Laman

Rabu, 15 November 2017

Sejarah Semarang (3): Kopi Banaran di Semarang; Perkebunan Kopi Sejak 1864, Kebun Kopi Masih Eksis Hingga Ini Hari

Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini


Akhir-akhir ini, kopi muncul sebagai primadona baru di berbagai tempat di Indonesia, utamanya di kota-kota besar. Namun, bagaimana tradisi ‘ngopi’ di Indonesia terus terjaga hingga ini hari jarang yang membicarakannya. Perihal yang bisa menjelaskan tradisi ngopi itu hanya bisa dijelaskan dengan menelusuri sejarah kopi itu sendiri. Artikel ini coba menelusuri sejarah kopi Banaran, kopi yang diduga produksi pertama di Semarang dan sekitarnya. Pada masa ini Banaran, hanyalah sebuah dusun yang masuk Desa Gemawang,   Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Di dusun ini terdapat pabrik kopi yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara IX (Persero).

Banaran, 1947 (foto udara)
Artikel tentang kopi ini akan disandingkan dengan artikel-artikel saya sebelumnya tentang kopi Mandailing, kopi Angkola, kopi Sipirok, kopi Buitenzorg dan kopi Preanger. Artikel ini juga akan menjadi bagian dari artikel-artikel saya yang terdapat dalam Sejarah Kota Medan (baru 57 artikel), Sejarah Kota Padang 48 artikel, Sejarah Jakarta (16 artikel), Sejarah Bogor 23 artikel, Sejarah Kota Depok 43 artikel dan Sejarah Bandung 39 artikel. Tentu saja Sejarah Surabaya 9 artikel dan Sejarah Padang Sidempuan 21 artikel (menyusul Sejarah Makassar, Sejarah Singapura dan Sejarah Kuala Lumpur).

Desa Banaram: Perkebunan Pertama di Semarang. 1864

Nama desa Banaran, paling tidak telah teridentifikasi pada tahun 1825 ketika ekspedisi militer Belanda memasuki pedalaman Jawa. Pasukan Jawa yang ditemui pertama adalah yang berkumpul di desa Bangin dan kemudian bertemu lagi dengan pasukan Jawa yang berkekuatan 300-400 orang di desa Banaran (lihat Bataviasche courant, 14-12-1825).

Banaran (Peta 1869)
Ekspedisi tahun 1825 ini adalah awal dari Perang Jawa, suatu pergerakan pasukan Belanda ke pedalaman untuk membebaskan pusat Jawa di Jokjakarta dari pemberontakan yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Perang Jawa berakhir pada tahun 1930 [setelah Perang Jawa berlanjut ke Pantai Barat Sumatra: Perang Bonjol di Padangsch Bovenlanden berakhir 1837 dan Perang Tambusai di Mandailing dan Angkola berakhir 1838].

Desa Banaran, tidaklah terlalu terkenal. Desa-desa yang lebih terkenal adalah desa Ambarawa, desa Oengaran dan desa Salatiga yang kelak ketiga desa ini menjadi kota. Desa Banaran tetaplah sebuah desa yang terpencil di ketinggian. Namun demikian, desa Banaran ini begitu penting posisinya di antara tiga desa utama lainnya karena kopi. Meski demikian, Desa Banaran adalah suatu pasar di ketinggian yang ramai dikunjungi dari berbagai penjuru (Javasche courant,       02-02-1828). Dalam perkembangannya di Desa Banaran dibangun perkebunan kopi.

Introduksi kopi sudah terjadi sejak era VOC sebagaimana juga di Preanger. Ketika harga kopi mendapat apresiasi harga tinggi di Eropa, van den Bosch mengubah koffiekultuur menjadi koffiestelsen tahun 1830 di Buitenzorg dan Preanger. Koffiestelsel ini diperluas ke Semarang (setelah Perang Jawa/Dipoenegoro berakhir). Koffiestelsel juga kemudian diperluas ke Padangsch Bovenlanden dan ke Afdeeling Mandailing en Angkola (1840).  

De locomotief, 03-04-1868
Di tengah kebijakan sistem koffiestelsel muncul investor Eropa/Belanda untuk membuka perkebunan di Buitenzorg dan kemudian menyusul di Semarang. Perkebunan kopi pertama di Semarang terdapat di Desa Banaran. Perkebunan kopi Banaran sudah beberapa tahun didirikan oleh Mc Neill & Co dengan administratur HL Soesman. Pada tahun 1868 sebagian perkebunan ini dijual oleh pemiliknya (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1868). Perkebunan ini memiliki hamparan seluas 400 Bouws yang ditanami 693.750 batang pohon tua (menghasilkan) dan 41.100 batang pohon muda [1 bouw = 7.096,5 meter persegi]. Perkebunan ini memiliki kontrak pembelian oleh pemerintah yang akan berakhir pada panen tahun 1879. Hasil produksi perkebunan kopi ini diekspor ke Eropa. Perusahaan Kopi Banaran ini terletak di District Ambarawa, Regentschap Salatiga, Residentie Samarang.

Peta Semarang, 1719
Introduksi kopi di Semarang yang dimulai pada era VOC paling tidak sudah terdeteksi tahun 1719 berdasarkan Peta Semarang 1719 dimana di lahan pekarangan Bupati Semarang terdapat kebun kopi. Introduksi kopi Semarang ini tidak lama setelah introduksi kopi pertama dilakukan di Batavia dan sekitar (Eerste koffij aan planting in de omstreken van Batavia) pada tahun 1710 (lihat Almanak van Nederlandsch Indie voor het jaar 1871). Orang yang pertama yang melakukan introduksi kopi itu adalah Abraham van Riebeek, Gubernur Jenderal VOC yang diangkat tahun 1709. Tanaman kopi dibawa dari Malabar (India) yang mana saat itu Abraham van Riebeek sebagai Gubernur Jenderal VOC berhasil meredakan pemberontakan di Malabar (sebagai wilayah koloni VOC/Belanda di India). Namun selagi menjabat Gubernur Jenderal VOC dan introduksi kopi baru dimulai Abraham van Riebeek meninggal dunia tahun 1713 (setelah tiga tahun kopi diintroduksi di Batavia). Namun yang jelas kopi sudah diperkenalkan di Batavai  tetapi diduga belum sampai ke Bogor meski wilayah Bogor sudah dikenal oleh Abraham van Riebeek (pada tahun 1703 Abraham van Riebeek memimpin ekspedisi dari Batavia ke Bogor).      

Perkebunan kopi [Banaran?] dekat Ambarawa, 1880
Pada tahun 1864 di Semarang terdapat 25 persil perkebunan kopi swasta seluas 13.714 bouws yang mana seluas 9.486 bouws telah ditanam dengan total 15 juta batang lebih (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-10-1873). Ini mengindikasikan perkebunan Banaran hanya sebagian kecil dari perkebunan yang ada di Semarang dan sekitarnya. Selain perkebunan kopi swasta sudah sejak lama terdapat penanaman kopi yang dilakukan penduduk yang dipimpin oleh para pemimpin lokal seperti Bupati. Sistem penanaman kopi penduduk ini dikenal sebagai koffiestelsel.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar