Laman

Sabtu, 04 November 2017

Sejarah Bandung (39): Delft dan Sejarah ITB Bandung, Utrecht dan Sejarah IPB Bogor; MO Parlindoengan dan Sorip Tagor

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Di kalangan mahasiswa dan alumni Technische Universiteit Delft (TU Delf) asal Indonesia terjadi kehebohan beberapa minggu yang lalu. Hal itu dipicu dengan adanya kebohongan publik yang diakui oleh Dwi Hartanto. Kasus Dwi Hartanto TU Delf mengakibatkan munculnya polemik seputar sekolah tinggi eksak di Indonesia. TU Delft sendiri sejak dari doeloe sudah cukup dikenal di Indonesia karena TU Delft memiliki hubungan historis dengan Technische Hoogeschool Bandoeng (cikal bakal Institut Teknologi Bandung).

Logo Technische Universiteit Delft
TU Delft adalah sekolah sulit tapi prestisius. Salah satu alumni sekolah tinggi teknik ini adalah direktur pertama PT. PINDAD Bandung (1950-1954). Sejak doeloe, selain TU Delft sebagai jalur mahasiswa asal Indonesia di bidang eksak adalah Fakultas Kedokteran Universiteit van Amsterdam, salah satu alumninya adalah perempuan Indonesia pertama bergelar Doktor (Ph.D) di bidang kedokteran tahun 1931. Satu lagi universitas yang sulit adalah Fakultas Kedokteran Hewan Universiteit Utrecht yang mana salah satu alumninya adalah orang Indonesia pertama berlisensi Eropa sebagai Dokter Hewan tahun 1920. Dokter hewan yang memulai karir di Istana Gubernur Jenderal ini kemudian dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kedokteran Hewan Province West Java di Bandoeng (kelak dikenal sebagai kakek Inez/Risty Tagor).

Bagaimana sejarah perguruan tinggi di Indonesia khususnya perguruan tinggi di bidang eksak terutama ITB dan IPB tidak terinformasikan dengan lengkap.  Oleh karena munculnya kasus Dwi Hartanto di Delf memungkinkan untuk menelusuri kisah-kisah mahasiswa Indonesia di masa lampau. Mari kita telusuri dengan memulai kisah MO Parlindoengan, alumni kedua sekolah tinggi teknik di Delft.

MO Parlindoengan, Alumni TU Delft, Direktur PINDAD Pertama

MO Parlindoengan menyebut dirinya orang gila, karena memilih universitas yang tidak lazim menjadi tujuan mahasiswa asal Indonesia di era kolonial Belanda. Pasca pengakuan kedaulatan RI (1950) justru teman-temannya sesama para pejuang kemerdekaan menyebut MO Parlindoengan sebagai orang Indonesia paling waras di era Belanda. Pada bulan April 1950, MO Parlindoengan diangkat  oleh Ir. Soekarno (Presiden RI) untuk menjabat sebagai Direktur Pabrik Sendjata dan Mesioe sebagai bagian dari properti yang diserahkan (Pemerintah Hindia) Belanda kepada RI (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 21-07-1950).

Letkol Ir. MO Parlindungan (1951)
Posisi Direktur Pabrik Sendjata dan Mesioe ini menurut teman-temannya seperjuangan layak dijabat oleh MO Parlindoengan. Karena MO Parlindoengan pemilik portofolio tertinggi. MO Parlindoengan sendiri tidak hanya sarjana kimia alumni Delft, tetapi menjadi ahli bom selama perang kemerdekaan. MO Parlindoengan juga dalam hirarki militer berpangkat Overste (Letnan Kolonel) setingkat di bawah Kolonel Abdul Haris Nasution, KASAD (Kolonel pangkat tertinggi)). Letkol MO Parlindoengan berjuang melawan sekutu/NICA di Soerabaja.

MO Parlindoengan memulai pendidikan tinggi di Delft pada tahun 1937. MO Parlindoengan lulus ujian tingkat SMA (HBS) di Medan bulan Juni 1937 dengan nama AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan (De Sumatra post, 03-06-1937). Setelah lulus HBS (afdeeling-B/IPA) MO Parlindoengan segera langsung berangkat ke Batavia untuk mengurus persyaratan studi ke luar negeri. Dari Batavia, yang terdaftar di dalam manifest kapal dengan nama MO Parlindoengan, dengan menumpang kapal ss. Indrapoera berangkat dari Batavia tanggal 28 Juli 1937 menuju Marseile (Prancis) (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-07-1937). Dari kota pelabuhan ini, MO Parlindoengan meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Jerman lebih dahulu baru kemudian ke Delft. Tidak lama setelah tiba di Delft,  MO Parlindoengan terdaftar sebagai mahasiswa dan sekaligus warga kota dengan nama Mangaradja Onggang Parlindoengan dengan alamat Binnenwatersloot No. 12 (lihat Delftsche courant, 11-09-1937).

Sudah sejak lama orang-orang pribumi (baca: Indonesia) studi langsung ke Belanda. Dua yang terkenal adalah Sati Nasution alias Willem Iskander yang menempuh pendidikan guru di Haarlem tahun 1857 (pribumi pertama studi ke Belanda) dan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tahun 1905. Soetan Casajangan kuliah di Rijkskweekschool (setingkat IKIP sekarang) di Haarlem. Soetan Casajangan baru memulai kuliah tahun 1906 (karena harus matrikulasi dulu untuk peningkatan kemampuan bahasa Belanda). Soetan Casajangan sendiri adalah mahasiswa non Belanda yang pertama kali diizinkan berkuliah di Rijkskweekschool. Setelah Soetan Casajangan lulus sarjana pendidikan tahun 1912 (Sarjana Pendidikan Indonesia pertama) lalu menyusul masuk Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka. Soetan Casajangan sebelumnya, tahun 1908 mendirikan Indisch Vereeniging yang menjadi cikal bakal PPI Belanda). Ketua PPI Belanda periode 1937-1940 saat MO Parlindoengan memulai perkuliahan di Delft adalah Parlindoengan Lubis (mahasiswa kedokteran di Universiteit Leiden, masuk 1932 dan lulus 1939) dan bendahara Mohammad Ildrem (mahasiswa kedokteran di Universiteit Leiden, masuk 1931 dan lulus 1938). Prof. Dr. Mohammad Ildrem (Siregar) kelak sebagai salah satu pendiri Universitas Sumatra Utara. Salah satu senior mereka di Universiteit Leiden adalah Masdoelhak Nasution yang masuk kuliah tahun 1930 di Fakultas Hukum Uinversiteit Leiden. Setelah lulus sarjana melanjutkan tingkat doktoral di Utrecht dan berhasil meraih gelar Ph.D di bidang hukum tahun 1943 (lihat Friesche courant, 27-03-1943).

Setelah lulus dan memperoleh gelar akademik insinyur (Ir), Mangaradja Onggang Parlindoengan pulang ke tanah air. Seperti disebut dalam biografinya, sesampainya di tanah air, situasi berubah dengan adanya pendudukan oleh militer Jepang. Sampai disini, tidak ada informasi MO Parlindungan dengan gelar akdemik insinyur teknik kimia.

Setelah Hirosima dan Nagasaki dibom oleh sekutu, Jepang bertekuk lutut dan kesempatan ini diambil para pejuang untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama kemudian Inggris/Belanda datang kembali ke Indonesia. Saat ini sudah terbentuk kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Tiga diantara menteri adalah Soepriadi (Menteri Keamanan Rakyat) dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (Menteri Penerangan) serta Ir. Soerachman (Menteri Kemakmuran). Ketika Menteri Keamanan Rakyat, Soepriadi, seorang mantan PETA  mulai menyusun pertahanan rakyat maka tugas ini diberikan kepada Oerip Soemohardjo dan kawan-kawan, para mantan KNIL (termasuk TB Simatupang dan Abdul Haris Nasution) untuk mendirikan tentara keamanan rakyat (TKR) pada tanggal 1 Oktober 1945 di Djogjakarta.

Parlindoengan mulai mengambil peran. Ini bermula ketika Oerip Soemohardjo membutuhkan sejumlah pemuda cerdas untuk bergabung. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menyodorkan dua sarjana baru yakni Ir. MO Parlindungan (insinyur teknik kimia Universitas Delft) dan Irsab Radjamin Nasution (dokter lulusan Geneeskundige Hoogeschool Batavia). Seperti yang lain, dua pemuda langsung diberi pangkat overste (Letkol angkatan darat).

Mayor Jenederal Oerip Soemohardjo menugaskan Letkol Ir. MO Parlindungan untuk mendampingi Abdul Haris Nasution ke Bandoeng dengan tugas khusus untuk MO Parlindungan merebut pabrik senjata peninggalan Belanda yang dikuasai Jepang di Bandoeng. Letkol Dr. Irsan Radjamin Nasution dikirim ke Soerabaja untuk mendampingi ayahnya, Wali Kota Soerabaja Dr. Radjamin Nasution.

Ketika di Soerabaja tekanan Inggris semakin kuat dan Bandoeng sudah berhasil direbut oleh pasukan sekutu/Inggris dan pasukan RI mulai bergerilya, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (Menteri Keamanan Rakyat yang baru) meminta Letkol Ir. MO Parlindungan ditransfer ke Soerabaja untuk membantu perlawanan setelah peristiwa 10 November. Keahlian Letkol Ir. MO Parlindungan insinyur teknik kimia yang juga ahli dalam teknik bom dibutuhkan di Soerabaja dalam menangani persenjeataan dan bom-bom peninggalan Jepang untuk melawan pasukan sekutu/Inggris.

Setelah berakhir pertempuran heroik di Soerabaja para petinggi militer di Soerabaja dan Jawa Timur sebagian merapat ke Djogjakarta. Salah satu teman Overste MO Parlindoengan tetap berada di sekitar Soerabaja. Temannya itu adalah Dr. Radjamin Nasution (Walikota Soerabaja sejak era pendudukan Jepang dan wali kota di pengungsian di Mojokerto dan Tulungagung). Di Djogjakarta, ibukota RI di pungungsian (setelah pindah dari Djakarta) MO Parlindoengan justru bertemu (kembali) dengan seniornya (di Belanda) Dr. Parlindoengan Lubis yang saat di Djogja menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-Pabrik Persenjataan Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Keahlian Ir. MO Parlindoengan sangat dibutuhkan oleh Dr. Parlindoengan Lubis di Djogjakarta, terutama dalam upaya mengantisipasi ancaman/serangan militer Belanda. Dr. Parlindungan pernah ditahan fasis Jerman di kamp NAZI. Setelah lama berpisah ketika kuliah di Belanda, dua alumni Belanda ini, kedokteran Amsterdam dan teknik Delft bersua kembali dan lalu bahu membahu di ibukota RI di Djogjakarta. Ilmu yang mereka pelajari dulu menjadi begitu bermanfaar di era perang (kemerdekaan). Teman mereka Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D, yang menjabat sebagai Residen Sumatra Tengah berkedudukan di Bukittinggi dipanggil ke Djogja sebagai penasehat hukum internasional Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Namun sangat tragis, pada hari serangan Belanda ke Djogja, Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D orang pertama republik yang diculik intelijen/militer Belanda lalu ditembak mati di kebun jagung di Pakem. Berita penculikan dan penembakan Masdoelhak Nasution diumumkan oleh atase RI di London. PBB lalu bereaksi keras dan meminta Kerajaan Belanda melakukan investiga menyeluruh atas pembunuhan keji terhadap seorang ilmuwan muda dan intelektual terkemuka Indonesia (lihat De Heerenveensche koerier: onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949). Catatan: Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2006.

Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda, Mangaradja Onggang Parlindoengan pada tahun 1950 ditunjuk pemerintah untuk menjadi direktur Pabrik Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandung. Setahun kemudian (1951) ayahnya guru Soetan Martoea Radja meninggal dunia di Pematang Siantar. Sepulang dari Pematang Siantar, MO.Parlindoengan memasang berita duka di koran Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode (mulai edisi 16-06-1951) dan De nieuwsgier (mulai edisi 19-06-1951).

Pada tahun 1954, MO Parlindoengan pension dari PSM. Kemudian pada tahun itu juga Parlindoengan pindah ke Jakarta. Di masa pension ini, Mangaradja Onggang Parlindoengan memulai bisnis baru. MO Parlindungan termasuk salah satu yang mendukung Masyumi yang tidak menginginkan pusat melancarkan perang terhadap PRRI dianggap sebagai lawan politik PNI. MO Parlindungan kemudian ditahan dan kemudian diganti menjadi tahanan rumah. Pada saat bestatus tahanan rumah pada tahun 1960 MO Parlindungan menulis buku yang terkenal tetapi kontrovesial yang berjudul: Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: ‘Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833’ yang diterbitkan Penerbit Tandjung Pengharapan, 1964. Yang menahan MO Parlindungan adalah Kolonel Achmad Yani. Namun KASAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengubahnya menjadi tahanan rumah. Ini seakan berulang ketika Kolonel Abdul Haris Nasution pada persitiwa 25 Oktober 1942 melakukan demonstrasi ke istana lalu dipecat sebagai KASAD. Namun ketika Nasution mau ditahan, ketua komisi pertahanan di parlemen Zainul Arifin Pohan meminta diubah menjadi tahanan rumah. Saat tahanan rumah (1952-1955) Abdul Haris Nasution menulis buku yang fenomenal berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Abdul Haris Nasution dan MO Parlindungan adalah dua perwira militer yang memiliki kemampuan menulis, mereka berdua sama-sama menghasilkan buku yang legendaris (kebetulan sama-sama dilakukan pada saat berstatus tahanan rumah).
.
Mahasiswa pribumi yang sekolah di Delft tidak hanya MO Parlindoengan. Sejauh yang dapat ditelusuri nyaris tidak ada. Pada tahun 1923 seorang mahasiswa di Technische Universiteit Delft bernama Raden Mas Sarwedo dikabarkan meningal dunia (lihat De Preanger-bode, 11-01-1923). Andaikan Mas Sarwedo hidup maka Mas Sarwedo akan lulus bersamaan waktunya dengan Soekarno di Technische Hoogeschool di Bandoeng. Ir. Soekarno lulus tahun 1926 (mahasiswa angkatan pertama Technische Hoogeschool di Bandoeng).

Nama alumni Technische Hoogeschool/Universiteit te Delft yang perlu dicatat adalah Masdoeki Oemar yang lulus pada tahun 1953, setahun sebeluim MO Parlindoengan pension direktur PSM. Masdoeki pada tahun 1957 ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek Benduengan Djatiluhur yang diselesaikannya pada tahun 1967. Pada tahun 1957 Raden Soewardi dinyatakan lulus di Technische Universiteit Delft pada bidang fisika (natuurkundig ingenieur) (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-11-1956). Setahun kemudian tahun 1957 dua lulusan baru Technische Universiteit Delft  yakni insinyur galangan kapal F. Raden Mas Soejadi dan insinyur arsitektur pesawat Sugito (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 20-07-1957).

Dengan demikian, tidak banyak orang Indonesia yang berkuliah dan meraih sarjana teknik (Ir) di Technische Universiteit te Delft. Di era kolonial Belanda (sebelum kemerdekaan Republik Indonesi, 1945) hanya ada tiga orang yang pernah terdaftar di Delf. Yang pertama adalah Raden Kartono pada tahun 1896. Namun sayang baru tahun pertama sudah gagal. Raden Kartono adalah abang dari RA Kertini. Setelah dua puluh tahun berikutnya terdaftar Soerachman tahun 1917. Soerachman kemudian berhasil meraih gelar insinyur teknik kimia pada tahun 1922. Boleh dikatakan Ir. Soerachman adalah orang Indonesia pertama yang berhasil di TU Delft. Orang Indonesia berikutnya baru terjadi dua puluh tahun setelah Ir. Soerachman yakni AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindungan yang register tahun 1937. Seperti halnya Ir. Soerachman yang insinyur teknik kimia, MO Parlindungan juga insinyur teknik kimia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Ir. Soerachman menjabat sebagai Menteri Kemakmuran yang pertama. Ir. Soerachman adalah besan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (Menteri Pendidikan RI yang kedua). Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah saudara sepupu Mr. Amir Sjarifoeddin (Perdana Menteri RI yang kedua). Saudara perempuan ayah Soetan Goenoeng Moelia dan ayah Amir Sjarifoeddin adalah ibu kandung Ir. MO Parlindoengan. Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1950, Ir. MO Parlindungan diangkat sebagai Direktur PSM di Bandoeng, sedangkan Ir. Soerachman diangkat sebagai Presiden Universitas Indonesia (Rektor UI yang pertama). Sedangkan Mr. Soetan Goenoeng Moelia diangkat sebagai guru besar filsafat di fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

Tentu saja ada, boleh jadi ada yang ‘mengaku-ngaku’ sebagai alumni TU Delft. Hebatnya yang mengaku-mgaku tersebut bahkan pernah menjabat sebagai menteri dengan gelar insinyur. Di wikipedia profilnya ditulis alumni Delf tahun 1938. Padahal setelah ditelusuri dengan mesin pencari tercanggih tidak ditemukan. Namanya hanya pernah diberitakan sebagai salah satu yang lulus kursus akta guru dua tahun di Bandoeng. Boleh jadi bukan Dwi Hartanto yang pertama.

Sorip Tagor, Alumni Utrecht, Kepala Dinas Kedokteran Hewan West Java di Bandoeng

Setelah beberapa tahun menjadi asisten dosen di Sekolah Dokter Hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Bogor, Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda). Pada bulan Juni 1916, Sorip Tagor lulus dan diterima sebagai kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Sejauh penelusuran yang dilakukan, hanya nama Sorip Tagor yang berbau nama Indonesia di universitas unggulan ini. Ini mengindikasikan Sorip Tagor adalah mahasiswa pertama Indonesia.

Logo Universiteit Utrecht
Sorip Tagor lahir di Padang Sidempuan, 21 Mei 1888. Sorip Tagor melanjutkan studi ke Buitenzorg dan diterima di Sekolah Dokter Hewan (Inlandschen Veeartsen School) Buitenzorg tahun 1907. Sekolah Inlandschen Veeartsen School dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928). Ini mengindikasikan bahwa Sorip Tagor terbilang angkatan pertama. Pada tahun 1912 Sorip Tagor dinyatakan lulus dan bergelar Dokter Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-08-1912). Pada tahun 1910, Alimoesa Harahap mengikuti jejak seniornya Sorip Tagor ke Buitenzorg dan lulus tahun 1914 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-08-1914). Alimoesa Harahap kelak berkarir sebagai pejabat kesehatan di Pematang Siantar dan pada tahun 1922 menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Pematang Siantar. Pada tahun 1927, Alimoesa Harahap terpilih menjadi anggota dewan di pusat (Volksraad). Alimoesa Harahap adalah anggota Volksraad pertama dari Sumatra Utara. Setelah Sorip Tagor Harahap dan Alimoesa Harahap secara reguler (1910-1930) mengalir siswa-siswa Padang Sidempoean ke Buitenzorg termasuk diantaranya Anwar Nasution (kelak dikenal sebagai ayah dari Prof. Andi Hakim Nasoetion, Rektor IPB 1978-1987).

Selama masa kuliah, Sorip Tagor juga aktif berorganisasi sebagai anggota Indische Vereeniging. Pada bulan Januari 1917 Sorip Tagor memproklamirrkan organisasi pelajar asal Sumatra yakni Sumatra Sepakat yang didaulat menjadi Presiden. Sorip Tagor lulus dari Rijksveeartsenijschool, Utrecht dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun 1920 (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Setelah lulus Sorip Tagor pulang ke tanah air.

Sekretaris Dahlan Abdoellah dan Bendahara Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (kelak menjadi Menteri Pendidikan RI kedua). Salah satu anggota Sumatra Sepakat yang kelak juga terkenal adalah Tan Malaka (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Sumatra Sepakat bertransformasi menjadi Sumatranen Bond.

Pada tahun 1937, saat MO Parlindoengan berangkat studi ke Delft, Sorip Tagor dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kedokteran Hewan di Province West Java (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-05-1937). Selanutnya pada tahun 1941, dokter kelas satu, Sorip Tagor dipindahkan dari Bandoeng ke Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1941). Ketika terjadi pendudukan Jepang, Sorip Tagor pension dari pegawai pemerintah dan membuka praktek di Batavia.

Di tanah air, Sorip Tagor memulai karir di Batavia yang mana Gubernur Jenderal menunjuk Sorip Tagor untuk menjadi dokter hewan di lingkungan istana (dokter hewan pribumi pertama berlisensi Eropa). Penunjukan dan pengangkatan ini secara resmi berdasarkan surat keputusan menteri koloni no 89 tanggal 26 Mei 1921 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-09-1921). Dalam tugas ini, Sorip Tagor juga diperbantukan di Surabaya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-10-1921). Setelah itu, Sorip Tagor ditempatkan di Pekalongan dan pada tahun 1925 tugas ini juga diperbantukan ke Tegal. Pada tahun 1927 Sorip Tagor ditempatkan sebagai Kepala Dinas Sipil Veeartsenjjkundigen di Weltevreden (kini Gambir) (lihat De Indische courant, 26-02-1927). Pada tahun 1928 dipindahkan ke Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1928). Istri pertama Sorip Tagor, Gijsberta Pater meninggal di Padang Sidempoean 1 Januari 1932. Setelah beberapa tahun di Tapanoeli, Sorip Tagor dipindahkan ke Muarabungo, Jambi dan pada tahun 1937 Sorip Tagor dipindahkan ke Bandoeng. Istri kedua Tjut Aminah Teuku Batak.  Sorip Tagor atau Haji Muhammad Sorip Tagor Harahap meninggal tanggal 21 Mei 1973 di Cisarua (Jalan Selabintana), Sukabumi, Jawa Barat. Sorip Tagor telah mengharumkan bangsa sejak 1907 di Buitenzorg dan di Negeri Belanda. Kini, nama Tagor menjadi identitas yang bersifat generic. Inez Tagor dan Risty Tagor adalah artis-artis top termasuk dalam keluarga Tagor (keturunan Sorip Tagor) termasuk istri dari Setya Novanto.

Last but not least: Adik kelas Sorip Tagor lainnya di Buitenzorg bernama Tarip (seangkatan dengan Alimoesa Harahap). Masuk tahun 1910 dan lulus 1914.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-08-1911 melaporkan Inlandsche Veeartsensohool te Buitenzorg telah selesai ujian dan yang lulus: dari tingkat satu ke tingkat dua (antara lain) Tarip dan Alimoesa (Harahap); dan dari tingkat tiga ke tingkat empat (hanya) Sorip (Tagor Harahap)..

Dr. Tarip diangkat sebagai dokter hewan pemerintah dan ditempatkan di Padang Lawas (dekat Padang Sidempoean). Di sela-sela tugasnya memberi layanan pemerintah, Dr. Tarip melakukan penelitian dan hasilnya dipublikasikan. Hasil penemuannya adalah metode membasmi cacing pita pada kerbau. Dr. Tarip kemudian dipindah ke Medan sebagai adjunct-gouvemements-veearts. Pada tahun 1922 Dr. Tarip dipindahkan dari Medan ke Padang Sidempuan untuk membantu LVM Lobel (De Sumatra post, 28-08-1922).

Kontribusinya dalam dunia riset telah mengundang perhatian pemerintah. Setelah bekerja beberapa tahun praktek, pemerintah mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan memberikannya beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda. Dr. Tarip berangkat ke Belanda tahun 1927. Tarip lulus ujian akhir dokter hewan tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda (De Sumatra post, 07-10-1930).

Setelah lulus tahun 1932, Dr. Tarip kembali ke tanah air dan atas permintaannya sendiri untuk ditempatkan di tanah kelahirannya di Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Dr. Tarip sangat terkenal di Tarutung. Demikian juga di Nias. Dr. Tarip telah melakukan penelitian dan telah menyelamatkan populasi babi di Nias dari penyakit. Ternak babi tersebut telah dijamin oleh Dr. Tarip dan dipasarkan ke Medan dan sebagian ke Singapoera. Dr. Tarip tidak berumur panjang dan dikabarkan telah meninggal dunia tahun 1936 di Tarutung. Saat itu Tarip tengah bertugas di kantor cabang Dinas Kedokteran Hewan (Burgerlijken Veeartsenijkundigen) di Taroetoeng yang baru dirintisnya (De Indische courant, 24-08-1936).

Tarip Siregar memulai pendidikan dasar di sekolah pribumi (Inlandsche school) 2de klasse di Sipirok. Tarip belajar secara tutorial (les) bahasa Belanda. Pada tahun 1903 Tarip lulus ujian masuk untuk sekolah guru pribumi (kweekschool voor Inlandsche onderwijzers). di Fort de Kock. Setelah lulus Tarip diangkat sebagai guru sekolah negeri di Sibolga. Profesi guru ini hanya dijalaninya hingga tahun 1909. Pada tahun 1910 Tarip melanjutkan studi untuk sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (Bogor).

Ida Loemongga, Alumni Amsterdam, Perempuan Indonesia Pertama Peraih Gelar Doktor (Ph.D)

Pada tahun 1922 Ida Loemongga lulus afdeeling-B (IPA) di sekolah bergengsi di Batavia, Prins Hendrik School, lantas diterima ujian masuk di STOVIA. Namun karena Ida Loemongga tergolong cerdas, maka Ida Loemongga termasuk satu dari lima yang direkomendasikan di tahun kedua untuk langsung melanjutkan pendidikan ke Belanda (empat orang Belanda dan Tionghoa). Ida Loemongga diterima di Universiteit Utrecht. Ida Loemongga kemudian berhasil memperoleh gelar sarjana kedokteran pada tahun 1927 di Universiteit Utrecht.

Sorip Tagor, lulus kedokteran hewan Universiteit Utrecht tahun 1920. Pada tahun 1921 Sorip Tagor sudah berada di Batavia sebagai kepala kedokteran hewan istana. Boleh jadi, sebelum Ida Loemongga memutuskan universitas mana yang dipilih berdiskusi dengan Sorip Tagor. Ida Loemongga yang juga ‘boru tulang’ Sorip Tagor berangkat ke Utrecht tahun 1922. Di Belanda sudah ada yang memandu Ida Loemongga yakni Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi yang tengah studi doktoral di Universiteit Leiden. Radja Enda Boemi meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1925. Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama orang Batak dan orang Indonesia kedua peraih gelar doktor di bidang hukum.

Ida Loemongga pada tahun berikutnya mengambil dokter spesialis di Universiteit Leiden dab lulus tahun 1929 (De Tijd:godsdienstig-staatkundigdagblad, 21-03-1929). Atas anjuran Dr. Caroline Lang, Ida Loemongga meneruskan pendidikan doktoral di Universiteit van Amsterdam. Pada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doktor di bidang kedokteran dengan promotor Dr. Lang sendiri (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931). Pada tanggal 24 Agustus diberitakan Nona Haroen Al Rasjid yang dalam hal ini Mej. IL Haroen Al Rasjid menandai dari sisi adat (kultur) sebagai perempuan pribumi pertama yang meraih doktor di bidang kedokteran. Di dalam berita ini disebut Mej. Haroen adalah putri seorang dokter pribumi di Padang Sidempoean (mungkin mengacu pada tempat lahir Dr. Haroen Al Rasjid). Ida Loemongga berhasil mempertahankan desertasi yang berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (Diagnosa dan prognosis cacat jantung bawaan) dengan nilai sempurna (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-04-1932).

Ida Loemongga adalah putri dari Dr. Haroen Al Rasjid dan Alimatoe Sadiah. Dr. Haroen Al Rasjid, alumni Docter Djawa School (1902 menjadi STOVIA) adalah putra dari Soetan Abdul Azis di Padang Sidempoean, sedangkan Alimatoe Sadiah, alumni Kweekschol Fort de Kock adalah putri Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (alumni Kweekschool Padang Sidempoean) yang menjadi Radja Persuratkabaran di Padang. Dalam tahun 1931 Aminoedin Pohan (lahir di Sipirok) dipromosikan menjadi dokter (spesialis) di Universiteit van Amsterdam (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-05-1931) dan Diapari Siregar (lahir di Sipirok) lulus dokter spesialis di Universiteit van Amsterdam (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-05-1931). Dr. Aminoedin Pohan dan Dr, Diapari Siregar menyelesaikan tingkat sarjananya di STOVIA, Batavia. Ida Loemongga adalah adik kelas dari Aminoedin Pohan dan Diapari Siregar di STOVIA. Pada saat jelang kelulusan Ida Loemongga di Universiteir van Amsterdam, adiknya Gele Haroen diterima di Fakultas Hukum Universiteir Leiden. Kelak, Mr, Gele Haroen adalah Residen pertama Lampoeng (kini sedang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional). Gele Haroen Nasution dan Masdoelhak Nasution sama-sama berangkat studi ke Belanda. Dr. Ida Loemongga, Ph.D (perempuan Indonesia pertama bergelar Doktor) adalah saudara sepupu Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D (Pahlawan Nasional).

Sejarah ITB Bandung dan Peran Soetan Casajangan

Sejarah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sekarang seharusnya dimulai dari Technische Hoogeschool (te Bandoeng) yang didirikan tahun 1920. Technische Hoogeschool (te Bandoeng) menjadi sekolah tinggi pertama di Nederlandsch Indie (basa: Hindia Belanda atau Indonesia). Nama ITB sendiri baru muncul dan diresmikan pada tanggal 2 Maret 1959. Perjalanan waktu dan perubahan dari nama Technische Hoogeschool hingga nama Institut Teknologi berlangsung dan berubah secara evolutif.

Kurun waktu sejarah pendirian ITB dapat dibagi dalam periode: (1) Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS - 1920-1942), (2) Institute of Tropical Scientific Research (1942-1945), (3) Bandoeng Koogyo Daigaku (1944-1945), (4) Sekolah Tinggi Teknik Bandung (1945-1946), (5) Technische Faculteit, Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie (1946-1947), (6) Faculteit van Technische Wetenschap dan Faculteit der Exacte Wetenschap Universiteit van Indonesie te Bandoeng (1947-1950), (7) Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia Bandung (1950-1959), dan (8) Institut Teknologi Bandung (1959-sekarang).

De Preanger-bode, 26-07-1916
Lahirnya Technische Hoogeschool (te Bandoeng) pada tanggal 3 Juli 1920 tentu saja tidaklah tiba-tiba. Prosesnya cukup panjang ke belakang. Ini bermula ketika Pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal di Batavia) membuat rencana pada tahun 1916 untuk memenuhi kebutuhan di Hindia Belanda akan mengirim pegawai muda pribumi untuk pelatihan (opleiding) ke Technische Hoogeschool te Delft pada tahun anggaran 1916 sebanyak 77 orang dan 1917 sebanyak 95 orang (lihat De Preanger-bode, 26-07-1916).

Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, mahasiswa yang tiba di Belanda tahun 1905 untuk kuliah dan mendirikan Indisch Vereeniging tahun 1908, setelah sembilan tahun pulang ke tanah air. Tahun 1905 mahasiswa pribumi di Belanda baru lima orang dan pada tahun 1908 saat pendirian Indisch Vereeniging sudah berjumlah 20 orang. Soetan Casajangan, mantan guru di Padang Sidempoean, alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 berjuang untuk meningkatkan pendidikan pribumi. Ketika tengah kuliah di negeri Belanda, sepak terjang Soetan Casajangan sudah diketahui umum, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

 ‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen). ..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi). 

Rencana Pemerintah Hindia Belanda ini tampaknya adalah untuk merespon tekanan para pakar dan pemerhati Hindia Belanda di Belanda. Sebagaimana diketahui, pidato Soetan Casajanagan pada tahun 1911 di hadapan para pakar di Belanda sangat santun tetapi memberi makna yang dalam yang menggetarkan hati peserta forum yang juga dihadiri pegiat pendidikan dan bahkan profesor-profesor di sekolah tinggi di Belanda. Kutipan pidato Soetan Casjangan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya sudah saling mengetahui problem dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan.

Rencana Pemerintah Hindia Belanda tersebut tidak jadi diwujudkan. Hal ini karena di Belanda dan di Hindia Belanda tahun 1917 muncul ide dan berkembang pemikiran, bukan mendatangkan siswa-siswa ke Belanda tetapi mengirim dosen-dosen untuk mendirikan sekolah tinggi teknik di Nederlandsch Indie. Sultan Djogja merespon dengan positif dan bahkan bersedia menyediakan lahan meski dia tahu Bandoeng menjadi kandidat kuat (lihat De Preanger-bode, 19-08-1917). Sebelumnya sudah beredar informasi bahwa rencana sekolah tinggi itu sedang mempertimbangkan Bandoeng (lihat De Preanger-bode, 25-07-1917). Sementara di Delft sudah dibentuk komisi yang dipimpin oleh Prof. Klopper. Di Delft Prof. Klopper mendapat masukan dari Ir. HA Brouwer, seorang insinyur di Kementerian PU di Hindia Belanda yang baru tiba di Delft karena diangkat sebagai dosen di Technische Hoogeschool te Delft (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1918. De Telegraaf, 12-05-1919 melaporkan Technische Hoogeschool te Bandoeng rencana akan dibuka tahun 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919). Namun dalam perkembangannya rencana ini dimajukan menjadi akhir Juli 1920, perkuliahan selama empat tahun dan Ijzzermann dan Klopper melakukan persiapan di Hindia Belanda. Sekolah tinggi ini hanya satu fakultas, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (Provinciale Drentsche en Asser courant, 16-08-1919). Pada tanggal 18 September Prof. Klopper akan berangkat ke Hindia Belanda untuk persiapan pembukaan Technische Hoogeschool te Delft (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-09-1919). Persiapan fisik Technische Hoogeschool didukung oleh Gemeente Bandoeng. Penawaran dilakukan sejak 1 Mei dan pemerintah lokal telah mempresentasikan di hadapan komite dan Pemerintah Hindia Belanda (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919). Ini mengindikasikan sebelum kedatangan Prof. Klopper, Bandoeng sudah ditetapkan sebagai lokasi Technische Hoogeschool. Ini dengan sendirinya harapan Djogja sirna.

Dalam analisis Prof. Klopper pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng sangat masuk akal (Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919) karena juga memungkinkan orang Belanda di Hindia Belanda (baca: Indo) tidak harus ke Delft. Prof. Klopper menyatakan sebagian besar mereka gagal di Delft. Dalam analisis ini tidak menyinggung siswa-siswa pribumi sebagai kandidat di sekolah tinggi teknik (boleh jadi karena siswa pribumi modusnya masih seputar bidang pendidikan guru, kedokteran, hukum dan pertanian (kedokteran hewan).

Het nieuws van den dag voor NI, 30-01-1920
Akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mulai terwujud. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1919 melaporkan sambil menunggu penyelesaian banguan, Prof Klopper sudah berhasil menghimpun (mengadministrasikan) sebanyak 23 dosen dan sebanyak 87 kandidat mahasiswa. Dalam hal ini  tentu saja tidak sulit menemukan kandidat dosen maupun kandidat mahasiswa. Sebab di Hindia Belanda sudah sejak lama terdapat banyak insiyur lulusan di Belanda dan beberapa tahun terakhir ini jumlah HBS (afdeeling-B/Eksak) semakin banyak.

Prof. Ir, J. Klopper yang ditunjuk komisi di Belanda lalu kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkannya sebagai Rektor (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Perkuliahan di Technische Hoogeschool te Bandoeng akan dimulai Juni 1920. Salah satu persiapan adalah diadakannya pameran studi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Juga disebutkan dalam berita ini bahwa Dewan Persatuan Indo-Eropa (Indo-Europeesch Verbond)  dalam pertemuannya 26 Januari memutuskan untuk menggalang dana melalui anggotanya untuk penyediaan beasiswa bagi kandidat mahasiswa yang kurang mampu. Menurut perkiraan setiap mahasiswa selama empat tahun termasuk pemondokan akan menghabiskan dana sebesar f6,000. Suatu angka yang besar. Selain itu juga diberitakan diadakan Kongres Insinyur di Batavia yang juga turut dihadiri pengurus pusat di Belanda. Salah satu keputusan kongres ini Persatuan Insinyur Belanda chapter Nederlandsch Indie berpndah kantor ke Bandoeng (De Sumatra post, 18-02-1920).

Perencanaan pembangunan konstruksi dilakukan oleh perusahaan konstruksi di bawah pimpinan arsitek Ir. Maclaine Pont. Sedangkan pelaksana konstriksi bangunan dikerjakan oleh pimpinan Kapten (genie) MT van Staveren. Pekerjaan konstruksi terdiri tiga bagian: pertama dua gedung A dan B. Kedua lanskap. Ketiga bangunan ruangan perkuliahan termasuk jalan dan trotoar. Pekerjaan konstruksi akan selesai tanggal 1 Juli (lihat De Preanger-bode, 21-02-1920).   

Technische Hoogeschool te Bandoeng dengan satu fakultas Faculteit der Weg- en Waterbouwkande (opleidingtot civie-inganieur) sudah menjelang pembukaan yang akan dilakukan pada tanggal 3 Juli 1920. Rektor telah menginformasikan melalui media tentang peraturan dan persyaratan registrasi kandidat mahasiswa di seluruh Hindia Belanda (De Sumatra post, 14-05-1920). Dalam pembukaan sekolah tinggi ini akan dihadiri Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum yang dimulai pukul sembilan dan diakhir dengan makan siang di Concordia yang dijamu oleh Gementee Bandoeng. Kereta api Weltevreden-Bandoeng diperbanyak, Untuk konfimasi kedadiran dapat menghubungi Klopper yang berkantor (sementara) di Riaouwstraat 38 Bandoeng (Bataviaasch nieuwsblad, 08-06-1920)..Akhirnya pagi ini tanggal 3 Juli 1920 resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1920).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1920: ‘Ketua Dewan Direksi Technische Hoogeschool, KAR Bosscha memberikan kata sambutan untuk menyambut hadirin dan kemudian Wakil Dewan Direktur Lembaga Pendidikan Tinggi Pendidikan Teknik Tinggi Hindia Belanda Ir. RA van Sandick memberikan kata sambutan di hadapan Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum. Sandick menjelaskan sejarah yayasan itu sangat singkat, dimulai tahun 1917 berkumpul dari berbagai pihak dan mulai mengumpulkan dana dari berbagai kalangan seperti perusahaan perdagangan, industri, pertanian dan pelayaran yang hingga tahun 1919 terkumpul dana sebesar 3V3 juta gulden dan kemudian terbentuk Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie yang mana bernegosiasi dengan pemerintah (perwakilan Menteri Koloni) sehingga muncul fungsi baru yang mana saya ditunjuk. Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie menawarkan untuk pendirian sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda dan lalu para pendiri membentuk Dewan Direksi lalu menugaskan tiga orang untuk mulai mengerjakannnya yakni (1) Prof. Ir. CW Weys, mantan Hoofdkfgenieur der BOW, mantan Hoogleeraar in de tropische waterbouwkunde aan de Technische Hoogeschool te Delft, yang sekarang menjabat sebagai Directeur der NV Rystlanden Michiels-Aroold, (2) Prof. Dr. S. Hoogewei, mantan Rector magnificus der Technische Hoogeschool te Delft, pengajar di bidang kimia, dan (3) saya sendiri merangkap sebagai sekretaris. Tim ini merancang untuk dua program studi yakni insinyur sipil dan insinyur kimia. Oleh karena pembiayaan yang besar untuk kimia dan teknologinya sehingga (untuk sementara) hanya untuk teknik sipil saja. Pada tanggal 1 Mei 1919 ditunjuk Prof. Klopper dan melakukan kunjungan kesini untuk bernegosiasi dan pembicaaan dengan pemerintah dan kemudian menetapkan lokasi di Bandoeng... bulan Juli 1919 dilakukan sebuah upacara yang termasuk peletakan batu pertama dan penanaman empat pohon yang melambangkan harapan...arsitek bangunan Ir H. Madame Pont dan proyek dipimpin oleh mantan Kolonel genie VL Slors dan Kapten genis MT van Staveren dari angkatan darat....Tujuan kami adalah bahwa insinyur Technische Hoogeschool te Bandoeng di masa depan akan setara dengan insinyur dari perguruan tinggi teknik ternaik di Westersche terbaik, yang mana kurikulum kami akan mengacu (copy paste) dari kurikulum Technische Hoogeschool te Delft...’

De Preanger-bode, 03-07-1920
Jika diperhatikan secara cermat dari hasil analis Prof, Klopper yang tidak sedikitpun menyinggung tentang kandidat mahasiswa pribumi. Namun dalam perkembangan berikutnya ketika menjelang Technische Hoogeschool te Bandoeng kandidat pribumi diakomodir (De Preanger-bode, 03-07-1920). Mengapa muncul tarik ulur? Tidak jelas. Namun yang jelas, pada bulan Oktober 1920 kembali Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di hadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920, Soetan Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut beberapa petikan isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah kolonial]...’

Isi pidato ini tampaknya ditujukan untuk mengoreksi kebijakan pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng yang tidak memihak pribumi. Sebab isu saat itu soal ketidaksetaraan sangat menonjol pada sekolah tinggi teknik ini. Dalam daftar mahasiswa baru di tahun pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya terdapat dua jatah pribumi. Saat itu Soetan Casajangan adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Yang tidak terduga, dalam forum ini turut dihadiri oleh Soeltan Djogja [yang pernah secara sekarela menawarkan lahan untuk pendirian Technische Hoogeschool].

Foto Soetan Casajangan dalam sebuah jurnal (Maret 1913)
Pidato Soetan Casajangan ini dan kehadiran Soeltan sangat strategis dan menjadi bentuk protes. Pada saat itu boleh dikatakan kedua tokoh ini sangat memerhatikan pendidikan penduduk pribumi. Oleh karenanya kedua tokoh ini tidak hanya tokoh perubahan tetapi juga berani berkorban: Soetan Casajangan dengan memikirkn kata-kata yang cukup tajam dengan cara penyampaian yang diplomatis dan Soeltan Djogja dengan tulus ikhlas menyedikan lahan. Lantas apakah ini yang menyebabkan perubahan kebijakan Technische Hoogeschool te Bandoeng? Sudah barang tentu, karena tidak ada pemicu lain kecuali melalui Vereeniging Moederland en Kolonien yang memiliki hubungan langsung dengan istitusi lain seperti Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie yang memayungi Technische Hoogeschool te Bandoeng. Soetan Casajangan tidak hanya pemikir yang brilian, juga Soetan Casajangan mendapat apresiasi yang luas dari kalangan orang-orang Belanda. Pengakuan ahli/pakar Belanda terkemuka terhadap pemikiran dan perjuangan Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk. W. J. Giel mengungkapkan kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia Belanda bernama Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een Inlandsch pionier in Nederland' yang ditulis tanggal 23 Maret 1913. Artikel ini (n.l.de Batakker M. Soetan Casajangan Soripada)’ diterbitkan di Weekblad.voor Indie 10 (1913-14). Bentuk-bentuk lainnya yang mengapresiasi tentang Soetan Casajangan antara lain: Een Batakker over Indie. (Resumé eener lezing van R. Soetan Casajangan over: “Een en ander ter bevordering van den vooruitgang van Nederl. Indie).10 May 1913; Hilgebs (Th. J. A.). Een ontwikkelde Inlander (nl. Soetan  Casajangan) over onderwijs en onderwijspolitiek. De School v. N. I. 3 (1912-13); Onze Koloniën: Een serie Monographieën bijeengebracht door R.A. van Sandick. Eerste reeks/first series (All publ.). [Eerste druk; First edition]; dan Essays Published by the Netherlands East-Indian San-Francisco Committee, Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, Masalah 2-33 by G.C.T. van Dorp, 1914. Singkat kata: Tidak seorang pun yang berbicara tentang pendidikan tinggi hingga munculnya Technische Hoogeschool te Bandoeng  kecuali Soetan Casajangan, orang yang selama hidupnya hanya berpikir tentang kemajuan pendidikan pribumi. Oleh karenanya Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) sampai dua kali mengundang Soetan Casajangan untuk berbicara/pidato dihadapan para anggotanya (tahun 1911 dan tahun 1920). 

Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1925
Pada tahun kedua tahun 1921 akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mengakomodir kandidat mahasiswa pribumi lebih banyak. Salah satu diantaranya adalah Soekarno lulusan HBS di Soerabaja pada bulan Juli 1921. Nama Soekarno sebagai mahasiswa Nama-nama mahasiswa pribumi yang seangkatan dengan (Raden) Soekarno (angkatan kedua) adalah M. Soetoto, M. Anwari, M. Koesoemaningrat, M. Soetedjo dan JAH Ondang. Catatan: dua mahasiswa pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng R. Katamso dan R. Soeria Nata Legawa diduga gagal di tahun kedua (lihat De Preanger-bode, 08-05-1922).

Technische Hoogeschool te Bandoeng baru meluluskan pertama kali tahun 1926  Mereka berhak gelar insinyur (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1925). Daftar lulusan pada gelombang ini adalah Arnold Bik, Binkhorst, Bokslag, Hardenberg, Hoetjer, Joon, Kist dan Nobbe. Sementara Soekarno memasuki tahun terakhir. Dalam daftar ini termasuk M. Anwari, RM Koesoemaningrat, JAH Ondang dan M. Soetoto.

De Indische courant, 07-05-1926
Pada tahun berikutnya De Indische courant, 07-05-1926 melaporkan mahasiswa yang lulus dan meraih gelar insinyur diantaranya Soekarno, M. Anwari, JAH Ondang dan M. Soetedjo. Diantara mereka yang lulus tahun ini yang pertama adalah Ir. Soekarno. Dengan demikian alumni pribumi pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng adalah Ir. Soekarno (kelak menjadi Presiden RI pertama). Pada bulan-bulan ini juga dilaporkan mahasiswa yang lulus di sekolah tinggi lainnya. Di STOVIA diantaranya Diapari Siregar (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-05-1926). Di Buitenzorg,Veeartsenschool yang berhasil menerima gelar Dokter Hewan diantaranya Anwar Nasoetion (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-05-1926). Anwar Nasution kelak dikenal sebagai ayah dari Prof. Andi Hakim Nasution (Rektor IPB 1978-1987). Di Utrecht seorang wanita muda bernama Ida Loemongga berhasil meraih gelar dokter (1926), yang kemudian langsung mengambil spesialis dan berhak memperoleh dokter spesialis jantung tahun 1929 (lihat De Tijd :godsdienstig-staatkundigdagblad, 21-03-1929). Ida Loemongga (Nasution) kelak dikenal sebagai perempuan Indonesia pertama peraih gelar doktor (Ph.D).

Logo Delft vs Logi Bandoeng
Sejarah pendidikan tinggi di Hindia Belanda dimulai tahun 1850 dengan mendirikan sekolah guru di Soerakarta dan mendirikan sekolah kedokteran (docter djawa school) di Batavia tahun 1851. Pada tahun 1854 dua siswa asal afdeeling Mandailing dan Angkola (kemudian menjadi afdeeling Padang Sidempoean) bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School. Dua siswa ini adalah yang pertama dari luar Jawa (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Pada tahun 1856 Kweekschool Fort de Kock (untuk Sumatra). Pada tahun 1857 adik kelas Si Asta dan Si Angan bernama Si Sati melanjutkan studi di sekolah guru di Haarlem, Belanda. Setelah selesai studi dan mendapat akte guru Eropa (1861), Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander (sesuai nama raja dan pemikir Eropa) pulang ke tanah air dan membangun sekolah guru di kampung halamannya di Tanobato tahun 1862 (sekolah guru ketiga setelah Soerakarta dan For de Kock). Pada tahun 1879 Kweeksvhool Tanobato ditingkatkan dengan membangun sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean. Salah satu guru terkenal di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adriaan van Ophuijsen yang mendedikasikan dirinya selama delapan tahun dan lima tahun terakhir menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempoean tersebut. Di sekolah guru inilah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajanagn memulai pendidikan guru dan lulus 1887 (yang pada nantinya 1905 melanjutkan studi ke Belanda di Haarlem (sekolah Willem Iskander dulu). Pada tahun 1902 Docter Djawa School (lima tahun) berubah menjadi STOVIA (tujuh tahun). Pada tahun 1907 Veeartsen School didirikan di Buitenzorg dan kemudian Recht School di Batavia. Kweekschool ditingkatkan menjadi Holandsche Indische Kweekschool (di Perworedjo dan Bandoeng). Lalu dalam perkembangannya muncul perguruan tinggi (hoogeschool): Technische Hoogeschool (Teknik di Bandoeng, 1920); Rechthoogeschool (Hukum di Batavia, 1927); Geneeskundige hoogeschool (kedokteran di Batavia, 1927).    

Siapa sesungguhnya Soetan Casajangan yang berdiri di depan Belanda dalam membela pendidikan pribumi? Soetan Casajangan lahir di Padang Sidempuan, 30 Oktober 1874. Lulus sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1887. Guru yang berdedikasi ini pada tahun 1905 (setelah mengajar 18 tahun) berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta kepala sekolah (lisensi Eropa) di Haarlem.. Soetan Casajangan adalah sosok yang berbeda (paling elegan dan percaya diri) diantara mahasiswa-mahasiswa lainnya. Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya mengutip beberapa saja di sini).

‘(Jurnalis)…mengapa anda mengambil risiko jauh studi kesini meninggalkan kesenangan di kampungmu, calon koeria, yang seharusnya sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu (Soetan Casajangan)…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru Ophuijsen (mantan gurunya di Kweekschool Padang Sidempoean)….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua sendi kehidupan.. saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia)..saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini (Belanda) agar bisa belajar banyak..di kampong saya kehidupan pemuda statis, baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki) dan menumbuk padi (perempuan)….anda tahu dalam Filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus tekun agar tetap intelek…’. 

Ketika jumlah mahasiswa sekitar 20 orang, pada tahun 1908 Soetan Casajangan mempelopori pendirian persatuan pelajar Hindia (baca: Indonesia) dengan nama Indische Vereeniging (kelak menjadi PPI Belanda). Sejak itu nama Soetan Casajangan tidak hanya terkenal di Tanah Air tetapi juga di Negeri Belanda. Seperti disebutkan di atas Soetan Casajangan telah dua kali berpidato di hadapan para ahli/pakar Belanda (tahun 1911 dan tahun 1920).

Pemikiran dan semangat Soetan Casajangan dalam memajukan pendidikan pribumi termasuk pendidikan tinggi sejak 1907 telah menumbuhkan semangat bersekolah/kuliah di kalangan pribumi untuk studi di Belanda. Dengan adanya perguruan di tinggi di Hindia Belanda (baca: Indonesia) Soetan Casajangan terus bersuara untuk memprotes penguasa agar siswa-siswa pribumi diberi kesempatan seluas-luasnya dan juga perlunya kesetaraan. Generasi penerusnya terbukti bisa. Mereka yang studi ke luar negeri dan berhasil, seperti Sorip Tagor, kedokteran hewan Utrecht tahun 1916; Ida Loemongga, kedokteran Utrecht/Amsterdam. Ph.D tahun 1922; RM Notodiningrat, teknik sipil Delft tahun 1914 (lihat De Preanger-bode, 19-07-1924); dan tentu saja MO Parlindoengan, teknik kimia Delft tahun 1937. Mereka yang di dalam negeri Technische Hoogeschool te Bandoeng, seperti Ir. Soekarno, Ir. Ondang, Ir. Anwari dan Ir. Soetedjo teknik sipil Bandoeng yang lulus tahun 1926. Catatan: dua mahasiswa pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng (1920), yakni R. Katamso dan R. Soeria Nata Legawa sayang sekali karena diduga gagal di tahun kedua (lihat De Preanger-bode, 08-05-1922).

Soetan Casajangan alumni Rijkskweekschool Haarlem, 1911 (setingkat IKIP sekarang) meninggal dunia pada tanggal 2 April 1927 di Meester Cornelis (lihat De Indische courant, 08-04-1927). Soetan Casajangan telah bergelut selama 20 tahun sejak diwawancara koran Dr Locomotief 1907 untuk terus membimbing kemajuan penduduk muda pribumi di bidang pendidikan. Soetan Casajangan mengawali karirnya sebagai guru (1887) dan mendedikasikannya hingga akhir hidupnya. Guru pejuang yang berjuang untuk kemajuan pendidikan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Het nieuws van den dag voor NI, 10-06-1935
Keponakan Soetan Casajangan, Tarip Abdullah Harahap diterima tahun 1934 di Technische Hoogeschool te Bandoeng. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1935: ‘Technische Hoogeschool. Dalam ujian akhir tingkat satu yang diikuti 45 kandidat, yang berhasil lulus adalah: Abdul Kader, Ms. A. Adels, R. Ahja, EJA Corsmit, E. Edward, M. Hoesen, H. Johannes, Lauw Jan, Liem Kiem Kie, Lic Hok Gwan, Lic Soen Giap, R. Moempoeni Dirdjosoebroto, Sardjono, JA van Schalk, AB Schrader, M. Soemarman, JF Strach, Tarip Abdullah Harahap, The Lian Thong dan Thee Kian Boen. Sebanyak 24 kandidat gagal; sementara satu kandidat dilakukan ujian ulangan’. Sebelumnya Mohamad Natal Siregar gelar Patuan Doli Siregar diterima di Technische Hoogeschool te Bandoeng tahun 1932 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1935). Patuan Doli Siregar lulus tahun 1937 dan menjadi insinyur pemerintah di Residentie Manado (Bataviaasch nieuwsblad, 09-06-1939). Sedangkan Tarip Abdullah Harahap lulus mendapat gelar insinyur teknik sipil tahun 1939. Total insinyur pribumi yang berhasil mendapat gelar insinyur dari Technische Hoogeschool te Bandoeng hingga tahun 1939 sebanyak 53 orang. Lulusan pertama adalah Ir. Soekarno (Presiden pertama RI).

Soetan Casajangan yang pulang ke tanah air pada Juli 1913 masih sempat mempublikasikan buku berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Buku ini diterbitkan di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) setebal 48 halaman yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan). Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda.

Dalam buku ini terang-terangan Soetan Casajangan menyinggung Undang-Undang di Hindia Belanda yang  membatasi konsesi untuk warga pribumi yang mana menurut Soetan Casajangan hanya orang Eropa hak konsesi dapat diberikan sementara penduduk pribumi asli haknya justru dirampas. Lebih lanjut, Soetan Casajangan mengutarakan tuntutan yang sangat mendasar bahwa persamaan di hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus dengan segera diwujudkan. Menurut Soetan Casajangan  di Belanda sendiri tidak semua orang sifat, tabiat dan kebajikannya sama tapi toh diperlakukan sama di hadapan hukum. Di Hindia Belanda mengapa tidak? Untuk itu, menurut Soetan Casajangan pemerintah Belanda juga harus menyelenggarakannya di bidang pendidikan termasuk pengadaan beasiswa. Buku ini boleh jadi buku orang Indonesia pertama yang diterbitkan di Belanda/Eropa.

Dalam sejarah pendidikan Indonesia. Nama Soetan Casajangan telah terabaikan, terlupakan, bahkan mungkin juga telah dikesampingkan dalam perebutan gelar tanda jasa. Akan tetapi, Soetan Casajangan, yang hanya seorang guru 'kampung' di Padang Sidempuan, tetapi di pentas pendidikan nasional dan pentas akademik internasional, jasanya tertulis dengan tinta emas dan cetak tebal di berbagai artikel. Karya-karya Soetan Casajangan di abad teknologi informasi ini tersimpan dengan baik di puluhan library uiniversitas terkenal di berbagai negara yang bisa diakses. Soetan Casajangan meninggalkan nama baiknya, reputasinya dan keteladanannya dalam bentuk tulisan. Gagasan, pemikiran dan tindaklanjut disuarakan lewat tulisan (artikel dan buku) yang sudah diketahui oleh bangsa asing, tetapi sangat kurang oleh bangsanya sendiri. Suaranya telah didengar oleh para ahli/pakar Belanda di masa lalu. Lantas mengapa para ahli/pakar Indonesia pada masa ini tidak/belum mengakuinya?,

Sejarah IPB Bogor dan Andi Hakim Nasution

Nama Andi Hakim Nasution sangat dikenang oleh alumni-alumni Institut Pertanian Bogor (IPB), tidak hanya karena pernah menjabat rektor IPB selama dua periode (1978-1987) tetapi juga karena kepeloporannya merekrut siswa berprestasi dari seluruh penjuru tanah air untuk kuliah di IPB tanpa tes masuk PTN. Model ini telah diadopsi semua PTN unggulan di Indonesia. Andi Hakim Nasution tidak hanya dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional pada masa kini, tetapi juga dikenal luas di lingkungan akademik internasional. Reputasi Andi Hakim Nasution telah ditabalkan oleh pemimpin IPB sebagai nama gedung rektorat IPB dan juga ditabalkan oleh Pemda Kota Bogor sebagai nama jalan di Kota Bogor.

Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, Msc, Ph.D adalah anak Dr. Anwar Nasution, lulusan Veeartsen School (Sekolah Kedokteran Hewan) di Buitenzorg pada tahun 1928 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-05-1928). Anwar Nasution diterima di Veeartsen School tahun 1922 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-05-1923). Sebagaimana disebutkan di atas, alumni angkatan pertama Veeartsen School adalah Sorip Tagor tahun 1912. Setelah beberapa tahun menjadi asisten dosen Sorip Tagor melanjutkan studi ke Utrecht tahun 1915 (dokter hewan pertama yang melanjutkan studi ke luar negeri). Alumni angkatan kedua adalah Alimoesa Harahap (lulus 1913). Soetan Casajangan setelah pulang ke tanah air tahun 1913, sebelum ditempatkan tahun 1915 di Sekolah Radja di Fort de Kock diangkat menjadi guru di sekolah Eropa di Buitenzorg. Pada tahun 1914 Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan lulus di Middelbare Landbouwschool (Sekolah Menengah Pertanian).  Soetan Kenaikan adalah lulusan pertama (Middelbare Landbouwschool dibuka 1911). Saat Soetan Casajangan di Buitenzorg tentu saja telah bertemu Sorip Tagor, Alimoesa dan Soetan Kenaikan. Salah satu siswa-siswa berikutnya yang diterima Middelbare Landbouwschool Djohan Nasoetion pada tahun 1919. Djohan ditempatkan dikampung halamannnya di Residentie Tapanoeli (De Indische courant, 22-10-1936). Djohan Nasoetion cukup lama menjabat di pos di Padang Sidempoean, ibukota Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli. Djohan Nasoetion adalah ayah dari Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasution, MSc, Ph.D (guru besar IPB dan mantan Kepala BPN).

Pada tahun 1940 Middelbare Landbouwschool dan Veeartsen School dilebur dan kemudian menjadi Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian). Sejak 31 Oktober 1941 Sekolah Tinggi Pertanian ini dikenal sebagai Landbowkundige Faculteit sebagai salah satu cabang (fakultas) dari Universiteit van Indonesia (Faculty of Agriculture, University of Indonesia).

Dalam perkembangannya, sejak 1950 berubah nama menjadi Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia yang kemudian pada 1 September 1963 fakultas tersebut dibentuk menjadi universitas yang dikenal sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).

Universiteit van Indonesie awalnya digagas tahun 1941 dan telah memulai perkuliahan. Namun tiba-tiba terjadi pendudukan Jepang. Pada tahun 1946 universitas ini (setelah Belanda datang kembali) direalisasikan dimana di Buitenzorg akan ditempatkan Faculteit der Landbouwwetenschap yang merupakan sekolah tinggi veteriner (Nederlandsch Indiche Veeartsenschool) di Babakan (Taman Kentjan) dan sekolah menengah pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Pantjasan. Faculteit der Landbouwwetenschap ini akan dipusatkan di dua kampus lama di Taman Kentjana (veteriner) dan Baranangsiang (landbouw).

Pada bulan Desember 1947 ada wacana untuk memindahkan Universiteit van Indonesie dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor). Alasannya lebih banyak kesempatan perumahan daripada di ibukota yang penuh sesak. Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah dimana universitas itu ditempatkan. Lalu dibentuk suatu komite untuk melakukan studi kelayakan. Hasilnya tidak ada keberatan dari pemerintah (Belanda) untuk menggunakan Istana Buitenzorg sebagai kandidat universitas. Sejumlah professor dari Belanda sudah dikontak untuk bergabung. Pemindahan pertama akan dilakukan bagi Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan (landbouwkundige en de veterinaire faculteit) yang kebetulan ada di Buitenzorg (Bogor). Namun tidak bisa direalisasi segera karena militer masih menjadikannya sebagai garnisum (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 16-12-1947). Situasi dan kondisi masih perang antara militer Belanda dengan militer/laskar Indonesia). Dalam perkembangannya, komite untuk persiapan Universiteit van Indoensie di Butenzorg (yang salah satu anggotanya Prof. Husein Djajanegara) membatalkan niat untuk pemusatan semua fakultas di Istana Buitenzorg karena terlalu sempit (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-04-1948).

Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan sudah memulai aktivitas namun secara seremonial baru diresmikan pada tahun tanggal 20 November 1948. Peresmian Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan (faculteiten van landbouwwetenschap en van diergeneeskunde) ini berlangsung di gedung Umum Balai Penelitian Pertanian yang dihadiri senat Universiteit Indonesie di Buitenzorg (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 13-11-1948). Namun perkuliahan belum efektif karena masih terjadi perang di sekitar Buitenzorg (De nieuwsgier, 22-11-1948).

Untuk menyukseskan Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan di Buitenzorg pemerintah mengganggap perlu melakukan rekonstruksi gedung. Departemen PU (departement van Waterstaat en Wederopbouw) telah membuat kompetisi desain. Juri telah menentukan pemenang. Pemenang pertama dengan judul ‘A 365’ dari  Ingenieursbureau Ingeneger en Vrijburg di Bandoeng dan pemenang ketiga adalah dengan judul ‘Studie’ oleh Friedrich Silaban, directeur Gemeentewerken te Buitenzorg. Desain akan dipamerkan pada minggu pertama bulan Februari di Landbouw Hogeschool di Buitenzorg (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-01-1949). Landbouw Hogeschool kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor tahun 1963.

Penerus Andi Hakim Nasution sebagai ahli Statistika dan Komputasi adalah Prof. Dr. Ir. Zainal Abidin Hasibuan, MLS, PhD, guru besar Ilmu Komputer dan mantan dekan pada Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komputer (Aptikom) Pusat. Sedangkan penerus Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasution, MSc, Ph.D adalah Prof. Ir. Hermanto Siregar, MEc, PhD, guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian yang kini menjabat untuk periode kedua sebagai Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor.

Sejarah Universitas Indonesia; Dokter Pertama Luar Jawa Berasal dari Mandailing dan Angkola (1854)

Logo Technische Hoogeschool te Delft
Sejarah pendirian Institut Teknologi Bandung/ITB (Technische Hoogeschool te Bandoeng/THB) mengacu (copy paste) pada TU Delft (Technische Hoogeschool te Delft/THD). TU Delft mengklaim hari jadinya pada tahun 1842 (MDCCCXLII). Sebagaimana diketahui ITB/THB didirikan tahun 1920. Itu berarti ada perbedaan waktu selama 78 tahun hari jadinya ITB dengan hari jadinya TU Delft.

Namun demikian, secara dejure ITB tidak mengakui hari kelahiran pada tahun 1920 tetapi lebih memilih hari kelahiran pada tahun 1959 (2 Maret). Boleh jadi ini karena ingin memisahkan diri UI (Universitas Indonesia) sebagai wujud pemekaran. Sebelumnya (1950-1959) ITB adalah bagian dari UI dengan nama Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia. Hal serupa juga, setali tiga uang dengan Institut Pertanian Bogor/IPB yang memekarkan diri dari UI pada tahun 1963 (sebagai tahun hari jadinya).

Universitas Indonesia (UI) sendiri mengklaim hari jadinya pada tahun 1851. Angka ini paling tidak diabadikan di tembok perpustakaan UI yang baru di Depok (veritas, probitas, iustitia/benar, jujur, adil). Tahun 1851 diacu oleh UI karena tahun itu dibentuk perguruan tinggi pelatihan (kweekschool) dokter pribumi. Jika tahun 1851 sebagai hari kelahiran UI maka hanya beda sembilan tahun saat pendirian cikal bakal TU Delft (1842).

Perguruan tinggi pelatihan (kweekschool) dokter pribumi yang dibentuk pada tahun 1851 diselenggarakan het militair hospitaal te Weltevreden atau di rumah sakit militer di Weltevreden (kini RSPAD) Jakarta Pusat. Sekolah kedokteran ini kemudian diubah namanya menjadi Docter Djawa School. Pada tahun 1902 Docter Djawa School (kurikulum lima tahun) diubah namanya menjadi STOVIA (kurikulum tujuh tahun). Lalu pada tahun 1924 statusnya ditingkatkan dan nama STOVIA diubah menjadi Geneeskundige Hoogeschool. Pada era perang kemerdekaan, semua perguruan tinggi (kedokteran, teknik, kedokteran hewan dan lainnya) yang sudah eksis di era kolonial Belanda, disatukan Belanda menjadi Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie dan kemudian namanya diubah menjadi Universiteit van Indonesie (1946-1950).

Perguruan tinggi pelatihan (kweekschool) dokter pribumi tahun 1851 memiliki kurikulum dua tahun. Nama docter djawa school kali pertama muncul di surat kabar pada tahun 1856 (De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 06-02-1856). Lima tahun kemudian kurikulumnya ditingkatkan menjadi tiga tahun. Pada tahun 1870an kurikulumnya ditingkatkan lagi menjadi lima tahun.

Pada fase-fase awal, jumlah siswa di Docter Djawa School ini setiap angkatan sekitar 8-10 orang (gagal hampir separuh setiap angkatan). Lulusan sekolah tinggi Docter Djawa School diberi gelar Inlands Arts Dokter Djawa. Pada tahun 1954 dua siswa bernama Si Asta dan Si Angan diterima yang berasal dari afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli (Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Dua siswa ini merupakan  mahasiswa pertama yang diterima dari luar Djawa. Setelah lulus tahun 1856, Dr. Asta ditempatkan di onderafdeeling Mandailing dan Dr. Angan ditempatkan di onderafdeeling Angkola. Pada tahun 1856 menyusul dua siswa dari Mandailing dan Angkola (kemudian menjadi afdeeling Padang Sidempoean), setelah lulus ditempatkan di daerah lain. Demikian seterusnya secara reguler sampai dengan tahun 1902. Ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin dan ada yang sekelas dengan Dr. Tjipto.

Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902
Alumni Docter Djawa School yang paling terkenal adalah Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (menjadi nama RSCM Jakarta). Dua orang teman sekelas Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School  adalah Abdul Hakim dan Abdul Karim dari Padang Sidempoean (lihat guntingan surat kabar Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902). Dr, Abdul Hakim Nasution ditempatkan di Padang dan kelak menjadi Wali Kota pertama Kota Padang. Putra Dr. Abdul Hakim bernama Egon Hakim adalah sama-sama berangkat studi ke Leiden dengan saudara sepupunya Gele Haroen dan Masdoelhak. Pada saat pendudukan Jepang, Egon Hakim menyelamatkan Ir. Soekarno di Padang. Mr. Egon Hakim adalah menantu MH Thamrin (di era kolonial Belanda hanya ada dua wakil wali kota yang berasal dari pribumi yakni Dr. Abdul Hakim di Padang dan MH Thamrin di Batavia). Sedangkan Dr. Abdul Karim (Lubis?) ditempatkan di Fort van der Capellen (kini Batusangkar). Eny Karim, Menteri Pertanian di era Soekarno besar dugaan adalah anak Dr. Abdul Karim. Catatan: Dr. Tjipto adalah mentor Ir. Soekarno (PNI). Dr. Abdul Hakim dan Dr. Abdul Karim adalah dua tokoh awal PNI di Sumatra Barat. Apakah afiliasi politik ini karena ketiganya pernah sama-sama satu kelas di Docter Djawa School?  

Hingga tahun 1920 (sejak 1854) jumlah dokter asal Padang Sidempuan sebanyak 52 dokter (tidak termasuk yang tengah studi di STOVIA di Batavia dan yang studi langsung ke Belanda. Afdeeling kecil yang hanya membutuhkan dua dokter menjadi surplus dokter. Ayah Dr. Ida Loemongga (perempuan Indonesia pertama bergelar Ph.D) adalah alumni Docter Djawa School 1902, lulusan ELS Padang Sidempoean, 1897). Salah satu alumni STOVIA yang terkenal adalah Radjamin Nasution (sekelas dengan Soetomo). Di era pendudukan Jepang, Dr. Radjamin Nasution adalah Wakil Wali Kota Soerabaja. Pada era republik (Pasca Kemerdekaan RI), Dr. Radjamin Nasution diangkat Ir. Soekarno sebagai Wali Kota pertama Kota Soerabaja.

Universiteit van Indonesie merupakan universitas yang terdapat di beberapa tempat dengan enam fakultas. Fakultas kedokteran (ex. Geneeskundige Hogeschool); Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte; Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (ex. Rechtshogeschool) di Batavia (Jakarta); Fakultas teknik (ex. Technische Hogeschool) dan Fakultas eksak di Bandoeng, serta Fakultas Faculteit van Landbouwwetenschap di Buitenzorg (Bogor).

Mahasiswa Indonesia yang mulai aktif kuliah lalu ikut berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia. Ida Nasoetion (departemen sastra) dan G. Harahap (dari departemen jurnalistik) menggagas didirikannnya persatuan mahasiswa Universiteit van Indonesie yang diresmikan tanggal 20 November 1947 dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI). Setelah empat bulan menjadi presiden (ketua) PMUI, Ida Nasoetion dilaporkan koran Nieusgier diculik tanggal 23 Maret 1948 di Buitenzorg. Ida Nasoetion hilang selamanya dan diduga kuat dibunuh oleh intelijen dan tentara Belanda.

Para Pemimpin Mahasiswa 

Tiga Pionir Pendiri Organisasi Mahasiswa Indonesia
Pada tahun 1947 dua pimpinan mahasiswa membentuk dua organisasi mahasiswa yakni Lafran Pane dan Ida Nasution. Lafran Pane mendirikan HMI sedangkan Ida Nasution mendirikan PMUI. Jika ditarik ke belakang, pada tahun 1908, pimpinan mahasiswa adalah Soetan Casajangan dengan mendirikan organisasi mahasiswa yang disebut Indisch Vereeniging di Leiden, Belanda. Organisasi pertama mahasiswa ini kemudian ditansformasi Mohammad Hatta dan kawan-kawan menjadi PPI Belanda. Kepemimpinan PPI Belanda setelah Mohammad Hatta adalah Parlindoengan Lubis sebagai ketua dan Mohammad Ildrem Siregar sebagai bendahara,  Untuk sekadar diketahui, Soetan Casajangan, Lafran Pane dan Ida Nasution adalah pendiri organisasi mahasiswa yang berasal Padang Sidempuan.

Organisasi mahasiswa PMUI kelak menjadi cikal bakal Dewan Mahasiswa. Pada tahun 1952 di Universitas Indonesia di Djakarta yang merupakan fakultas-fakultas di Djakarta dan fakultas-fakultas di Bogor dibentuk dewan mahasiswa yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro. Sementara di  Universitas Indonesia di Bandoeng yang merupakan gabungan dari dua fakultas (teknik dan eksak) dibentuk dewan mahasiswa (cikal bakal dewan mahasiswa ITB) yang diketuai oleh Januar Hakim Harahap. Pada tahun 1957 dua dewan mahasiswa di bawah Universitas Indonesia tersebut disatukan dengan nama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang diketuai oleh Hasan Rangkuti. Pada generasi selanjutnya, salah satu tokoh utama Dewan Mahasiswa UI adalah Hariman Siregar kelahiran Padang Sidempuan yang terkenal dengan Peristiwa Malari tahun 1974. Untuk sekadar diketahui, Januar Hakim Harahap, Hasan Rangkuti dan Hariman Siregar juga berasal dari Padang Sidempuan. Ir. Januar Hakim Harahap adalah Ketua Komite Persiapan Pembangunan Jalan Tol Cipularang.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar