (namun orang Betawi protes keras). Lalu pada tahun 1959 ini juga Parada Harahap dikabarkan meninggal dunia di Jakarta dengan tenang. Mentor Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet hilang untuk selamanya.

Kebebasan pers di Indonesia telah dipasung. Para editor tidak berkutik lagi. Semua media dikontrol oleh pemerintah/militer. Semua para editor diawasi. Tidak hanya Mochtar Lubis, tetapi juga Adam Malik dan Sakti Alamsjah. Tentu saja dalam hal ini Ali Mochtar Hoeta Soehoet.

Setelah terjadi peristiwa G 30/S PKI (1965) dan terjadi pergeseran kepemimpinan dari rezim orde lama (Soekarno) ke rezim orde baru (Soeharto) sedikit pers bernapas lega. Pengekangan pers memang tidak sepenuhnya dilepas, pers justru diarahkan untuk berafiliasi dengan militer orde baru (1966). Adam Malik sudah di pemerintahan. Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet tidak berafiliasi dengan pers militer. Namun Sakti Alamsjah berafiliasi dengan surat kabar militer. Namun kegamangan ini tidak lama, boleh jadi karena peran Adam Malik di pemerintahan, kebebasan pers mulai dibuka (1967). Mochtar Lubis menerbitkan lagi Indonesia Raya di Djakarta dan Sakti Alamsjah menerbitkan surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung (dua surat kabar ini mottonya sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’.  

Ali Mochtar Hoeta Soehoet bergabung dengan surat kabar Abadi (yang berafiliasi dengan Masyumi). Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum.

Selain masih berkecimpung di media, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi bagian dari PWI. Pada tahun 1977 Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi salah satu anggota Komisi Pembentukan Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Pers yang berada di bawah naungan Dewan Pers. Dua tahun sesudahnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet mendirikan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) yang menjadi rektor pertama.

Namun persoalan baru muncul kemudian. Pers dan mahasiswa  memiliki padangan miring terhadap pemerintah. Puncak kisruh ini adalah apa yang dikenal dengan Peristiwa Malari tahun 1974. Uniknya polanya sama. Jika di era orde lama Parada Harahap netral karena dekat juga dengan Soekarno. Yang berontak saat itu adalah pers yang dipimpin Mochtar Lubis dan mahasiswa yang dipimpin Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Kini (1973) Adam Malik yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri netral karena dekat dengan Soeharto. Yang berontak saat ini adalah mahasiswa yang dipimpin oleh Hariman Siregar dan pers yang dipimpin oleh Mochtar Lubis.

Dampak dari Peristiwa Malari tahun 1974 pelakunya lebih banyak. Pers dibreidel termasuk surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan surat kabar Abadi (Ali Mochtar Hoeta Soehoet). Pimpinan mahasiswa Hariman Siregar (ketua dewan mahasiswa Universitas Indonesia) juga ditahan. Mochtar Lubis tamat.

Sejak pembredeilan sejumlah media, pers kembali diarahkan oleh pemerintah, kata halus untuk dikontrol. Yang tidak sejalan akan dibreidel. Hal serupa ini pernah terjadi di era orde lama (Soekarno). Saat itu pers yang berafiliasi Partai PKI sedikit mendapat angin. Kini di era orde baru (Soekarno), PKI telah dianggap terlarang dan pers berafiliasi PKI hilang. Pemerintah yang mengarahkan pers lalu untuk pers bisa bertahan harus mengikuti arahan, termasuk surat kabar Pikiran Rakyat yang dipimpin oleh Sakti Alamsjah.

Di era orde baru, sejak 1966 sudah mulai terbentuk Dewan Pers. Suatu badan pers yang bersifat independen yang operasionalnya dilakukan oleh PWI.  Namun kegiatannya baru efektif setelah Peristiwa Malari 1974. Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain.

Pada tahun 1977 Dewan Pers membentuk sebuah komisi dalam upaya pembentukan lembaga pusat pendidikan dan latihan pers. Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang tidak memiliki media lagi, termasuk salah satu anggota komisi tersebut. Pengangkatan Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai anggota komisi karena sebelumnya sudah pernah (berpengalaman) menjadi anggota Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang menjabat sebagai Wakil Sekretaris (1970-1972) dan Wakil Ketua (1972-1974).  Pada saat menjabat Wakil Ketua SPS ini Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga merangkap sebagai Ketua Bidang Pendidikan.

Di lingkungan perguruan tinggi juga muncul pusat-pusat pendidikan dan latihan pers. Salah satu yang menonjol adalah Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya/LP3Y yang mana salah satu pentolannya yang terkenal Ashadi Siregar. Alumni SMA Negeri 1 Padang Sidempoean dan dan dosen UGM ini juga dikenal sebagai pengarang novel, Novel terkenalnya Cintaku di Kampus Biru. Jabatan akademik terakhir Ashadi Siregar adalah Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (1996-1999).

Sejak pembreidel sejumlah media, Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet (Abadi) kedua tokoh pers itu mulai beralih profesi. Mochtar Lubis, yang juga sebagai penulis mulai menekuni bidang penerbitan buku-buku bermutun (terkenal dengan Yayasan Obor). Ali Mochtar Hoeta Soehoet, lebih condong memilih salah satu profesi seniornya Parada Harahap yakni di bidang pendidikan (pers).

Ali Mochtar Hoeta Soehoet kemudian tahun 1979 muncul sebagai pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi sebagai Dekan, suatu posisi yang pernah dijabat oleh seniornya Parada Harahap di Akademi Wartawan Djakarta (1951-1953) dan di Perguruan Tinggi Kewartawanan dan Politik (sejak 1956). Lalu kemudian sekolah tinggi ilmu komunikasi ini berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Pada tahun 1985 nama dan statusnya diubah lagi menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang disingkat IISIP (nama ini terus eksis hingga ini hari).

Pada masa tua. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap di bidang pendidikan pers (sebagaimana seniornya Parada Harahap). Jabatan pimpinan (Dekan/Rektor) IISIP Jakarta di Lenteng Agung berakhir tahun 2001. Setelah itu Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan ‘Kampus Tercinta’, yayasan yang menyelenggarakan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Posisi Ketua Dewan Pembina Yayasan ini tetap dijabat oleh Ali Mochtar Hoeta Soehoet hingga tiba saatnya Allah SWT memanggilnya, saat yang serupa seperti yang dialami oleh seniornya Parada Harahap sebagai Dekan Perguruan Tinggi Kewartawanan dan Politik. Parada Harahap meninggal dunia tahun 1959.

Ali Mochtar Hoeta Soehoet Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata

Ali Mochtar Hoeta Soehoet, tokoh pers dan pendiri IISIP Jakarta, lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan 11 November 1928 meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2011 dan dimakamkan  di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Ali Mochtar Hoeta Soehoet memulai kegiatan heroik ketika era Perang Kemerdekaan yang bertindak sebagai Komandan Tentara Pelajar di Padang Sidempuan. Ali Mochtar Hoeta Soehoet ikut mengelola surat kabar Detik, media perjuangan ketika ibukota RI berada di pungungsian di Bukittinggi. Sejak hijrah ke Batavia, Ali Mochtar Hoeta Soehoet aktif untuk menyelenggarakan peringatan lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan lahirnya Sumpah Pemuda. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga aktif mengkoreksi pemerintah demi negara yang sejahtera melalui pers. Last but not least Ali Mochtar Hoeta Soehoet turut aktif mencerdaskan para kandidat insan persn melalui pendidikan pers. Atas semua kegiatan yang dilaluinya itu dengan tulus ikhlas Ali Mochtar Hoeta Soehoet diberi tanda kehormatan Bintang Gerilya, tanda Jasa Pahlawan dan bintang-bintang Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan ke-I, Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan ke-II, Satyalantjana Satya-Dharma, Satyalantjana Wira-Dharma dan Satyalantjana Penegak (pangkat  Letnan Satu).

Pada masa tua. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap di bidang pendidikan pers (sebagaimana seniornya Parada Harahap). Jabatan pimpinan (Dekan/Rektor) IISIP Jakarta di Lenteng Agung berakhir tahun 2001. Setelah itu Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan ‘Kampus Tercinta’, yayasan yang menyelenggarakan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Posisi Ketua Dewan Pembina Yayasan ini tetap dijabat oleh Ali Mochtar Hoeta Soehoet hingga tiba saatnya Allah SWT memanggilnya, saat yang serupa seperti yang dialami oleh seniornya Parada Harahap sebagai Dekan Perguruan Tinggi Kewartawanan dan Politik. Parada Harahap meninggal dunia tahun 1959.

Diantara empat tokoh pers asal Padang Sidempuan tersebut saya hanya dengan Sakti Alamsjah saya bersua. Saya bertemu dengan Sakti Alamsjah (Siregar) di Bandung tahun 1981. Sakti Alamsjah, anak Sipirok yang sekampung dengan Ali Mochtar Hoeta Soehoet bertukar kisah dengan paman saya (adik ayah saya) yang tinggal di Sukabumi dimana saya turut hadir ketika berkunjung ke rumah Sakti Alamsjah (uwak saya yakni abang ayah saya adalah suami dari adik Sakti Almasjah). Dari sinilah awalnya saya mendengar kisah para generasi awal asal Padang Sidempuan berjuang di Djakarta. Saat itu saya adalah Komandan Regu Pramuka Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) ke Raimuna Nasional di Cibubur, Jakarta. Ada perbedaan waktu 33 tahun, ketika Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai Komandan Tentara Pelajar Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola), 1948 dengan saya Komandan Regu Pramuka Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) tahun 1981. 
  
Parada Harahap telah banyak melahirkan jurnalis hebat dari dunia praktis seperti Djamaloedin alias Adinegoro (PIA), Adam Malik (Antara), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Sakti Alamsyah (Pikiran Rakyat), BM Diah (Merdeka) dan termasuk Boerhanoedin Harahap (Abadi). Setali tiga uang, Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga telah banyak melahirkan jurnalis hebat melalui kampus di bidang pendidikan publisistik, termasuk diantaranya Andy F. Noya (yang poluer dengan Kick’s Andy).

Parada Harahap, Sakti Alamsjah dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah sedikit dari jurnalis hebat Indonesia yang berhasil membimbing anak-anaknya di dalam keluarga. Parada Harahap mengantarkan anak-anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Salah satu putri Parada Harahap adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1957) bernama Aida Dalkit Harahap, perempuan pertama ahli hukum dari (pulau) Sumatra. Sakti Alamsjah menyekolahkan anak-anaknya ke Eropa (Inggris), salah satu diantaranya adalah Perdana Alamsyah yang kini menjadi Direktur Utama PT Pikiran Rakyat Bandung. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga berhasil mendidik anak-anaknya hingga perguruan tinggi, salah satu diantaranya Ilham Parsaulian Huta Suhut yang menjadi Rektor IISIP Jakarta hingga sekarang. Mereka ini telah berjuang untuk RI tetapi juga tidak lalai di lingkungan keluarga.

Pelurusan Sejarah: Soekarno Tidak Pernah Terlibat dalam Kongres Pemuda dan Hari Sumpah Pemuda

Ada dua kesalahan esensial dalam penulisan sejarah Sumpah Pemuda. Pertama, disebutkan bahwa Soekarno terlibat dalam Kongres Pemuda 1928. Faktanya adalah Mohammad Yamin dan Amir Sjarifoedin yang banyak terlibat di Kongres Pemuda 1928. Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) pada Oktober 1928 relatif bersamaan waktunya. Ketua Panitia Kongres PPPKI adalah Parada Harahap yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris PPPKI (Ketua PPPKI adalah MH Thamrin). Sebagai Ketua Panitia Kongres PPPKI, Parada Harahap juga merangkap sebagai pembina (panitia) Kongres Pemuda. Parada Harahap dkk adalah sponsor pembiayaan Kongres Pemuda (Parada Harahap adalah Ketua Kadin Batavia). Soekarno tidak diplot berpartisipasi dalam Kongres Pemuda, tetapi Parada Harahap mengundang Soekarno untuk berpidato di Kongres PPPKI. Selain Soekarno, Mohammad Hatta juga diundang untuk berpidato di Kongres PPPKI tetapi Mohammad Hatta tidak bisa hadir karena kesibukan kuliah di Belanda (tetapi mengirim utusan Ali Sastroamidjojo).  Dengan demikian, Soekarno dan Mohammad Hatta tidak pernah berpartisipasi dalam Kongres Pemuda.

Pembentukan PPPKI digagas oleh Parada Harahap. Pembentukan supra organisasi ini didukung oleh Soetan Casajangan. Pelaksanaan pembentukan PPPKI ini dilaksanakan di rumah Husein Djajadiningrat. Soetan Casajangan adalah pendiri organisasi mahsiswa pertama di Belanda (Indisch Vereening) 1908 yang mana Ketua Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Parada Harahap sebagai revolusioner, pendiri surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean 1919, ketika hijrah ke Batavia 1923 selalu berpartisipasi dalam dua organisasi sekaligus yakni Sumatranen Bond dan Bataksc Bond. Untuk sekadar catatan: Sumatranen Bond didirikan oleh Sorip Tagor (kakek Inez/Risty Tagor) di Belanda tahun 1917. Sedangkan Batakch Bond didirikan oleh Dr. Abdoel Rasjid. Dalam konteks ini Parada Harahap adalah sekampung (sama-sama kelahiran Padang Sidempoean) dengan senior-seniornya Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, Sorip Tagor (Harahap) dan Abdoel Rasjid (Siregar).

Kedua, dalam Kongres Pemuda 1953 Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden juga tidak terlibat. Yang berpartisipasi langsung dalam Kongres Pemuda 1953 adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Dua orang dibelakang Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai pembina (tidak langsung) adalah Parada Harahap dan Mohammad Yamin. Saat itu, Parada Harahap adalah Direktur Akademi Wartawan dan juga sebagai Ketua Kopertis (pembina Kongres Pemuda Kongres 1928). Sementara Mohammad Yamin adalah Menteri Pendidikan (sekretaris panitia Kongres Pemuda 1928). Parada Harahap selain sekretaris PPPKI juga adalah sekretaris Sumatranen Bond, sementara Mohammad Yamin sebagai mahasis Rechthoogeschool juga adalah anggota Jong Sumatranen Bond. Tempat pelaksanaan Kongres Pemuda di Decapark, kampus Akademi Wartawa yang mana sebagai Ketua Dewan Mahasiswa adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet.

Perbedaan Pendapat Selalu Ada yang Menyatukan
Kongres Pemuda 1953 mengusung dua agenda. Pertama memperingati 25 tahun lagu Indonesia Raya dikumandangkan dalam Kongres Pemuda 1928. Lagu Indonesia Raya adalah ciptaan WR Supratman (anak buah Parada Harahap). Kedua, untuk memperbarui kesetiaan pemuda dengan melakukan sumpah. Isi sumpah yang dibacakan adalah isi hasil keputusan Kongres Pemuda 1928 (satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa). Munculnya ide Kongres Pemuda 1953 dan ide adanya sumpah pemuda (baca: Sumpah Pemuda) adalah untuk menengahi permasalahan krisis bangsa yang mengutub dua kubu: Kubu petama (Soekarno, Mohammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo) dan kubu yang kedua (militer Kol. Abdul Haris Nasution dan pers Mochtar Lubis).  Kol. Abdul Haris Nasution sebagai panglima sudah dipecat Soekarno 1952 karena protes, sementara Mochtar Lubis dipidana karena menulis di surat kabar Indonesia Raya bahwa Soekarno harus bertanggungjawab terhadap kematian jutaan rakyat Indonesia sebagai romusha di era pendudukan Jepang yang mana Soekarno. Dalam situasi inilah Parada Harahap mengambil peran menengahi dengan menginisiasi diantara dua pihak yang berseteru  dengan menggalang pemuda untuk melakukang Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Parada Harahap cukup dekat kepada masing-masing dua kubu. Sementara Ali Mochtar Hoeta Soehoet cukup dekat dengan Parada Harahap (mahasiswanya di Akademi Wartawan) dan juga cukup dekat dengan Mochtar Lubis (stafnya di Indonesia Raya). Parada Harahap tentu saja didukung habis oleh juniornya Mohammad Yamin (yang kini menjadi Menteri Penidikan). Parada Harahap dan Mohammad Yamin di posisi netral dalam situasi politik saat itu yang nota bene berada di belakang Kongres Pemuda 1953 dan munculnya Sumpah Pemuda. Pada dasarnya Kongres Pemuda 1953 mengusung satu agenda utama yakni memperingati 25 tahun lagu Indonesia Raya (lihat De nieuwsgier, 21-10-1953). Di dalam kongres ini juga para pemuda memperbarui kesetiaan yang memunculkan ide para pemuda bersumpah (Sumpah Pemuda). Mengapa Indonesia Raya dan mengapa pula Sumpah Pemuda menjadi hal terpenting dari hasil Kongres Pemuda 1953 ini? Ini mudah dipahami: bahwa lagu Indonesia Raya mendampingi hasil putusan kongres dalam Kongres Pemuda 1928. Parada Harahap adalah pembina kongres dan Mohammad Yamin adalah sekretaris panitia. Hal yang penting bagi Parada Harahap, di satu pihak lagu Indonesia Raya diciptakan WR Supratman adalah anak buah yang sekaligus sahabat baiknya (bukankah WR Supratman cukup lama tinggal bersama di rumah Parada Harahap?) dan di pihak lain Indonesia Raya adalah nama surat kabar anak buahnya yang sekaligus sahabat baiknya Mochtar Lubis. Lantas mengapa Putusan Kongres (1928) bertransformasi menjadi Sumpah Pemuda (1953). Ini juga mudah dipahami. Mohammad Yamin adalah pengagum Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Dalam hal inilah peran Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda 1953 dikaitkan.

Dengan demikian Soekarno tidak pernah sama sekali berpartisipasi dalam Kongres Pemuda baik tahun 1928 maupun tahun 1953. Namun demikian, Soekarno mendukung (secara pasif) baik Kongres Pemuda 1928 dan Kongres Pemuda 1953. Setelah Kongres Pemuda 1928 tidak ada lagi kegiatan besar pemuda (semacam pelaksanaan kongres-kongres berikutnya) hingga munculnya kemudian Kongres Pemuda 1953. Soekarno setelah Kongres PPPKI 1928 semakin intens di PPPKI (bersama Parada Harahap, MH Thamrin dan Soetomo). Demikian juga setelah Kongres Pemuda 1953 yang terkenal dengan Sumpah Pemuda (pada Kongres Pemuda 1928 belum ada sumpah permuda) Soekarno cukup intens mensosialisasikan hasil Kongres Pemuda 1953 (Sumpah Pemuda) di setiap kesempatan. Sosialisasi ini juga dilakukan oleh Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di setiap kesempatan. Respon inilah yang diinginkan oleh Parada Harahap. Dan inisiatifnya untuk menggalang pemuda dan melakukan sumpah yang dipimpin oleh Ali Mochtar Hoeta Soekoet tampaknya telah berhasil.

Generasi Pemersatu (Persatuan dan Kesatuan)
Cara berpikir dan perasaan piskologis Parada Harahap mudah dipahami mengapa sangat mengedepankan persatuan dan kesatuan. Sumatranen Bond terlalu kecil dibandingkan dengan Boedi Oetomo dan Bataksch Bond terlalu kecil dibandingkan dengan Sumatranen Bond. Meski hanya memiliki pendidikan formal setingkat sekolah dasar, tetapi seorang otodidak yang cepat belajar membuatnya sangat futuristik (melihat jauh ke depan) perlawanan terhadap Belanda (dengan mendirikan Sinar Merdeka) tidak cukup dengan sendiri (sendiri) tetapi harus melalui kerjasama (gotong royong) di dalam organisasi. Demikian juga organisasi-organisasi yang terkotak-kotak juga tidak akan cukup untuk mencapai tujuang yang besar. Sementara secara psikologis Parada Harahap sebagai orang Batak di perantauan (jauh dari kampung halaman) merasa minoritas diantara Sumatra dan lalu Sumatra juga minoritas diantara Jawa. Karena itulah Parada Harahap sangat bersemangat dan mengambil inisiatif untuk membentuk persatuan (badan) agar terjadi kesatuan (jiwa). Hal serupa ini yang dirasakan seniornya dulu Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di Padang tahun 1900 (pendiri organisasi kebangsaan bersifat nasional Medan Perdamaan) dan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Belanda tahun 1908 (pendiri organisasi mahasiswa bersigat nasional Indisch Vereeniging).  Inilah esensi dasar mengapa munculnya inisiatif  Parada Harahap dalam pembentukan PPPKI. Meski minoritas, Parada Harahap secara psikologis tidak terlalu lemah (tidak minder). Saat itu, tiga seniornya masih hidup dan berkarir yakni Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging yang menjabat Direktur Normaal School di Meester Cornelis), Sorip Tagor (pendiri Sumatranen Bond yang menjabat Kepala Veteriner di Weltevreden) dan Abdul Rasjid (pendiri Bataksch Bond sebagai anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli). Di Volksraad juga masih ada seniornya, Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Sumatra Timur) dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (dari wakil golongan masyarakat bidang pendidikan). Parada Harahap tentu saja tahu betul begitu banyak mahasiswa-mahasiswa asal Padang Sidempoean di Batavia (STOVIA dan Rechthoogeschool) dan Buitenzorg (Veartsen Schoo dan Lambouwschool). Cara berpikir dan perasaan piskologis Parada Harahap terbukti berhasil dicapai.   

Afdeeling Padang Sidempoean (Afd. Mandailing dan Angkola)
Oleh karenanya Kongres Pemuda tahun 1928 dan Kongres Pemuda 1953 tidaklah berdiri sendiri tetapi memiliki relasi yang kuat. Kedua kongres ini mengusung ide persatuan dan kesatuan. Parada Harahap adalah titik sentralnya dan memainkan peran penting dan strategis. Tidak hanya itu. Perseteruan Soekarno dan Ali Sastroamidjojo di satu pihak dan Kol. Abdul Haris Nasution dan Mochtar Lubis yang terus merenggang ternyata dapat ditengahi kemudian. Adalah Burhanoedin Harahap yang menjadi Perdana Menteri tahun 1954 (menggantikan PM Ali Sastroamidjojo) meminta menterinya Abdul Hakim Harahap dapat mendamaikan Soekarno dan Abdul Haris Nasution yang mana Abdul Haris Nasution kembali menjadi panglima (yang selama ini diambilalih Soekarno). Sebagaimana kita ketahui begitu kuatnya ikatan Soekarno dan Abdul Haris Nasution pada fase berikutnya. Semua legowo atas nama persatuan dan kesatuan. Last but not least: Jika diperiksa sejarah Indonesia, Tapanoeli adalah wilayah yang selalu dan tetap setia pada wujud persatuan dan kesatuan (NKRI). Di wilayah ini tidak pernah terdapat ‘negara dalam negara’ dan juga tidak pernah ada isu pemberontakan terhadap NKRI. Dari wilayah inilah berasal Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan, Parada Harahap, Abdul Haris Nasution dan lainnya. Tentu saja dalam daftar ini termasuk Ali Mochtar Hoeta Soehoet: Komandan Tentara Pelajar Padang Sidempoean, Ketua Panitia Hari Sumpah Pemuda dan Pendiri IISIP Lenteng Agung.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar