Laman

Minggu, 04 Februari 2018

Sejarah Jakarta (21): Rekor Pertemuan Tim Persija vs PSMS dan Pertandingan Klasik; Memori 26 Desember 1954 di Stadion Ikada

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini


Baru saja Persija Jakarta mengalahkan lawannya dengan skor 3-1 dalam perempat final (8 Besar) turnamen Piala Presiden 2018. Dengan kemenangan ini, Persija Jakarta menantang PSMS Medan di partai semi final. PSMS Medan sehari sebelumnya berhasil mengalahkan Persebaya Surabaya. Tiga kesebelasan ini mengingatkan kembali dengan nama-nama tim kesebelasan legandaris di era sepakbola perserikatan. Pertandingan Persija Jakarta vs PSMS akan ditunggu para gibol dengan sangat antusias, karena pertemuan PSMS dengan Persija masuk dalam label El Clasico di sepak bola Indonesia.

Stadion IKADA  Djakarta 1955
Dalam partai semi final Piala Presiden 2018 menggunakan format pertandingan home (leg-1) dan away (leg-2). Format ini pernah diterapkan pada Kejuaraan Antar Perserikatan pada tahun 1967 yang diselenggarakan di Stadion Utama Senayan. Namun kini, PSMS pada leg pertama menjadi tuan rumah dan pada leg-2 Persija menjadi tuan rumah. Masalahnya, Stadion Teladan Medan (yang dibangun 1952) proses renovasinya belum selesai, sementara Stadion Gelora Bung Karno Senayan baru saja selesai direnovasi dan Persija menginngikan menjadi laga kandangnya melawan PSMS. Anehnya, PSMS yang notabene tidak memiliki stadion bersedia memilih kandang di kandang Persija. Jika ini yang terjadi maka akan teringat memori tahun 1967

Disebut pertandingan El Clasico, pertemuan antara Persija dan PSMS sudah terjadi sejak tempo doeloe dan telah dilakukan untuk yang kesekian kali. Pertandingan PSMS vs Persija kali ini akan merecall kembali memori kejadian 26 Desember 1954 di Stadion Ikada Jakarta. Pertandingan ini adalah pertemuan kali kedua antara tim Persija dan PSMS. Pertandingan ini juga merupakan pertandingan terakhir dalam partai 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 (partai menentukan untuk mnjadi juara: Persija atau PSMS).

Pertandingan Persija vs PSMS Kali Pertama 1952: Harahap vs Siregar

Pada saat PSSI diaktifkan kembali pada awal tahun 1950, perserikatan juga kembali dihidupkan. Pada saat itu federasi yang sudah aktif adalah NIVU (sejak 1946) dan kemudian namanya diubah menjadi VUVSI/ISNIS. Setelah PSSI diaktifkan kembali (yang lahir tahun 1930) perserikatan-perserikatan menyusul berafiliasi dengan PSSI.

De vrije pers: ochtendbulletin, 26-09-1950
Kapan Persija dibentuk? Selama ini disebut Persija didirikan tanggal 28 November 1928. Itu keliru. Kenyataannya Persija dibentuk pada tanggal 24 September 1950 (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 26-09-1950). Pada tanggal tersebut, anggota PORI (sepak bola) mengadakan rapat umum di clubhuis Hercules, Djakarta. Ada dua keputusan yang dibuat. Pertama, mengubah nama PORI Djakarta menjadi Persidja. Kedua, memilih dan menetapkan dewan pengurus, yang terdiri dari: Ketua: Jusuf Jahja; Wakil Ketua: Dr. Bunjamin; Sekretaris: M. Royani; dan Bendahara: BC Harahap. Saat itu masih ada VBO (Voetbalbond Batavia en Omstreken). Pihak VBO akan mempertimbangkan untuk berdiskusi dengan pihak Persidja tentang pembubaran VBO dan hubungannya dengan Persidja. Hingga bulan Februari 1951 integrasi VBO dengan Persidja belum berhasil, akibatnya BBSA keluar dari VBO dan masuk ke Persidja agar pemainnya dapat bekersempatan dalam pembentukan Timnas PSSI ke Olimpiade Asia di India. Konsekuensinya semua pertandingan BBSA (Bangka en Billiton) musim terakhir di VBO dihapus (lihat De nieuwsgier, 08-02-1951). Dalam perkembangannya, setelah Persidja berafiliasi dengan PSSI yang baru diaktifkan kembali, Persidja terus eksis, sementara VBO lambat laun menghilang.Sementara itu (sebagai pembanding) di Surabaya, SVB (lahir 1909) berubah menjadi Persibaja dan kemudian berafiliasi dengan PSSI. Hal ini juga kurang lebih sama di Makassar: MVB (lahir 1915) berubah menjadi PSM dan kemudian berafiliasi dengan PSSI. Sedangkan di Medan, PSMS dibentuk baru pada tahun 1950 dan kemudian berafiliasi dengan PSSI. Afiliasi perserikatan-perserikatan tersebut disahkan pada Kongres PSSI yang akan datang di Semarang (September 1950)..

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-09-1950
Kongres PSSI yang pertama (Pasca pengakuan kedaulatan RI) diadakan pada tanggal 2-4 September 1950 di Semarang. Satu keputusan penting dalam kongres ini adalah mengubah nama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) menjadi Persatoean Sepakbola Seloeroeh Indonesia). Dengan tegas dinyatakan bahwa PSSI yang baru dibentuk ini bukan PSSI lama, yang lahir tahun 1930, tetapi terbentuk pada tanggal 2 September 1950; yang secara kebetulan namanya tetap sama (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-09-1950). Paralel dengan kongres ini dilangsungkan kompetisi (yang hanya dihadiri) empat tim perserikatan: Persidja, Persibaja, PSIS dan Persib. Pemanangnya adalah Persibaja (lihat Nieuwe courant, 05-09-1950). Proklamasi PSSI ini juga diterapkan oleh PSMS Medan. Oleh karenanya pada masa ini, PSMS mengklaim dirinya lahir tahun 1950. Sementara perserikatan lainnya mengikuti cara yang berbeda. Persija mengklaim lahir tahun 1928, Persebaya 1927, Persib tahun 1933 dan PSM tahun 1915. Setali tiga uang dengan penetapan kelahiran kota-kota dengan mengambil dasar rujukan (origin) yang berbeda-beda.

PSMS Medan tidak memiliki garis kontinu dari OSVB. Berbeda dengan Persibaja yang memiliki garis kontinu dari SVB/PSS (1908) dan PSM yang memiliki garis kontinu dari MSV/PSM (1915) serta Persib dari VBBO. Persibaja tidak memiliki garis kontinu dari SIVB (1927). OSVB (Sumatra Timur) didirikan pada tahun 1930 dan jauh sebelumnya sudah berdiri DVB (Deli) pada tahun 1907. DVB bubar dan lalu muncul VBMO (Medan dan sekitar). VBMO lalu menjadi bagian dari OSVB. Pada tahun 1923 berdiri DVB tetapi bukan DVB yang lama. Namanya sama tetapi bond untuk pribumi. DVB pribumi ini didirikan oleh Dr. Radjanin Nasution (Kepala Kesehatan Bea Cukai Medan). Pada tahun 1941 klub-klub pribumi keluar dari OSVB dan membentuk Indonesiasch Voetba Bond (PERSEDELI) yang terdiri dari 10 klub termasuk tiga yang berasal dari OSVB yakni UVV, MSV [Medansche Voetbalclub] dan Sahata (lihat De Sumatra post, 20-11-1941). Klub Handelsport (klub juara Sibolga Voetbal Bond) datang ke Medan untuk bertanding dengan Tim PERSEDELI, UVV, Sahata dan MSV (De Sumatra post, 05-12-1941). Selama pendudukan Jepang PERSEDELI tidak terinformasikan apakah eksis atau tidak. Pada masa perang kemerdekaan (munculnya Negara Sumatera Timur) keberadaan PERSEDELI juga tidak terinformasikan dan diduga vakum karena para republiken masih berjuang di Tapanoeli. Di Negara Sumatra Timur (negara boneka Belanda) dihidupkan kembali OSVB (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-09-1948). Kesebelasan SVB (Soerabaja) melakukan lawatan ke Medan (De vrije pers: ochtendbulletin, 23-09-1949). Anggota OSVB yang mulai eksis adalah bond di Medan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-10-1949) dan di Pematang Siantar (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-11-1949). Bond Medan disebut Voetbal Bond Medan en Omstreken (VBMO). Lalu kemudian VBMO juga diterjemahkan menjadi PSMS (Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-10-1949). Salah satu klub yang ikut berpartisipasi dengan kompetisi VBMO/PSMS adalah klub Sahata. Dalam pertandingan terakhir kelas pertama (Divisi-1) Deli Mij mengalahkan Sahata, sementara itu Tim Medan mengalahkan tim Pematang Siantar di Lapangan Djalan Radja (Het nieuwsblad voor Sumatra, 07-11-1949). Enam klub yang berada di Divisi-1, Sahata adalah satu-satunya klub yang sudah eksis di era sebelum pendudukan Jepang (1942). Tim Medan akan melawat ke Padang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-11-1949). Tim Atjeh akan melawat ke Medan melawan Tim VBMO/PSMS (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-12-1949).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-01-1950
Pada tanggal 22 Januari 1950 di Stadion Keboen Boenga diadakan pertandingan antara Tim VBMO/PSMS melawan Tim Gabungan Pemain Indonesia dari klub Sahata, Medan Poetra dan Deli Mij (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-01-1950). Tiga tim yang membentuk Tim Indonesia ini sebelumnya ikut berpatisipasi di kompetisi VBMO/PSMS. Seminggu kemudian terjadi rapat umum VBMO/PSMS. Keputusan utama adalah membentuk kepengurusan yang baru. Dari pengurus yang lama tidak ada yang mengajukan diri. Akhirnya secara aklamasi menetapkan Madja Purba sebagai ketua (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-01-1950). Inilah untuk kali pertama seorang pribumi menjadi ketua pengurus perserikatan sepak bola  di Medan. Sejak ada perserikatan di Medan, DVB (1907) dan\kemudian OSVB (1930) dan VBMO (1948) pimpinan teras selalu orang Eropa/Belanda. Pada tahun 1941, GB Joshua Batubara, ketua klub Sahata protes karena orang pribumi tidak diberi kesempatan untuk menjadi pengurus inti (padahal klub dan pemain pribumi tidak kalah kelas dibandingkan dengan Eropa/Belanda). Akibatnya tiga klub pribumi yang tergabung di OSVB Medan (Sahata, UVV dan MSV) keluar dan kemudian membentuk perserikatan sendiri (tandingan)  yakni PERSEDELI. Selama pendudukan Jepang aktivitas sepakbola di Medan tidak terinformasikan. Pada era perang (pasca Proklamasi Kemerdekaan RI) dan ketika negara boneka Belanda, Negara Sumatra Timur (NST) terbentuk OSVB muncul kembali dan kemudian lahir VBMO/PSMS. Madja Purba sendiri, saudara Wali Kota Medan (01-11-1947/11-07-1952) adalah pejabat Negara Sumatra Timur. Dalam fase transisi ini (Belanda-Negara Sumatra Timur-NKRI) barulah seorang pribumi menjadi pengurus inti sepakbola di Medan. Lalu kemudian, ketika orang-orang Belanda dideportasi ke Belanda, pemain-pemain dari klub militer dan klub lainnya di VBMO membentuk tim gabungan untuk melawan tim gabungan Indonesia (Sahata, Deli Mij dan Medan Poetra) untuk melakukan pertandingan perpisahan sebagai pengingat bagi mereka orang-orang Eropa/Belanda pernah di Sumatra Timur. Pertandingan akan dilakukan di stadion Keboen Boenga dan disiarkan radio oleh seorang penyiar radio yang didatangkan dari Belanda. Tim Indonesia antara lain terdiri dari Agus Ramlan, Tobing, Dzat, Ramli, Fadil, Wahid, Cornel dan Raïs (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-02-1950). Kemudian dilaporkan Karel Lotsy (Ketua KNVB/PSSI-nya Belanda) akan datang ke Medan. Dalam kunjungannya ini Lotsy (yang pernah membantu Timnas NIVU ke Piala Dunia 1938 di Prancis) akan diadakan pertandingan antara Tim Militer Belanda Sumatra Utara vs Tim VBMO/PSMS (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-03-1950). Singkat kata: Pada tanggal 21 April 1950 didirikan PSMS (yang baru) dan akan berafiliasi dengan PSSI yang diaktifkan kembali (yang diklaim sebagai PSSI yang baru). PSMS yang baru sendiri disebutkan/diklaim bukan sebagai kelanjutan VBMO/PSMS tetapi PSMS yang benar-benar baru meski namanya sama (idem dito dengan penetapan PSSI 1950 yang baru; bukan PSSI 1930 yang lama).

Oleh karenanya pada masa ini, PSMS mengklaim dirinya lahir tahun 1950 (sebagaimana PSSI lahir 1950). Sementara perserikatan lainnya mengikuti cara yang berbeda. Persija mengklaim lahir tahun 1928 (mengikuti garis kontinu VIJ), Persebaya 1927 (mengikuti garis kontinu SIVB), Persib tahun 1933 dan PSM tahun 1915 (mengikuti garis kontinu MVB/PSM). Dalam hal ini PSSI tidak mengikuti garis kontinu PSSI yang lama dan PSMS tidak mengikuti garis kontini VBMO/PSMS. Setali tiga uang dengan penetapan kelahiran kota-kota dengan mengambil dasar rujukan (origin) yang berbeda-beda.

Nieuwe courant, 05-09-1950
Paralel dengan kongres ini PSSI di Semarang (1950) dilangsungkan kompetisi (yang hanya dihadiri) empat tim perserikatan: Persidja, Persibaja, PSIS dan Persib. Pemenangnya adalah Persibaja (lihat Nieuwe courant, 05-09-1950). Kompetisi di Semarang ini di dalam sejarah sepak bola Indonesia tidak dicatat sebagai kejuaraan resmi. Pada tahun berikutnya (yang diakui sebagai kejuaraan resmi) tahun 1951 hanya dihadiri empat tim (4 Besar): Persibaja, Persija, PSM dan PSIM. Kembali Persibaja menjadi juara. Pada tahun1952 kejuaraan antar perserikatan diikuti tujuh tim (7 Besar): Persibaja, Persidja, Persib, Persis, PSMS, Persema dan Persipro. Lagi-lagi Persibaja yang menjadi juara.

Satu hal yang perlu diluruskan dalam hal ini adalah bahwa PSSI mengklaim dirinya sebagai PSSI yang baru (tahun 1950) dan bukan PSSI lama. Ini artinya sebelum ada federasi (PSSI 1950; idem dito PSSI lama 1930) sudah harus lebih dahulu ada klub dan perserikatan (bond). Oleh karenanya tidak salah jika ada klub dan perserikatan yang telah lebih dahulu lahir. Sebelum diadakan Kongres PSSI di Semarang (2-4 September 1950) perserikatan-perserikatan yang ada mengalami proses transisi. SVB/PSS (NIVU) berubah nama menjadi Persibaja. SIVB yang dulu menjadi anggota PSSI lama (1930) entah dimana. Lantas Persibaja berafiliasi dengan PSSI yang baru (yang akan memulai kongres pertama di Semarang). Paralel dengan perubahan SVB/PSS menjadi Pesibaja, di Medan PSMS dibentuk tanggal 21 April 1950 (dan akan berafiliasi dengan PSSI baru). Padahal sebelumnya di Medan sudah ada VBMO/PSMS (VUVSI/ISNIS, suksesi NIVU) dan PERSEDELI (Indonesia). PSMS yang baru (1950) bukan mengikuti VBMO maupun PERSEDELI, tetapi PSMS yang benar-benar baru (meski namanya sama PSMS versi VBMO). Hal ini juga kemudian yang menjadi salah satu keputusan Kongres Semarang: PSSI yang baru (1950), bukan PSSI yang lama (1930). PSMS dan PSSI satu irama. Persibaja adalah nada yang lain yang tidak seirama. Demikian juga Persidja, Persib, PSIS dan PSM sebagai nada yang lain lagi.

Nieuwe courant, 01-09-1950
Sebelum Kongres PSSI di Semarang diawali dengan kongres pendahuluan diadakan di Bandoeng bulan Mei 1950). Bersamaan dengan Kongres di Semarang akan diadakan kejuaraan antar kota (perserikatan). Juara dari tiga wilayah betremu di Semarang (lihat (De vrije pers: ochtendbulletin, 25-07-1950). Disebutkan dalam berita ini Persidja telah berafiliasi dengan PSSI. Lalu muncul jadwal yang ditetapkan juara-juara dari tiga wilayah: Jawa Bagian Barat (Persib); Jawa Bagian Tengah (PSIS) dan Jawa Bagian Timur (Persibaja). Tiga juara ini akan dijadwal saling bertemu di Semaramg tanggal 2,3 dan 4 September (lihat De vrije pers: ochtendbulletin,      22-08-1950). Namun entah mengapa (mungkin) Persib (juara WJVB) tidak merespon sehingga digantikan oleh Persidja. Jadwal baru ini sudah diumumkan dan bahkan sudah diberitakan di surat kabar . (lihta Nieuwe courant, 01-09-1950). Akan tetapi jelang kongres, tiba-tiba secara mendadak datang Persib. Timbul polemik dan lalu disepakati kejuaraan diikuti empat perserikatan. Pertandingan pertama hari pertama (2/9) Persib vs PSIS dan pertandingan kedua hari kedua (3/9) Persibaja vs Persidja. Lalu di Final pada hari ketiga (4/9). Hasilnya Persib mengalahkan PSIS 2-0; dan Persibaja mengalahkan Persidja 6-1 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-09-1950). Di partai Final Persib mengalahkan Persibaja dengan skor 2-0 (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 05-09-1950). Disebutkan dalam berita bahwa Persibaja adalah juara VUVSI/ISNIS (Soerabaja). Di sisi lain Kongres yang berlangsung 2-4 September memutuskan lahirnya PSSI yang baru; memilih ketua umum dan mengagendakan Kejuaraan Antar Perserikatan (Kota) pada tahun 1951. Hal inilah kemungkinan hasil kejuaraan ini (1950) tidak secara resmi dan resminya baru tahun 1951. Namun yang jelas, kejuaraan di Semarang ini sebelumnya dijadikan sebagai ajang seleksi pembentukan Timnas Indonesia untuk ke New Delhi, India (lihat De vrije pers: ochtendbulletin,             22-08-1950). Untuk mengakomodir potensi sepakbola di Medan karena PSMS tidak bisa datang, dua pemain PSMS dimasukkan (untuk memperkuat) tim Persidja, yakni: Ramlan dan Abidin   

Persidja datang ke Kongres di Semarang (September 1950) sesuai hasil implementasi kongres pendahuluan PSSI di Bandoeng (Mei 1950). Sepulang dari Kongres Semarang, Persidja melakukan rapat pada tanggal 24 September 1950 (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 26-09-1950). Ada dua keputusan yang dibuat. Pertama, mengubah nama PORI Djakarta menjadi Persidja. Kedua, memilih dan menetapkan dewan pengurus, Ini berarti nama Persidja yang ke Kongres di Semarang belum resmi meski nama Persidja sudah muncul sebelum Kongres Semarang (hal yang sama dengan nama PSMS dan Persibaja, Persib, PSIS dan PSM). Tokoh penting dibalik terbentuknya Persidja adalah Maladi. Ketika Kongres di Semarang dan diputuskan berdirinya PSSI yang baru (suksesi PORI Sepakbola), Maladi terpilih sebagai Ketua Formatur pembentukan struktur organisasi PSSI (yang ditetapkan berpusat di Djakarta). Sementara dari Surabaya Persibaja dipimpin oleh Residen Pamoedji yang menggantikan Dr. Aminoeddin yang mutasi ke Indramajo (De vrije pers: ochtendbulletin, 01-09-1950). Pada bulan Juli 1950 dilaporkan bahwa Persibaja (eks SVB/PSS) telah berafiliasi dengan PSSI. Oleh karena Maladi sudah menjadi PSSI, maka di Djakarta, Persidja melakukan rapat umum dengan hasil keputusan (perubahan nama PORI Sepakbola Djakarta secara resmi menjadi Persidja dan pemilihan pengurus baru). Setelah terbentuknya Persidja secara resmi (pasca Kongres Semarang), pihak VBO akan mempertimbangkan untuk berdiskusi dengan pihak Persidja tentang pembubaran VBO dan hubungannya dengan Persidja. Hingga bulan Februari 1951 integrasi VBO dengan Persidja belum berhasil, akibatnya BBSA keluar dari VBO dan masuk ke Persidja agar pemainnya dapat bekersempatan dalam pembentukan Timnas PSSI ke Olimpiade Asia di India.

VIJ (Voetbalbond Indonesia Jacatra) didirikan tahun 1928 oleh Iskandar Brata (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-09-1938). Beberapa saat setelah Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. VIJ didirikan tidak terkait dengan isu politik (sebagaimana diceritakan kemudian), melainkan VIJ dibentuk untuk merespon akibat VBO tidak mampu meampung semua klub yang ada di Batavia. VBO didirikan 1912 dan nama sebelumnya adalah Bataviaschen Voetbal Bond (BVB) yang didirikan tahun 1905. Bahkan pada era BVB klub-klub sudah banyak yang tidak tertampung baik yang Belanda maupun Tionghoa dan pribumi. Hanya satu klub pribumi yang tertampung yakni Docter Djawa School Voetbal Club (Docter Djawa VC) yang lahir tahun 1903 dan ikut berkompetisi pada tahun 1905. Nama-nama klub pribumi saat itu (yang tidak tertampung) antara lain Gang Solitude, Norbek di Meester Cornelis, Pedjambon, Gang Timboel, Kebon Manggis, Gang Aboe, Petjenongan dan Kwitang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1905). Di Medan sudah lebih awal adanya klub pribumi (1904), seperti Toengkoe Sportclub (kerabat kerajaan di Bindjai) dan Zetterletter (anak-anak pengusaha asal Angkola dan Mandailing di Medan). Di Bandung, klub pribumi sejauh yang bisa dilacak belum ada laporannya tetapi ada klub OSVIA yang berkompetis di BVB Bandoeng. Docter Djawa School dan OSVIA sejatinya tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai klub pribumi, karena dua sekolah (tinggi) itu dimiliki oleh pemerintah colonial dan dosen-dosennya adalah orang Belanda (yang mungkin menjadi pembina klubnya). Docter Djawa School adalah perguruan tinggi kedokteran untuk pribumi (cikal bakal STOVIA/FKUI). Kapten Tim Docter Djawa VC pada tahun 1909 adalah Radjamin Nasution. Melihat itu Dr. Abdul Rivai (pemimpin/editor surat kabar Bintang Hindia) kerap membuat turnamen sendiri. Pada tahun 1912 BVB berubah menjadi VBO. Pada tahun 1919 Dr. Abdul Rasjid Siregar mendirikan Bataksch Bond di Batavia. Pada tahun 1921 Bataksch Bond mendirikan Bataksch Voetbal Vereeniging (BVV) mampu masuk ikut berpartisipasi di VBO tahun 1930. Itu berarti setelah sembilan tahun pendiriannya dan setelah dua tahun VIJ dibentuk. Namun saat itu bond VIJ yang didirikan oleh Iskandar Brata ini organisasinya masih belum rapih. Anggota VIJ saat itu antara lain klub dari pemain-pemain yang berasal dari klub Malay (orang-orang Malaya, kini Malaysia) yang kemudian berganti nama menjadi SV Setia); klub Andalas (orang-orang Sumatra), klub sepakbola Ster dan MOS. Untuk menampung bond-bond yang tidak tertampung di federasi NIVU, Ir. Soeratin tahun 1930 mendirikan federasi PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia. VIJ lalu berafiliasi dengan PSSI. VIJ dilanjutkan oleh Mr. Koesoema Atmadja yang waktu itu Ketua Dewan Tanah (Landraad) di Batavia. VIJ mulai bekerja secara baik. Pengurus berikutnya adalah Dr. Moewardi. Dalam ulang tahun bond VBO tahun 1937 dua pribumi ikut menghadari yakni dua orang bersahabat  Mr. Panangian Harahap dari BVV dan Dr. Moewardie dari VIJ (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-03-1937). Dengan demikian di Batavia terdapat beberapa federasi: VBO, VIJ, Tionghoa dan BKVB (Asosiasi Sepakbola Perkantoran/Perusahaan). Di Soerabaja asosiasi sepakbola kantor/perusahaaan disebut SKVB yang didirikan oleh Dr. Radjamin Nasution pada tanggal 30 Juni 1927. SIVB mengklaim SKVB sebagai anggotanya. Boleh jadi karena SIVB yang berafiliasi dengan PSSI. Ketua PSSI adalah Ir. Soeratin yang notabene adalah adik Dr. Soetomo (kepala rumah sakit di Surabaya) sementara Dr. Radjamin (kepala Bea Cukai Soerabaya).  Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution sekelas sewaktu kuliah di STOVIA. Tahun inilah yang dijadikan Persebaya sebagai tahun kelahirannya. De Indische courant, 12-05-1932 melaporkan bahwa pertandingan sempat bentrok antara tim Belanda dan tim pribumi karena kecurangan. Koran Sin Tit Po dan Pewarta mengomentari bahwa pertandingan berikutnya tidak perlu dilanjutkan karena tidak adil. Bahkan editor Sin Tit Po mendatangi tim Tionghoa meminta untuk tidak melangsungkan pertandingan antara Tionghoa vs SVB karena rawan kerusuhan. Para pemain yang tergabung dalam tim pribumi (SKVB) antara lain Askaboel, Soebroto, Soewono, Ngion, Soemarto dan Radjamin (Nasution) dari dewan kota. Akibat adanya kerusuhan sebelumnya, program tim Tionghoa vs tim angkatan laut (yang terdiri dari) orang-orang Indonesia terpaksa dibatalkan. Sejak pendudukan Jepang, baik VIJ dan SIVB tidak terdengar kabarnya lagi. Setelah Proklamsi Kemerdekaan RI dan pada era perang kemerdekaan, baik VIJ dan SIVB di satu sisi dan PSSI di sisi lain tidak terdengar kabar beritanya. Sebaliknya federasi NIVU muncul yang kemudian berganti nama menjadi VUVSI/ISNIS. Kemudian pada awal tahun 1950 (pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda) PSSI lama diaktifkan lagi dengan PSSI yang baru. Jelang kongres PSSI di Semarang pada bulan September 1950 muncul nama-nama Persidja, Persibaja dan PSMS. Di Surabaya bond SVB diterjemahkan namanya menjadi PSS (sebagaimana VUVSI dan ISNIS) dan kemudian berganti nama menjadi Persibaja dan lalu berafiliasi dengan PSSI yang baru (SIVB tidak diketahui keberadaannya secara jelas). SKVB sendiri sebelum berafiliasi dengan PSSI yang baru diintegrasikan dengan Persibaja. Meski demikian, SKVB tetap melakukan kompetisi sendiri di bawah payung Persibaja. Ketua SKVB-Persibaja tahun 1952 adalah Letkol Irsan Radjamin (anak dari Dr. Radjamin Nasution). Di Medan, muncul VBMO yang kemudian juga disebut PSMS, tetapi yang berafiliasi dengan PSSI adalah PSMS yang dibentuk baru tahun 1950. Lantas di Djakarta keberadaan VIJ tidak diketahui dengan jelas, tetapi PORI Sepakbola Djakarta berubah dan terbentuk bond baru yang diberi nama Persidja (yang kemudian berafiliasi dengan PSSI yang baru). BVV di Djakarta yang sudah ada sejak era kolonial Belanda menjadi bagian dari bond Persidja; dan di Medan juga klub SAHATA yang sudah ada sejak era kolonial Belanda menjadi bagian daro bond PSMS yang baru. Untuk sekadar catatan tambahan: PSMS tidak terhubung dengan OSVB maupun VBMO/PERSEDELI, PSMS adalah PSMS yang baru tahun 1950; Persibaja (kemudian Persebaya) juga tidak terhubung dengan SIVB, melainkan dengan SVB (lahir 1909) dan SKVB (lahir 1927); PSM terhubung (link) dengan MVB (lahir 1915); serta Persib hanya terhubung dengan Persib yang didirikan tahun 1933 (sebagaimana halnya Persis Solo dan PSIM Djogjakarta). Last but not least: Persidja (kemudian Persija) tidak terhubung dengan VIJ dan juga tidak terhubung dengan VBO. Jika PSM mengklaim kelahiranya tahun 1915 sah-sah saja (valid). Demikian juga Persebaya sah-sah saja (valid) menyebut tahun 1909 (SVB) atau tahun 1927 (SKVB). Persija dan PSMS hanya valid mengklaim tahun kelahiran pada tahun 1950.


De nieuwsgier, 12-12-1952
Pertemuan Persidja dan PSMS Medan terjadi pada kejuaraan antar perserikatan tahun 1952. Pertandingan dilangsungkan  di Jakarta. 14-12-1952 di Stadion Ikada. Sehari sebelumnya di stadion yang sama PSMS mengalahkan Persema dengan skor 2-1. Salah satu pemain berpengalaman sebagai bek tangguh tim Persidja adalah [BS] Harahap (lihat De nieuwsgier, 12-12-1952). Sementara itu di tim PSMS Medan terdapat teman sekampung BS Harahap yakni Joesoef Siregar. Bentrok antara dua pemuda antara Persidja dan PSMS yang berasal dari kampung yang sama di Padang Sidempoean tidak terhindarkan. Di Tim Persidja juga masih ada nama pemain asal Padang Sidempoean yakni Chaeruddin [Siregar].

De nieuwsgier, 15-12-1952
Sebagai satu-satunya tim luar Jawa dalam partai 7 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1952 ini, PSMS datang ke Djakarta ‘dilepas’ langsung oleh Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim Harahap yang didampingi oleh Residen Sumatra Timur, Moeda Siregar dan Djalaloeddin Ritonga (Wali Kota Medan). Tim Manajer PSMS adalah Muslim Harahap (Direktur Bank Dagang Nasional Medan). Abdul Hakim Harahap adalah ‘gibol’ mantan pemain Bataksch VC yang berkompetisi tahun 1927 di bond Batavia (VBO). Kala itu Abdul Hakim Harahap masih siswa SMA di Prins Hendrik School Batavia. Bataksch Voetbal Club (klub dari Bataksch Bond) didirikan tahun 1921 (lihat Bataviaasch nieuwsblad,         30-11-1931). Pada tahun 1925 Bataksch Voetbal Club yang juga disebur Bataksch Voetbal Vereeniging (BVV) dipimpin oleh Parada Harahap (pemilik dan pemimpin redaksi surat kabar Bintang Timoer). Ketua Bataksch Voetbal Vereeniging (BVV) terpilih tahun 1931 adalah JK Panggabean (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-10-1931). Pada tahun 1932 kompetisi Batavia terdiri dari tujuh divisi. BVV hanya berpartisipasi tiga divisi yakni di Divisi-2, Divisi-3 dan Divisi-4 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-08-1932).


Het nieuws van den dag voor NI, 05-08-1932
Bataksch Bond (Jong Batak) didirikan tahun 1919 oleh Dr. Rasjid Siregar di Batavia. Saat itu (1927) Parada Harahap selain anggota Bataksch Bond juga merangkap sebagai sekretaris Sumatranen Bond. Pada bulan Januari 1917 Sumatranen Bond didirikan di Belanda dan pada bulan November 1917 juga didirikan di Batavia. Pendiri yang menjadi Presiden Sumatranen Bond pertama adalah Sorip Tagor Harahap yang mana salah satu anggotanya adalah Tan Malaka, Sorip Tagor kelak dikenal sebagai kakek buyut Inez/Risty Tagor. Organisasi mahasiswa Indonesia pertama didirikan di Leiden Belanda tahun 1908 oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (sekretaris Husein Djajadiningrat). Sedangkan organisasi kebangsaan Indonesia pertama adalah Medan Perdamaian yang didirikan di Kota Padang tahun 1900 (jauh sebelum berdirinya Boedi Oetomo). Pendiri dan presiden pertama Medan Perdamaian adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean: Dja Endar Moeda lulus 1884 dan Soetan Casajangan lulus 1887). Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan, Sorip Tagor Harahap, Rasjid Siregar, Abdul Hakim Harahap dan Parada Harahap sama-sama berasal dari Padang Sidempoean. Pada tahun 1952 ini salah satu klub anggota Persidja adalah klub Bintang Timur milik Parada Harahap. Para pemain Bintang Timur banyak yang dari Maluku, seperti Hehanusa. Setelah surat kabar Bintang Timur (berbahasa Melayu) dijual, Parada Harahap mengakuisisi surat kabar Java Bode (berbahasa Belanda, koran legendaris yang lahir tahun 1854 ) yang juga berita-beritanya dikutip dalam artikel ini.


De nieuwsgier, 07-11-1952
Dalam pertemuan Persidja dan PSMS untuk kali pertama ini (Minggu, 14-12-1952), Persidja berhasil mengalahkan PSMS dengan skor telak 4-0. Menurut surat kabar De nieuwsgier pertandingan ini sangat seru. PSMS cukup banyak melakukan serangan dari sayap. Namun bek kiri Persidja BS Harahap cukup tangguh untuk penyerang-penyerang PSMS yang selalu dapat mematahkan serangan yang dilancarkan oleh pasukan PSMS Medan. Chris Ong dan BS Harahap sulit dilewati (lihat De nieuwsgier, 15-12-1952). Tim BS Harahap dan Chaeruddin Siregar mengalahkan tim Joesoef Siregar. Singkat cerita: dalam klassemen akhir Persija duduk di posisi kedua dan PSMS di peringkat ke 5. Ong Liong Tik alias Chris Ong adalah pemain dari klub UMS yang menjadi oemain terbaik dalam Kejuaraan Antar Kota yang diselenggarakan VUVSI/ISNIS tahun 1948 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-06-1950). BS Harahap adalah pemain klub Maesa (De nieuwsgier, 07-11-1952).

Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim Harahap, 1952
Provinsi Sumatera Utara secara definitif terbentuk dan diresmikan tahun 1951. Pada tanggal 25 Januari 1951 Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatera. Abdul Hakim Harahap adalah seorang gibol, pemain sepak bola di Batavia tahun 1927. Setelah lulus sekolah ekonomi ditempatkan di Medan dan pada tahun 1930 menjadi anggota dewan kota. Pada tahun 1936 Abdul Hakim Harahap mendirikan klub sepak bola Sahata VC dan berkompetisi di OSVB Medan. Pada tahun 1938 mutasi ke Batavia dan terakhir sebelum pendudukan Jepang menjadi Kepala Ekonomi di wilayah Hindia Belanda bagian Timur (baca: Indonesia Timur) yang berkedudukan di Makassar. Pada masa pendudukan Jepang Abdul Hakim juga diminta pimpinan militer Jepang meneruskan tugasnya di Makassar. Namun tidak lama kemudian mendapat kabar ayahnya Mangaradja Gading meninggal dunia di Padang Sidempoean. Abdul Hakim Harahap lalu pulang kampung tetapi tidak kembali ke Makassar lagi. Abdul Hakim Harahap lalu diangkat pimpinan militer Jepang menjadi ketua dewan Tapanoeli. Pada perang kemerdekaan, Abdul Hakim Harahap diangkat Pemerintah RI menjadi Wakil Residen Tapanoeli dan kemudian dipromosikan menjadi Residen Tapanoeli hingga munculnya gencatan senjata (anatar Belanda dan RI) dan lalu diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Abdul Hakim Harahap yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis) diminta Pemerintah RI menjadi penasehat ekonomi delegasi RI ke Den Haag (KMB). Dalam kabinet RI terakhir di Djogjakarta (1949-1950), Abdul Hakim Harahap adalah Wakil Perdana Menteri. 

Sepulang dari Djakarta, PSMS tertekan di Medan. Gubernur Abdul Hakim Harahap tidak terima hasil pencapaian PSMS yang hanya berada di peringkat lima (dan kalah pula empat kosong lawan Persidja yang dihuni BS Harahap dan Chaeruddin Siregar). Cukup beralasan karena Gubernur Abdul. Hakim Harahap adalah seorang 'gibol', apalagi Gubernur Abdul Hakim Harahap telah mencalonkan kota Medan sebagai kota penyelenggara PON III yang akan diselenggarakan pada bulan September 1953. [Catatan: Abdul Hakim Harahap semasa muda adalah pemain klub Bataksch VC (didirikan Parada Harahap 1924) yang berkompetisi di Batavia. Abdul Hakim Harahap adalah siswa SMA Prins Hendrik School Batavia yang aktif di Jong Islamiten Bond, Bataksch Bond dan Sumatranen Bond. Setelah mengikuti kuliah ekonomi di Batavia dan lulus 1927 Abdul Hakim Harahap ditempatkan di Medan].  

Stadion Teladan Medan, 1953
Alasan lainnya, Gubernur Abdul Hakim Harahap sedang menggalang dana masyarakat Sumatra Utara untuk membangun stadion baru yang lebih megah dari stadion Ikada Djakarta. Pembangunan stadion baru di Medan itu sendiri, menurut Ketua Panitia PON III Medan GB Josua Batubara membutuhkan dana Rp 7 Juta sementara pemerintah pusat hanya membantu Rp 750 Ribu (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-04-1952)). Stadion baru di Djalan Radja Medan (yang kelak disebut stadion Teladan) selain untuk PON III juga untuk markas PSMS selamanya (sebab stadion Kebun Bunga sejak era kolonial Belanda tidak memadai lagi). Catatan: PON II diadakan di Djakarta Oktober 1951 yang mana sebelumnya dibangun stadion IKADA di Deca Park (di lapangan Monas yang sekarang). Peletakan batu pertama untuk pondasi stadion telah dilakukan oleh Gubenur Abdul Hakim Harahap pada perayaan Hari Proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1952 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1952). Disebutkan Gubernur dan Ketua Panitia PON II Mr. GB Josua Batubara telah meminta arsitek terkenal di Batavia untuk membangun stadion mewah di Medan yakni Ir. Bwan Tjie Lim (arsitek yang juga merancang Stadion IKADA Djakarta). Biaya konstruksi diperkirakan sekitar Rp 5 Juta. Stadion ini akan memiliki kapasitas tempat duduk sebanyak 30.000 penonton.


Lokasi stadion IKADA (Merdeka Selatan). Peta 1931
Sejak kemarahan Gubernur Abdul Hakim Harahap terhadap tim PSMS pengurus mulai berbenah. PSMS mulai bangkit. Gubernur Abdul Hakim Harahap sadar betul; bahwa potensi sepak bola di Medan sejak era kolonial cukup baik. Abdul Hakim Harahap seorang ‘gibol’ adalah pendiri Sahata VC tahun 1936 yang berkompetisi di OSVB.  Timnas (NIVU) yang berangkat ke Piala Dunia 1938 di Prancis melakukan uji coba terakhir di Medan. Tim OSVB yang termasuk pemain Sahata VC berhasil mengalahkan Timnas NIVU (hasil seleksi hanya dari perserikatan Batavia, Bandoeng, Semarang dan Soerabaja).

De nieuwsgier, 14-09-1953
PSMS Medan benar-benar bangkit setelah didukung habis oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap. Akhirnya stadion yang dicita-citakan Abdul Hakim Harahap menjadi terwujud. Penyerahan stadion dilakukan ke Panitia PON (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1953). Pembukaan PON III dilakukan oleh Presiden Soekarno (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-09-1953). Sehari sebelum penutupan dilangsungkan final sepak bola mempertemukan tim Djakarta dan tim Medan. Penutupan PON III dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ketua Komite Olimpiade Indonesia. Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-09-1953: PON III ditutup dan PON IV akan diadakan 1957 di Makassar. ‘Dalam stadion menghadiri upacara penutupan PON III berakhir, lebih dari dua ribu atlet, yang pekan lalu telah mengukur kekuatan mereka di dua puluh olahraga, kembali ke rumah-rumah mereka kembali, dan pemuda Indonesia dapat bekerja untuk pekan olahraga nasional keempat, yang tidak diragukan lagi lagi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Perlu empat tahun di mana untuk mempersiapkan PON IV, karena Sultan Hamengku Buwono IX, ketua Komite Olimpiade Indonesia, membuat sore kemarin mengumumkan bahwa mereka hanya akan diadakan pada tahun 1957, yaitu di Makassar. Pengumuman ini adalah salah satu highlight dari upacara penutupan di stadion Medan. Bahwa kemarin adalah lebih lengkap tribun dari orang penonton dan pejabat, pramuka, polisi dan militer untuk pertandingan sepakbola. Setelah wasit meniup pluit tanda berakhir pertandingan sepakbola, penonton dari semua sudut tumpah mengalir ke lapangan untuk merayakan kemenangan Tim Sumatra Utara. Butuh beberapa waktu untuk menunggu orang di lapangan kembali ke tribun. Setelah Sultan Hamengku Buwono memberikan emas, perak dan perunggu kepada masing-masing pemain sepak  bola Sumatera Utara, Jakarta Raya dan Jawa Timur...’. Tim Djakarta Raya yang merupakan para pemain-pemain Persidja dua diantaranya adalah berasal dari Padang Sidempoean yakni BS Harahap dan Chaeruddin Siregar (lihat De nieuwsgier, 14-09-1953).

Selanjutnya tim sepak bola Sumatra Utara yang notabene adalah pemain-pemain PSMS berhasil menjuarai cabang olah raga sepak bola PON III (September 1953) tim PSMS semakin berjaya apalagi telah mampu mengalahkan lawan-lawanya dari luar negeri seperti mengalahkan Timnas Philipina di Manila (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-04-1954) dan mampu mengalahkan klub juara dari Austria Grazer AK (Het nieuwsblad voor Sumatram 02-08-1954) dan dapat mengibangi permainan Timnas Swedia Kalmar FF (De vrije pers: ochtendbulletin, 22-10-1954). Pertandingan-pertandingan tersebut diadakan PSMS sebagai tradisi yang telah ada bertahub-tahun dan juga dalam rangka mengikuti partai 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan 1954. Pada kejuaraan inilah untuk kali kedua PSMS bertemu dengan Persidja (tidak termasuk Tim Djakarta/Persija vs Tim Sumatra Utara/PSMS dalam PON III).

Pasca PON III di Medan, muncul pemberontakan di Atjeh. Provinsi Sumatea Utara yang terdiri tiga kresidenan (Tapanuli, Sumatta Timur dan Atjeh) genting. Gubernur Abdul Hakim Harahap harus diganti dan digantikan oleh SM Amin Nasution yang dianggap lebih sesuai untuk mengatasi persoalan di Atjeh. SM Amin Nasution adalah kelahiran Atjeh yang menguasai bahasa dan budaya Atjeh. Sementara Abdul Hakim Harahap, kelahiran Sarolangoen, Djambie ditarik ke Departemen Dalam Negeri untuk urusan bidang ekonomi. Pada kabinet Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap (Masyumi) yang menggantikan kabinet PM Ali Sastroamidjojo (PNI) akhir tahun 1954 Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Pertahanan [Catatan: ayah Abdul Hakim Harahap dan ayah Mochtar Lubis adalah dua dari pejabat-pejabat di Residentie Tapanoeli yang ditempatkan di Residentie Djambie pasca pemekaran Residentie Zuid Sumatra].

PSMS Medan setelah menjuarai kualifikasi Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 wilayah Sumatra tanpa terkalahkan, PSMS melangkah ke partai 6 Besar. Kepercayaan diri PSMS semakin tinggi karena telah menunjukkan performa yang baik ketika melakukan pertandingan dengan tim-tim luar negeri beberapa waktu sebelumnya/

Persija vs PSMS 26 Desember 1954 di Stadion Ikada

Dalam partai 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 yang dilangsungkan di sejumlah kota di (pulau) Jawa, PSMS datang dengan kapala tegak sebagai juara Sumatra. Persidja sendiri mewakili juara wilayah Jawa bagian Barat (menyingkirkan Persib Bandoeng). Sedangkan Persibaja mendapat bye karena juara bertahan. Wakil juara Jawa Bagian Timur adalah Persema Malang. Dari Jawa Bagian Tengah datang juara Persis Solo. Dari Sulawesi datang juara PSM Makassar. Dalam partai 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan pada akhir tahun 1954, Abdul Hakim Harahap, mantan Gubernur Sumatera Utara, perintis kemajuan PSMS sudah berada di Djakarta. Tidak diketahui apakah Abdul Hakim Harahap masih sempat melihat PSMS berlaga di Stadion IKADA. Namun yang jelas biasanya seorang ‘gibol’ akan mengikuti air mengalir sampai jauh.

Java-bode, 18-12-1954
PSMS datang ketika kompetisi sudah dimulai. PSMS langsung ke Semarang untuk bertemu Persema. Pada tanggal 16 Desember PSMS mengalahkan Persema  dengan skor 2-1. Lalu kemudian PSMS berangkat ke Soerakarta untuk melakukan dua pertandingan (melawan PSM dan Persis). Dalam pertandingan sebelumnya di Surabaya Persidja menang dua kali melawan Persis Solo (13-0) dan Persema (2-1). Untuk sementara ketika PSMS tiba di Soerakarta Persidja berada di peringkat pertama (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-12-1954). Di Soerakarta, PSMS berhasil mengalahkan Persis Solo (3-1) dan besoknya mengalahkan PSM dengan skor 2-1. PSMS di Soerakarta dalam posisi unggyul dengan Persidja. PSMS untuk sementara berada di peringkat atas: main 3 kali, menang 3 kali dan poin 6.

Dalam posisi unggul di Soerakarta, PSMS bersama PSM dan Persis berangkat ke putaran terakhir di stadion IKADA Djakarta. Persija, Persema dan Persibaja sudah menunggu. Stadion IKADA menjadi idaman setiap pemain Persema. Persibaja, PSM dan Persis Solo. Tetapi tidak dengan PSMS Medan yang memiliki stadion yang lebih mewah jika dibandingkan dengan stadion IKADA markas Persidja. Dengan kata lain, PSMS bermain di stadion IKADA tidak gamang karena sudah kerap bermain di stadion Teladan yang berkapasitas 30 ribu penonton. Stadion IKADA dibangun tahun 1951 (sementara stadion Teladan dibangun tahun 1953).

Java-bode, 23-02-1951
Mengapa stadion IKADA dibangun? Ini bermula ketika Indonesia baru mulai menata negeri setelah perang kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan RI. Pemerintah Indonesia melalui PORI akan mengirimkan tim sepakbola ke Asian Games pertama di India (Maret 1951). Untuk menguji kekuatan tim sepakbola Indonesia diadakan pertandingan persahabatan dengan mendatangkan tim sepakbola Cina Malaysia di Jakarta. Presiden Sukarno yang turut menonton pertandingan sepakbola tersebut tidak puas: tidak puas karena lapangan yang digunakan tidak kondusif, basah dan berlumpur sehingga permainan kedua tim tidak berkembang. Atas dasar masalah itu. Beberapa pemain Persidja yang menjadi skuad tim nasional Indonesia dalam pertandingan tersebut adalah Chaeruddin Siregar, Liomg Houw, dan Sugiono (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-02-1951). Ramlan adalah pemain PSMS. Dalam Kejuaraan Antar Kota di Semarang (1950) Persidja diperkuat dua pemian PSMS Medan yakni Abidin dan Ramlan. Lalu Ramlan kembali ke PSMS, sedangkan Abidin tidak terinformasikan lagi. Kejuaraan Antar Kota yang bersamaan dengan Kongres Semarang September 1950 menjadi ajang selengsi dalam pembentukan Timnas Indonesia dan melakukan uji coba dengan Tim dari Malaya.

Susunan pemain Timnas Indonesia vs Malaysia
Presiden Sukarno meminta Ketua PSSI untuk membuat jadwal untuk pembangunan stadion baru (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-02-1951). ‘Buatlah sepuluh jutaan’ kata Pak Maladi menirukan permintaan Presiden Soekarno, yang pembangunan stadion akan meliputi area seluas 12 Km persegi yang akan menampung 80.000 penonton’ kata Presiden kepada Maladi. Sementara itu PON pertama setelah pengakuan kedaulatan RI akan diadakan di Djakarta Oktober 1951. Menteri Pendidikan butuh stadion untuk acara tersebut. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Penerangan tampaknya coba meralat ide Sukarno untuk membangun stadion besar. Keinginan Sukarno membangun stadion senilai sepuluh juta dianggap tidak berdasar (De nieuwsgier, 10-03-1951). Stadion besar yang diimpikan Sukarno seakan dipinggirkan. Penjelasan Kementerian Pendidikan tentang penyelenggaraan PON II (yang sifatnya mendesak) dan memerlukan stadion, menyebabkan Sukarno mengurungkan niatnya dan menyetujui rencana Kementerian Pendidikan untuk membangun stadion paling banyak menelan biaya lima juta rupiah (separuh dari keinginan Sukarno). Sebagaimana dilaporkan De nieuwsgier edisi 10-03-1951, Kementerian Pendidikan senang dengan persetujuan Presiden tersebut (tapi kita tidak tahu apakah Sukarno sendiri senang). Untuk sementara sudah terkumpul sebanyak tiga juta dari lima juta. Lalu komite pembangunan stadion dibentuk dan kemudian didirikan yayasan pembangunan stadion nasional yang disahkan notaries Mr. Soewandi (De vrije pers : ochtendbulletin, 26-06-1951). Pembangunan stadion akan dilakukan oleh lima kontraktor yang akan dimulai pada tanggal 1 Juli di bawah pengawasan Kementerian Pekerjaan Umum. Ketua Yayasan adalah Dr, M. Halim (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1951). Stadion dirancang oleh arsitek Liem Bwan Tjie yang pengerjaannya dipimpin oleh NV. Volker. Stadion ini hanya diproyeksikan untuk penggunaan selama lima tahun dan berikutnya akan dibangun stadion yang lebih besar. Stadion baru ini disebut stadion IKADA. Lalu pacul pertama dilakukan Presiden Soekarno (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-07-1951). Akhirnya stadion IKADA selesai dalam tempo sesingkat-singkatnya hingga pembukaan PON II tetap sesuai jadwal pada tanggal 21-28 Oktober 1951 (De nieuwsgier, 20-10-1951). Dapat dibayangkan seperti apa rapuhnya Stadion IKADA jika dibandingkan masa pembangunan Stadion Teladan selama satu tahun. Biaya stadion Teladan jauh lebih besar jika dibandingkan stadion IKADA. Namun seperti yang dijanjikan, stadion IKADA hanya untuk lima tahun dan akan digantikan dengan stadion besar seperti yang diinginkan oleh Soekarno. Stadion Teladan yang dibangun 1953 masih eksis hingga sekarang (tengah renovasi) yang menjadi markas PSMS. Sedangkan Stadion IKADA dirobohkan menjadi lapangan Monas bersamaan dengan pembangunan Stadion Senayan pada jelang Asian Games 1962. Dengan demikian markas Persija pindah dari stadion Ikada ke Stadion Senayan. Selama proses pembangunan monumen kebanggaan Indonesia di mata dunia (stadion Senayan, Hotel Indonesia, Sarinah dan Monas) Persidja bermarkas di stadion klub VIOS  (kelak dikenal sebagai stadion Menteng). Pada akhirnya stadion Menteng menjadi markas Persidja.

Di stadion IKADA, pertandingan pertama adalah Persija vs PSM tanggal 22 Desember dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persija. Posisi sementara Persija dan PSMS dengan poin 6 tetapi Persija unggul selisis gol. Hari esoknya Persis dan Persema bermain imbang 2-2. Baru tanggal 24 PSMS melakukan pertandingan melawan Persibaja. PSMS berhasil mengalahkan Persibaja dengan skor 4-3. PSMS kembali unggul atas Persidja. Terjadi lagi balapan, pada esoknya (25 Desember 1954) Persidja mengalahkan Persibaja dengan skor 3-1. Kedudukan dalam klassemen sementara kembali dalam posisi semula. Persija dan PSMS dengan poin sama yakni delapan, tetapi Persidja unggul dalam selisih gol. Tinggal satu sisa pertandingan yakni antara Persidja vs PSMS yang akan diadakan esok harinya (26 Desember 1954).

Secara keseluruhan dalam pertandingan sebelumnya Persidja berhasil mengalahkan semua lawan-lawannya: Persis (13-0), Persema (2-1), PSM (3-2) dan Persibaja (3-1). Demikian juga PSMS berhasil mengalahkan semua lawan-lawannya: Persema (2-1), Persis (3-1), PSM (2-1) dan Persibaja (4-3). Klassemen sementara: Persidja pada peringkat pertama: main 4, menang 4, poin 8 dan selisih gol 21-4; sementara PSMS pada peringkat kedua: main 4, menang 4, poin 8 dan selisih gol 11-6. Sementara tim-tim lainnya sudah menyelesaikan pertandingannya yang kelima.  
 
Jelang pertemuan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 yang diadakan pada tanggal 26 Desember 1954 posisi Persija berada di atas angin meski memiliki poin sama dengan PSMS tetapi unggul dalam selisih gol. Tampaknya PSMS tidak ingin melewatkan pertandingan terakhir ini meski sudah tidak terkejar oleh Persibaja yang berada di posisi ketiga dengan poin 4 (main 5 kali). Mungkin PSMS merasa yakin dapat mengalahkan Persidja tetapi tampaknya ambisi PSMS lebih pada menjaga harga diri: boleh kalah dari tim lain, asal jangan dengan tim Djakarta.

Harga diri menjadi taruhan dan harus menang. Tentu saja semboyan suporter PSMS ribak sude pada masa ini belum ada kala itu. Boleh jadi Muslim Harahap, Manajer Tim PSMS yang baru masih ingat bagaimana marahnya Guberbur Abdul Hakim Harahap ketika kejuaraan sebelumnya yang mana PSMS pulang dengan loyo yang hanya duduk di peringkat kelima klassemn akhir dan dikalahkan Persija pula dengan skor 4-0. Kini, PSMS kembali menghadapi Persija di pertandingan terakhir yang sama-sama berhasil mengalahkan semua lawannya. Ribak sude (kalahkan semua) menjadi tujuan utama PSMS dan karena itu target terakhir PSMS harus mampu mengalahkan Persija. Memori pada PON III yang baru lalu tim Djakarta Raya (Persidja) dapat dikalahkan tim Sumatra Utara (PSMS) menjadi pembangkit motivasi tim PSMS untuk yakin mengalahkan Persija Djakarta (di kandang sendiri).

Muslim Harahap, Manajer Tim PSMS yang boleh jadi sehari sebelum pertandingan Persija vs PSMS menemui Abdul Hakim Harahap, mantan Gubernur Sumatra Utara yang sudah bertugas di Kementerian Dalam Negeri untuk bersilaturrahim. Bagaimana jalan menuju ke rumah Abdul Hakim Harahap, tentu tidak sulit bagi Muslim Harahap. Sebab Muslim Harahap pernah bersekolah di Batavia (kini Djakarta).

Dua tahun setelah Abdul Hakim Harahap, anggota gemeenteraad (dewan kota) Medan, mendirikan klub sepakbola Sahata VC, tiga remaja lulusan HBS Medan berangkat studi ke Batavia tahun 1938. Ketiga remaja yang berasal dari Padang Sidempoean itu bernama Djames Harahap, Ismail Harahap dan Muslim Harahap. Di Batavia Ismail Harahap masuk sekolah Apoteker, sedangkan Djames Harahap dan Muslim Harahap sama-sama masuk di sekolah ekonomi. Setelah lulus, Ismail ditempatkan di Soerabaya. Sementara Djames Harahap ditempatkan di Sibolga dan Muslim Harahap ditempatkan di Medan sebagai pegawai bank. Pada era pendudukan Jepang dan era perang kemerdekaan Ismail Harahap tetap berada di Soerabaja, dan Djames Harahap di Sibolga dan Muslim Harahap di Medan. Hanya Djames Harahap yang pindah kota pada pasca pengakuan kedaulatan RI (1950) dari Sibolga ke Medan. Tiga remaja yang dulu berangkat sama-sama ke Batavia, kelak dikenal: Muslim Harahap, Kepala Bank Nasional Indonesia Medan yang kini Manajer PSMS lalu kemudian menjadi Ketua Umum Pengurus PSMS Medan (di era Gubernur Sumatra Utara Radja Djoendjoengan Lubis, 1960); Djames Harahap, Kepala Bank BNI Medan, ayah dari Rinto Harahap, basis The Mercy’s dan Erwin Harahap, gitaris The Mercy’s; Ismail Harahap, seorang apoteker terkenal di Surabaya dan membuka Apotik Kali Asin, ayah dari Andalas Datu Oloan Harahap alias Ucok AKA Harahap, pionir musik rock Indonesia.

Pertandingan yang ditunggu-tunggu akhirnya dilaksanakan pada hari Minggu 26 Desember 1954 di Stadion Ikada Djakarta tidak lama lagi. Stadion Ikada masih tergolong baru, dibangun jelang PON II tahun 1951. Di stadion ini PSMS pernah dikalahkan Pesija pada Kejuaraan Antar Perserikatan 1952 pada tanggal 14 Desember dengan skor 4-0. Pertandingan yang mana kali pertama PSMS berpartisipasi Kejuaraan Antar Perserikatan dan kali pertama PSMS bertemu Persija. Sore ini Persija vs PSMS untuk kali kedua bertemu dalam kancah sepak bola perserikatan.

Stadion IKADA dibangun jelang PON II 1951 dibangun di lokasi pacuan kuda yang sudah ada sejak era kolonial Belanda di Koningplein Batavia (kini lapangan Monas). Sebelum adanya lapangan pacuan kuda ini, pertandingan sepak bola di Batavia mula-mula diadakan di seberang jalan Istana Gubernur Jenderal (kini Istana Merdeka). Pertandingan sepak bola kali pertama di Batavia muncul tahun 1896. Pada tahun 1905 dibentuk perserikatan Bataviasch Voetbal Bond (BVB). Perserikatan sepak bola pertama di Hindia Belanda) pada tahun yang sama pendirian memulai kompetisi resmi yang pertama. Docter Djawa School VC (klub sekolah kedokteran untuk pribumi yang menjadi cikal bakal STOVIA dan kelak menjadi FKUI) yang dibentuk tahun 1903 ikut berkompetisi di BVB. Sementara itu, di Medan pertandingan sepak bola kali pertama diadakan pada tahun 1893 di lapangan Esplanade (kini lapangan Merdeka Medan). Perserikatan di Medan, Deli Voetbal Bond (DVB) dibentuk tahun 1907. Salah satu klub pribumi yang ikut kompetisi adalah Medan Tapanoeli Voetbal Bond (Tapanoeli VC). Pada tahun 1909 ketika jeda kompetisi, Docter Djawa VC dari Batavia melawat ke Medan untuk bertanding dengan klub Tapanoeli VC. Kapten Tim Docter Djawa VC adalah Radjamin Nasution. Kelak, Dr. Radjamin Nasution menjadi Wali Kota pribumi pertama di Kota Soerabaja.   

Pertandingan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 antara Persidja vs PSMS berakhir dengan aroma tidak sedap. Pertandingan yang awalnya memang keras, menurut Manajer Tim PSMS, Muslim Harahap permainan Persidja telah menjurus kasar. Muslim Harahap meminta perhatian panitia, karena dua pemain andalannya Jusuf Siregar dan Abdul Kadir (yang masih berusia 16 tahun) ‘ditebas’ ketika membawa bola menuju gawang Persidja tanpa diberikan sanksi atas pelanggaran tersebut.

Java-bode, 03-01-1955
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-01-1955: ‘PSMS tidak mengakui kekalahan dalam pertempuran terakhir. Setelah pertandingan melawan Djakarta untuk kejuaraan Indonesia, dimana tim Medan meninggalkan lapangan, PSMS (Medan) mengadakan konferensi pers. Manajer tim PSMS, Muslim Harahap, yang mempertanyakan keberpihakan wasit Van Yperen, berpendapat bahwa ia memimpin pertandingan dengan bias tertentu. Secara berturut-turut, pemain andalan Medan Jusuf Siregar ‘diambil’, yang kemudian Ypres memberi penalti buat Medan, namun tiba-tiba berubah dan hanya memberikan hukuman tembakan tidak langsung setelah Djamiat, pemain depan tim Djakarta memprotes. Lalu kemudian, dan sekali lagi Jusuf Siregar diambil oleh Tamaela ketika posisi ancaman ke arah gawang, tetapi tidak diberi ganjaran malah Tamaela diizinkan tetap untuk bermain. Kemudian, pemain sayap termuda dan populer Medan A. Kadir (16 tahun) diserang oleh Tamaela, dimana Muslim Harahap adalah manajer tim meminta wasit dan panitia kompetisi agar wasit diganti. Permintaan ini sayangnya ditolak. PSMS lalu memutuskan untuk menghentikan permainan, dan PSMS masih tidak ingin mengakui kekalahan melawan Djakarta. Muslim Harahap menjelaskan bahwa tidak ada perselisihan antara Persidja dan PSMS, tambahnya. Ini hanya soal wasit yang memihak. Dalam hal tingkat permainan PSMS bahwa kemenangan tim Medans terhadap tim asing bukanlah kebetulan, namun merupakan konsekuensi dari kualitas sepakbola Medan yang tinggi’.

PSMS dan Persidja vs GH (De locomotief, 10-02-1955)
PSMS Medan tidak melanjutkan pertandingan dan keluar dari lapangan. Manajer PSMS Muslim Harahap menyesalkan kejadian yang terjadi. PSMS Medan adalah juara PON III September 1953 di Medan dan mengalahkan Persidja (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-09-1953). Namun dalam pertandingan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954, kemenangan PSMS telah dirampas wasit dan diberikan kepada Persidja tanpa alasan yang jelas. Muslim Harahap mengungkapkan tidak ada masalah dengan Persidja, kami hanya bermasalah dengan wasit dan panitia.

Timnas PSSI vs GH di stadion Ikada (De locomotief, 10-02-1955)
Setelah kisruh Persija vs PSMS di bulan Desember 1954, Tim dari Swiss Grasshoppers akan melakukan sejumlah pertandingan di Indonesia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-02-1955). Dalam lawatan juara liga Swiss ini, Persija dibantai Grasshoppers tanpa balas dengan sembilan gol, sementara PSMS hanya kalah dengan skor 2-4. Sedangkan tim PSSI (Harimau) dikalahkan Grasshoppers dengan 5-0 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-02-1955). Uniknya Timnas PSSI didominasi oleh pemain-pemain PSMS. Pemain PSMS adalah Rasjid, Ramlan, Abdul Kadir, Jusuf Siregar, Ramli dan Sjamsuddin. Pemain Persija hanya diwakili oleh Him Tjiang dan Kiat Sek. Tiga lainnya adalah Parengkuan, Liong Houw dan Hasan.

Susunan pemain Timnas dan GH (De locomotief, 10-02-1955)
Uniknya, protes PSMS Medan ini dapat dimaklumi oleh tim Persidja. Pengurus Persidja malah menawarkan pertandingan revanche diadakan di Medan (lihat berita sebelumnya Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-12-1954). Awalnya tawaran itu dianggap PSMS sebagai bercanda, tetapi akhirnya menjadi serius. Tampaknya jarang kita temukan sekarang, pada saat itu begitu damainya antara pemain dan pengurus dari tim yang berbeda. Nilai-nilai sportivitas sangat dijunjung tinggi. Mereka hanya mempersoalkan professional foul, apakah karena pelanggaran pemain yang tidak disengaja atau kesalahan wasit yang tidak cermat.

PSMS kembali ke Medan, meski ‘dikalahkan’ oleh wasit dan kemenangan diberikan kepada Persija, pemain dan manajer tim tiba dengan kepala tegak. Tidak lama kemudian di Medan terjadi pembubaran Panitia PON III dan sekaligus pembentukan KONI Sumatera Utara. Pengurus KONI yang terbentuk: Ketua, Drs. Suhardjo Surjobroto; Wakil Ketua 1: Overste Ibrahim Adjie; Wakil Ketua II: Hadji Moeda Siregar (Wali Kota Medan); Sekretaris I: Muslim Harahap; Sekretaris II W. Simandjuntak; Bendahara I: A. Salim, (dir. Usaha Dagang); Bendahara II: Tjong Tsung Liong; Ketua Bidang Informasi: M. Arief (RRI Medan); Ketua Bidang Komukasi: Kapten Chr. Sihombing; Ketua Bidang Teknik: Overste Dr. Sukardja; Ketua Bidang Sarana dan Prasarana: RM Sarsidi (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-01-1955). Dalam beberapa minggu kemudian terjadi perubahan pengurus PSMS. Drs. Suhardjo Surjobroto yang sebelumnya Ketua PSMS mengundurkan diri karena telah menjadi Ketua KONI. Pengurus baru PSMS adalah sebagai berikut: I. Gastina (sebagai ketua); Wakil Ketua: Luitenant Siagian; Secretaris: Sariani; Bendahara: Tan Ho Lan; Ketua Bidang Informasi: Muslim Harahap; Ketua Bidang ...: AHC Jans; Ketua Bidang Teknik: Drs. Soehardjo Soerjobroto; Ketua Bidang Hukum: Sihombing; Ketua Bidang Prasarana: Gultom; dan Ketua Bidang Sarana Marpaung (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-02-1955). Untuk sekadar catatan tambahan: di kepengurusan Persidja Djakarta, bendahara dijabat oleh BC Harahap. Siapa BC Harahap belum terlacak (sumber Belanda) sedang diusahakan (sumber Inggris). Maksudnya apakah BC Harahap ada hubungan dengan Manajer Tim PSMS Muslim Harahap yang kini menjadi Ketua Bidang Informasi PSMS. Sebab ketika terjadi kisruh antara PSMS vs Persidja di stadion Ikada 26 Desember 1954, Muslim Harahap mengeluarkan statement: kami tidak ada masalah dengan Persidja, kami hanya bermasalah dengan wasit dan panitia. Lalu kemudian, menyusul statement Persidja: ‘kami respek terhadap PSMS dan kami tawarkan pertandingan revans di Medan’. Apakah Muslim Harahap dan BC Harahap saling ingin menjaga wibawa lawannya? Kita tidak tahu. Namun yang jelas, persatuan di bidang sepak bola Indonesia saat itu sungguh sejuk dan damai-damai saja meski di lapangan rivalitas tetap jalan (karakter inti sportivitas).

De locomotief, 04-09-1950
Pada Kejuaraan Antar Kota (Perserikatan( di Semarang, September 1950 Tim PSMS belum berpartisipasi (Gubernur definitif Sumatra Utara belum ada). Tim Persidja yang berangkat ke Semarang di pimpin oleh Tim Manajer BC Harahap. Meski PSMS tidak berpartisipasi, tetapi dua pemain PSMS memperkuat Persidja yakni Ramlan dan Abidin (lihat  Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 05-09-1950). Susunan pemain Persidja Djakarta vs Persibaja Surabaja di Semarang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-09-1950). Setelah kejuaraan, Ramlan kembali ke Medan, tetapi Abidin tetap menetap di Persidja (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-09-1951). Sepulang dari Kongres Semarang dilakukan pemilihan pengurus Persidja. BC Harahap diangkat menjadi bendahara Persidja. Hubungan manis antar Persidja dan PSMS ini diduga sebagai faktor penting mengapa hubungan antara Persidja vs PSMS panas di lapangan (sportivitas tinggi) tetapi sangat harmonis di luar lapangan.

PSMS Revans Atas Persidja di Stadion Teladan Medan 1955

Muslim Harahap tidak lagi Manajer Tim PSMS tetapi sudah menjadi Ketua Bidang Informasi PSMS yang baru. Boleh jadi tawaran Persidja yang dulu untuk pertandingan revanche (pertandingan ulang) diapungkan Muslim Harahap di dalam rapat pengurus yang baru. Pengurus baru PSMS kemudian membahas tawaran Persidja untuk revanche di Medan.  Tawaran tersebut diintegrasikan dengan lustrum (ulang tahun kelima) PSMS tanggal 17 Agustus 1955. Dalam perayaan tersebut akan diadakan pertandingan segitiga: PSMS, Persidja dan Timnas Burma. Tim Persidja telah mengirim kabar akan datang dengan membawa kiper andalannya Van der Vin yang baru pulang cuti dari Eropa (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-06-1955).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-07-1955: ‘Kemarin di Medan dari Jakarta, pelatih sepak bola PSSI dan Persidja, Tony Pogacknic, tiba. Kedatangannya terkait dengan latihan pemain Medan dalam persiapan pertandingan melawan tim nasional Yugoslavia. Tim Yugoslavia yang melakukan tur ke Asia Tenggara, hanya akan bermain dua kali di Indonesia melawan timnas PSSI. Pertandingan akan berlangsung di Jakarta pada tanggal 31 Juli dan 4 Agustus. Sisi PSMS telah menyatakan keinginannya agar tim Yugoslavia juga bermain di Medan melawan tim Indonesia, karena Medan memiliki semua fasilitas untuk mengatur pertandingan semacam itu’..

Pertandingan Persidja-PSMS akan dipimpin oleh wasit Burma, sementara pertandingan lainnya akan dipimpin oleh seorang wasit PSSI dan didampingi hakim garis dari Persidja dan PSMS’ demikian Muslim Harahap dalam konferensi pers (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-08-1955).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-08-1955: ‘Lustrum pertama PSMS Medan. Asosiasi Sepak Bola Medan merayakan lustrum pertamanya. Dalam sebuah ulasan, Muslim Harahap mengatakan bahwa serikat sekarang diperluas menjadi 23 klub dengan total 1.350 anggota. Dalam 5 tahun ini PSMS telah memainkan total 49 pertandingan, dimana 32 won, 5 sama dan 12 lainnya kalah, sementara 47 gol kemasukan sementara 66 gol memasukkan. Sebanyak 7 kiper yang digunakan dalam game ini PSMS telah berpartisipasi tiga kali di kejuaraan Indonesia dan tidak pernah memenangkan kejuaraan. Tahun lalu Medan runner-up, sebelumnya dua kali PSMS sebagai peringkat ke-5. Meski begitu, asosiasi Medan memiliki 13 piala (cup) yang dimenangkan dan memiliki gedung sendiri seharga Rp 300.000 di Djalan Bali yang hampir selesai, tapi sayangnya tidak bisa digunakan pada perayaan ulang tahun ini. Dalam kesempatan lustrum, pemain, yang telah mempertahankan warna PSMS 10 sampai 40 kali atau lebih mendapat penghargaan, sementara kapten tim Mochtar Siregar yang tetap setia dengan asosiasi selama 5 tahun sebagai anggota dewan juga diberi penghargaan’. [catatan: Mochtar Siregar adalah kapten Tim Sahata VC di era kolonial Belanda].

Tim Burma tiba di Medan
Pada tanggal 11 Agustus Timnas Burma telah tiba di Medan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-08-1955). Tim Birma disambut dibandara oleh I. Gastina, Soehardjo, Jahja Jacub, Muslim Harahap dan anggota dewan PSMS lainnya yang membawa 18 pemain di bawah pimpinan tim plus manajer tim, wasit dan pelatih asal Inggris Alex War, total tim terdiri 22 orang. Alex telah mendengar tim Medan sangat kuat dan beberapa pemainnya iku berpartisipasi di Asian Games dan baru-baru ini PSMS mengalahkan tim kuat GAK (Graz). Setelah beristirahat sejenak di (bandara) Polonia, Tim Burma menuju ke Hotel de Boer, dimana tempat itu diakomodasi saat berada di Medan.

PSMS vs Persidja 6-3 (Revanche)
Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-08-1955: ‘Pertandingan seru: PSMS sangat persuasif dengan Persidja 6-3. Itu tak dapat disangkal balapan terpendek yang paling seru, yang tidak dimainkan di jajaran PSSI, saat PSMS memainkan pertandingan persidangan melawan Persidja pada hari pertandingan, dimana menjadi tuan rumah. Ini katakanlah sebagai pertandingan besar. Wasit Burma, Paul Then memimpin pertandingan. Para penonton di stadion yang ramai menahan napas, seni sepakbola telah diberikan di masa lalu. Yang mengasyikkan, dari awal sampai akhir kompetisi seru yang seru, dari awal sampai akhir balapan yang mengasyikkan, menggetarkan serangan serba cepat. Namun, pertandingan ini adalah pertandingan paling sportif yang pernah dilihat selama ini di lapangan sepak bola Indonesia. Sebelumnya, kapten Djakarta, Djamiat, kapten Medanse Ramlan dikelilingi dengan karangan bunga, diikuti oleh setiap pemain Persidja, yang memberi sekelompok pemain Medan sebuah buket bunga yang diterima pemain PSMS. Penonton menunjukkan bahwa PSMS akan melakukan yang terbaik untuk tidak mengecewakan harapan umum. Mereka berjabat tangan satu sama lain dalam suasana yang bersahabat’.

Susunan pemain PSMS vs Persidja
Jika mengingat kembali pertemuan Persidja vs PSMS di stadion Ikada pada pertandingan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan akhir tahun 1954 dimana PSMS protes dan mogok main, tampak berbeda dengan yang revanche di Medan. Wasit Burma yang memimpin jalannya pertandingan melakukan tugasnya dengan baik. Wartawan Het nieuwsblad voor Sumatra (dalam edisi 20-08-1955) memuji pertandingan di Medan antara Persidja vs PSMS: pertandingan paling seru dan sebuah pertandingan paling sportif yang pernah dilihat selama ini di lapangan sepak bola Indonesia. Dalam lawatan Persidja ke Medan ini tidak terdapat nama-nama BS Harahap dan Cheruddin Siregar (lihat susunan pemain Persdja dan PSMS). Boleh jadi Harahap dan Siregar enggan pulang kampung. Namun nama Jusuf Siregar masih ada di tim PSMS Medan ..

Tim Persidja dan PSMS memasuki lapangan
Sebelum pertandingan PSMS vs Persidja beberapa hari sebelumnya telah dilakukan pertandingan kombinasi Persidja dan PSMS melawan Burma, kemudian dilakukan pertandingan Persidja vs Burma. Perhelatan di Medan ini seakan diantara dua tim tidak ada perbedaan pendapat. Kombinasi kedua tim lawan Burma akur-akur saja. Demikian juga pertandingan antara PSMS vs Persidja. Itulah sepak bola zaman old yang mungkin sedikit berbeda dengan pertandingan zaman now. Kekalahan Persidja 3-6 dari PSMS diterima dengan lapang dada.

Dalam perkembangan selanjutnya, pertemuan antara Persidja dan PSMS terus terjadi. Kejuaraan Antar Perserikatan menjadi ajang pembuktian kedua tim. Masih pada tahun1954, Persidja dan PSMS bertemu dalam babak 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan yang berlangsung pada tanggal 26-12-1954. Persidja menak 2-1 atas PSMS, dan Persidja menjadi juara (mengambil tahta yang selama ini dipegang oleh Persibaja).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-07-1957
Pertemuan Persidja dan PSMS kembali pada partai 7 Besar tahun 1957. Kini giliran PSMS yang mengalahkan Persidja dengan skor 4-3. Dalam kejuaraan ini PSMS berhasil menjadi runner-up sedangkan juara adalah PSM (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-07-1957). Pada kejuaraan berikutnya pada partai 7 Besar 1959 kembali PSMS mengalahkan Persidja dengan skor 2-0. Lalu kemudian pada tahun 1960 di parati 7 Besar Persidja mampu mengatasi PSMS dengan skor telak 5-1 dan pada partai 9 Besar 1964 kembali Persidja mengalahkan PSMS dengan skor 4-0.

Pada Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1966/1967 Persidja meredup. Sementara PSMS Medan berhasil menjadi juara Kejuaraan Antar Perserikatan. Ini berarti rekor juara Persidja dapat disamai oleh PSMS Medan (Persidja juara tahun 1954).

Dengan semakin membaiknya situasi nasional, pada tahun 1967 di Medan, nama Marah Halim Harahap yang tengah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam (Kasdam) II Bukit Barisan muncul ke permukaan sebagai kandidat kuat Gubernur Sumatera Utara. Akhirnya, Marah Halim yang waktu itu sudah berpangkat Kolonel terpilih menjadi Gubernur setelah melalui mekanisme Sidang DRPD Propinsi Sumatera Utara. Marah Halim Harahap diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 31 Maret 1967. Seorang ‘gibol’ kembali menjadi Gubernur Sumatra Utara. Sebelumnya, gubernur pertama, Abdul Hakim Harahap adalah seorang gibol yang merintis jalan membangun Stadion Teladan dengan menggunakan skema pencalonan kota penyelenggaran PON III di Medan tahun 1953.

Pada Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1969/1971 kembali PSMS menjadi juara. Ini untuk kali kedua berturut-turut menjadi juara nasional. Tingkat pencapaian PSMS yang OK dan kondisi Sumatra Utara dalam soal pembangunan yang pesat, Gubernur Marah Halim Harahap memproklamirkan diadakannya turnamen di Medan dengan nama turnamen sesuai namanya: Marah Halim Cup. Gibol ya, tetaplah gibol.

Jika Soekarno meminta Negara untuk membangun Hotel Indonesia, Stadion SGBK dan Gedung Sarinah dimaksudkan untuk menunjukkan harga diri terhadap bangsa lain jelang Asian Games 1962, setali tiga uang, Marah Halim meminta pihak swasta (T.D. Pardede) untuk membangun hotel mewah di Medan dan Parapat agar para investor asing terutama ASEAN tertarik datang dan bersedia menanamkan modalnya di Sumatra Utara. Juga agar para tamu asing yang datang untuk turnamen Marah Halim Cup menjadi lebih nyaman dan menunjukkan harga diri. Sebagai Gubernur, Marah Halim dari sisi pemerintah mendukung pengembangan infrastruktur dengan membangun dua bandara di wilayah Keresidenan Tapanuli yakni di Tapanuli Utara (dekat danau Toba) dan Tapanuli Selatan (dekat Percandi di Padang Lawas) agar para investor asing dan investor domestik dari Jakarta mau menengok potensi ekonomi di Tapanuli. Kini dua wilayah itu sudah berkembang secara ekonomi: Danau Toba menjadi destinasi wisatainternasional dan Padang Lawas menjadi perkebunan kelapa sawit terluas di Sumatra Utara.

Marah Halim Harahap lalu berkekuatan hati. Sepakbola Sumatra Utara harus nomor satu di Indonesia. Untuk itu, diperlukan wadah untuk tetap menjaga performa PSMS sebagai piramida tertinggi, puncak para pemain-pemain terbaik di Sumatra Utara untuk berkokok lebih nyaring. Wadah itu adalah sebuah turnamen sepakbola internasional di Medan. Kebetulan baru-baru ini (September 1971), Pangeran Bernhard dari Belanda berkunjung ke rumah dinas gubernur, entah ada kaitannya dengan sepakbola, kita tidak tahu.Yang jelas, tiga bulan sebelumnya, klub PSV melawat ke Medan melawan PSMS. Inilah klub profesional Belanda untuk kali pertama datang ke Indonesia di Medan (lihat Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 15-06-1971). Hasilnya PSV mengalahkan PSMS dengan skor 4-0 (lihat De Telegraaf, 16-06-1971). Untuk merealisasikan gagasan ini, lantas Marah Halim mengundang tokoh-tokoh sepakbola Sumatra Utara. Di dalam rumah dinas gubernur, 1971, Marah Halim menyambut tiga gibol: Kamaruddin Panggabean, TD Pardede dan Muslim Harahap. Ketiga orang ini tidak asing dengan sepakbola Medan dan PSMS.

Kamaruddin Panggabean pernah menjadi sekretaris PSMS pada periode 1951-1952 (mantan pemain klub Sahata Medan di era kolonial dan pada tahun 1955 sebagai Komisaris PSSI di Sumatra Utara); TD Pardede adalah seorang pengusaha besar dan mantan bendahara PSMS pada periode 1952-1953 (bendahara Persidja dalam kepengurusan yang baru tahun1950 adalah BC Harahap, seorang pengusaha di Djakarta); dan Muslim Harahap, mantan Ketua Umum PSMS pada periode 1959-1960 dan pernah menjadi Manaher Tim PSMS ketika melawan Persidja di Djakarta 1954. Pada periode tersebut (1950-1960) Marah Halim Harahap sendiri adalah perwira menengah di jajaran komando pertahanan di Medan  Kini (1971), pada usia mereka yang tidak muda lagi, empat gibol yang sudah saling kenal sejak lama ini sepakat untuk membuat satu turnamen sepakbola (yang pertama di Indonesia). Gubernur Marah Halim Harahap meminta Kamaruddin Panggabean, yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris untuk menjadi ketua pengelola turnamen sekaligus urusan luar negeri; TD Pardede diminta untuk mendukung untuk suksesnya turnamen dan mengajak pengusaha lainnya untuk berpartisipasi; dan Muslim Harahap diminta untuk memfasilitasi dan mengkoordinasikan dengan stakeholder lainnya terutama dari pihak pemerintah sekaligus urusan dalam negeri. Tugas ini tampaknya tidak sulit baginya, sebab Muslim Harahap Harahap adalah sekreatis pertama Komite Olahraga Indonesia di Sumatra Utara (KOI-SU) yang dibentuk tahun 1955 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-03-1955). Lantas tiba-tiba Muslim Harahap bertanya: ‘Apa nama turnamennya, Jenderal?’ (Marah Halim selama menjadi gubernur telah mendapat kenaikan pangkat dua kali menjadi Mayor Jenderal). Marah Halim menjawab: ‘Saya tidak tahu, cari sendirilah. Tapi perlu dipikirkan baik-baik. Tapi saya tahu bahwa dulu pernah ada turnamen hebat di Medan ini’. TD Pardede bertanya: ‘Turnamen apa namanya, friend?’. Marah Halim menjawab: ‘Turnamen Mathewson Beker, yang penyelenggaraannya pada era Nederlandsche Indie, dimulai tahun 1915. Penggagasnya adalah Mr. Mathewson, konsul Inggris yang ditempatkan di Medan…’. Kamaruddin Panggabean memotong kisah dari Marah Halim itu, lalu spontan: ‘Kalau begitu, nama turnamennya Marah Halim Cup saja’. Muslim Harahap menyahut: ‘Itu sudah pas, lae. Ada historisnya dan itu menjadi mudah membuat dasar legalitasnya’. Pertemuan ditutup.

Turnamen Marah Halim Cup yang pertama dimulai tahun 1972. Panitia Marah Halim Cup, Kamaruddin Panggabean tidak lupa mengundang Persidja Jakarta, bukan sebagai musuh tetapi sahabat PSMS Medan. Turnamen dibagi dua grup. Di partai semi final Persidja bertemu PSMS. Dalam pertemuan untuk yang kesekian kali ini, PSMS dapat mengalahkan Persija 1-0. Di final PSMS bertemu Persebaya. Juara akhirnya diraih PSMS dengan mengalahkan Persebaya dengan skor 3-1. Persidja sendiri masih bisa mengamankan tempat ketiga setelah mengalahkan Persema.

Pada tahun berikutnya 1973 Persija bertemu lagi dengan PSMS (di partai final). Persija kalah 0-1 dan PSMS menjadi juara. Pada tahun berikutnya tahun 1974 PSMS hanya mampu sebagai runner-up setelah dikalahkan kesebelasan Jepang di final. Dua tahun kemudian secara berturut-turut turnamen Marah Halim Cup dimenangkan tim dari Australia. Pada tahun 1977 Persija yang naik tahta menjadi juara setelah mengalahkan tim dari Jepang dengan skor 1-0. Pada tahun 1978 giliran PSMS di final namun kalah melawan tim Burma. Padab tahun 1979 kembali tim Burma juara setelah mengalahkan tim dari Islandia dengan adu penalti. Pada tahun 1980 kembali Burma di final tetapi dikalahkan tim dari Belanda. Tahun 1981 tim Korea Selatan mengalahkan tim Jepang di final. Tahun 1982 tim Jerman Barat mengalahkan tim Jepang di final. Tahun 1983 kembali PSMS di final tetapi kalah dari tim asal Korea Selatan. Pada tahun 1984 tim dari Irak mengalahkan tim dari Inggris di final. Pada tahun 1985 kembali tim yang sama dari Inggris dikalahkan tim dari Korea Selatan di final. Tahun 1986 tim asal Yugoslavia mengalahkan tim Korea Selatan di final. Pada tahun 1988 kembali PSMS di final tetapi dikalahkan oleh tim dari Jepang. Pada tahun 1989 tim Jepang dikalahkan tim Belanda di final. Pada perhelatan yang terakhir tahun 1995 sesama tim Medan di final: Medan Jaya mengalahkan Harimau Tapanuli dengan skor 2-1.

Secara keseluruhan turnamen Marah Halim Cup yang berlangsung sejak 1972 hingga 1995 berlangsung sebanyak 19 kali. Jumlah ini tergolong terbanyak di dunia sebagai turnamen yang penyelenggaraannya berlangsung cukup lama. Turnamen Marah Halim Cup adalah satu-satunya turnamen di Indonesia (hingga saat ini) yang masuk kalender FIFA. Peran Kamaruddin sangat besar dalam suksesnya penyelenggaraan Marah Halim Cup.

Kamaruddin Panggabean adalah pesepakbola sejati: dari pemain hingga pengurus sepak bola (klub dan bond) hingga pengelola turnamen Marah Halim Cup. Kamaruddin Panggabean memulai karir sepakbola sebagai kiper di klub IVC Medan yang berkompetisi di perserikatan OSVB tahun 1931 (lihat De Sumatra post, 15-12-1930). [Jika disebutkan Kamaruddin Panggabean lahir tahun 1918 maka umurnya pada tahun 1930 baru 12 tahun. Jika tahun lahir adalah benar, maka Kamaruddin Panggabean sudah bermain sepak bola sejak belia. Kamaruddin Panggabean meninggal tahun 1999 dan disebutkan berusia 81 tahun (berdasarkan tahun kelahiran tahun 1918). Besar dugaan Kamaruddin Panggabean yang meninggal tahun 1999 berumur lebih dari 81 tahun (kemungkinan sekitar 84 atau 85 tahun)]. Klub yang berkompetisi di OSVB adalah CSC, HVV, VOP, MSV, IVC, PSV, DSV, LSV dan Go Ahead.

Kamaroeddin Panggabean kemudian pindah ke klub di Belawan bernama Unie Kampong (UKVC) yang ikut kompetisi di OSVB dan  tetap sebagai kiper (De Sumatra post, 18-07-1932). Pada paruh musim klub UKVC berada di peringkat yang baik (lihat De Sumatra post, 15-05-1933). UKVC lalu berhasil menjuarai kompetisi (De Sumatra post, 02-11-1934). Setelah sekian lama Kamaroeddin Panggabean terinformasikan sebagai pemain klub Serbelawan (Simaloengoen). Posisinya bukan lagi kiper tetapi bergeser menjadi gelandang (De Sumatra post, 27-01-1936). Pada akhir tahun 1936 Kamaroeddin Panggabean terdeteksi menjadi pemain klub Kisaran dan kembali ke posisi awal sebagai kiper (De Sumatra post, 28-12-1936). Pada awal tahun 1937, Kamaroeddin Panggabean membela klub Boenoet Tebing Tinggi sebagai kiper (De Sumatra post, 22-02-1937).



Pada tahun 1938 Kamaroeddin Panggabean menjadi pemain klub MSV Medan sebagai gelandang sayap (De Sumatra post, 04-04-1938). Masih pada tahun yang sama Kamaroeddin Panggabean menjadi pemain gelandang klub SAHATA Medan (lihat De Sumatra post, 02-07-1938). Disebutkan bahwa klub SAHATA makin kuat karena baru saja mengalahkan juara Medan, MCVC (Tionghoa) dan akan melawan klub juara Asahan (Gemeente VC). Apakah klub SAHATA Medan makin kuat karena faktor Kamaroeddin Panggabean sebagai pemain baru? Di klub SAHATA sudah ada penyerang terbaik di OSVB Damora Harahap.



Klub SAHATA didirikan oleh Abdul Hakim Harahap, anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan  pada tahun 1936. Abdul Hakim Harahap kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara (1951-1953). Pada tahun 1938 klub SAHATA dipimpin oleh GB Josua Batubara (pemilik Joshua Instituut). Klub Sahata tidak terbendung lagi di Medan. Akan tetapi klub SAHATA mendapat batu sandungan karena kalah untuk kali pertama melawan MCVC (De Sumatra post, 13-03-1939). MCVC revans terhadap Sahata. Setelah berjaya di Medan, klub SAHATA melakukan lawatan ke Sibolga di Tapanoeli. Di Sibolga mendapat perlawanan yang sepadan dan hanya menang tipis 3-2 (De Sumatra post, 15-05-1939). Kamaruddin Panggabean adalah pemain terbesar (tinggi besar) di klubnya SAHATA (De Sumatra post, 27-11-1939). Kamaruddin Panggabean adalah salah satu tim inti OSVB ketika melawan kesebelasan Atjeh (De Sumatra post, 21-03-1940)


De Sumatra post, 20-11-1941
Kamaruddin Panggabean selama karir sepak bola hanya bermain di klub-klub yang dihuni oleh pemain-pemain pribumi: ISV, UKVC, MSV dan SAHATA. Sebagian besar klub yang tergabung dalam OSVB adalah klub orang-orang Belanda. Klub VOP (polisi) adalah klub campuran. Satu klub Tionghoa adalah CSC/MCVC. Pada tahun 1941 SAHATA mengancam keluar dari OSVB karena merasa tidak adil di dalam kepengurusan OSVB. GB Josua Batubara, pimpinan Sahata VC memprotes karena orang pribumi tidak terwakili di dewan OSVB padahal performa pemain dan klub pribumi tidak kalah dengan orang-orang Belanda. Lalu dicetuskan dan didirikan perserikatan (bond) dari klub-klub pribumi (Indonesia) yang disebut De Indonesische voetbalbond (De Sumatra post, 20-11-1941). Jumlah yang tergabung ada 10 klub termasuk tiga klub yang sudah lama berkompetisi di OSVB: UVV, Sahata dan MSV.


Setelah SAHATA keluar dari OSVB tersebut nama Kamaruddin Panggabean juga secara perlahan menghilang dari pemberitaan (surat kabar berbahasa Belanda, De Sumatra Post). Namun demikian, klub Sahata masih bisa melawat ke Sibolga (De Sumatra post,  21-07-1941) dan di Padang (De Sumatra post, 22-07-1941). Di Medan Sahata sudah tidak semangat main lagi, bahkan Kamaruddin Panggabean hanya bermain lima belas menit (De Sumatra post, 28-07-1941). Sejak bulan Juli 1941 baik nama Sahata maupun nama Kamaroeddin Panggabean tidak pernah muncul lagi hingga terjadinya pendudukan militer Jepang Maret 1942.

Nama Kamaroeddin Panggabean benar-benar lenyap. Tidak hanya di masa pendudukan Jepang (1952-1945) juga semasa perang kemerdekaan (pasca Proklamasi Kemerdekaan RI (1945-1950). Apakah Kamardoeddin Panggabean (kelahiran Taroetoeng) telah pulang kampung di Sibolga untuk turut berperang melawan Belanda. Kenyataannya Kamaroeddin Panggabean tidak pernah membela klub orang-orang Belanda di Medan dan Sumatra Timur. Namun bosnya di Sahata VC (pemilik Joshua Instituut di Medan) Mr. GB Joshua Batubara (kelahiran Sipirok) tetap di Medan dan tidak pulang kampung di/Padang Sidempoean. Jika Kamaroeddin Panggabean tidak pulang kampung, boleh jadi Kamaroeddin Panggabean ikut berjuang di Medan membantu GB Joshua Batubara dan Dr. Djabangoen Harahap. Kedua tokoh Medan ini tidak pulang kampung. Selama perang kemerdekaan, banyak republiken yang mengungsi ke Residentie Tapanoeli dan sebagian turut berjuang dan berperang bersama TNI dan laskar melawan militer Belanda (Aggresi Militer Belanda II, 1948). Pasukan RI di Tapanoeli berada di bawah komando Gubernur Militer Dr. Gindo Siregar dan untuk mengamankan penduduk berada di bawah tugas Residen Abdul Hakim Harahap (pendiri klub SAHATA Medan). Sementara untuk komando perjuangan para Republiken di wilayah penguasaan Belanda di Sumatra Timur yang berpusat di Medan berada di bawah pimpinan GB Joshua Batubara dan Dr. Djabangoen Harahap. Untuk menangani pendidikan para warga Republiken di Medan dan sekitarnya ditangani oleh guru GB Joshua Batubara sedangkan untuk urusan kesehatan ditangani oleh dokter Djabangoen Harahap (Dr. Djabangoen Harahap, kelahiran Padang Sidempoean adalah adik kelas Dr. Gindo Siregar, kelahiran Sipirok di STOVIA). Ketua Front Nasional Indonesia di Medan adalah GB Joshua Batubara dan Wakilnya adalah Djabangoen Harahap. Oleh karenanya, dimana Kamaroeddin Panggabean selama perang kemerdekaan telah menjadi bagian dari Front Nasional Indonesia (FNI) di Medan. Pada bulan Agustus 1949 Kamaroeddin Panggabean mewakili FNI Medan menjadi sekretaris komisi yang dibentuk di Medan untuk pengiriman bantuan ke Djogjakarta (Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-08-1949).

FNI tidak hanya di Medan, namun FNI yang juga strategis dan berpengaruh terdapat di Sibolga dan Soerabaya . Ketua FNI Sibolga adalah Moehammad Nawi Harahap dan ketua FNI Surabaya adalah Doel Arnoyo. Lantas mengapa di tiga kota itu begitu populer FNI?mengapa di tiga kota itu populer (sangat sentral dan berpengarih) FNI? Hal ini karena di tiga kota tersebut perang gerilya masih berlangsung hingga tiba waktunya gencatan senjata bulan Juli 1949 dalam rangka proses perundingan di Den Haag (KMB). Untuk sekadar diketahui: Wali Kota Surabaya berada di pengungsian di Toeloengangoeng dan peran di dalam kota Surabaya dipimpin oleh Doel Arnowo. Wali Kota Surabaya di pengungsian adalah Dr. Radjamin Nasution, seorang gibol, pendiri bond sepak bola kantor/perusahaan (SKVB), penasehat Persibaja adalah Kapten Tim Docter Djawa VC di Batavia yang tahun 1909 melawat ke Medan untuk bertanding dengan klub Medan (Tapanoeli VC). Dr. Radjamin Nasution (yang sekelas dengan Dr. Soetomo) adalah kakak kelas Dr. Gindo Siregar dan Dr. Djabangoen Harahap di STOVIA.

Nama Kamaroeddin Panggabean muncul kembali di Medan tahun 1952. Saat itu, situasi dan kondisi sudah kondusif di Medan (setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda). Gubernur baru Sumatra Utara sudah diangkat Abdul Hakim Harahap (pendiri klub Sahata Medan). Pada bulan Februari 1952, Abdul Hakim Harahap, gubernur ‘gibol’ meminta para anggota bond PSMS untuk melakukan pertemuan untuk pemilihan umum. Lalu pertemuan diadakan pada tanggal 24 Februari 1952 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-02-1952). Hasil pertemuan tersebut terbentuknya pengutus baru PSMS: Amir Hamzah (Ketua) dan para anggota Mochtar [Siregar], Kamaruddin [Panggabean], [Abdul Hamin] Lubis, Firdaus, de Raadt, Jans, Korver en Tjong Jong Liong. Inilah untuk kali pertama nama Kamaroeddin Panggabean muncul kembali setelah sekian lama. Terakhir namanya terinformasikan pada tahun 1941. Mereka pengurus PSMS ini adalah hampir semua adalah eks pemain sepak bola di Medan pada era kolonial Belanda. Kamaroeddin Panggabean (Sahata); Mochtar Siregar (Deli Mij VC); Tjong Jong Liong (MCVC); Amir Hamzah (VOP).

Dalam penyelenggaraan PON III Medan, Kamaroeddin Panggabean adalah Ketua seksi sepak bola (Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-03-1954). Untuk ketua seksi keamaan adalah ‘anak muda pemberani’ Kapten Marah Halim Harahap (kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara). Penanggungjawab PON III adalah Gubernur Abdul Hakim Harahap (pendiri Sahata VC) sedangkan Ketua Harian PON III Medan sendiri adalah GB Joshua Batubara (Pimpinan klub Sahata Medan pada era Kolonial Belanda, suksesi Abdul Hakim Harahap. Kamaroeddin Panggabean adalah pemain inti Sahata VC. Klop sudah Abdul Hakim Harahap, GB Joshua Batubara dan Kamaroeddin Panggabean satu kata (sahata) dalam penyelenggaraan PON III Medan (sama-sama eks klub Sahata Medan). Nama Kamaroeddin Panggabean terus berkibar di sepak bola Indonesia. Pada tanggal 26 dan 27 Desember 1955 Kongres PSSI di Bandoeng. Salah satu hasil keputusan adalah terpilihnya kembali Maladi sebagai Ketua Umum PSSI. Keputusan lain adalah menetapkan lima komisaris di provinsi: Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur; Nusatenggara, Sumbawa dan Sulawesi. Untuk komisaris PSSI di Sumatra Utara diangkat Kamaroeddin Panggabean (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-12-1955). 

Saat Marah Halim Harahap dipilih dan diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara tahun 1967, Kamaroeddin Panggabean mendapat angin kembali setelah sebelumnya sempat redup. Marah Halim Harahap dan Kamaroeddin Panggabean yang sama-sama eks pantia PON III Medan kembali duduk satu meja untuk memikirkan kembali kemajuan sepak bola Sumatra Utara khususnya PSMS Medan. Dua gibol berpikir ulang kembali tentang sepak bola Sumatra Utara. Inilah dasar munculnya turnamen Marah Halim Cup yang dimulai tahun 1972 (berakhir tahun 1995). Selama penyelenggaraan turnamen ini klub-klub perserikatan berpartisipasi khususnya Persija dan PSMS. Klub-klub Galatama (liga utama) yang mulai tahun 1978 juga menyusul berpartisipasi termasuk Pardedetex (milik TD Pardede) dan klub Mercu Buana (milik Probo Soetedjo, yang juga anak Medan), Manajer Pardedetex adalah Joni Pardede (anak TD Pardede). Pardedetex mendatangkan pemain asing pertam di Indonesia yakni Jairo Matos (asal Brasil). Sedangkan Manajer Mercu Buana adalah Kamaroeddin Panggabean. Salah satu pemain Mercu Buana yang terkenal adalah Djadjang Nurdjaman. Saat-saat itulah Djadjang Nurdjaman (pelatih PSMS sekarang) jatuh hati kepada putri cantik Kamaroeddin Panggabean. Ompung Kamaroeddin Panggabean meninggal dunia tahun 1999. Ompung Marah Halim Harahap meninggal dunia tahun 2015.

Dalam sejarah sepak bola Indonesia hanya beberapa Gubernur yang tergolong ‘gibol’ yang mana dua diantaranya dari Sumatra Utara: Abdul Hakim Harahap dan Marah Halim Harahap. Kedua gubernur beda generasi ini, selain memiliki minat yang sama dalam sepak bola ternyata keduanya sudah saling mengenal. Pada saat penyelenggaraan PON III di Medan tahun 1953, Presiden Soekarno tidak menginap di hotel tetapi di rumah dinas Gubernur Abdul Hakim Harahap. Komandan pengawalan Presiden Soekarno selama berada di rumah Gebernur Abdul Hakim Harahap, tanggung jawab keamanan dipimpin oleh Kapten Marah Halim Harahap.

Marah Halim Harahap lahir di Padang Sidempoean tahun 1929. Pada era perang kemerdekaan memimpin pasukan di Riau dengan pangkat letnan. Sepulang dari perang (pasca pengakuan kedaulatan RI) ditarik ke Medan dan pangkatnya dinaikkan menjadi kapten dan mengisi pos jajaran militer dengan fungsi staf perwira di wilayah militer Sumatra Timur di Medan. Pada saat penyelenggaraan PON III di Medan, Kapten Marah Halim Harahap bertugas untuk pengamanan Presiden Soekarno selama di Medan. Selama di Medan Presiden Soekarno tidak menginap di hotel (karena pemberontakan di Atjeh sudah mulai bergolak) melainkan di rumah dinas Gubernur Abdul Hakim Harahap. Satu-satunya perwira yang diizinkan masuk ke rumah gubernur saat itu adalah Kapten Infantri Marah Halim. Pada tahun 1954 pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Pada tahun 1957 mengikuti pendidik SSKAP di Bandung (kini Seskoad) dan sepulang dari pendidikan beberapa lama kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Luitenan Kolenel sehubungan dengan munculnya pemberontakan PRRI/Permesta. Setelah peristiwa G 30 S/PKI pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Pada tahun 1967 nama Kolonel Marah Halim Harahap semakin populer di Medan lalu DPRD memilih Marah Halim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara. Sebagaimana diketahui Marah Halim Cup dimulai tahun 1972. Marah Halim menjadi gubernur Sumatra Utara lebih dari dua periode (10 tahun) gubernur terlama dan berakhir tahun 1978. Marah Halim Harahap meninggal dalam usia tinggi 94 tahun pada tahun 2015.

Di level Wali Kota/Bupati hanya terdapat beberapa yang ‘gibol’. Di Surabaya terdapat Wali Kota yang gibol yakni Dr. Radjamin Nasution (Wakil Wali Kota di era pendudukan Jepang dan menjadi Wali Kota pasca Proklamsi Kemerdekaan RI 1945). Radjamin Nasution adalah kapten tim klub Docter Djawa VC (STOVIA) tahun 1909; pendiri DVB Medan 1923 (lihat De Sumatra Post terbitan 13-02-1923); pendiri SKVB Surabaya tahun 1936; dan penasehat Persibaja (pasca pengakuan kedaulatan RI). Di Medan hanya Wali Kota Rahudman Harahap (2010-2013) yang terbilang ‘gibol’, namun sayang selama menjabat, PSMS Medan harus terdegradasi dari liga level atas ke liga level-2. Baru pada tahun 2017 baru lalu PSMS kembali promosi ke liga level atas (Liga-1, 2018). Wali Kota Medan yang sekarang (Dzulmi Eldin) bukan tergolong ‘gibol’ tetapi anaknya ternyata seorang ‘gibol’ bernama Edryansyah Rendy masih berumur 25 tahun). Edryansyah Rendy adalah Manajer Tim PSMS yang mendampingi coach Djadjang Nurdjaman dalam Piala Presiden 2018. Apakah nanti Edryansyah Rendy akan mengikuti jejak Manajer Tim PSMS tahun 1954: Muslim Harahap yang kemudian menjadi Ketua Pengurus PSMS Medan (periode 1959-1961). Dan lantas apakah Djadjang Nurdjaman mampu mengangkat prestasi PSMS kembali seperti dulu?  Kita tunggu.

Djadjang Nurdjaman yang menjadi pelatih PSMS Medan sekarang ini tidak lain adalah menantu Kamaruddin Panggabean. Sebagaimana kita ketahui, PSMS beberapa hari ke depan akan menghadapi Persija di semi final Piala Presiden 2018 di Stadion Manahan Solo. Di dalam diri coach Djadjang Nursjaman, misi mengalahkan Persidja, bukanlah misi sebagai mantan pelatih Persib Bandung, tetapi misi membawa sejarah PSMS yang juga turut dibentuk oleh mertuanya: Kamaruddin Panggabean. Perhatikan gestur (alamiah) Djadjang Nursjaman merayakan gol dan kemenangan PSMS ketika mengalahkan Persib. Coach Djadjang Nursjaman mendua (adil): sangat senang luar biasa merayakan gol dan kemenangan (misi sejarah PSMS dari sisi mertuanya), tetapi hal yang dipikirkan dan dikesankan tidak berlebihan (untuk menghormati bobotoh dan mantan klubnya Persib). Bagaimana reaksinya terhadap Persija nanti? Realsi ganda. Andaikan tecipta gol dan meraih kemenangan atas Persidja, jika dan hanya jika Djadjang sebugar Greg Nwokolo, Djadjang Nurdjaman akan merayakannya dengan lompatan salto. Sebaliknya, jika kebobolan atau kalah dari Persija, Djadjang Nurdjaman akan otomatis terduduk lesu darah dan berjalan dengan kepala menunduk (alamiah dan sekaligus memberi rasa hormat ke Pesija).

Rekor Pertemuan Tim Persija vs PSMS

Pertemuan kali pertama Persija dan PSMS terjadi pada tahun 1952 pada Kejuaraan Antar Perserikatan 1952. Namun demikian, rivalitas Persija vs PSMS baru dimulai pada tahun 1954, tepatnya pada pertandingan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954. Dalam pertandingan Persija vs PSMS tersebut harus berakhir yang mana PSMS keluar dari lapangan karena pihak PSMS merasa wasit tidak cermat dan tidak tegas. Kubu PSMS menganggap tidak ada masalah dengan Persija, PSMS hanya bermasalah dengan wasit.

Bukti tidak ada masalah antar tim, kubu Persija menawarkan pertandingan revanche di Medan. Dalam pertandingan di Medan dengan wasit asal Burma berjalan dengan baik. Dalam pertandigan tersebut PSMS berhasil mengalahkan Persidja. Bukti lain, nyata-nyata Tim Nasional yang dibentuk PSSI beberapa bulan kemudian justru dihuni dan didominasi oleh pemain-pemain PSMS (6 pemain) dan Persija (2 pemain) serta tiga pemain dari tim perserikatan lainnya. Jelas bahwa kisruh pertandingan Persidja vs PSMS hanya masalah wasit yang kurang cermat dan tidak tegas. Persoalan berada pada wasit.

Tidak diketahui secara pasti sudah berapa kali tim Persija bertemu PSMS sepanjang masa. Setiap penyelenggaraan Kejuaraan Antar Perserikatan (era perserikatan), sejak 1952 hingga berakhir tahun 1994 baik Persija maupun PSMS selalu berpartisipasi. Berdasarkan data yang tersedia, paling tidak Persija dan PSMS telah bertemu sebanyak 31 kali. Hasil yang paling banyak terjadi adalah imbang (draw) sebanyak 14 kali. Persija menang 11 kali dan PSMS hanya 6 kali. Kedua tim pernah menjadi juara bersama. Di luar itu, Persija menjadi juara 3 kali, sedangkan PSMS 4 kali. Jika ditambahkan di sini, Persija pernah 3 kali sebagai runner-up, sementara PSMS sebanyak 4 kali.

Antara Persija dan PSMS secara head to head Persija unggul terhadap PSMS. Namun dalam pencapaian prestasi (baik juara maupun runner-up) PSMS lebih unggul dari Persija. Satu hal yang menarik pertemuan Persija dan PSMS sepanjang penyelengaraan Kejuaraan Antar Perserikatan hampir separuhnya berakhir draw (imbang).

Dalam liga profesional (Liga Indonesia) yang dimulai tahun 1994 klub Persija dan klub PSMS telah bertemu sebanyak 19 kali. Persija menang 11 kali, PSMS menang 5 kali. Hasil imbang (draw) sebanyak 3 kali. Jumlah pertemuan antara Persija dan PSMS selama berlangsungnya Liga Indonesia terbilang relatif sedikit jika dibandingkan dengan era perserikatan (amatir). Hal ini karena beberapa tahun PSMS berada di liga kedua (kedua tim tidak bertemu). Tidak bertemunya kedua tim juga karena liga sendiri ada yang dibagi dua tiga wilayah (barat, tengah dan timur). Disamping itu, hasil pertemuan kedua tim pada masa dualisme federasi (PSSI vs KPSI) tidak dicatat dalam hal ini. Namun demikian, dari pertemuan yang dicatat di sini, Persija unggul head to head dengan PSMS.

Rekor pertemuan yang dideskripsikan di atas, sesungguhnya belum termasuk pertemuan antara Persija dan PSMS di luar Kejuaraan Antar Perserikatan dan Liga Indonesia. Pertemuan antara Persija dan PSMS lainnya terjadi pada berbagai turnamen di luar turnamen Marah Halim Cup di Medan. Dalam Piala Indonesia tercatat Persija vs PSMS bertemu pada semi final 2005: leg-1 PSMS menang dengan skor 2-1 dan pada leg-2 Persija menang 3-1 dan perebutan tempat ketiga 2006 Persija menang lawan PSMS dengan skor 2-0.

Rekor pertemuan antara Persija dan PSMS sejak 1952 sepanjang masa (hingga hari ini) dalam berbagai label pertandingan sudah cukup banyak. Dengan demikian, setiap pertandingan antara Persija dan PSMS pada masa ini haruslah dipandang sebagai rivalitas yang berlabel pertandingan klasik (el clasico). Ada dinamika dan romantisme diantara kedua tim. Oleh karenanya pertandingan antara Persija dan PSMS, paling tidak selalu ditunggu oleh para suporter masing-masing.

Pertandingan Final Persib vs PSMS di stadion Senayan, 1985
Saya sesungguhnya pernah menjadi suporter Persib maupun suporter PSMS dan suporter Persija. Saya menjadi suporter PSMS karena permintaan para suporter Persib Bandung di Bogor. Ini bermula tahun 1985 (ketika saya masih kuliah), saya sebagai warga (KTP) Bogor tentu saya menjadi suporter Persib ketika tiap kali warga RT/RW saya melakukan nonton bareng Kejuaraan Antar Perserikatan 1985. Saat bersua Persib dan PSMS saya didaulat untuk menjadi suporter PSMS (karena di RT tersebut hanya saya yang berasal dari Sumatra Utara). Padahal saya sebelumnya tidak pernah menjadi suporter PSMS (karena BTL, tidak pernah ke Medan).  Atas desakan ketua RT saya terima. Ketika Persib membobol gawang PSMS saya disuruh diam sementara mereka berjingkrak-jingkrak. Sebalikya jika PSMS yang menyarangkan gol ke gawang Persib, saya lalu di angkat ramai-ramai ke udara sambil teriak-teriak hidup PSMS, hidup PSMS. Lalu kemudian, hari ketika Persib dan PSMS berjumpa lagi di final saya kedatangan empat teman kuliah sekampung alumni SMA Medan mengajak nonton ke stadion Senayan, tetapi saya enggan karena saya sudah ada agenda nonton bareng di rumah Pak RT. Akhirnya saya terus didesak dan mengalah. Sebelum berangkat saya lapor ke Pak RT absen nonton bareng. Ada kejadian aneh ketika berangkat dari terminal Bogor. Teman-teman rupanya sudah menyiapkan spanduk. Ketika mau naik dekat pintu tol Jagorawi, teman-teman saya itu melakukan nego kepada kondektus bis (mungkin Lorena saya lupa-lupa ingat): 'Kami hanya mau naik jika spanduk kami dibentangkan di belakang bis' demikian permintaan teman saya kepada kondektur (pembicaraan ini berada di luar bis, sambil bis merangsek dengan jalan pelan-pelan). Kondektur bis tampak sekali mati langkah, sebab ada lima calon penumpang tetapi ingin bentangkan spanduk (sementara bis sudah mau memasuki jalan tol). Mungkin kondektur berpikir daripada bangku belakang kosong, tak apalah. Nego sepakat. Saya dan dua teman segera naik ke bangku kosong di belakang sementara dua yang lain masih berada di luar berlari-lari mengikuti lajunya bis sambil mengulurkan tali spanduk dari luar. Spanduk yang sebelumnya telah disiapkan pemberat (air dalam plastik di bagian bawah spanduk agar tidak terbang) terpasang di belakang bis, dua teman itu juga bergegas naik. Tarik!. Bis pun melaju kencang di jalan tol. Awalnya tenang tenteram, tetapi jelang Sentul mulai ada yang meneriakkin kata-kata permusuhan dari bis sebelah ke bis kami. Anggapan penumpang bis sebelah yang saya duga datang dari Bandoeng, Cianjur dan Sukabumi yang notabene suporter Persib menganggap seisi bis kami adalah semua suporter PSMS (padahal cuma lima orang toh!). Penumpang bis kami yang berada di bagian depan yang sebagian besar tampaknya adalah suporter Persib asal Bogor merasa bingung mengapa bis-bis sebelah yang melewati bis kami selalu teriak-teriak yang tidak terlalu jelas ngomong apa (karena banyaknya bis yang menuju Jakarta. Cilaka!. Saya mulai tidak nyaman, tetapi teman saya bilang tenang saja: 'Tenang saja lae, penumpang dalam bis ini tidak ada yang tahu apa yang ada di belakang bis, hanya kondektur yang sempat lihat tadi'. Akhirnya bis kami sampai di terminal Cililitan (terminal kampung Rambutan belum ada). Alhmadulillah, tidak terjadi apa-apa di tengah perjalanan sepanjang jalan tol Jagorawi, Di terminal Cililitan, kami cepat turun dan segera spanduk dilipat kembali, lalu kami naik ke bis jurusan Blok M dan memilih bis yang tampak dari jauh dipenuhi oleh suporter PSMS yang datang dari berbagai tempat seperti Bekasi. Setiba di stadion Utama Senayan (belum bernama SUGBK), wuh sangat luar biasa jumlah penonton. Kami mengambil tempat di tribun timur bagian atas (tempat suporter PSMS). Menurut penyiar siaran pandangan mata (RRI) jumlah penonton yang hadir ditaksir 150.000 orang (kami bawa radio ketika menonton itu, penyiarnya kalau tidak salah-salah ingat: Sambas, Abraham Isnan dan Syamsul Muin Harahap). Fantastik! Selanjutnya: Ketika saya sudah lulus kuliah, saya pindah ke Jakarta, saya juga mengurus KTP DKI Jakarta. Pada penyelenggaraan Liga Indonesia yang pertama (1994) saya menjadi suporter Persija yang berkandang di stadion Menteng. Kala itu ada dua klub di Jakarta yakni Persija dan Pelita Jaya yang bermarkas di Lebak Bulus yang terkenal dengan suporter fanatiknya Commando. Oleh karena kantor saya di Jalan Salemba Raya 4, saya selalu menonton Persija ke stadion Menteng. Dari Salemba cukup naik bajaj dan memilih pintu tribun timur (jarak terdekat dari Salemba). Setiap saya menonton hanya beberapa orang yang mengisi tribun timur, karena tribun barat sendiri tidak penuh-penuh amat. Begitulah kondisi suporter Persija saat itu (sangat sedikit jika dibandingkan suporter Pelita Jaya, Commando (tentu saja Jakmania belum ada). Meski sepi penonton saya tetap suka dan saya yang selalu hadir di tribun timur menjadi asik sendiri. Saat itu, di Persija ada dua pemain yang bagus yang selalu saya perhatikan jika mengontrol atau menendang bola: Azhari Rangkuti dan Patar Tambunan. Jadilah saya suporter Persija. Sejak satu dekade yang lalu ketika anak-anak saya sudah mulai remaja seakan mereka telah menggantikan saya menjadi suporter Persija (saya pun lengser dan fokus menulis sejarah sepak bola). Saya tergolong suporter Persija zaman old, sedangkan anak-anak saya suporter zaman now. Sejak era anak-anak saya itulah suporter Persija tampak pertumbuhan dan perkembangannya yang sangat pesat. Seperti yang dapat dilihat di televisi sekarang, suporter Persija sudah puluhan ribu yang selalu memadati stadion. Ini berbeda ketika saya menjadi suporter Persija pada tahun-tahun awal Liga Indonesia (yang terkenal dengan marquee player Roger Milla dan Mario Kempes) yang hanya terdiri dari segelintir orang saja. Romantisme saya: Tribun timur stadion Menteng, saking sepinya seakan milik saya setiap klub Persija melakukan laga kandang. Ada beberapa kali saya menonton Persija pada saat laga tandang (ketika lagi kerja riset di luar kota). Satu kali apes: pada tahun 2004 saya dengar di warung bakal ada sore hari pertandingan PSMS vs Persija di stadion Teladan Medan. Untuk mengejar waktu, dari Sidikalang (Dairi) saya carter motor RX-King agar sampai tepat waktu (jangan tanya sewanya). Setiba di stadion Teladan yang bertanding bukannya Persij tetapi PSMS vs Persik. Oalah. Tetapi saya tonton juga. Saat itu Legimin Rahardjo kalau tidak salah-salah ingat sudah menjadi pemain PSMS. .

Prediksi Pertandingan Berikutnya Antara Persija vs PSMS

Pertandingan Persija dan PSMS dalam semi final Piala Presiden 2018 yang akan dilaksanakan pada tanggal 10 Februari ini (leg-1 dan tanggal 13 Februari leg-2) sudah sangat intens dibicarakan di berbagai media. Bahkan intensitas pembicaraan Persija vs PSMS jauh lebih hingat bingar jika dibandingkan dua kontestan lainnya di semi final antara Bali FC dan Sriwijaya FC. Ini membuktikan bahwa fokus perhatian bukan pada semi finalnya tetapi lebih pada pertemuan dua tim legendaris (pertandingan klasik).

Breaking News: Spirit Medan dengan semboyan baru suporter Ribak Sude seakan muncul kembali pada awal tahun 2018. PSMS dan Persija sama-sama melaju ke semifinal Piala Presiden 2018 dan harus bertemu setelah sekian waktu tidak pernah bertemu. Pimpinan PSMS menyebut di media: ‘Ini nostalgia masa perserikatan. Di babak grup Piala Presiden 2018 kami sudah menaklukkan tim-tim perserikatan, Persib dan PSM, kemudian Persebaya di perempat final. Mengapa kami tak bisa kalahkan Persija?’ demikian pengurus PSMS memulai psywar terhadap Persija. Statement ini tampaknya mirip yang pernah terjadi pada tahun 1954.

Satu hal dari pertemuan antara Persija dan PSMS kali ini adalah soal homebase ketika semi final Piala Presiden 2019 dilakukan dengan format home and away. Kedua tim disebut tidak memiliki homebase. Homebase PSMS di stadion Teladan Medan tengah renovasi; sedangkan homebase Persija yakni Stadion Gelora Bung Karno (pengganti stadion Ikada) tempo doeloe, meski baru habis renovasi tetapi tidak bisa digunakan karena ada test event Asian Games 2018. Inilah nasib dua tim klasik, yang notabene dua tim pertama di Indonesia yang memiliki stadion yang megah di masa lampau. Stadion Ikada Djakarta yang dibangun jelang PON II (1952) menjadi homebase Persija dan stadion Teladan Medan yang dibangun jelang PON  III (1954).  

Breaking News: Dengan ketiadaan homebase, baik PSMS dan Persija telah menetapkan homebase masing-masing di stadion Manahan Solo. Ini berarti pertandaingan kandang dan tandang untuk Persija dan untuk PSMS akan terjadi di stadion yang sama.

Bagaimana hasilnya, kita lihat saja nanti. Selamat bertanding. Jangan lupa spirit sportivitas. Para suporter kedua tim harus damai. Sebab pertemuan Persija dan PSMS akan terus berulang yang disebut El Clasico.

Breaking News: Jelang pertandingan Persija vs PSMS muncul statement-statement heroik: Persija Haram Lepas Laga Melawan PSMS Demi AFC Cup 2018; Persija Lebih Fokus Hadapi PSMS Ketimbang JDT (klub Malaysia); Ismed Sofyan menghimbau Jakmania padati stadion Manahan.

Persija tampaknya tidak ingin mengabaikan pertandingan melawan PSMS. Ini menunjukkan rivalitas Persija dan PSMS tidak ada habisnya (klasik). Apalagi dengan mengalahkan PSMS akan membuka jalan bagi Persija untuk juara (sportivitas). Bandingkan dengan PSM Makassar di fase grup, hatinya mendua dan tidak jelas. Ini menunjukkan bahwa meski PSM klub legendaris tetapi tidak ada rasa memiliki tradisi klasik dengan lawan-lawannya (di fase gerup ada Persib dan PSMS). Cilakanya, PSM bahkan berdalih datang ke Bandung hanya dengan tim klas dua dan hanya menganggap sebagai cara untuk menguji pemain muda. Sedangkan yang senior difokuskan (yang bersamaan) untuk meraih juara Super Cup Asia di Makassar (tidak resmi) yang diselenggarakan sendiri. Akhirnya PSM juara se-Asia di Makassar dan tim PSM hancur lebur di Bandung. Bandingkan dengan Persija, yang juga di waktu yang bersamaan bahkan harus bertanding di Piala AFC di Malaysia (kujuaraan resmi yang diagendakan AFC) bahkan mengusung dua tujuan: mengalahkan rivalitas PSMS dan melaju ke final, juga tak kalah penting untuk mampu mengalahkan klub Malaysia. Inilah karakter Persija sejati yang terpuji di dalam kancah sepak bola Indonesia. Saya suka ini. Cara kita menghargai sepak bola negeri sendiri, Ibndonesia. Semoga saja Persija sukses. Salam dari Depok. Jasmerah.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar