Laman

Rabu, 08 November 2017

Sejarah Kota Medan (57): Lafran Pane Pendiri HMI 1947 Dianugerahi Pahlawan Nasional; Kisah Ida Nasution, Pendiri Perhimpunan Mahasiswa UI 1947

*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini. (Artikel 1-56 Klik Disana)

Kemarin tanggal 7 November 2017 Lafran Pane, pahlawan Indonesia secara resmi diumumkan sebagai Pahlawan Nasional. Gelar Pahlawan Nasional ini akan diberikan besok 9 November 2017 kepada ahli waris Lafran Pane di Istana Negara Jakarta. Pengusulan Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional bukan dari Medan, Provinsi Sumatra Utara tetapi Provinsi DI Yogyakarta. Ini menunjukkan bahwa Lafran Pane kelahiran Padang Sidempoean benar-benar pahlawan nasional lintas daerah milik seluruh rakyat Indonesia.

Lafran Pane (foto wikipedia)
Pemberian gelar Pahlawan Nasional 2017 ini telah menambah daftar Pahlawan Nasional asal Afdeeling Padang Sidempuan (dulu namanya Afdeeling Mandailing dan Angkola, kini dikenal sebagai daerah Tapanuli Bagian Selatan). Mereka yang telah lebih dahulu dianugerahi Pahlawan Nasional adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D (2008); Jenderal Abdul Haris Nasution (2002); Prof. Hazairin Harahap (1999); Adam Malik Batubara (1998); Tuanku Haji Muhammad Saleh Harahap atau Tuanku Tambusai (1995); KH Zainul Arifin Pohan (1963). Daftar ini juga akan bertambah dengan adanya pengusulan Mr. Soetan Mohammad Amin Nasution (Sumatera Utara) dan Letkol Mr. Gele Haroen Nasution (Lampung). 

Lafran Pane Pendiri HMI, Adik Sanusi Pane dan Armijn Pane

Lafran Pane adalah seorang anak mantan guru di Muara Sipongi dan cucu seorang ulama besar di Sipirok. Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922. Ayah Lafran Pane adalah Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru alumni kweekschool,  yang juga menjadi sastrawan lokal dengan karya terkenalnya Tolbok Haleon  (Hati yang Kemarau). Roman ini pertama kali terbit di Medan tahun 1933 dan sampai tahun 1980-an roman Tolbok Haleon masih dipakai sebagai bacaan di sekolah-sekolah di Tapanuli Selatan. Sutan Pangurabaan Pane yang lahir di kampong Pangurabaan, Sipirok tidak hanya sukses dalam karir guru dan penulis tetapi juga sukses dalam bisnis seperti percetakan, penerbitan, perdagangan dan transportasi. Oleh karena itu, Sutan Pangurabaan dianggap sebagai orangtua yang mampu menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.

Lafran Pane, cucu dari Syekh Badurrahman Pane memulai pendidikan dasar di pesantren di Sipirok, kemudian dilanjutkan di HIS (swasta) Padang Sidempoean dan kemudian melanjutkan pendidikan menengah di Batavia di bawah bimbingan dua abangnya Sanusi Pane dan Armijn Pane yang sudah dikenal sebagai sastrawan terkenal di Batavia. Lafran Pane melanjutkan pendidikan tinggi tidak ke STOVIA seperti sebelumnya dua abangnya (awalnya kuliah kedokteran tetapi dalam perjalanan lebih menekuni sastra sebagaimana ayah mereka). Lafran Pane justru lebih memilih bidang studi Islam. Boleh jadi, Lafran yang memulai pendidikan di pesantren ini ingin meneruskan karir kakeknya. Lafran Pane akhirnya kuliah di Sekolah Tinggi Islam Batavia.

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan kampus Lafran Pane di Batavia harus pindah ke Yogyakarta. Selama kuliah di Yogyakarta banyak berinteraksi dengan berbagai kalangan. Lafran Pane yang tengah menekuni bidang studi Islam ini merasa terpanggil untuk menyatukan berbagai elemen mahasiswa dari kalangan Islam untuk merapatkan barisan dalam situasi perjuangan rakyat Indonesia.

Lafran Pane menggagas perlunya dibentuk organisasi mahasiswa Islam untuk turut memberi wadah dalam situasi politik perang. Lafran Pane kemudian bersama teman-temannya yang lain mendeklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Lafran Pane kemudian menjadi Presiden pertama Himpunan Mahasiswa Islam. 

Situasi politik yang berubah menyebabkan Lafran Pane yang sudah lulus sarjana muda Islam ingin mengkombinasikan pengetahuannya dengan kebutuhan terkini yakni dengan menambah ilmu baru yakni ilmu politik. Di Yogyakarta Lafran Pane masuk Akademi Ilmu Politik yang merupakan bagian dari Universitas Gajah Mada  pada bulan  April 1948. Universitas swasta ini lalu kemudian diakuisi pemerintah republik 1949 dan menjadi universitas RI dan akademi ini berubah menjadi fakultas.

Lafran Pane yang masih menjadi Ketua HMI dan juga sebagai mahasiswa di Universitas Gajah Mada (universitas republik) sangat merasakan dampak perang terhadap kehidupan para mahasiswa yang berasal dari Sumatra yang pembiayaannya sangat tergantung dari orangtua. Hampir semua mahasiswa yang berasal dari Sumatra putus kiriman uang dari kampong halaman karena dirampas oleh Belanda. Lafran Pane dalam hal ini masih terbantu oleh dua abangnya: Sanusi Pane dan Armijn Pane. Namun tidak demikian rekan-rekannya yang lain. Lafran Pane coba membicarakan permasalahan itu dengan pemimpin republik di Yogyakarta. Hasilnya, pemimpin republik memberi respon dan lalu dibentuk sebuah biro penghubung yang dinamai Biro Kontak untuk Sumatra yang langsung diketuai oleh Menteri Sosial RI, Ir. H.A. Tambunan dan sekretaris, Lafran Pane sendiri. Tujuan pembentukan biro ini untuk menyelamatkan studi mahasiswa yang berasal dari Sumatra. Dalam kepengurusan biro ini juga termasuk satu wakil dari masing-masing keresidenan yang ada di Sumatra (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-11-1949).Untuk membantu mahasiswa lainnya agar tetap kuliah adalah salah satu bentuk nyata perjuangan Lafran Pane selama masa perang.

Masa kolonial telah berlalu, kemerdekaan yang sempat dirampas oleh Belanda (NICA) telah diperoleh kembali dengan adanya pengakuan Belanda terhadap kedaulatan NKRI (Desember, 1949). Babak baru Indonesia mulai dibangun, namun demikian jasa-jasa para pelaku babak lama juga harus mendapatkan haknya.

Di Jakarta, Sutan Pangurabaan Pane, ayah Lafran Pane menggagas pula untuk dibentuknya organisasi para pensiunan. Organisasi ini diberi nama Kumpulan Kaum Pensioenan. Pimpinan pusat organisasi ini diketuai oleh Sutan Pangurabaan Pane.  Organisasi yang berpusat di Jakarta ini dengan cabang yang baru 50 onderafdeeling di seluruh Indonesia yang anggotanya sudah mencapai satu juta. Anggota organisasi ini meliputi mantan pejabat, militer dan usaha negara.  Dana simpanan yang besarnya telah mencapai  Rp 10.000.000 dikembangkan dengan membangun sejumlah usaha di berbagai daerah (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-10-1951)

Lafran Pane akhirnya lulus ujian dan menjadi sarjana di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 26 Januari 1953. Lafran Pane sendiri terbilang sebagai sarjana ilmu politik pertama di Indonesia. Ayah Lafran Pane menjadi tersenyum, tidak hanya anaknya-anaknya yang berhasil sesuai keinginan mereka, tetapi Sutan Pangurabaan Pane juga berhasil telah menjamin jutaan pensiunan mendapatkan haknya kembali yang selama ini ditahan oleh Belanda selama perang.

Ida Nasution Pendiri PMUI, Esais yang Membuat Gerah Belanda Lalu Diculik dan Dibunih

Sejak kehadiran Belanda kembali (pasaca kemerdekaan RI) pengaruh Belanda di Djakarta semakin menguat dan para republiken semakin melemah (karena banyak orang Indonesia memandang nasib RI sangat suram dan berafiliasi dan bekerjasama dengan Belanda). Hal inilah yang menyebabkan ibukota RI tanggal 4 Januari 1946 dipindahkan ke Djogjakarta.

Saat situasi mereda (di Djakarta), Belanda mulai menghidupkan kembali perguruan tinggi yang di era kolonial Belanda  sudah eksis (dan berantakan selama pendudukan Jepang). Pada tanggal 21 Januari 1946 kampus Universiteit Indonesie dibuka kembali dengan status Nood Universiteit (Universitas Darurat). Ida mantan mahasiswa angkatan 40 enggan.  

Rombongan republiken yang terakhir berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir yang menjadi bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Dalam rombongan ini termasuk Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946).

Selain Mr. Arifin Harahap dalam rombongan terakhir ke Djogjakarta ini juga terdapat seorang (yang diduga) mahasiswa bernama Lafran Pane. Mr. Arifin Harahap dan Lafran Pane sudah barang tentu berasal dari kampung yang sama di Padang Sidempoean.  Mr. Arifin Harahap adalah adik kandung Mr. Amir Sjarifoeddin. Lafran Pane adalah anak seorang sastrawan di Padang Sidempoean yang juga adik dari sastrawan terkenal saat itu yakni Sanusi Pane dan Armijn Pane. Keikutsertaan Lafran Pane dalam rombongan republiken ke Djogjakarta diduga karena kampus Lafran Pane di Djakarta telah lebih dahulu pindah ke Djogjakarta.

Ida Nasution
Seorang Republiken, Ida Nasution yang terhenti kuliahnya ketika terjadinya pendudukan Jepang, mendaftar kembali setelah melihat situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie sudah mulai kondusif. Perubahan sikap Ida Nasution ini karena disebabkan adanya kebijakan baru, karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan, maka bagi angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946). Ida Nasution adalah angkatan pertama tahun 1940 Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie.

Selama pendudukan Jepang hingga sebelum kuliah kembali Ida Nasution aktif sebagai penulis (esasi). Meski ini dari sudut Belanda semacam politik membujuk, namun demikian, jiwa merdeka Ida Nasoetion tetap bergelora.

Dalam suasana perang, Lafran Pane di Djogjakarta menggalang mahasiswa untuk bersatu yang kemudian didirikannya HMI tanggal 5 Februari 1947.

Pada tanggal 21 Juli 1947 militer Belanda mulai melacarkan aksi polisionil.

Untuk meredakan dua kubu, militer Belanda dan para republiken akhirnya aksi polisional militer Belanda yang juga dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I berakhir tanggal 5 Agustus 1947. Aksi ini berakhir karena desakan Dewan Keamanan PBB yang lalu kemudian dilanjutkan ke meja perundingan yang pada nantinya dikenal sebagai perjanjian Reville.

'Universitas Darurat' Universitas Indonesia tetap eksis yang terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). Fakultas yang ada terdiri dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte). Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute (tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan pelatihan guru yang akan diadakan. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut tersebut di bawah naungan Universiteit Indonesie sehingga organisasi yang diprakarsai Ida Nasoetion dan G. Harahap sesungguhnya merujuk pada mahasiswa seluruh Indonesia. Jadi, PMUI dalam interpretasi sekarang adalah perhimpunan mahasiswa seluruh Indonesia.

Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik melihat celah ini dengan menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947.

Pendirian Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat (PMUI) semacam respon dari anak-anak republik yang berada di dalam kampus 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia. Organisasi ini menjadi semacam organisasi ‘intrakurikuler’. Sedangkan organisasi ekstrakuler HMI sudah berdiri sejak tanggal 5 Februari 1947. Ini mengindikasikan bahwa kekuatan mahasiswa sudah ada di luar kampus dan juga ada di dalam kampus.

Lalu kemudian diadakan perjanjian antara dua pihak militer Belanda dan RI diadakan di atas kapal Amerika bernama Renville. Perundingan ini cukup alot dan membutuhkan waktu. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Republiken ke perundingan dipimpin oleh Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoedin. Sementara di pihak militer Belanda diwakili antara lain R. Abdul Kadir Widjojoatmojo, Mr. van Vredenburgh, Mr. Dr. Ch. R. Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Pangeran Kartanegara dan Mr. Masjarie. Perundingan berakhir 17 Januari 1948.  

Hasil perjanjian ini adalah (1) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk, (2) Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda, (3) Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS, (4) Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara, dan (5.) Akan diadakan plebisit untuk menentukan kedudukan politik rakyat Indonesia dalam RIS dan Pemilu untuk membentuk dewan konstituante RIS. Hasil perundingan mencerminkan kekalahan delegasi RI yang sebaliknya dimenangkan oleh orang-orang Indonesia yang berkolaborasi dengan Belanda. Lalu hasil ini mendapat reaksi, Masjumi menganggap Amir Sjarifoedin telah gagal dan kemudia muncul tintutan agar kabinet Amir Sjarifoedin menyerahkan mandat. Pada tanggal 29 Januari 1948 Amir Sjarifoedin menyerahkan kembali mandatnya  kepada Presiden.

Pada awal organisasi mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat (PMUI) ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia. Gelagat Ida Nasoetion dibalik memersatukan mahasiswa ini tercium juga oleh intelijen Belanda.

Belum genap satu semester Ida Nasoetion menjabat persiden PMUI, kabar buruk telah datang menimpanya. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida Nasoetion hilang. Dalam berita itu dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi’. Sementara itu, koran Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948 memberitakan sebagai berikut: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana. Apakah diculik?’

Ida Nasution Presiden Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI) hilang untuk selamanya. Ida Nasution telah mempelopori satu dari dua organisasi mahasiswa Indonesia di era perang kemerdekaan. Dua organisasi mahasiswa ini kebetulan dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa asal Padang Sidempoean. Jika mundur ke belakang, organisasi mahasiswa pertama Indisch Vereeninging (Perhimpunan Pelajar Hindia) didirikan tahun 1908 di Leiden yang dipelopori oleh Eadjioen Harahap gelar Soetan Casajangan kelahiran Padang Sidempoean. Indische Vereeniging kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang dipimpin Mohammad Hatta. Organisasi mahasiswa PMUI kelak menjadi cikal bakal Dewan Mahasiswa di masing-masing PTN yang terbentuk (pecahan UI seperti ITB dan IPB). Salah satu tokoh utama Dewan Mahasiswa UI adalah Hariman Siregar kelahiran Padang Sidempuan yang terkenal dengan Peristiwa Malari tahun 1974.  

Ida Nasoetion lahir  tahun 1922 dan mengikuti pendidikan dasar Eropa (ELS) di Sibolga. Keluarga mereka pindah ke Batavia sehubungan dengan ayahnya pindah tugas dari Sibolga ke Batavia. Pada tahun 1934 Ida Nasoetion didaftarkan di Koningin Wilhelmina School. Di sekolah elit Belanda ini Ida Nasoetion menempuh pendidikan enam tahun (SMP dan SMA). Bataviaasch nieuwsblad, 05-06-1935 melaporkan ujian transisi di K. W. III School yang mana diantaranya Ida Nasoetion dipromosikan dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa K.W. III School yang naik ke kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun 1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di K. W. III School dan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda. Ida Nasoetion tidak tertarik kuliah ke negeri Belanda. Ida Nasoetion yang sudah menulis sejak sekolah menengah lalu mendaftar dan diterima di Jurusan Sastra Bahasa (letteren faculty) Universiteit van Indonesie.  Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Ida Nasoetion termasuk mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (awal pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan Filsafat, kini bernama Fakultas Ilmu Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati sekolah tinggi ini karena bakatnya di bidang sastra sejak masuk di K.W. School. Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Ida Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah. Pada akhir Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan Riau yang membuat Belanda mengalami sok. Satu per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah pemerintahan Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion berhenti pula kuliah.

Tunggu deskripsi lengkapanya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar