Laman

Senin, 12 Februari 2018

Sejarah Kota Medan (60): Sejarah PSMS Sebenarnya; Letterzetter VC, Tapanoeli VC dan SAHATA (Abdul Hakim-Marah Halim)

*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini. (Artikel 1-56 Klik Disana)


Keliru Hari Lahir PSMS 21 April 1950; Apakah Tanggal 7 Juli 1907?

Baru saja PSMS Medan kalah lagi melawan Persija Jakarta di stadion Manahan Solo dalam semi final (leg-1 dan leg-2) Piala Presiden 2018. Dua pertandingan ini merupakan untuk kesekian kali pertemuan antara PSMS dan Persija sejak kali pertama bertemu tahun 1952 di stadion Ikada Djakarta. Dalam catatan (rekor) pertemuan antar dua tim legendaris ini sepanjang masa (life tme) jumlah kemenangan Persija jauh lebih unggul dibandingkan jumlah kemenangan PSMS. Hasil imbang (draw) antar dua tim (yang tergolong rivalitas) terbilang tinggi (bahkan terbanyak di Indonesia).

Stadion Teladan 'Abdul Hakim Harahap' Medan, 1953
Meski PSMS kalah dua kali dalam selang waktu dua hari, PSMS masih berkesempatan untuk melakukan pertandingan perebutan tempat ketiga melawan salah satu tim yang kalah pada partai semi final yang lain (antara Bali United FC vs Sriwijaya FC). Perebutan juara (Persija) dan perebutan juara ketiga (PSMS) akan dilangsungkan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada hari Sabtu, 17 Februari 2018. Kita tunggu saja.

Bukan itu yang akan dideskripsikan dalam artikel ini. Pertanyaan yang akan diajukan adalah kapan PSMS didirikan? Disebutkan bahwa PSMS berdiri tanggal 21 April 1950. Klaim ini tampaknya sangat diragukan dan tidak berdasar.Hal ini diperparah, ternyata sejarah PSMS tidak pernah ditulis. Artikel ini mendeskripsikan riwayat PSMS yang sebenarnya berdasarkan sumber-sumber primer tempo doeloe. Penulisan sejarah PSMS ini (di era milenial zaman now) dianggap penting karena PSMS sudah dianggap para gibol Indonesia sebagai klub/tim/perserikatan yang tergolong legendaris. Semua ingin tahu bagaimana sejarah PSMS bisa eksis hingga ini hari.

Para suporter PSMS Medan jangan terlalu kecewa berat dulu jika sejarah PSMS tidak pernah ditulis sejauh ini. Sebab, ternyata klub-klub legendaris yang lain (macam Persija, Persebaya, Persib, PSIS dan PSM) penulisan sejarahnya juga berantakan (tidak valid). Hal ini dapat dilihat dalam blog ini serial artikel Sejarah Medan, Sejarah Jakarta, Sejarah Bandung, Sejarah Semarang, Sejarah Surabaya, Sejarah Makassar dan Sejarah Padang. Oleh karena itu sangat diperlukan penulisan sejarah klub legendaris secara lengkap dan valid. Artikel-artikel sejarah sepak bola dalam blog ini (Persib, Persija, Persebaya, PSIS dan PSM), termasuk sejarah PSMS harus dipandang sebagai salah satu upaya penggalian data dan memperkaya analisis ke arah penulisan sejarah klub-klub (legendaris) di Indonesia yang baik dan benar. Satu hal lagi: dari semua klub legendaris hanya PSMS yang tidak memiliki website sendiri. Semua klub-klub legendaris di Indonesia sudah memiliki website resmi. Satu-satunya sumber sejarah PSMS yang praktis hanya Wikipedia. Namun, sayang seribu kali sayang, di dalam Wikipedia hanya tertulis sejarah awal PSMS cuma satu kalimat: ‘PSMS Medan didirikan pada tanggal 21 April 1950’.

Jika hari lahir PSMS bukan tanggal 21 April 1950, lantas kapan? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu upaya penelusuran sumber-sumber tempo doeloe yakni surat kabar Sumatra Post dari edisi tahun 1898 hingga 1942 dan surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra dari edisi tahun 1948 hingga 1957. Dua surat kabar ini terbit di Medan. Hasil analisis menunjukkan bahwa hari lahir PSMS bukan tanggal 21 April 1950. Apakah hari lahir PSMS tanggal 7 Juli 1907? Mari kita buktikan.

Puzzle Sejarah Awal PSMS: Tidak Ada Bukti PSMS Lahir Tanggal 21 April 1950

Dalam logo PSMS, seperti yang terlihat sekarang, terdapat angka 1950. Angka tidak terlalu jelas apakah menunjukkan PSMS lahir atau apa. Sementara itu di berbagai tulisan tidak resmi (yang bukan bersumber dari PSMS) disebutkan bahwa PSMS didirikan tanggal 21 April 1950. Apakah angka pada logo merujuk pada tulisan atau sebaliknya, tidak terlalu jelas. Tidak adanya informasi mendorong kita untuk mencari tahu.

Jauh sebelum 21 April 1950 nama PSMS (Persatuan Sepakraga Medan dan Sekitarnya) sudah eksis sebagai terjemahan VBMO (Voetbal Bond Medan en Omstreken) (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-01-1950). Nama perserikatan VBMO kali pertama muncul pada bulan Oktober 1949 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-10-1949), setelah setahun dihidupkannya kembali OSVB (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-09-1948). Oostkust Sumatra Voetbalbond (OSVB) sendiri sudah eksis sejak 1915 sebagai suksesi DVB. Deli Voetbalbond (DVB) dibentuk pada tahun 1907 yang digagas oleh Tapanoeli Voetbalclub (Tapanoeli VC) yang didukung oleh klub Voortwaarts (orang-orang Belanda)..

Pada tanggal 27 Januari 1950 diadakan rapat umum VBMO/PSMS. Salah satu keputusan penting dalam rapat tersebut adalah pembentukan pengurus baru. Pengurus lama tidak ada yang mengajukan diri. Lalu secara aklamasi memilih dan menetapkan Madja Purba sebagai Ketua Pengurus VBMO/PSMS (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-01-1950). Madja Purba adalah salah satu pimpinan delegasi Negara Sumatra Timur (NST) dalam proses integrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terpilihnya Madja Purba mengindikasikan babak baru kepengurusan perserikatan sepak bola di Medan. Madja Purba adalah pribumi pertama sebagai ketua sejak era DVB, OSVB hingga VBMO/PSMS. Untuk posisi sekretaris VBMO/PSMS diketahui adalah JJ Barends (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-02-1950).

Pada tahun 1941 GB Joshua Batubara, ketua klub Sahata melancarkan protes dalam rapat umum OSVB karena selama ini tidak pernah orang pribumi di OSVB padahal klub dan pemain orang pribumi tidak kalah kelas jika dibandingkan klub dan pemain Eropa/Belanda. Protes itu tidak direspon yang akhirnya klub Sahata, UVV dan MSV keluar dari OSVB dan kemudian membentuk perserikatan yang baru, PERSEDELI (lihat De Sumatra post, 20-11-1941). Perserikatan PERSEDELI ini merupakan semacam timbul kembalinya DVB yang baru tahun 1923 (yang didirikan oleh Radjamin Nasution). Dr. Radjamin Nasution mahasiswa STOVIA adalah kapten Tim Docter Djawa School Voetbalclub yang berkompetisi di BVB Batavia yang pada tahun 1909 Docter Djawa VC melawat ke Medan untuk bertandingan dengan Tapanoeli VC. Selama pendudukan Jepang kegiatan sepak bola di Medan tidak terinformasikan. Setelah kembalinya Belanda berkuasa, sebagaimana NIVU, pada bulan September OSVB dihidupkan kembali (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-09-1948).  Pada bulan Juli 1948, klub Sahata yang sudah lama tidak terdengar beritanya kembali muncul. Surat kabar menyebutkan klub orrang Indonesia Sahata akan bertanding dengan tim milisi (3-15 R1) yang baru dibentuk (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1948). Tim orang Indonesia (Sahata) boleh jadi dimaksudkan untuk membedakan tim Republik dengan tim milisi (Belanda). Klub pribumi lainnya adalah Medan Poetra serta klub Tionghoa, Chung Hua.OSVB lalu mengadakan kompetisi (tiga divisi plus divisi cadangan) yang mana termasuk Sahata dan Medan Poetra. Setelah OSVB menyelesaikan kompetisi satu musim dan memulai musim baru ternyata tidak bisa dijalankan karena terjadi perang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-01-1949). Banyak tentara yang harus meninggalkan klubnya. Meski demikian masih ada satu dua pertandingan yang bersifat persahabatan. Lalu kemudian dari klub yang ada dan pemain yang ada disusun kembali kompetisi dengan tiga divisi tanpa divisi cadangan dan juga tidak ada sistem promosi-degradasi. Klub banyak yang menghilang (terutama militer) tetapi ada satu klub baru muncul yakni Deli Mij. Pada fase inilah nama VBMO/PSMS muncul di surat kabar (Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-10-1949). Ini sehubungan dengan kebijakan VUVSI/ISNIS (suksesi NIVU) agar nama bond-bond yang ada di bawah naungan VUVSI/ISNIS perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. ISNIS adalah singkatan dalam bahasa Indonesia dari VUVSI.

Kompetisi OSVB (musim kedua) sesungguhnya belum sepenuhnya berakhir. Masih menyisakan beberapa pertandingan. Pada akhir kompetisi ini OSVB diganti dengan VBMO/PSMS dengan statuta yang baru (Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-11-1949). Dalam statuta yang baru (VBMO/PSMS) dilakukan promosi dan degradasi. Pada pertandingan terakhir Divisi-1 akan bertemu antara Sahata dan Deli Mij. Dalam klasemen akhir dipastikan Deli Mij berada pada posisi enam (terakhir). Akibatnya, dengan penerapan statuta baru untuk kompetisi berikut, kluh Deli Mij harus playoff dengan juara Divisi-2 (ATT). Dengan demikian dalam musim berikut akan ada LTD, Sahata, ML, Victoria, Medan Poetera dan pemenang pertandingan playoff. Selain itu menurut Pasal 65 Statuta VBMO / PSMS, kelas pertama dapat terdiri dari maksimal 10 tim. Untuk sementara kandidat untuk dimasukkan ke kelas pertama adalah 5-10 R1, 5-11 R1, Juliana dan Black and White. Jelang kompetisi musim ketiga ini, Tim PORI-Sepakbola Djakarta akan datang ke Medan untuk melakukan tiga pertaandingan dibawah koordinasi Panitia Pembangunan Djokja [ibukora RI] di lapangan Medan Poetra di Djalan Radja (Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-11-1949). Dijadwalkan tanggal 22 November Combinatie Sahata/Deli Mij  vs PORI, 23 Nov. Medan Poetera vs PORI, 26 Nov. Indonesisch Bondselftal vs PORI. Diantara klub-klub pribumi yang ikut berpartisipasi di kompetisi Mwedan (OSVB dan VBMO/PSMS) hanya klub Sahata, klub yang keluar dari OSVB yang tetap eksis dari klub-klub yang ada pada era sebelum pendudukan Jepang. Dalam hal ini dapat ditambahkan bahwa PORI Djakarta memiliki divisi sepakbola, sedangkan PORI Medan tidak ada. PORI Medan antara lain basket, dan Sahata sendiri memiliki klub basket. Akhirnya Deli Mij berhasil lolos playoff (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-11-1949). Sementara itu ada enam klub kandidat yang akan melakukan seleksi masuk Divisi-1 untuk jatah yang tersisa empat klub lagi, yakni: AAT, 5-10 R1, 5-11 R1, Black and White, Juliana dan Behos. Dalam pertandingan hari pertama Tim PORI Djakarta kalah 3-2 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1949).

Dalam perkembangannya diadakan pertandingan dibawah tajuk VBMO/PSMS di lapangan Kebon Boenga antara tim perserikatan vs tim gabungan orang Indonesia (pribumi)yang berasal dari tiga klub yakni Sahata, Deli Muj dan Medan Poetra (Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-01-1950). Kedatangan PORI-Djakarta ke Medan bukanlah lawatan tim sepakbola biasa tetapi diduga lebih dari itu karena dikoordinasikan oleh Panitia Pembangunan Djogja. Apalagi lawan-lawan tanding PORI Djakarta adalah (pemain-pemain (tim-tim) pribumi. PORI tidak hanya di Djakarta dan Medan tetapi juga di kota-kota lain, seperti Semarang, Soerabaja, dan Bandoeng. PORI kemudian berubah menjadi KONI.

Sebagaimana telah disebutkaa di atas pada tanggal 27 Januari 1950 diadakan rapat umum VBMO/PSMS. Salah satu keputusan penting dalam rapat tersebut adalah pembentukan pengurus baru. Pada awal Februari muncul nama klub Andalas yang akan melakukan pertandingan kali pertama dengan klub Juliana (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-02-1950). Disebutkan klub-klub yang bertanding antara lain Sahata vs Medan Poetra. Pada tanggal 8 Februari diadakan pertandingan Tim Militer Belanda vs Tim Indonesia, kombinasi Sahata, Deli Mij dan Medan Poetra sebagai pertandingan yang diselenggarakan oleh VBMO/PSMS untuk melepas kepulangan militer Belanda (Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-02-1950). Pertandingan-pertandingan lain yang diadakan adalah dalam rangka Kongres Rakyat di Medan mempertemukan Sahata vs Deli Mij di hari pertama, lalu klub Black and White vs Medan Poetra yang pemenangnya akan melawan Sahata. Hasil keuntungan pertandingan ini diberikan kepada Kongres Rakyat (Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-04-1950). Pemenang turnaman ini adalah Sahata (Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-04-1950). Setelah tanggal inilah kemudian tanggal 21 April 1950 diklaim sebagai hari lahir PSMS yang sekarang.

Di Batavia, PORI-Sepakbola berubah menjadi Persidja (lihat sejarah Persija dalam blog ini). Hanya di Batavia kasus ini terjadi, sementara di Soerabaja adalah SVB/PSS berubah menjadi Persibaja (bukan SIVB). Di Makassar MVB/PSM menjadi PSM yang sekarang. PSMS yang sekarang. Lantas di Medan, apakah VBMO/PSMS telah berubah menjadi PSMS yang sekarang? Jawabnya, tidak. Sebab di Medan pada tanggal 24 Mei di surat kabar VBMO/PSMS masih eksis (Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-05-1950). Diberitakan bahwa klub UMS Djakarta akan datang bertanding melawan Sahata dan Medan Poetra. Pertandingan ini di bawah tajuk penyelenggara VBMO/PSMS. Hasilnya UMS imbang lawan Sahata (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-06-1950). Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-08-1950 melaporkan akan datang tim Malaka pada awal September ke Medan untuk melawan tim Sahata, tim Deli Mij, tim Medan Poerta dan tim VBMO/PSMS.

Dalam minggu-minggu terakhir ini klub Sahata, Medan Poetra dan Deli Mij semakin sering muncul untuk melawan tim-tim dari luar. Sementara klub-klub Belanda semakin jarang terberitakan. Yang ada hanya tim VBMO/PSMS. Artinya, pemain-pemain Eropa/Belanda tidak lagi mewakili klub tetapi lebih sering mewakili bond (perserikatan) VBMO/PSMS. Tim kuat orang Belanda 3-15 R1 (militer) yang menjadi juara musim lalu sudah pulang ke Belanda. Klub orang-orang Eropa/Belanda yang tersisa hanya tinggal Juliana VC.

Pada bulan Agustus di Medan diadakan pertandingan sepak bola di Medan (dua kelas). Pada kelas pertama adalah tim Black and White (Tionghoa) Jong Arab, lalu Medan Poetra vs Juliana dan kemudian antara POP vs Moeda Sebaja dan Sahata vs Deli Mij (Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-08-1950). Pertandingan tersebut diadakan dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan RI yang dipusatkan di Djalan Radja. Sahata dan Medan Poetra sama-sama melaju ke partai final (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-08-1950). Pada peringatan Hari Proklamasi RI 17 Agustus 1950 (yang pertama di Medan) akan berpidato GB Joshua sebagai ketua Panitia, Kolonel M Simbolon Gubernur Militer dan Sarimin Reksodihardjo, Ketua Komisi Persiapan Negara Kesatuan Republik Indonesia di Sumatra Timur (Pejabat Kementerian Dalam Negeri). Pada sore hari akan diadakan final turnamen sepak bola yang mempertemukan klub Sahata vs klub Medan Poetra di stadion Kebon Boenga (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-08-1950). Sebagaimana diketahui GB Joshua Batubara adalah pimpinan klub Sahata Medan (sejak 1939). 

Dalam perayaan tersebut juga dilakukan penanaman pohon kebebasan di lapangan oleh GB Joshua yang dibantu oleh dua orang pramuka. Sementara itu parade militer RI di bawah komando Kolonel M Simbolon yang memeriksa barisan di lapangan olahraga di Djalan Merdeka (Beatrixlaan). Dalam parade militer Indonesia ini turut hadir petugas UNCL dan juga anggota milisi Belanda. Ini menandakan bahwa di Medan kepemimpinan telah berada di pihak RI (Republiken). Pihak Belanda hanya sebagai penonton.

Kegiatan sepak bola di Medan pasca Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1950) masih ada. Tanggal 20 Agustus dilakukan pertandingan antara Sahata vs Juliana (orang-orang Eropa/Belanda) di stadion Keboen Boenga. Disebutkan bahwa kontes (pertandingan) ini diselenggarakan oleh VBMO/PSMS (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1950). Juga pertandingan antara Juliana vs POP di bawah tajuk VBMO/PSMS (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-08-1950). Lantas mengapa nama bond masih VBMO/PSMS? Hal ini karena belum terjadi perubahan kepengurusan baru dan statuta VBMO/PSMS sendiri juga belum ada perubahan.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia (hasil KMB), Kementerian Dalam Negeri menunjuk Sarimin Reksodihardjo sejak 14 Agustus 1950 sebagai acting Gubernur Sumatera Utara (ketua komite) untuk mempersiapkan dan menata pemerintahan yang baru dan gubernur yang baru (Provinsi Sumatera Utara). Dalam proses penataan pemerintahan baru di Sumatera Utara ini Sarimin Reksodihardjo dibantu oleh Binanga Siregar sebagai anggota komite. Binanga Siregar sebelumnya adalah Wakil Residen Tapanoeli (Residen adalah Abdul Hakim Harahap). Untuk dewan perwakilan yang pertama dibentuk di Sumatera Utara adalah di Kabupaten Karo. Pelantikan dilakukan pada tangga 26-10-1950 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-10-1950). Lalu kemudian di Tapanoeli dan Simaloengoen. Lalu Madja Purba diangkat menjadi Bupati Simalungun (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1950). Ini mengindikasikan bahwa Madja Purba sebagai Ketua VBMO/PSMS (27 Januari 1950) Provinsi Sumatra Utara belum terbentuk. Madja Purba sebagai tokoh politik NST, yang boleh jadi sangat sibuk saat itu, peran sekretarisnya JJ Barends yang menjalankan roda kegiatan sepak bola di Medan dan sekitarnya. Namun peran JJ Barands ini menjadi sangat terbatas (separuh badan dan separu jiwa) karena masa transisi (bukan lagi Belanda tetapi sudah Indonesia). Faktor ini yang diduga kuat yang menyebabkan kegiatan sepakbola agak terhambat [Madja Purba dalam perkembangan lebih lanjut nanti dimutasi menjadi Bupati Tapanuli Utara tahun 1954 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-01-1954). Madja Purba tahun 1956 menjadi pejabat di Kantor Gubernur].

Lalu kompetisi terbaru di bawah VBMO/PSMS akan dimulai (Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-10-1950). Klub yang berpartisipasi adalah Black and White (Tionghoa), Sahata, Deli Mij, Juliana (Eropa/Belanda). Semua kompetisi ini berlangsung di Bondsterrein di Kebon Boenga. Tim Perak akan melawat ke Medan melawan tim Sahata dan Tim APRI (Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-11-1950) dan juga tim perserikatan VBMO/PSMS (Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-11-1950).

Lantas kapan PSMS didirikan? Ada sebuah buku (tidak diketahui tahun terbit yang dicuplik di dalam medan-hooligan.blogspot.co.id), disebutkan pendiri PSMS adalah enam klub yakni Medan Sport, Deli Mij, Sahata, Al Wathan, POP dan Indian Foor ball Team. Padahal kenyataannya tidak demikian. Juga disebutkan bahwa tokoh-tokoh yang mendirikan PSMS adalah Adinegoro, Madja Purba, Sulaiman Siregar, T Harris, dr Pirngadi dan Tedja Singh. Padahal mereka ini tidak semua berada di Medan. Nama-nama klub dan tokoh tersebut juga sudah dikutip oleh Wikipedia. Padahal informasi tersebut sangat-sangat tidak berdasar apalagi tidak menyebut sumbernya. Kenyataannya, nama klub Medan Sport, Al Wathan dan Indian Foot ball Team sama sekali tidak terdeteksi sebelum dan sesudah tanggal 21 April 1950. Demikian juga nama-nama Adinegoro, dr Pirngadi dan Tedja Singh setali tiga uang sama sekali tidak terdeteksi sebelum dan sesudah tanggal tersebut berada di Kota Medan. Nama Tedja Singh terdeteksi hanya sekali yakni sebagai pemilik toko Punjab Store di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-07-1954). Untuk nama-nama Madja Purba, T Harris dan Soeleiman Siregar dideskripsikan pada bagian lain dalam artikel ini.

Kegiatan sepak bola berikutnya di Medan adalah kegiatan sepakbola dalam rangka Tim Indonesia ke New Delhi India (Nieuwe courant, 27-11-1950). Seleksi ini dilakukan oleh PORI-Sumatra Utara. Tim seleksi akan di bawa ke Bandung untuk pembentukan tim Indonesia. Cabang sepak bola di bawah naungan Voetbal Bond Medan en Omstreken (PSMS). Dalam berita ini nama PSMS tidak disebutkan sebagai VBMO. Seleksi mempertemukan Tim Medan, Tim Atjeh dan Tim Tapanoeli untuk membentuk Tim Sumatra Utara. Tim ini akan ke Jawa untuk melakukan pertandingan dengan beberapa tim di Jawa dalam rangka seleksi pembentukan Tim Nasional Indonesia (PSSI).

Formasi Timnas PSSI 1951
Hasil pembentukan tim Nasional Indonesia melakukan uji kekuatan dengan mendatangkan tim sepakbola Cina Malaysia ke Djakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-02-1951). Skuad tim inti Indonesia dalam pertandingan tersebut adalah Chaeruddin [Siregar] dari Persidja. Mo Heng dari Persebaya dan Ramlan dari Medan.

De Sumatra post, 10-08-1936
Pada tanggal 25 Januari 1951 secara definitif Abdul Hakim Harahap diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara pertama pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Abdul Hakim Harahap adalah pendiri klub Sahata (1935) yang kemudian diteruskan oleh GB Joshua Batubara. Abdul Hakim Harahap sendiri, selain pendiri dan Ketua klub Sahata VC juga adalah pemain inti Sahata VC (lihat De Sumatra post, 10-08-1936).

Tim POP yang diperkuat (beberapa pemain dari Medan Poetra, Deli Mij, dan Sahata) akan melawat ke Singapoera (Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-05-1951). Tim POP akan dipimpin oleh Ketua POP (polisi), Komisaris RM Lubis. Tim Jawa Tengah akan datang ke Medan untuk melakukan serangkaian pertandingan melawan Bondsteam (Sumatra Timur), Medan Putera, Sahata, POP, dan Medan Bondsteam (VBMO-PSMS Medan) (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-07-1951). RM Lubis adalah uwak dari Taufik Lubis dan Ansyari Lubis. Persibaja akan datang ke Medan melawan Sahata, POP dan Medan Junior (Nieuwe courant, 10-09-1951).

Setahun setelah menjabat gubernur, Abdul Hakim Harahap meminta para klub di Medan untuk menyelenggarakan kompetisi. Disebutkan bahwa fakta klub sepakbola PSMS, telah mengalami stagnasi selama sekitar dua tahun hingga sekarang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-01-1952). Dua tahun yang dimaksud boleh jadi merujuk pada tanggal  27 Januari 1950 saat mana terjadi pembentukan pengurus yang diketuai oleh Madja Purba. Lalu dengan terbentuknya pengurus baru pada Gubernur Abdul Hakim Harahap, selusin klub sepak bola Medan telah menyelenggarakan serangkaian kompetisi yang pertama. Tim-tim yang berkompetisi antara lain: Kantor Gubernur, Juliana, POP, Deli Mij, Sahata, Indian FT dan Aer Beresih. Klub Kantor Gubernur adalah klub pegawai Kantor Gubernur dan klub Aer Beresih adalah klub karyawan perusahaan air minum (PAM).

Jika disebut sepakbola PSMS Medan telah mengalami stagnasi selama dua tahun belakangan itu berarti sejak kepengurusan VBMO/PSMS dipegang oleh Madja Purba (sejak 27 Januari 1950). Madja Purba adalah pribumi pertama yang memimpin perserikatan sepakbola Medan. Dengan kata lain, Madja Purba adalah berada di masa transisi Belanda ke RI. Jika disebut bahwa PSMS yang sekarang didirikan pada tanggal 21 April 1950 tidak dapat dibuktikan. Hal ini karena sepak bola Medan selama masa transisi tersebut tetap berada di bawah naungan VBMO/PSMS. Masalahnya adalah kompetisi tidak sepenuhnya berjalan normal sebagaimana di era sebelum kepemimpinan Madja Purba. Kesibukan Madja Purba sebagai pejabat telah menyebabkan kepemimpinan VBMO/PSMS tidak efektif. Madja Purba adalah Bupati Simalungun (lihat kembali Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1950).

Gubernur Abdul Hakim Harahap juga meminta para anggota bond PSMS untuk melakukan pertemuan untuk pemilihan umum (reorganisasi). Lalu pertemuan diadakan pada tanggal 24 Februari 1952 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-02-1952). Hasil pertemuan tersebut terbentuknya pengurus baru PSMS: Amir Hamzah (Ketua) dan para anggota Mochtar [Siregar], Kamaruddin [Panggabean], [RM] Lubis, Firdaus [Siregar], de Raadt, Jans, Korver en Tjong Jong Liong [catatan: Korver adalah pemain Juliana (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1950); Firdaus adalah pemain Deli Mij (Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-07-1952); Mochtar adalah seorang wasit (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1950). Nama-nama tersebut semua terkat dengan sepak bola. Korver adalah pemain Juliana (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1950); Firdaus Siregar adalah pemain Deli Mij (Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-07-1952); Mochtar Siregar adalah pemain Deli Mij (De Sumatra post, 05-12-1941) dan kini menjadi seorang wasit (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1950).

De Sumatra post, 12-02-1940
Amir Hamzah dalam hal ini bukan Amir Hamzah seorang sastrawan dan juga bukan Amir Hamzah Siregar seorang politikus radikal di era kolonial Belanda. Amir Hamzah yang dimaksud adalah seorang yang memulai karir polisi dari bawah (mantri polisi) di Medan. Amir Hamzah dan Joesoef Pontas Siregar, dua anak Padang Sidempoean diangkat menjadi mantri polisi di Medan (lihat De Sumatra post, 30-10-1936). Jauh sebelumnya lagi, sudah ada beberapa anak Padang Sidempoean yang diangkat mantri polisi di Medan, seperti Djamin gelar Baginda Soripada dan Raja Pandapotan. Pada tahun 1914 Djamin dipromosikan menjadi djaksa (lihat Bataviaaschnieuwsblad, 12-05-1914). Djamin Baginda Soripada adalah ayah dari Amir Sjarifoeddin dan Radja Pandapotan adalah ayah dari Mochtar Lubis. Jika mundur ke belakang lagi Kepala Kampung (Komponghoofd) yang pertama di Medan (Kesawan) pada tahun 1900 adalah Sjech Ibrahim (kelahiran Afedeling Mandailing dan Angkola). Jika mundur lagi ke belakang, Djaksa pribumi pertama di Medan tahun 1885 adalah Soetan Goenoeng Toea (kakek Amir Sjarifoeddin).

Sebagai seorang anggota polisi Kota Medan, Amir Hamzah yang gibol juga pemain inti klub polisi (De Sumatra post, 12-02-1940). Amir Hamzah di klub adalah seorang penyerang yang bahu membahu dengan gelandang Damora Harahap. Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Amir Hamzah menjadi kepala kepolisian Medan dengan pangkat komisaris (Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-01-1950). Komisaris Amir Hamzah juga adalah Ketua Persatuan Pegawai Polisi Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-04-1951). Provinsi Sumatra Utara terdiri dari Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur. Namun wilayah kepolisian dibagi empat, selain di tiga wilayah tersebut ditambah wilayah khusus Medan dan sekitarnya. Kepala Polisi Sumatra Utara adalah Hoofdcommissaris Darwin Karim. Kepala Polisi Medan dan sekitarnya adalah Komisaris Polisi Amir Hamzah. Wakil Kepala Polisi Sumatra Utara adalah Komisaris Polisi M. Nurdin Nasution dan kepala polisi wilayah lainnya adalah Komisaris Mustafa Pane (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1951). Mohammad Nurdin adalah pegawai di kantor Komisaris Kepala Polisi (Hoofdcommissaris) di Medan (De Sumatra post, 09-04-1936). M. Nurdin [Nasution] Kepala Polisi Tapanoeli pada bulan Mei 1946 termasuk salah satu dari 43 orang yang ditangkap Belanda (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 23-05-1946). M. Nurdin menjadi Bupati Tapanuli Selatan selama tiga periode 1956-1961, 1961-1969 dan 1970-1974. Kolonel (Brimob) M. Nurdin. Mantan Wakil Kepala Kepolisian Sumatra Utara kelak dikenal sebagai ayah dari Letjen TNI Azmyn Yusri Nasution, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad) 2011-2012.

Amir Hamzah, kepala kepolisian Medan dan Belawan dinaikkan pangkatnya menjadi Adj. Komisaris Kepala (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-02-1953). Lalu kemudian Komisaris Kepala Mustafa Pane menjabat Kepala Kepolisian Priangan dan Bandoeng, Komisaris Kepala Amir Hamzah menjabat Kepala Kepolisian Malang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-06-1953). Sementara untuk pertahanan di Sumatra Utara hanya dibagi tiga wilayah saja. Wilayah Sumatra Timur termasuk Medan dan sekitarnya. Di wilayah pertahanan ini (Resimen Infantri-2 di bawah komando Mayor Djamin Ginting) terdapat seorang perwira elit tempur berpangkat Kapten Marah Halim Harahap yang baru pulang beserta anak buahnya bertempur di wilayah Indragiri (selama perang kemerdekaan). Atas prestasinya selama menjadi Ketua Bidang Keamanan selama PON III di Medan (yang dibuka Presiden Soekarno), Kapten Marah Halim Harahap naik pangkat menjadi Mayor (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra edisi 23-09-1954). Bersamaan dengan Marah Halim Harahap dan lainnya, juga terjadi kenaikan pangkat Mayor Djamin Ginting dan Mayor Ibrahim Adji menjadi Luitenant Colonel. Dari Djakarta, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution datang ke Medan untuk peresmian kenaikan pangkat di Sumatra Utara yang juga dihadiri Komandan KO TT-I/BB (empat resimen: Tapanoeli, Atjeh, Sumatra Timur dan Sumatra Barat/Riaou) Kolonel Maludin Simbolon.

Dalam kepengurusan yang baru ini masih terdapat orang-orang Eropa/Belanda sebagaimana dalam kepengurusan Madja Purba. Tidak ada bukti bahwa PSMS didirikan oleh enam klub. Juga tidak ada bukti tokoh-tokoh yang mendirikan PSMS adalah Adinegoro, Madja Purba, Soeleiman Siregar, T Harris, Dr Pirngadi dan Tedja Singh. Ketua VBMO/PSMS adalah Madja Purba dan kemudian Ketua PSMS berikutnya adalah Amir Hamzah. Nama-nama Adinegoro dan Dr. Pirngadi pada tahun 1950 (21 April 1950) sudah tidak berada di Medan dan sudah sejak lama di Djakarta. Lantas apakah dalam penulisan sejarah PSMS yang diterbitkan dalam buku tersebut di atas secara sengaja memasukkan informasi palsu? Entalah! Padahal Adinegoro dan Dr. Pirngadi adalah dua tokoh Medan yang baik dan jujur.

De Sumatra post, 20-11-1941
Adinegoro alias Djamaloeddin baru tiba di tanah air dari studi jurnalistik di Eropa (De Indische courant, 13-09-1929). Oleh karena kesibukan Parada Harahap, pemimpin dan editor surat kabar Bintang Timoer mempekerjakan Adinegoro sebagai editor. Parada Harahap saat itu juga adalah ketua kadin pribumi Batavia yang merangkap sekretaris PPPKI (ketua M. Husni Thamrin). Namun tidak lama kemudian, tahun 1930 anggota gementeeraads di Medan yang juga pemimpin surat kabar Pewarta Deli, Abdullah Loebis membutuhkan editor karena editornya Hasanoel Arifin dan Mangaradja Ihoetan keluar (mendirikan surat kabar Sinar Deli) lalu datang ke Batavia bertemu Parada Harahap. Lalu Adinegoro bersedia dipindahkan ke Medan (Pewarta Deli). Parada Harahap sudah kenal Abdullah Loebis sejak lama di Medan. Abdullah Loebis adalah salah satu pendiri surat kabar Benih Mardeka (1914) lalu kemudian bergabung dengan Pewarta Deli (1916). Pada tahun 1918 Parada Harahap membongkar kasus Poenali Sanctie dan mengirim tulisannya ke Benih Merdeka. Parada Harahap yang sempat bergabung dengan Benih Merdeka, namun karena bangkrut Parada Harahap bergabung Pewarta Deli. Pada tahun 1919 Parada Harahap pulang kampung dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Setelah sukses, Parada Harahp hijrah ke Batavia dan mendirikan surat kabar Bintang Hindia bersama Dr. Abdul Rivai (1923). Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama Alpena dengan editor WR Supratman. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Timoer. Sejak Adinegoro di Pewarta Deli namanya makin populer dan terpilih menjadi anggota dewan kota. Adinegoro di dewan kota bersama Abdul Hakim Harahap berjuang. Lalu kemudian Adinegoro hijrah ke kampung halaman di Padang dan pada pendudukan Jepang hijrah ke Batavia dan bergabung kembali dengan Parada Harahap untuk mengelola media milter Jepang. Pada era perang kemerdekaan, Adinegoro di Djakarta sebagai pemimpin media dan pada tahun 1949 bersama rekan-rekannya seperti Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar mendirikan organisasi wartawan Indonesia (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-08-1949). Adinegoro secara teknis tidak pernah terlibat dalam dunia sepakbola. Sementara Dr, Pirngadi memiliki kisah sendiri. Di STOVIA Pirngadi berteman dekat dengan Djabangoen Harahap dan Tengkoe Mansoer. Setelah lulus, Dr. Pirngadi ditempatkan di Padang Sidempoean (kampung halaman Dr. Djabangoen Harahap). Dr. Pirngadi dipindahkan ke Medan. Pada tahun 1929 Dr. Pirngadi menjadi anggota dewan kota bersama Abdoellah Lubis. Sementara Djabangoen Harahap setelah lulus ditempatkan di Malang lalu pada tahun 1929 dipindahkan ke Banten (kampung halaman Dr. Pirngadi). Kemudian Dr. Djabangoen dipindahkan ke Padang Sidempoean sebelum ditempatkan di Karo (Kabandjahe). Pada tahun 1931 Djabangoen Harahap di Medan dan bertemu dengan Dr. Pirngadi di rumah sakit kota Medan (sekarang RS Pirngadi). Dr. Pirngadi selain aktif di organisasi sosial (bersama Dr. Gindo Siregar) juga aktif di sepak bola. Dr. Pirngadi adalah Ketua Pengurus MSV (De Sumatra post, 04-03-1940). Ketika GB Joshua protes ke OSVB dan kemudian Sahata keluar dari OSVB yang lain mengikuti dan kemudian klub-klub pribumi mebentuk bond sendiri yakni PERSEDELI (Pcrsatoean Sepakbola Indoncsia Deli). Ketua bond pribumi yang diangkat adalah Dr. Pirngadi (De Sumatra post, 15-07-1941). Pada saat perang kemerdekaan Dr. Djabangoen Harahap berseberangan dengan Dr. T Mansoer (padahal mereka dulu di STOVIA satu kelas), Dr. Pirngadi ikut berjuang di bagian republik (Algemeen Indisch dagblad, 30-01-1947). Dalam perkembangannya, Dr, Djabangoen Harahap tetap republik dan kemudian menjadi Ketua Front Nasional, sementara Dr. T Mansoer menjadi NST (Wali Negara). Setelah berakhirnya perang, nama Dr. Pirngadi tidak terdeteksi lagi di Medan. Namanya baru muncul di Djakarta (Nieuwe courant, 28-10-1949). Dr. Pirngadi sebagai pejabat di Kementerian Kesehatan (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 29-11-1950).

Reorganisasi perserikatan sepak bola (reorganisatie voetbalbond) menjadi kata kunci di surat kabar untuk menanggapi hasil pertemuan para insan sepak bola Medan yang diadakan pada tanggal 24 Februari 1952. Ini mengindikasikan bahwa fungsi VBMO/PSMS sebelumnya tidak berjalan baik. Desakan reorganisasi ini besar kemungkinan karena di dalam Kejuaraan Antar Kota yang diselenggarakan PSSI tahun 1951 tidak ada tim (dari) Medan. Sementara itu, setelah penyelenggaraan PON II di Djakarta tahun 1951, Gubernur Abdul Hakim Harahap telah mencalonkan Medan sebagai kota penyelenggara PON III tahun 1954. Pada PON II (1951) sendiri Sumatra Utara tidak mengirimkan tim sepak bola.

De Sumatra post, 31-10-1935
Gubernur Abdul Hakim Harahap tentu saja paham betul Sumatra Utara khususnya di Medan terdapat potensi pemain sepak bola unggul. Abdul Hakim Harahap adalah mantan pemain Bataksch Voetbal Vereeniging (BVV) bond yang berkompetisi di VBO Batavia (1927). Ketika menjadi anggota dewan (gemeenteraad) Kota Medan, Abdul Hakim Harahap mendirikan klub Sahata pada tahun 1935 (lihat De Sumatra post, 31-10-1935). Abdul Hakim Harahap sebagai pendiri klub Sahata, Abdul Hakim Harahap juga adalah gelandang klub Sahata bersama Dr. Djabangoen Harahap pada posisi bek (lihat De Sumatra post, 10-08-1936). Pada saat itu Abdul Hakim Harahap yang berumur 30 tahun adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan yang vokal. Sementara Dr. Djabangoen Harahap adalah Kepala Divisi Penyakit Menular di rumah sakit kota Medan (kini RS Pirngadi). Pada saat Abdul Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara (sejak 1951) klub Sahata masih eksis. Dengan kata lain warisan Abdul Hakim Harahap, klub Sahata masih terpelihara baik, sementara tidak satu pun klub-klub yang ada sebelum pendudukan Jepang yang masih bertahan di sepak bola Medan. Soal potensi ini, Medan tidak kekurangan pemain sepak bola berbakat. Pada tahun 1950 ketika diadakan Kejuaraan Antar Kota di Semarang (bersamaan dengan Kongres PSSI) Persidja meminjam dua pemain dari Medan yakni Agus Ramlan dan Abidin. Kejuaraan di Semarang ini juga menjadi ajang seleksi pembentukan Timnas PSSI ke India. Dalam formasi inti Tim PSSI yang terbentuk termasuk Ramlan. Satu pemain dari Persidja dalam susunan Timnas ini adalah Chaeruddin Siregar (pemain yang selama ini berkiprah di klub Maesa Batavia). Ramlan kembali ke Medan tetapi Abidin meneruskan karir sepak bola di Djakarta (bersama Chaeruddin Siregar).

Salah satu wujud dari kegiatan pengurus baru PSMS (setelah reorganisasi) adalah mampu mengirimkan tim pada Kejuaraan Antar Perserikatan (Kota) tahun 1952. Namun hasilnya sangat buruk. PSMS kalah 4-0 melawan Persidja dan dalam klassemen akhir hanya berada pada posisi kelima (juara Persibaja). Mungkin tidak terlalu masalah karena kejuaraan tahun 1952 ini selain partisipasi pertama PSMS yang lebih penting menjadi ajang uji coba pemain-pemain PSMS dalam rangka mengikuti PON III Medan. Tim sepak bola Sumatra sebagian besar dihuni oleh pemain-pemain PSMS. Ketua Panitia PON Medan adalah GB Joshua Batubara (mantan ketua klub Sahata), Ketua Bidang Sepakbola adalah Kamaroeddin Panggabean (mantan pemain klub Sahata) dan Ketua Bidang Keamanan adalah Kapten Marah Halim Harahap dan Penanggungjawab adalah Gubernur Abdul Hakim Harahap (pendiri klub Sahata). Akhirya dalam PON III Medan 1953, tim sepakbola Sumatra Utara berhasil mengalahkan tim Djakarta Raya di partai final (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-09-1953).. Bukti potensi sepak bola Sumatra Utara khususnya Medan (PSMS) mulai terlihat.

PSMS kembali menyusun rencana. Peringkat PSMS dalam partai 7 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1952 yang hanya berada di posisi lima dianggap tidak masuk akal, karena terbukti ternyata bisa menjadi juara sepak bola PON. Untuk menatap kejuaraan berikutnya (1954) PSMS mulai berbenah diri. Salah satu agenda awal PSMS melakukan pergantian pengurus baru pada tanggal 23 Februari 1954 yang mana pengurus baru terdiri dari Drs. S. Soerjobroto (ketua); H. Thalib (Wakil Ketua I); Dr. Arifin (Wakil Ketua II); Sariani (Sekretaris-I); BTS Hasibuan (Sekretaris II); Tan Bo Lan (Bendahara I); Agoes Salim (Bendahara II); Ketua Bidang Kompetisi-1: AHC Jans; Ketua Bidang Kompetisi-I1: O Gultom; dan komite-komite (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-02-1954).

Setelah berakhirnya PON III di Medan dilakukan pergantian pengurus baru PSMS pada tanggal 23 Februari 1954. Ketua terpilih adalah Drs. S. Soerjobroto. Dengan demikian, sejauh ini, kepengurusan PSMS yang dipimpin oleh non Belanda sudah ada tiga orang: Madja Purba (27 Januari 1950); Amir Hamzah (24 Februari 1952); dan Soehardjo Soerjobroto (23 Februari 1954). Namun yang menjadi persoalan, kapan sesungguhnya PSMS didirikan? Apakah tanggal 21 April 1950?

Situasi dan kondisi pada tahun 1950 pada dasarnya adalah masa transisi (pasca pengakuan kedaulatan RI). Di Sumatra Timur, khususnya di Medan situasi belum nyaman dan aman. Warga Medan masih terkotak-kotak: Eropa/Belanda, Negara Sumatra Timur (NST) dan Republiken (pro NKRI). Tahun 1950 untuk kali pertama perayaan Hari Kemerdekaan (setelah integrasi NST ke NKRI tanggal 15 Agustus 1950) diadakan pada tanggal 17 Agustus 1950 di lapangan Esplanade (sejak itu disebut Lapangan Merdeka). Ketua Panitia Hari Proklamasi adalah GB Joshua Batubara (Pemilik Joshua Instituut yang didirikan tahun 1932, masih eksis hingga ini hari). GB Joshua Batubara di era perang (sebelum pengakuan kedaulatan RI) adalah Wakil Ketua Front Nasional Sumatra Timur (Ketuanya Dr. Djabangoen Harahap). Wali Negara Sumatra Timur adalah Dr. Mansoer (Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Mansoer adalah satu kelas di STOVIA, tetapi dalam soal Sumatra Timur kedua sahabat ini beda haluan politik: Djabangoen Harahap pro RI (NKRI); Mansoer pro federal (Belanda). Saat itu di Tapanoeli, Ketua Front Nasional adalah Ahmad Nawi Harahap (sementara Residen Tapanoeli saat itu adalah Abdul Hakim Harahap yang kini menjadi Gubernur Sumatra Utara ( yang terdiri dari tiga Keresidenan: Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur).

Saat Madja Purba dipilih sebagai ketua pengurusa PSMS, situasi sangat kritis. Di Sumatra Timur (termasuk Medan) warga melihat masih memiliki pemerintahan ganda: NST dan NKRI. Bahkan beberapa hari setelah Madja Purba setelah rapat umum VBMO/PSMS tersebut masih terjadi demonstrasi besar-besaran di Medan untuk mendesak NST hanya memiliki satu pemerintahan, yaitu negara Republik Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-02-1950). Pada saat itu yang menjadi Wali Kota Medan adalah Djaidin Purba (sejak 1 Januari 1947), sementara pemerintahan NKRI belum terbentuk, orang-orang Belanda masih terdapat dimana-mana termasuk di sepakbola (baik sebagai pemain maupun klub). Orang-orang Republik (NKRI) di satu pihak dan orang-orang NST (federal-Belanda) saling berhadapan. Pemimpin-pemimpin Republik Indonesia di Medan antara lain Dr. Djabangoen Harahap, Sugondo, GB Josua Batubara, Mr. Ani Manoppo Abbas (Siregar) dan Madong Lubis. Sementara pemimpin-pemimpin NST berada di belakang Wali NST Dr. T Mansoer. Sedangkan tokoh-tokoh tengah diantara kedua belah pihak antara lain Mr. Mahadi dan Dr. Ildrem Siregar [catatan: Ani Manoppo Abbas adalah istri dari Mr, Abdul Abbas Siregar yang saat itu menjadi Presidium di Padang Sidempoean (pasca kepemimipinan Abdul Hakim Harahap dan Binanga Siregar (Residen/Wakil Residen Tapanoeli); Dr. Ildrem Siregar yang beristri orang Belanda adalah faksi tengah (indiferens antara Republik dan Federal).

Melihat situasi dan kondisi ini dapat dipahami mengapa Madja Purba yang mendapat mandat untuk mengurus sepak bola PSMS menjadi tidak berjalan baik. Oleh karenanya kompetisi yang sempat berjalan sebelumnya menjadi tidak beraturan dan hanya ada pertandingan-pertandingan yang sifatnya insidentil. Lantas mengapa tanggal 21 April 1950? Pada tanggal 5 Mei 1950 sudah ada persetujuan pembentukan NKRI, namun belum sepenuhnya masyarakat NST menerima karena tidak bersedia dengan RI (dan lebih memilih RIS). Selama dalam proses transisi pemerintahan ini PSMS juga serba gamang. Namun akhirnya tercapai kesepakatan tanggal 15 Agustus 1950 dengan terbentuknya NKRI (lalu NST bubar). Dalam permulaan NKRI ini, Madja Purba (ketua VBMO/PSMS) diangkat sebagai Bupati Simalungun. Akibatnya VBMO/PSMS semakin tidak jelas.

Setelah masa transisi berlalu sehubungan dengan penetapan Gubernur Sumatra Utara secara definitif yang dijabat oleh Abdul Hakim Harahap, maka dilakukan pemilihan umum (anggota) PSMS untuk memilih pengurus. Ketua Pengurus yang terpilih Amir Hamzah (24 Februari 1952). Amir Hamzah adalah mantan pemain klub pribumi UKVC Belawan dan klub polisi VOP (yang berkompetisi di OSVB). Dalam kepengurusan Amir Hamzah ini juga turut Kamaroeddin Panggabean dan Mochtar Siregar yang juga mantan pemain UKVC (lihat De Sumatra post, 15-05-1933). Setelah UKVC Kamaroeddin Panggabean bergabung dengan klub Sahata pimpinan GB Joshua Batubara (1939).

Kamaroeddin Panggabean dan GB Joshua adalah Republiken. Sementara Madja Purba adalah Federalis (NST). Pada saat terpilih Madja Purba sebagai ketua pengurus VBMO/PSMS (27 Januari 1950)  sesungguhnya klub-klub militer dan klub swasta Eropa/Belanda masih eksis dan tergabung dalam VBMO/PSMS. Setelah terwujudnya NKRI (15 Agustus 1950) banyak yang telah berubah dan begitu cepat. Pada Kongres PSSI di Semarang pada bulan September 1950, bahwa PSSI adalah PSSI yang baru, bukan PSSI 1930 yang lama. Mengapa? Dalam Kongres PSSI di Semarang tidak ada wakil perserikatan VBMO/PSMS Medan. Mengapa? Hal ini karena di Medan VBMO/PSMS secara defacto masih dipimpin oleh (plt) JJ Barenda. Dan tentu saja VBMO/PSMS di bawah kepemimpinan JJ Barends sangat tidak mungkin berafiliasi dengan PSSI. Memang ada klub-klub pribumsi (Deli Mij, Sahata dan Medan Poetra), tetapi tiga klub ini secara dejure masih berada di bawah naungan VBMO/PSMS. Lagi pula tidak ada berita bahwa ketiga klub ini telah membentuk PSMS yang baru. Satu-satunya yang menjadi penghubung dengan PSSI yang baru adalah peran dari PORI Sumatra Utara yang menyelenggarakan kegiatan sepakbola dalam rangka Tim Indonesia ke New Delhi India (Nieuwe courant, 27-11-1950). Seleksi ini dilakukan oleh PORI-Sumatra Utara. Tim seleksi akan di bawa ke Bandung untuk pembentukan tim Indonesia. Tim pembentuk Tim Indonesia asal Sumatra Utara tidak lain hampir semuanya dari tim-tim Medan yang notabene dari klub-klub pribumi (yang masih di bawah naungan VBMO/PSMS). Kegiatan PORI Sumatra Utara inilah yang menjalin tali penghubungan sepak bola Medan dengan PSSI (Djakarta). Hubungan Medan dan Djakarta semakin menguat dengan diangkatnya Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap (sejak 25 Januari 1951) dan telah bekerjanya Residen Sumatra Timur Moeda Siregar (De Telegraaf, 31-07-1951) dan diangkatnya Wali Kota Medan yang baru AM Djalaloedin (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-07-1952). AM Djalaloedin Ritonga, mantan Bupati Tapanuli Tengah menggantikan Djaidin Purba (yang menjadi wali kota sejak 1947 pada era Belanda). Pada tahun 1954 Moeda Siregar tukar tempat dengan AM Djalaloeddin. Moeda Siregar menjadi Wali Kota Medan dan AM Djalaloeddin menjadi Residen Sumatra Timur.

Gubernur Abdul Hakim Harahap (1953)
Perubahan yang terjadi di kepengurusan VBMO/PSMS terkesan sama dan sebangun dengan perubahan yang terjadi di pemerintahan. Sebagaimana di daerah lain, tokoh-tokoh Republik secara perlahan mengisi pos pemerintah penting di Medan yang dimulai dari posisi Gubernur (kemudian Residen Sumatra Timur dan Wali Kota Medan). Hal itu juga telah terjadi di kepengurusan VBMO/PSMS yang sudah mulai diisi oleh sejumlah Republik (yang belum pernah terjadi selama ini). Di tubuh VBMO PSMS paling tidak terdapat Ketua dan Sekretaris yakni Amir Hamzah dan Kamaroeddin Panggabean. Di era Belanda, Amir Hamzah adalah pemain klub VOP (Polisi) dan Kamaroeddin Panggabean adalah pemain klub Sahata. Komisasri Amir Hamzah pada era Belanda adalah seorang mantri polisi (De Sumatra post, 28-02-1941) dan pada pasca pengakuan kedaulatan RI menjadi chef van de eerste 'politie-afdeling te Medan (Kepala Kepolisian Medan dan Belawan) dengan pangkat Komisaris Polisi (Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-01-1950).

Seiring dengan semakin besarnya kontribusi para tokoh-tokoh Sahata, di jajaran kepengurusan VBMO/PSMS juga tampak partisipasi orang-orang Eropa/Belanda semakin berkurang. Pada kepengurusan Amir Hamzah (24 Februari 1952) terdapat empat orang Eropa/Belanda dan pada kepengurusan S. Soerjobroto (23 Februari 1954) hanya tinggal satu orang Belanda saja. Pada kepengurusan Amir Hamzah PSMS kali pertama ikut berpartisipasi dalam Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1952. Satu hal, sejak Amir Hamzah menjadi ketua PSMS, nama PSMS semakin jarang ditulis oleh media dengan nama VBMO/PSMS tetapi selalu ditulis dengan PSMS saja. Soehardjo Soerjobroto adalah seorang komisaris polisi yang juga adalah seorang Republiken (Het nieuwsblad voor Sumatram, 01-07-1953).

Peran para tokoh Republik ini semakin terlihat di bidang sepak bola ketika penyelanggaraan PON III di Medan tahun 1953 yang mana sebagai Penanggung Jawab PON III adalah Gubernur, Ketua Panitia GB Joshua Batubara dan Ketua Bidang Sepakbola adalah Kamaroeddin Panggabean (plus Ketua Bidang Keamanan Kapten Marah Halim Harahap). Tiga tokoh yang pertama (Abdul Hakim Harahap, GB Joshua Batubara dan Kamaroeddin Panggabean) adalah orang-orang dari klub Sahata (gibol republiken). Singkat kata: kolaborasi para republiken (pengurus PSMS dan pimpinan pemerintahan telah menunjukkan hasil yang mana tim sepakbola Sumatra Utara menjadi juara PON III Medan. Lalu setelah sukses menyelenggarakan PON III di Medan, kepengurusan baru dibentuk lagi dengan Ketua terpilih S. Soerjobroto 23 Februari 1954.

Salah satu sukses kepengurusan S. Soerjobroto ini adalah untuk kali kedua PSMS mengikuti Kejuaraan Antar Perserikatan di Jawa. Tim PSMS yang notabene adalah mayoritas pemain Tim sepak bola Sumatra Utara dalam PON III di Medan (1953) berangkat ke Jawa dengan percaya diri di bawah Manajer Tim Muslim Harahap. Namun di pertandingan terakhir yang menentukan juara Kejuaraan Antar Perserikatan di Djakarta tim PSMS dicurangi oleh wasit sehingga tim PSMS keluar lapangan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26 Desember 1954. PSSI akhirnya memutuskan PSMS dianggap kalah dan hanya duduk di posisi runner-up.

Setelah tim sepak bola Sumatra Utara menjuarai PON III di Medan yang notabene hampir seluruhnya adalah pemain PSMS, maka target PSMS dalam partai 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan 1954 adalah juara. Namun tidak lama setelah PON III di Medan usai terjadi peristiwa yang tiba-tiba. Muncul pemberontakan di Atjeh.

Yang pertama ke Atjeh adalah Zainul Arifin Pohan, Wakil Ketua Parlemen yang membidangi pertahanan. Pada tahun 1951 Zainul Arifin Pohan dan Abdul Haris Nasution pernah singgah di Kota Radja di atas kapal perang RI dalam rangka keliling Indonesia termasuk singgah di Medan dan Sibolga. Lantas mengapa bukan Abdul Haris Nasution yang ke Atjeh, karena Abdul Haris Nasution sejak 1952 telah dipecat Soekarno karena Abdul Haris Nasution mendukung demonstrasi yang dipimpin oleh Mochtar Lubis. Dalam situasi kosong inilah, ketika pimpinan TNI berada di tangan Soekarno terjadi pemberontakan. Menteri Pertahanan Iwa tidak berani ke Atjeh dan hanya sampai di Medan. Akibat dari pemberontakan itu, Gubernur Abdul Hakim Harahap harus digantikan oleh SM Amin Nasution. Alasannya karena SM Amin Nasution bisa berbahasa Atjeh dan lebih memahami budaya Atjeh. Sedangkan Abdul Hakim Harahap kelahiran Djambi hanya memahami budaya Batak di Tapanoeli. Seetelah menjabat gubernur Sumatra Utara (Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur), SM Amin Nasution mulai melakukan road show ke seluru Atjeh. Lantas siapa yang menemani SM Amin Nasution ke Atjeh. Hanya didampingi oleh Komisaris M. Nurdin Nasution (Wakil Kepala Kepolisian Sumatra Utara). Gubernur SMS Amin Nasution dan M. Nurdin Nasution selama 10 hari melakukan dialog dengan para pemimpin Atjeh di semua wilayah (timur, barat dan selatan), Atjeh menjadi mulai menuju ke situasi normal.

Sebelumnya setelah pulang dari Aceh sebagai hakim TNI Kapten Marah Halim Harahap kembali ke Medan dan kemudian ikut berpartisipasi dalam kegiatan PON III di Medan. Konon, kemampuan berbicara (mangkobar) yang hebat dari Marah Halim menjadi salah satu alasan mengapa Marah Halim yang dipilih menjadi hakim militer di Aceh. Marah Halim pada tahun 1952 juga ditugaskan untuk menjadi hakim militer di wilayah Aceh di Kutaradja (kini Banda Aceh).

Akibat dari berbagai pemberontakan dan banyaknya permasalahan negara kabinet Ali Sastroamidjojo harus mundur dan digantikan oleh Burhanuddin Harahap. Kabinet ini menghadapi banyak tantangan diantaranya penyelenggaraan pemilu 1955, tuan rumah Konferensi Asia Afrika di Bandung dan soal gejala pembentontakan yang muncul di tempat lain (selain Atjeh). Setelah pemberontakan Atjeh dapat diamankan dan situasi yang dihadapi semakin tidak menentu, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap merasakan perlunya seorang Panglima secara fungsional. Abdul Hakim Harahap, mantan Gubernur Marah Halim yang menjadi Menteri Negara Bidang Pertahanan diminta Burhanuddin Harahap untuk menengahi permasalahan TNI. Lalu Abdul Hakim Harahap mengumpulkan seluruh kolonel di Indonesia di Djakarta termasuk Kolonel M. Simbolon yang sudah dikenalnya di Medan (selama menjabat Gubernur). Abdul Hakim Harahap meminta para semua kolonel (yang jumlahnya 15 orang) untuk memilih pimpinan sendiri untuk dijadikan KASAD/ Panglima TNI. Dalam pertemuan itu muncul dua kubu yang dipimpin oleh dua matahari: Kolonel Abdul Hakim Nasution dan Kolonel Zulkifli Lubis. Abdul Hakim Harahap dalam posisi begitu menjadi nyaman karena dua pemimpin yang muncul ternyata ‘dongan sahuta’ dan hanya tinggal memilih salah satu diantaranya. Saat itu, Abdul Haris Nasution adalah dalam posisi sedang dipecat Soekarno, sedangkan Zulkifli Lubis cukup dekat dengan Soekarno, karena Zulkifli Lubis saat demonstrasi tahun 1952 sedang berada di istana Merdeka (bersama Soekarno dan Zainul Arifin Pohan). Anda bisa menduga siapa yang dipilih/terpilih? Ternyata bukan Zulkifli Lubis tetapi Abdul Haris Nasution. Mengapa? Teka-teki itu belum terjawab hingga sekarang. Namun anehnya, nama yang disordorkan oleh Burhanuddin Harahap kepada Presiden Soekarno ternyata diterima. Mengapa? Teka-teki itu belum terjawab hingga sekarang. Jadilah Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima TNI hingga seumur hidup Soekarno selama menjadi Presiden RI. Burhanuddin Harahap (kelahiran Medan) sebagaimana pendahulunya. Perdana Menteri RI kedua Amir Sjarifoeddin Harahap juga anak Medan. SM Amin Nasution dan Zulkifli Lubis sama-sama kelahiran Atjeh. Abdul Hakim Harahap kelahiran Saroelangoen, Djambi. Sementara Abdul Haris Nasution, M. Nurdin Nasution dan Marah Halim Harahap sama-sama lahir di Zuid Tapanoeli. Sedangkan Zainul Arifin Pohan kelahiran Barus, ibu yang berasal dari Kotanopan (sekampung dengan Abdul Haris Nasution).  

PSMS datang dengan kapala tegak sebagai juara (prakualifikasi) Sumatra. Lima tim lainnya adalah Persidja mewakili juara wilayah Jawa bagian Barat (menyingkirkan Persib Bandoeng). Sedangkan Persibaja mendapat bye karena juara bertahan. Wakil juara Jawa Bagian Timur adalah Persema Malang. Dari Jawa Bagian Tengah datang juara Persis Solo. Dari Sulawesi datang juara PSM Makassar. Dalam partai 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan pada akhir tahun 1954 ini, Abdul Hakim Harahap, mantan Gubernur Sumatera Utara, perintis kemajuan PSMS sudah berada di Djakarta. Tidak diketahui apakah Abdul Hakim Harahap masih sempat melihat PSMS berlaga di Stadion IKADA. Namun yang jelas biasanya seorang ‘gibol’ akan mengikuti air mengalir sampai jauh.

Java-bode, 18-12-1954
PSMS datang ketika kompetisi sudah dimulai. PSMS langsung ke Semarang untuk bertemu Persema. Pada tanggal 16 Desember PSMS mengalahkan Persema  dengan skor 2-1. Lalu kemudian PSMS berangkat ke Soerakarta untuk melakukan dua pertandingan (melawan PSM dan Persis). Dalam pertandingan sebelumnya di Surabaya Persidja menang dua kali melawan Persis Solo (13-0) dan Persema (2-1). Untuk sementara ketika PSMS tiba di Soerakarta Persidja berada di peringkat pertama (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-12-1954). Di Soerakarta, PSMS berhasil mengalahkan Persis Solo (3-1) dan besoknya mengalahkan PSM dengan skor 2-1. PSMS di Soerakarta dalam posisi unggyul dengan Persidja. PSMS untuk sementara berada di peringkat atas: main 3 kali, menang 3 kali dan poin 6.

Dalam posisi unggul di Soerakarta, PSMS bersama PSM dan Persis berangkat ke putaran terakhir di stadion IKADA Djakarta. Persija, Persema dan Persibaja sudah menunggu. Stadion IKADA menjadi idaman setiap pemain Persema. Persibaja, PSM dan Persis Solo. Tetapi tidak dengan PSMS Medan yang memiliki stadion yang lebih mewah jika dibandingkan dengan stadion IKADA markas Persidja. Dengan kata lain, PSMS bermain di stadion IKADA tidak gamang karena sudah kerap bermain di stadion Teladan yang berkapasitas 30 ribu penonton.

Di stadion IKADA, pertandingan pertama adalah Persija vs PSM tanggal 22 Desember dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persija. Posisi sementara Persija dan PSMS dengan poin 6 tetapi Persija unggul selisis gol. Hari esoknya Persis dan Persema bermain imbang 2-2. Baru tanggal 24 PSMS melakukan pertandingan melawan Persibaja. PSMS berhasil mengalahkan Persibaja dengan skor 4-3. PSMS kembali unggul atas Persidja. Terjadi lagi balapan, pada esoknya (25 Desember 1954) Persidja mengalahkan Persibaja dengan skor 3-1. Kedudukan dalam klassemen sementara kembali dalam posisi semula. Persija dan PSMS dengan poin sama yakni delapan, tetapi Persidja unggul dalam selisih gol. Tinggal satu sisa pertandingan yakni antara Persidja vs PSMS yang akan diadakan esok harinya (26 Desember 1954).

Secara keseluruhan dalam pertandingan sebelumnya Persidja berhasil mengalahkan semua lawan-lawannya: Persis (13-0), Persema (2-1), PSM (3-2) dan Persibaja (3-1). Demikian juga PSMS berhasil mengalahkan semua lawan-lawannya: Persema (2-1), Persis (3-1), PSM (2-1) dan Persibaja (4-3). Klassemen sementara: Persidja pada peringkat pertama: main 4, menang 4, poin 8 dan selisih gol 21-4; sementara PSMS pada peringkat kedua: main 4, menang 4, poin 8 dan selisih gol 11-6. Sementara tim-tim lainnya sudah menyelesaikan pertandingannya yang kelima. 

Jelang pertemuan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 yang diadakan pada tanggal 26 Desember 1954 posisi Persija berada di atas angin meski memiliki poin sama dengan PSMS tetapi unggul dalam selisih gol. Tampaknya PSMS tidak ingin melewatkan pertandingan terakhir ini meski sudah tidak terkejar oleh Persibaja yang berada di posisi ketiga dengan poin 4 (main 5 kali). Mungkin PSMS merasa yakin dapat mengalahkan Persidja tetapi tampaknya ambisi PSMS lebih pada menjaga harga diri: boleh kalah dari tim lain, asal jangan dengan tim Djakarta.

Harga diri menjadi taruhan dan harus menang. Tentu saja semboyan suporter PSMS ribak sude pada masa ini belum ada kala itu. Boleh jadi Muslim Harahap, Manajer Tim PSMS masih ingat bagaimana marahnya Guberbur Abdul Hakim Harahap ketika kejuaraan sebelumnya yang mana PSMS pulang dengan loyo yang hanya duduk di peringkat kelima klassemn akhir dan dikalahkan Persija pula dengan skor 4-0. Kini, PSMS kembali menghadapi Persija di pertandingan terakhir yang sama-sama berhasil mengalahkan semua lawannya. Ribak sude (kalahkan semua) menjadi tujuan utama PSMS dan karena itu target terakhir PSMS harus mampu mengalahkan Persija.

Memori pada PON III yang baru lalu tim Djakarta Raya (Persidja) dapat dikalahkan tim Sumatra Utara (PSMS) menjadi pembangkit motivasi tim PSMS untuk yakin mengalahkan Persija Djakarta (di kandang sendiri).

Muslim Harahap, Manajer Tim PSMS yang boleh jadi sehari sebelum pertandingan Persija vs PSMS menemui Abdul Hakim Harahap, mantan Gubernur Sumatra Utara yang sudah bertugas di Kementerian Dalam Negeri untuk bersilaturrahim. Bagaimana jalan menuju ke rumah Abdul Hakim Harahap, tentu tidak sulit bagi Muslim Harahap. Sebab Muslim Harahap pernah bersekolah di Batavia (kini Djakarta).

Dua tahun setelah Abdul Hakim Harahap, anggota gemeenteraad (dewan kota) Medan, mendirikan klub sepakbola Sahata VC, tiga remaja lulusan HBS Medan berangkat studi ke Batavia tahun 1938. Ketiga remaja yang berasal dari Padang Sidempoean itu bernama Djames Harahap, Ismail Harahap dan Muslim Harahap. Di Batavia Ismail Harahap masuk sekolah Apoteker, sedangkan Djames Harahap dan Muslim Harahap sama-sama masuk di sekolah ekonomi. Setelah lulus, Ismail ditempatkan di Soerabaya. Sementara Djames Harahap ditempatkan di Sibolga dan Muslim Harahap ditempatkan di Medan sebagai pegawai bank. Pada era pendudukan Jepang dan era perang kemerdekaan Ismail Harahap tetap berada di Soerabaja, dan Djames Harahap di Sibolga dan Muslim Harahap di Medan. Hanya Djames Harahap yang pindah kota pada pasca pengakuan kedaulatan RI (1950) dari Sibolga ke Medan. Tiga remaja yang dulu berangkat sama-sama ke Batavia, kelak dikenal: Muslim Harahap, Kepala Bank Nasional Indonesia Medan yang kini Manajer PSMS lalu kemudian menjadi Ketua Umum Pengurus PSMS Medan (di era Gubernur Sumatra Utara Radja Djoendjoengan Lubis, 1960); Djames Harahap, Kepala Bank BNI Medan, ayah dari Rinto Harahap, basis The Mercy’s dan Erwin Harahap, gitaris The Mercy’s; Ismail Harahap, seorang apoteker terkenal di Surabaya dan membuka Apotik Kali Asin, ayah dari Andalas Datu Oloan Harahap alias Ucok AKA Harahap, pionir musik rock Indonesia.

Pertandingan yang ditunggu-tunggu akhirnya dilaksanakan pada hari Minggu 26 Desember 1954 di Stadion Ikada Djakarta tidak lama lagi. Sore ini Persija vs PSMS untuk kali kedua bertemu dalam kancah sepak bola perserikatan. Namun apa yang terjadi? Pertandingan terakhir dalam babak 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 antara Persidja vs PSMS berakhir dengan aroma tidak sedap. Pertandingan yang awalnya memang keras, menurut Manajer Tim PSMS, Muslim Harahap permainan Persidja telah menjurus kasar. Muslim Harahap meminta perhatian panitia, karena dua pemain andalannya Jusuf Siregar dan Abdul Kadir (yang masih berusia 16 tahun) ‘ditebas’ ketika membawa bola menuju gawang Persidja tanpa diberikan sanksi atas pelanggaran tersebut.

Java-bode, 03-01-1955
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-01-1955: ‘PSMS tidak mengakui kekalahan dalam pertempuran terakhir. Setelah pertandingan melawan Djakarta untuk kejuaraan Indonesia, dimana tim Medan meninggalkan lapangan, PSMS (Medan) mengadakan konferensi pers. Manajer tim PSMS, Muslim Harahap, yang mempertanyakan keberpihakan wasit Van Yperen, berpendapat bahwa ia memimpin pertandingan dengan bias tertentu. Secara berturut-turut, pemain andalan Medan Jusuf Siregar ‘diambil’, yang kemudian Ypres memberi penalti buat Medan, namun tiba-tiba berubah dan hanya memberikan hukuman tembakan tidak langsung setelah Djamiat, pemain depan tim Djakarta memprotes. Lalu kemudian, dan sekali lagi Jusuf Siregar diambil oleh Tamaela ketika posisi ancaman ke arah gawang, tetapi tidak diberi ganjaran malah Tamaela diizinkan tetap untuk bermain. Kemudian, pemain sayap termuda dan populer Medan A. Kadir (16 tahun) diserang oleh Tamaela, dimana Muslim Harahap adalah manajer tim meminta wasit dan panitia kompetisi agar wasit diganti. Permintaan ini sayangnya ditolak. PSMS lalu memutuskan untuk menghentikan permainan, dan PSMS masih tidak ingin mengakui kekalahan melawan Djakarta. Muslim Harahap menjelaskan bahwa tidak ada perselisihan antara Persidja dan PSMS, tambahnya. Ini hanya soal wasit yang memihak. Dalam hal tingkat permainan PSMS bahwa kemenangan tim Medans terhadap tim asing bukanlah kebetulan, namun merupakan konsekuensi dari kualitas sepakbola Medan yang tinggi’  

PSMS Medan tidak melanjutkan pertandingan dan keluar dari lapangan. Manajer PSMS Muslim Harahap menyesalkan kejadian yang terjadi. PSMS Medan adalah juara PON III September 1953 di Medan dan mengalahkan Persidja (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-09-1953). Namun dalam pertandingan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954, kemenangan PSMS telah dirampas wasit dan diberikan kepada Persidja tanpa alasan yang jelas. Muslim Harahap mengungkapkan tidak ada masalah dengan Persidja, kami hanya bermasalah dengan wasit dan panitia.

PSMS pulang kembali ke Medan, meski tidak menjadi juara tetapi masih bisa berjalan dengan tegak. PSMS tidak kalah melawan Persija di pertandingan terakhir, tetapi keunggulan pemain PSMS telah digerogoti oleh wasit dan kemenangan diberikan kepada Persidja.

Sepulang PSMS dari Kejuaraan Antar Perserikatan di Jawa 1954 terjadi perubahan pengurus PSMS. Hal ini karena kesibukan S. Soerjobroto harus dilakukan lagi pergantian pengurus baru PSMS (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-02-1955). Ketua terpilih adalah I. Gastina dan Wakil Ketua adalah Letnan Siagian (anak buah Kapten Marah Halim Harahap). Sementara untuk sekretaris dan bendahara tetap dijabat oleh Sariani dan Tan Ho Lan. Satu ketua bidang informasi ditambah yakni dengan mengangkat Muslim Harahap (yang sebelumnya adalah Manajer Tim PSMS). Muslim Harahap adalah Kepala Bank Nasional Indonesia Medan.  Meski demikian, S. Soerjobroto sendiri tetap terlibat dalam kepengurusan PSMS sebagai Ketua Bidang Teknik. S. Soerjobroto juga masih menjabat sebagai ketua klub POP (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-04-1955). I Gastina juga adalah korps kepolisian di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-03-1955).

Di Djakarta VBO dan juga di Surabaja nama perserikatan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (untuk merespon situasi politik terbaru). Di Djakarta ada beberapa asosiasi, selain VBO. PORI-Sepakbola Djakarta kemudian membentuk asosiasi sendiri yang disebut Persidja pimpinan Maladi sehubungan dengan Kongres PSSI di Semarang (2-4 September 1950). Sepulang dari Semarang, sehubungan dengan terpilihnya Maladi sebagai Ketua Pengurus PSSI (yang baru), Persidja melakukan rapat umum 25 September 1950) untuk memilih pengurus baru (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 26-09-1950). Dua keputusan penting rapat ini adalah mengubah secara resmi PORI-Sepakbola Djakarta menjadi Persidja dan memilih pengurus baru. Ketua terpilih adalah Jusuf Jahja dan bendahara adalah BC Harahap. DI Soerabaja, SVB diterjemahkan PSS (Persatoen Sepakbola Surabaja). Oleh karena hanya ada satu asosiasi di bawah VUVSI/ISNIS (suksesi NIVU) maka SVB/PSS merangkul asosiasi Tionghoa dan asosiasi SKVB (perserikatan sepak bola perkantoran/perusahaan). SKVB diketuai oleh Irsan Radjamin (anak Wali Kota Surabaja Radjamin Nasution). Salah satu pendiri SKVB (1927) adalah Radjamin Nasution (pendiri DVB baru di Medan tahun 1923); oleh karena DVB 1907 tidak aktif lagi dan yang eksis OSVB (1915) maka Radjamin Nasution yang bertugas saat itu di Medan mendirikan asosiasi sepak bola pribumi dengan nama DVB yang baru (1923) yang kelak kemudian di Medan terbentuknya VBMO/PSMS (1948), Lalu kemudian jelang Kongres PSSI di Semarag, SVB/PSS diubah namanya menjadi Persibaja dan lalu selanjutnya Persibaja berafiliasi dengan PSSI yang baru. Di kota-kota lainnya (Bandoeng, Semarang dan Makassar) kisahnya berbeda-beda.

Dengan demikian yang berafiliasi dengan PSSI yang baru adalah PSMS yang sudah bertransformasi dari VBMO/PSMS; Persidja, eks PORI-Sepakbola Djakarta (bukan VBO dan bukan juga VIJ); Persibaja, kelanjutan SVB/PSS yang mana SKVB sudah diintegrasikan (bukan SIVB). Oleh karenanya PSMS yang sekarang adalah PSMS yang mengalami transformasi dari  VBMO; Persidja (kemudian Persija) yang sekarang adalah Persidja 1950 yang baru (eks PORI-Sepakbola Djakarta); dan Persibaja (kemudian Persebaya) yang sekarang adalah kelanjutan SVB 1909 atau SKVB 1927.

Pada masa ini, PSMS merujuk tahun kelahirannya tahun 1950. Sementara, Persija bukan merujuk pada tahun 1950 tetapi pada tahun 1928 (kelahiran VIJ). Sedangkan Persebaya merujuk pada tahun 1927 (bukan tahun 1909 SVB dan juga bukan tahun 1927 SKVB), melainkan tahun 1927 SIVB. Sebagai tambahan: PSM mengklaim kelahirannya tahun 1915 (merujuk kelahiran MVB). Singkat kata: PSMS, Persija, Persebaya dan PSM cara merujuk kelahirannya (origin) berbeda-beda. Pada masa ini, seakan-akan  PSMS yang termuda (1950) dan yang tertua PSM (1915). Padahal kenyataannya, PSMS memiliki pola yang sama dengan PSM dan Persebaya, Dalam hal ini, secara perlahan nama VBMO/PSMS menjadi hanya PSMS saja. Tidak ada indikasi PSMS adalah perserikatan yang baru, melain PSMS adalah kelanjutan dari VBMO/PSMS. Reduksi nama VBMO/PSMS ini tampak pada era kepengurusan Amir Hamzah dan Kamaroeddin Panggabean (sejak 1952). Jika begitu adanya, maka VBMO/PSMS ke belakang tidak lain adalah OSVB itu sendiri. OSVB yang didirikan tahun 1915 masih memiliki garis lurus ke belakang yakni DVB yang didirikan tahun 1907. Dengan demikian, PSMS seharusnya merujuk tahun kelahirannya pada tahun 1907 (tahun lahir DVB di Medan). Ini dengan sendirinya PSMS haruslah dipandang sebagai perserikatan tertua di Indonesia (bukan PSM).

Namun tentu saja ada pemikiran lain dari pengurus PSMS sendiri menganggap tahun kelahirannnya adalah tahun 1950. Informasi tahun kelahiran PSMS terungkap pada tahun 1955 ketika pengurus PSMS akan merayakan lustrum (lima tahun) PSMS (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1955). Disebutkan bahwa pada bulan Juli tahun ini PSMS akan merayakan lima tahun kelahirannya, dan ada rencana untuk merayakan lustrum pertama kali. Sebuah komite lustrum sudah terbentuk di bawah kepemimpinan I Gastina, Ketua PSMS. Namun demikian, tidak disebutkan apakah Lustrum jatuh pada tanggal 21 April atau tanggal yang lain?.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1955
Lantas mengapa disebutkan PSMS lahir tanggal 21 April 1950 padahal lustrum PSMS justru dimulai pada tanggal 12 Agustus 1950. Tampaknya tanggal 12 Agustus 1950 lebih masuk akal hari lahir PSMS jika dibandingkan dengan tanggal 21 April 1950. Hal ini karena NKRI terbentuk di Medan tanggal 15 Agustus 1950 seiring dengan dibubarkannya Negara Sumatra Timur pada hari-hari sebelumnya. Pada tanggal 17 Agustus 1950 lalu diadakan perayaan Hari Proklamsi Kemerdekaan RI yang pertama di Medan. Ketua perayaan adalah GB Joshua Batubara (pimpinan klub Sahata). Jika tanggal 12 Agustus 1950 disebutkan hari lahir (lustrum), besar kemungkinan dikaitkan dengan dimulainya penyelenggaraan turnamen sepakbola dalam rangka perayaan Hari Proklamasi (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-08-1950). Sahata dan Medan Poetra sama-sama melaju ke partai final (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-08-1950). Pada sore hari tanggal 17 Agustus diadakan final turnamen sepak bola yang mempertemukan klub Sahata vs klub Medan Poetra di stadion Kebon Boenga (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-08-1950). Turnamen ini benar-benar diselenggarakan untuk menyambut Hari Proklamasi RI. Ini boleh jadi menandai para anggota VBMO/PSMS sejak tanggal 12 Agustus 1950 PSMS yang baru telah lahir (untuk menggantikan VBMO/PSMS yang lama). Lantas apakah tanggal ini yang dijadikan patokan sebagai lustrum (lima tahun) PSMS.

Last but not least: Seperti apa kostum PSMS? Kostum PSMS adalah warna hijau-putih. Kostum ini sama dengan kostum klub Sahata (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-08-1955). Lantas mengapa kostum PSMS yang sekarang sama dengan konstum klub Sahata? Hal ini boleh jadi untuk menghormati (sengaja atau tidak sengaja) klub Sahata yang secara tekni pada tanggal 12 Agustus 1950 adalah satu-satunya klub tua di Medan yang sudah eksis sejak eran kolonial Belanda (sebelum pendudukan Jepang). Klub Sahata didirikan tahun 1936 oleh Abdul Hakim Harahap.

Si Oranye VIOS (Batavia) vs Si Biru Sidolig (Bandoeng), 1927
Soal kostum ini juga terjadi di kota lain. Klub Vios di Batavia/Djakarta menggunakan kostum oranye-hitam. Kostum ini pada masa ini adalah kostum utama Persija Jakarta. Di Kota Bandoeng, klub Sidolig adalah biru-putih, Kostum biru-putih (blauw-witten) ini juga menjadi kostum utama klub Persib yang sekarang. Klub-klub Sahata, Vios dan Sidolig adalah klub-klub yang telah memiliki umur dan masih eksis hingga tahun 1950an. Tidak hanya itu, kostum klub utama Prosit di Makassar juga berkostum merah marun; hal ini juga dengan klub utama Quick di Soerabaja yang berwarna hijau. Klub-klub dengan kostum kebesaran yang berada di kota-kota sepakbola tersebut adalah klub-klub legendaris yang menjadi pujaan warga kota masing-masing. Oleh karenanya, klub Sahata Medan adalah embrio klub PSMS yang sekarang. Bukankah kostum kebesaran PSMS yang sekarang berwana hijau-putih?  Idem dito, bukankah klub Persib sekarang kostum biru-putih yang merupakan kostum klub Sidolig dan Persija yang sekarang dengan kostum oranye-hitam dari klub Vios?.

Dengan demikian, secara politis (dejure) PSMS lahir tanggal 12 Agustus 1950. Akan tetapi secara alamiah (defacto) PSMS sudah lahir sebagai VBMO/PSMS (Oktober 1949) yang merupakan suksesi dari OSVB-Medan yang didirikan 1 Desember 1915. Jika mundur ke belakang, bahwa sebelum didirikan OSVB pada tahun 1907 sudah ada didirikan bond (perserikatan) di Medan yang diberi nama Deli Voetbalbond (DVB). Lantas kapan seharusnya hari lahir PSMS? Itu yang menjadi soal. Hal ini karena tidak ada pedoman yang baku. Karenanya klub-klub besar legendaris (PSMS, Persidja, Persebaya, PSIS, Persib dan PSM) yang sekarang kenyataannya justru memiliki rujukan yang berbeda-beda. 

Letterzetter VC dan Tapanoeli VC pada Era Deli Voetbalbond (DVB)

Pada akhir tahun 1893 (tahun baru 1894) dilaporkan ada pertandingan sepakbola antara klub Deli dengan tim dari Penang (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-01-1894). Klub Deli ini diduga kuat adalah bagian dari Gymnastiek-club di Mwedan. Introduksi sepak bola di Medan kemudian sudah menyebar ke semua lapairan sebagaimana terindikasi dalam berita De Sumatra post, 24-05-1899: ‘Kemarin sore yang berada di lapangan Esplanade (kini Lapangan Merdeka) di Medan terlihat tontonan yang menggembirakan. Sejumlah orang Eropa berada di pertandingan sepak bola tersebut dengan warga Tionghoa dan kaum pribumi. Hidup persaudaraan!!’

Pada bulan Mei 1888 di Medan dilaporkan bahwa telah didirikan suatu perhimpunan senam (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-05-1888). Perhimpunan senam ini merupakan bagian dari salah satu organisasi social. Perhimpunan Deli Wedren memiliki perhimpunan senam yang diberi nama Gymnastiek-club (lihat Algemeen Handelsblad, 23-03-1890). Dalam perkembangannya, klub senam Medan ini tidak hanya menghimpun peminat-peminat senam, tetapi juga tennis, kriket dan sepakbola serta balap sepeda.

Orang-orang Eropa yang memiliki minat sepakbola yang tergabung dalam klub sepakbola Deli Wedren-club pada akhirnya meresmikan klub mereka dengan nama Sportclub Sumatra's Oostkust yang disingkat dengan Sportclub pada tanggal 1 Juni 1899. Klub Medan ini sebagai klub sepakbola terbilang telat diproklamirkan meski sesungguhnya sepakbola justru di Medan pertamakali dilaporkan adanya di Nederlansch Indie (baca: Indonesia). Sedangkan klub sepakbola (secara formal) yang pertama didirikan adalah klub Bataviasche Voetbal Club (BVC) di Batavia.

De Sumatra Post edisi 03-01-1900 melaporkan telah berlangsung pertandingan sepakbola antara Sportclub dengan tamunya kesebelasan Langkat. Uniknya tim Langkat ini merupakan tim yang didominasi oleh orang-orang Inggris. Dengan kata lain pertandingan ini bagaikan tim Belanda versus tim Inggris, Pertandingan antara Inggris (Langkat) dengan Belanda (Medan) ternyata kemudian dapat disebut sebagai awal penataan sepakbola di Medan.

Klub Medan Sportclub adalah klub pertama di Medan (1899). Pertumbuhan sepakbola di Nederlansch Indie tampak lambat tetapi setidaknya tetap berada di arah yang benar. Sepakbola adalah suatu permainan yang baru. Kini sepakbola telah menguat di Medan. Klub kedua yang lahir adalah Langkat Sportclub (Sumatra Post 20-12-1901). Lalu kemudian dilaporkan dua klub pribumi telah dibentuk secara formal dan diresmikan. Dua klub pribumi tersebut adalah Toengkoe Voetbal Club disingkat TVC. Klub ini berdomisili di Bindjei dan memulai kiprahnya bersama-sama denga klub Letterzetter (LZ Club) di Medan pada tahun ini (1903). Besar kemungkinan TVC dan LZC adalah dua klub pertama pribumi yang didirikan di Nederlansch Indie (baca: Indonesia).

De Sumatra post, 10-10-1904 melaporkan: ‘kemarin sore diadakan pertandingan antara klub Medan, Letterzetters Club (LZ Club) dengan klub Bindjei, Toengkoe. Pertandingan ini dilangsungkan di lapangan Langkat Sportclub. Medanners terlalu kuat buat Bindjeyers. Baru sepuluh menit, Toengkoe sudah kebobolan dua gol. Pada babak pertama skor 5-0 untuk Medan. Wasit yang memimpin pertandingan, dengan sangat perasaan terpaksa menghentikan pertandingan sebelum waktunya usai. Kedudukan terakhir dengan skor 11-0. Toengkoe teamwork lemah dan masih banyak yang harus dibenahi’.

Klub Letterzetter yang disingkat LZ Club adalah klub yang dihuni oleh anak-anak dari pebisnis Tapanoeli yang berbasis di Medan. Klub LZ dibawah naungan percetakan di Medan yang dimiliki oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Jauh sebelumnya, Dja Endar Moeda adalah pengusaha yang sukses di Kota Padang di bidang pendidikan dan media. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat berikut percetakannya. Tidak lama setelah mengakuisisi percetakan, Dja Endar Moeda menerbitkan dua media lainnya yakni surat kabar berbahasa Melayu Tapian Na Oeli dan majalah bulanan Insulindo di Padang. Beberapa waktu kemudian, Dja Endar Moeda memperluas bisnisnya ke Medan dengan membuka percetakan.

Di Bindjei muncul klub Taman Safakat (lihat De Sumatra post, 02-06-1905). Di Medan juga muncul klub baru dari orang-orang Tionghoa yang diberi nama Voetbalclub ‘Tiong Hoa’ (lihat De Sumatra post, 23-10-1905).

Klub-klub sepak bola di Medan dan sekitarnya semakin banyak. Tampak bahwa sepakbola Medan dan sekitarnya semakin berwarna-warni: Belanda, Inggris, Melayu, Batak dan Tionghoa. Meski demikian, pertandingan hanya dilakukan secara insidentil dan bersifat pertandingan persahabatan. Namun dalam perkembangannya muncul sebuah turnamen yang diikuti oleh tiga klub yakni Medan Sportclub, Langkat Sport club dan Toengkoe Voetbalclub (De Sumatra post, 02-12-1905). Di luar itu bermunculan tim-tim yang lain (bukan klub) seperti Tim Handel dan Tim Planter (De Sumatra post, 26-01-1906). Juga muncul tim komuntas yang lain, seperti sekolah dan bahkan tim militer. Dua tim yang muncul dan pertumbuhannya pesat adalah Voortwaarts (Belanda) dan Tapanoeli VC (Batak).

Pada tahun 1906 didirikan klub Voortwaarts di Medan (Soerabaijasch handelsblad, 08-08-1906). Masih pada tahun 1906 didirikan klub orang-orang Batak yang disebut Tapanoeli Voetbalclub yang melakukan tanding dengan Voortwaarts (De Sumatra post edisi 09-07-1906). Klub ini merupakan klub yang dibentuk di bawah naungan organisasi sosial Tapanoeli Sepakat. Organisasi sosial orang-orang Mandailing dan Angkola ini didirikan oleh Dja Endar Moeda (sebagai Ketua) dan Sjech Ibrahim (wakil ketua). Sjeh Ibrahim adalah Kepala Kampung Kesawan, kepala kampung pertama di (kota) Medan.

Akhirnya klub Voortwaarts dan Tapanoeli VC mempelopori dibentuknya bond (perserikatan) dan diadakannnya kompetisi (reguler). Pada persiapan kompetisi yang disebut Deli Voetbal Bond sejumlah klub baru muncul. Klub baru tersebut adalah Chinese Sport Club, Maimoen Sporting Club, Sarikat Voetbal Club, Java Voetbal Club, Djawi Beranakan Voetbal Club.  Kompetisi dibagi ke dalam dua divisi: Divisi satu terdiri dari tiga klub, yakni: Voorwaarts, Chinese Sport Club dan Maimoen Sporting Club. Divisi dua terdiri dari  tujuh klub, yakni: Medan Tapanoeli Club, Sarikat Voetbal Club, Java Voetbal Club, Djawi Beranakan Voetbal Club, Chinese Sport Club II, Voorwaarts II dan Maimoen Sporting Club II.

De Sumatra post, 08-07-1907
De Sumatra post, 08-07-1907: ‘Semalam di ruang serbaguna Hotel De Boer telah diadakan pertemuan para pengelola olahraga dan memutuskan untuk mendirikan sebuah liga sepak bola (voetbal competitive), dibagi menjadi dua kelas, untuk klub-klub yang ada Sumatra’s Oostkust. Pertandingan akan berlangsung di Esplanade sebagai tempat yang ditentukan. Aturan berikut diatur sebagai berikut: Setiap pertandingan, pemenang mendapat dua poin dan imbang satu poin. Klub yang berpartisipasi tetapi tidak mengikuti aturan wasit dan tidak bersedia bertanding diberi sanki kehilangan permainan (kalah) dengan 6-0. Klub yang tidak datang tepat waktu, juga kehilangan permainan (kalah) 5-0. Wasit memiliki hak, jika pemain bermain kasar, dikeluarkan dari permainan serta pemain yang bersangkutan dilarang berpartisipasi selama kompetisi. Untuk dua divisi kompetisi disediakan masing-masing piala. Jadwal pertandingan kompetisi sebagai berikut (lihat gambar). Hasil-hasil pertandingan akan dipublikasikan di koran secara teratur’.

Kompetisi Deli Voetbalbond (DVB) 1907 dan 1908
Kompetisi di Medan berbeda dengan kompetisi di kota lain seperti Batavia, Bandoeng, Semarang dan Soerabaja (di Makassar belum terdeteksi kegiatan sepak bola). Di kota-kota lain hampir semua klub yang berkompetisi adalah klub-klub orang-orang Eropa/Belanda. Di Medan, sebaliknya, kompetisi hanya diikuti satu klub yang berbangsa Belanda, yakni Voorwaarts. Klub-klub lainnya berbasis non Belanda, yakni: Batak (Medan Tapanoeli Club), Melayu (Maimoen Sporting Club), Djawa (Java Voetbal Club dan Djawi Beranakan Voetbal Club), Tionghoa (Chinese Sport Club), dan campuran pribumi (Sarikat Voetbal Club).

Klub-klub sepak bola di Medan semakin banyak. Demikian juga di kota-kota lainnya terutama di Bindjei dan Pematang Siantar. Sementara klub-klub lama ada yang hilang tidak jelas eksistensinya lagi.  

Setelah DVB menyelesaikan kompetisi dua musim (1907 dan 1908), sebelum penyelenggaraan musim ketiga muncul kisruh. Persoalannya lebih pada aturan teknis kompetisi, teknis permainan dan yang terkait dengannya. Oleh karena itu kompetisi untuk sementara ditunda. Meski demikian, kegiatan sepak bola tetap berlangsung seperti pertandingan-pertandingan persahabatan dan turnamen-turnamen.

Kompetisi di Batavia, 25-01-1907
Pada tahun 1909 Tapanoeli VC kedatangan tamu dari Batavia. Tim STOVIA VC (sebelumnya bernama Docter Djawa VC) saat jeda kompetisi Batavia (sejak 1905) melawat ke Medan untuk melakukan pertandingan dengan Tapanoeli VC. Kapten Tim STOVIA VC adalah Radjamin Nasution (mahasiswa STOVIA sekelas dengan Soetomo).

Kompetisi tidak pernah kunjung diselenggarakan. Namun setelah lama tidur, kompetisi baru mulai diaktifkan. Kompetisi yang dulu bernama Deli Voetbal Bond hilang tak berkesan. Seiring dengan perkembangan perkebunan yang cepat bermunculan kompetisi-kompetisi di masing-masing kota atau wilayah. Kompetisi yang baru ini tidak berbasis kota lagi tetapi berbasis wilayah se Sumatra Timur (Oostkust Sumaatra). Meski demikian, klub-klub yang ada di suatu kota (dan sekitarnya) dijadikan basis untuk merangkai kejuaraan di dalam perserikatan yang baru. Nama bond baru untuk menyongsong kompetisi regional ini disebut Oostkust Sumatra Voetbal Bond (OSVB).

Mengapa muncul ide perserikatan wilayah (yang lebih luas lagi). Fakta, bahwa perserikatan yang lebih kecil (DVB) sudah lama tidak aktif, karena kerap terjadi kisruh dalam beberapa pertandingan karena tidak ada pedoman baku yang memuaskan setiap klub (NIVU tentu saja belum lahir). Alasan lainnya adalah, Kejuaraan Antar Kota di Jawa (sejak 1914) telah memicu semangat insan bola di Sumatra Timur khususnya Kota Medan untuk menggiatkan kembali kompetisi reguler. Lantas mengapa konsepnya wilayah yang lebih luas, dan lebih luas dari DVB? Ini tampaknya sehubungan dengan diresmikannya status Sumara Timur pada tahun 1915 dari status Residentie menjadi sebagai suatu province yang dipimpin oleh Gubernur. Province Oostkust Sumatra akan menjadi satu-satunya provinsi di (pulau) Sumatra setelah sebelumnya provinsi Sumatra’s Westkust dilikuidasi pada tahun 1905 (sehubungan dengan dikeluarkannya Residentie Tapanoeli dari Province Sumatra’s Westkust). Uniknya, meski di (pulau) Jawa terdapat tiga wilayah province tetapi kenyataannya tidak ada fungsi gubernur (Resident langsung bertanggungjawab ke Gubernur Jenderal). Gubernur yang masih ada (setelah fungsi Gubenur di Sumatra's Westkust ditiadakan) adalah Gubernur Groote Indie (baca: Indonesia Timur) yang berkedudukan di Makassar. Uniknya lagi, perserikatan pertama lahir di Surabaja adalah perserikatan yang lebih luas (seluas provinsi) yakni Oost Java Voetbalbond (OJVB) yang dibentuk 1905. Namun dalam perkembangannya muncul perserikatan yang lebih kecil di Surabaya yakni Soerabajahsch Voetbalbond (masih setingkat residentie) pada tahun 1909. Kelak perserikatan di Surabaja ini mereduksi lagi hanya setingkat kota (gemeente) sebagaimana nanti OSVB menjadi VBMO/PSMS.

Lantas mengapa perserikatan dalam arti sebenarnya (sebagaimana DVB) tidak muncul di kota-kota lain di Residentie Oostkust Sumatra seperti di Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Bindjei dan lainnya? Hal ini diduga karena faktor jumlah klub. Di Medan sejak awal sudah cukup banyak klub (yang memicu munculnya DVB pada tahun 1907), Sementara di kota-kota lain hanya terdapat beberapa klub yang akan sulit (tidak layak) untuk memutar sebuah kompetisi (reguler) kecuali hanya cocok untuk melakukan pertandingan-pertandingan insidentil. Alasan ini juga menjadi faktor penting dalam pembentukan perserikatan OSVB di Residentie/Province Oostkust Sumatra (Pantai Timur Sumatra). Idem dito dengan kota-kota di Residentie Tapanoeli khususnya di Sibolga dan Padang Sidempoean. Bahkan jumlah klub di Sibolga lebih banyak dari Kota Padang Sidempoean. Meski demikian, para pemain asal Padang Sidempoean sudah bertebaran (migrasi) dimana-mana, tidak hanya di Medan dan Pematang Siantar tetapi juga di Kota Padang, Kota Batavia dan Kota Soerabaja.

Klub-klub yang berkompetisi di DVB (Inlandsche Competitie) adalah Letterzetter VC, Tapanoeli VC, Locomotief, Royal VC, Melatie, Pesisir, Amalioen, Daroel’Afiat. Klub Letterzetter (Zetter VC) yang didirikan tahun 1903 dibubarkan pada tahun 1914 setelah tahun sebelumnya menjadi juara DVB (De Sumatra post, 05-03-1914).   Selanjutnya,  Tapanoeli Voetbalclub yang didirikan tahun 1906 masih terus eksis. Klub pendiri Deli Voetbal Bond (DVB) masih eksis di era OSVB yang dibentuk tahun 1915 (dan kepengurusan terbentuk Februari 1916). Tapanoeli Voetbal Vereeniging terdeteksi bertanding melawan klub Go Aheaf (De Sumatra post, 23-11-1918); Tapanoeli VC kembali bertemu Go Ahead (De Sumatra post, 27-01-1922). Uniknya Tapanoeli Voetbalclub berkompetisi di dua liga: OSVB dan DVB (pribumi). Sejak dibentuknya OSVB tahun 1915, banyak klub yang beralih ke OSVB tetapi DVB masih eksis namun kemudian DVB menjadi komunitas klub-klub pribumi.

SAHATA VC pada Era OSVB

OSVB dibentuk pada tanggal 1 Desember 1915. Informasi ini diketahui sehubungan dengan perayaan Jubileum (20 tahun) OSVB tanggal 1 Desember 1935 di Medan (lihat De Sumatra post, 12-11-1935). Dalam perayaan ini juga akan dimeriahkan dengan satu pertandingan sepak bola antara tim bond Medan dan tim (Pematang) Siantar di stadion Keboen Boenga tanpa dipungut biaya. Lahirnya OSVB sesungguhnya akan memperkuat DVB, sepak bola di Pantai Timur Sumatra (Oostkust Sumatra) menjadi terintegrasi.

De Sumatra post, 30-05-1917
Dalam rapat umum yang diadakan pada tangga 16 Januari 1916 dihasilkan sejumlah keputusan (lihat De Sumatra post, 17-01-1916). Ketua pengurus OSVB, L. Suringa dalam pertemuan ini menjelaskan bahwa dibentuknya OSVB tanpa menghilangkan DVB. Pengurus DVB menerima OSVB untuk memimpin jalannya kegiatan sepakbola dan juga tidak masalah DVB diintegrasikan (merger) dengan OSVB.  Dalam rapat ini disepakati untuk meninjau kembali draf statuta OSVB sebelum tanggal 2 Februari. Peraturan kompetisi dan jadwal kompetisi serta pengesahan statuta OSVB akan dilakuka pada pertemuan tanggal 16 Februari. Kompetisi ancar-ancar akan dimulai tanggal 1 Maret 1916. Pada hari rapat umum 16 Februari akan diadakan pertandingan sepak bola di Medan antara kombinasi Tebing Tinggi/Pematang Siantar vs Langkat Tandjoeng Poera.

Selain kompetisi internal di Medan, kegiatan kompetisi di bawah OSVB juga dilakukan di beberapa distrik. Dalam akhir kompetisi OSVB, untuk menentukan juara adalah pertandingan antara AVV Tandjong Balai, juara Asahan melawan juara Medan, DSV (Deli Sport Vereeniging). Yang keluar sebagai juara adalah AVV (Asahan Voetbal Vereeniging). Setelah berakhirnya kompetisi, OSVB pada tanggal 16 Juli 1916 menyelenggarakan pertandingan antara Tim orang Belanda (Holland) dan tim orang Inggris (Engeland) di Medan (lihat De Sumatra post, 15-07-1916).

Sepak bola di Medan antara orang-orang Belanda dan Inggris sangatlah menarik dan serius. Orang-orang Inggris cukup banyak di Deli dan Langkat. Ketika orang-orang Belanda mendirikan klub pertama di Medan (Medan Sportclub) tahun 1900, setahun kemudian orang-orang Inggris membentuk klub di Bindjei (Langkat Sportclub). Jika mundur ke belakang tahun 1893 tim yang bertanding di Medan adalah Tim Medan (Belanda) dan Tim Penang (Inggris). Pertandingan inilah yang menandai pertandingan sepak bola kali pertama di Nederladsch Indie (baca: Indonesia). Tim Medan vs Tim Penang saling mengunjungi untuk bertanding. Demikian juga klub Medan Sportclub vs Langkat Sportclub. Pertandingan sepakbola antara Holland vs Engeland yang diselenggarakan Deli Voetbal Bond akan dilakukan Dinsdag 1 Juni 1915 di lapangan Esplanade. Pertandingan ini bukan antar klub, bukan antar bond, tetapi antar bangsa: Bangsa Belanda vs bangsa Inggris. Pertandingan Tim Belanda vs Tim Inggris di Medan ini ternyata menyita perhatian publik di Negeri Belanda. Tim sepakbola Belanda vs Ingris tentu saja selalu menjadi perhatian public di Negeri Belanda. Selain ada latar belakang sejarah perseteruan perang antara kedua Negara, juga politik kedua Negara juga sering mengalami panas-dingin. Pertempuran kedua tim selama ini hanya dilangsungkan di Eropa dalam label tim nasional. Tidak ditemukan di tempat lain di dunia ini pertandingan antara tim Belanda vs tim Inggris. Sejauh ini, itu pamahaman oleh pers di Eropa. Ternyata pers Eropa keliru besar. Mereka selama ini abai melihat perseteruan tim Inggris vs tim Belanda di daerah terpencil di Noord Sumatra. Pertandingan yang dilakukan tanggal 1 Juni yang lalu telah membuka perhatian pers Eropa bahwa ada pertandingan seru di Medan. Inilah pangkal perkara, sepakbola Medan (tidak hanya di Jawa tetapi) mulai dikenal di Eropa. Sebuah koran bertiras besar di Belanda Nieuwe Rotterdamsche Courant edisi 27-07-1915 melaporkannya. Kini di era OSVB pertandingan antara Holland vs Engeland diulang lagi (De Sumatra post, 15-07-1916).

Medan tidak hanya pionir dalam sepak bola di Indonesia (Nederlansch Indie) tetapi pada era DVB/OSVB. Medan juga menggambarkan stakeholder sepak bola yang berwarna-warni: ada Belanda dan juga Inggris, ada Batak (Mandailing dan Angkola) dan Melayu, juga ada Tionghoa dan Jawa. Jumlah klub terus tumbuh di Medan. Kelak muncul Arab dan India. Keragaman ini tidak ditemukan di kota-kota lain di Jawa.

Pada tahun 1923 kompetisi OSVB yang semakin ketat, seiring dengan pertumbuhan jumlah klub pribumi di Medan, klub-klub pribumi banyak yang tidak tertampung di kompetisi OSVB (meski kompetisi jumlahnya empat divisi). Dr. Radjamin Nasution yang ditempatkan di Medan sebagai kepala kesehatan bea dan cukui Medan/Belawan coba menghimpun klub-klub pribumi ini di dalam satu wadah kompetisi sendiri. Nama kompetisinya disebut Deli Voetbalbond (DVB), nama perserikatan awal di Medan yang sudah jarang dipakai sehubungan dengan semakin populernya perserikatan OSVB. Hal serupa ini pernah dilakukan oleh Dr. Abdul Rivai tahun 1905 di Batavia (BVB). Saat itu, satu-satunya klub yang dihuni sepenuhnya pribumi (Docter Djawa/STOVIA VC) berkompetisi di BVB. Mungkin Dr. Radjamin terinspirasi dari ide Dr. Abdul Rivai. Radjamin Nasution sendiri pada masa-masa itu adalah salah satu pemain STOVIA VC. Pada tahun 1909, saat jeda kompetisi, Radjamin Nasution bertindak sebagai kapten Tim STOVIA VC untuk melawat ke Medan melawan Tapanoeli VC.

Pada tahun 1930 klub Bataksche Voetbal Vereeniging (BVV) lolos seleksi di Batavia untuk berpartisipasi dalam kompetisi elit VBO (suksesi BVB). Klub BVV di bawah pimpinan penerus Parada Harahap yakni JK Panggabean (saudara Kamaroeddin Panggabean) tidak tanggung-tanggung ikut kompetisi dalam tiga divisi VBO sekaligus. Sebagaimana di Medan, ini menunjukkan begitu banyak pemain-pemain asal Tapanoeli yang aktif bermain sepak bola di Batavia, termasuk Abdul Hakim Harahap ketika masih SMA di Prins Hendrik School dan kuliah di Batavia (1922-1927) sebagai pemain Batakch Voetbalclub (yang dipimpin oleh Parada Harahap, pemilik surat kabar Bintang Timoer).

BVV (sebelumnya bernama Bataksch Voetbalclub), suatu divisi sport/sepak bola Bataksch Bond. Organisasi orang-orang Batak ini didirikan oleh Dr. Abdul Rasjid Siregar pada tahun 1919. Organisasi ini muncul sebagai respon karena adanya resistensi dan kurang terakomodirnya pemuda-pemuda Batak yang beragama bukan Islam di Sumatranen Bond. Padahal Sumatranen Bond sendiri awalnya didirikan oleh Sorip Tagor di Belanda pada Januari 1917 lalu di Batavia, mahasiswa-mahasiswa STOVIA membentuk hal yang sama pada bulan Desember 1917 (Ketua Mansoer dan Wakil Ketua Abdoel Moenir Nasution). Sebelumnya, tahun 1908 di Leiden/Belanda , Soetan Casjangan telah mendirikan Perhimpunan Mahasiswa asal Indonesia (Indsich Vereeniging) yang kelak (1922) menjadi PPI Belanda (pimpinan M. Hatta). Pada tahun 1900 di Kota Padang, organisasi sosial pribumi pertama didirikan oleh Dja Endar Moeda yang diberi nama Medan Perdamaian (jauh lebih awal jika dibandingkan Boedi Oetomo). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, Sorip Tagor Harahap (kakek buyut Inez/Risty Tagor) dan Abdul Rasjid Siregar adalah kelahiran Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda adalah radja media Sumatra yang juga membuka percetakan di Medan yang pada tahun 1905 mendirikan klub Letterzetter (klub pribumi pertama di Medan).

Setelah lulus kuliah, Abdul Hakim Harahap ditempatkan di Medan sebagai staf keuangan di bea dan cukai Medan/Belawan, kantor tempat kerja Dr. Radjamin Nasution sebelumnya. Abdul Hakim Harahap sebagai pemain bola di Medan, juga prestasinya makin meningkat sehingga dalam pemilihan dewan kota, Abdul Hakim terplih menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan tahun 1930, Dari sepuluh tahun di Kota Medan, tujuh tahun Abdul Hakim Harahap sebagai anggota dewan. Pada tahun 1935, Abdul Hakim Harahap mendirikan klub Sahata bersama Dr. Djabangoen Harahap. Keduanya selain pendiri dan pengurus juga merangkap sebagai pemain. Abdul Hakim Harahap kala itu berusia 30 tahun (masih lebih mudah toh dari Legimin Rahardjo di PSMS Medan yang sekarang). Pada tahun 1938, Abdul Hakim Harahap dimutasi ke Batavia dan menjadi kepala kantor keuangan West Java dan kemudian menjadi kepala kantor keuangan Indonesia Timur di Makassar (hingga pendudukan Jepang).

Pada saat Abdul Hakim Harahap menanjak karirnya di Medan, pada tahun 1931 Dr, Djabangoen Harahap sebagai wakil kepala Laboratorium Penyakit TBC di Kabandjahe dipindahkan sebagai kepala bidang penyakit menular di rumah sakit kota di Medan (kini RS Pirngadi). Pada tahun 1935, Abdul Hakim Harahap mendirikan klub Sahata bersama Dr. Djabangoen Harahap. Sementara itu, pada tahun 1927 Dr. Radjamin dipindahkan ke kantor bea dan cukai di Soerabaja. Dr. Radjamin Nasution mendirikan klub sepakbola bea dan cukai yang kemudian menginisiasi perserikatan klub sepak bola perkantoran/perusahaan (SKVB) di Surabaya tahun 1927. Gibol ya gibol. Pada tahun 1930 Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota dewan kota Soerabaja.  Sedangkan di Kota Padang, pada tahun 1931 Dr. Abdul Hakim Nasution diangkat sebagai Wakil Wali Kota (locoburgemeester) Padang. Yang mana satu tahun sebelumnnya MH Thamrin diangkat sebagai locoburgemeester di Batavia (hanya ada dua pribumi yang pernah menjadi wakil wali kota). Abdul Hakim Nasution adalah alumni ELS Padang Sidempoean tahun 1898 yang kemudian diterima sebagai mahasiswa Docter Djawa School (sekelas dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo). Setelah lulus, Dr. Abdul Hakim Nasution ditempatkan di Padang Sidempoean dan kemudian beberapa kali mutasi hingga terakhir di Kota Padang. Pada tahun 1922 Abdul Hakim Nasution terpilih sebagai anggota dewan kota Padang. Pada tahun itu juga (1922) Abdoel Hakim mendirikan tim sepak bola SVM (Sport Vereeniging Minangkaboesch), tim sepak bola pribumi pertama di Kota Padang (bandingkan dengan klub Letterzetter di kota Medan yang didirikan oleh Dja Endar Moeda tahun 1905).  Pada tahun 1927 Abdul Hakim Nasution mendirikan organisasi sepak bola pribumi Inlandsch Padang Elftal (IPE) di Padang, Pada tahun 1928 klub pribumi MSV Medan melawat ke Sibolga dan juga IPE Padang (pimpinan Abdul Hakim Nasution) ikut diundang ke Sibolga. Inilah koneksi pertama tiga tim yang berbeda wilayah (residentie) Sumatra bertemu di Sibolga (Tapanoeli). Pada tahun 1931, Abdul Hakim Nasution sebagai wethouder (anggota dewan senior) diangkat menjadi wakil wali kota Padang. Singkat kata: di empat kota utama di Indonesia saat itu (Medan, Batavia, Padang dan Soerabaja) terdapat masing-masing tokoh asal Padang Sidempoean yang gibol: Abdul Hakim Harahap (Medan), Parada Harahap (Batavia), Abdul Hakim Nasution (Padang) dan Radjamin Nasution (Soerabaja). Di Sibolga sendiri siapa? Terka sendirilah. Di Pematang Siantar tidak ada klub pribumi tetapi klub-klub campuran (Eropa/pribumi). Salah satu pemain sepak bola di Siantar yang lebih awal (1912) adalah Dr. Mohammad Hamzah Harahap, alumni Docter Djawa School tahun 1902. Pada tahun 1918 Mohammad Hamzah Harahap bersama Dr, Alimoesa Harahap menjadi anggota dewan kota Pematang Siantar. Di Tandjoeng Balai terdapat anggota dewan kota yang juga gibol namanya Abdoel Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon. Mohammad Hamzah adalah saudara sepupu Soetan Casajangan dan Mangaradja Soangkoepon, alumni sekolah hukum Leiden adalah abang dari Dr. Abdoel Rasjid Siregar (pendiri Bataksch Bond). Alimoesa Harahap adalah anggota Volksrad pertama dari Residentie Tapanoeli pada tahun 1924 dan Mangaradja Soeangkoepon adalah anggota Volksrad mewakili Province Oostkust Sumatra tahun 1924. Periode berikutnya Alimoesa digantikan oleh Abdoel Rasjid Siregar hingga berakhirnya era kolonial Belanda. Sedangkan sang abang, Mangaradja Soeangkoepon adalah anggota Volksraad dari dapil Sumatra Timur selama empat periode (satu-satunya yang mewakili Sumatra Timur hingga berakhirnya era kolonial Belanda/pendudukan Jepang). Dua anak Padang Sidempoean juga pernah anggota Volksraad yakni Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (mewakili golongan pendidikan dan D. Radjamin Nasution mewakili Parindra dari Oost Java).

Daftar klub di Medan dan Sekitarnya, 1900-1957 (tidak ditampilkan semua)
Setelah Abdul Hakim Harahap, pimpinan klub Sahata Medan yang berkompetisi di OSVB, dimutasi ke Batavia, pimpinan klub Sahata adalah GB Joshua Batubara (pemilik Joshua Instituut di Medan). Prestasi klub-klub pribumi (Sahata, UVV dan MSV). Pada tahun 1941 GB Joshua melancarkan protes dalam rapat umum karena pribumi tidak pernah sebagai pengurus OSVB. Karena tidak direspon, klub Sahata dan lainnya keluar dari kompetisi OSVB dan membentuk sendiri kompetisi dengan nama perserikatan PERSEDELI. Sebagaimana telah dideskripsikan di atas, klub Sahata dan klub-klub pribumi yang baru dibentuk setelah perang (1948) seperti Deli Mij dan Medan Poetra kembali damai dan bergabung dengan OSVB yang diaktifkan kembali. Klub Sahata adalah satu-satunya klub di Medan yang berpartisipasi dalam tiga rezim yang berbeda (OSVB, VBMO dan PSMS). Klub Sahata didirikan oleh Abdul Hakim Harahap tahun 1935 yang pada tahun 1951 diangkat menjadi gubernur pertama Sumatra Utara pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Abdul Hakim Harahap dan klub Sahata adalah jantungnya sepak bola kota Medan dari masa ke masa.

De Sumatra post, 18-05-1922
Klub Sahata dibentuk pada tahun 1935 oleh Abdul Hakim Harahap dan Dr. Djabangoen Harahap. Klub Sahata merupakan gabungan dari dua klub sebelumnya yang berkompetisi di OSVB yakni klub HVV (Horas Voetbal Vereeniging) dan PSV (Persadaän Sport Vereeniging). Merger dan berubah nama lainnya adalah DCV dan LSV menjadi DLSV; UKVC (Unie Kampong Voetbal Club) berubah nama menjadi UVV (1933); MCVC menjadi SCSA dan CSC; dan DSM menjadi Deli Mij. Boleh jadi pendirian klub Sahata ini di satu sisi untuk membentuk klub yang kuat di Medan dan di sisi lain untuk menunjukkan harga diri bangsa (pribumi). Hal ini sulit dicapai di Jawa yang mana klub-klub pribumi nyaris tak pernah mendapat tempat di kompetisi elit (Belanda) kecuali hanya satu-dua klub pribumi seperti BVV (Bataksche Voetbal Vereeniging) di VBO Batavia. Inilah yang mendasari munculnya federasi PSSI pasca Kongres Pemuda 1928 (Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa). Di OSVB jumlah klub pribumi sangat banyak tetapi dan terdapat perimbangan jumlah antara klub pribumi dan klub Belanda di kompetisi elit, tetapi jarang mendapat apresiasi. Klub Sahata tampaknya mengusung misi ganda (kompetisi dan politik). Tentu saja Abdul Hakim Harahap di Medan dan Parada Harahap di Batavia terus berinteraksi. Sebagaimana diketahui Parada Harahap pernah menjadi pemimpin BVV yang mana salah satu pemainnya adalah Abdul Hakim Harahap. Parada Harahap sendiri adalah sekretaris PPPK yang didirikan tahun 1927 (ketua MH Thamrin) yang merupakan pembina dan sponsor keuangan Panitia Kongres Pemuda 1928 (yang mana Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai bendahara). Suasana politik semakin menghangat, sehungan dengan diadilinya Ir. Soekarno. Lebih-lebih baru-baru ini (1934) Parada Harahap memimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang yang membuat gerah pemerintah baik di Nederlandsche Indie (baca: Indonesia) maupun di negeri Belanda (Moerderland). Tujuh orang revolusioner itu termasuk Abdullah Lubis (pemimpin Pewarta Deli) dan Mohammad Hatta (yang baru pulang ke tanah air setelah meraih sarjana di Belanda). Situasi dan kondisi inilah yang diduga mengapa perlu Abdul Hakim Harahap dan Dr. Djabangoen Harahap di Medan menyatukan barisan dan memperkuat kegiatan sepak bola dengan membentuk klub Sahata. Terbukti klub Sahata prestasinya di OSVB cukup moncer. Diantara klub pribumi di Medan, klub Sahata yang kerap melakukan lawatan ke berbagai daerah termasuk Siantar, Tandjong Balai, Sibolga (Tapanoeli). Saat-saat prestasi klub-klub pribumi mulai diperhitungkan di Medan, GB Joshua Batubara pemimpin baru klub Sahata (menggantikan Abdul Hakim Harahap) pada tahun 1940 melancarkan protes kepada pengurus OSVB karean orang pribumi tidak pernah diakomodir di jajaran teras pengurus OSVB. Karena protes tidak ditanggapi, Sahata dan klub-klub pribumi lainnya (UVV dan MSV) keluar dari OSVB dan membentuk asosiasi PERSEDELI (akibatnya OSVB lumpuh). Ketua PERSEDELI didaulat Dr. Pirngadi (Ketua klub MSV). Dr. Djabangoen Harahap adalah adik kelas Dr. Pirngadi di SOVIA dan hubungan antara mereka sangat akrab. Ini karena terhubung dengan pendiri Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di Belanda tahun 1908 yang mana Ketua adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (saudara sepupu Djabangoen Harahap) dan Sekretaris adalah Husein Djajadiningrat (saudara sepupu Pirngadi). Setelah lulus, Pirgandi ditempatkan di Padang Sidempoean (kampung halaman Djabangoen Harahap), sementara Djabangoen Harahap ditempatkan ke Banten (kampung halaman Pirngadi). Di Batavia, Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond) mempelopori dibentuknya organisasi supra kebangsaan yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI (Ketua MH Thamrin dan Sekretaris Parada Harahap). Pembentukan PPPKI ini di rumah Husein Djajadiningrat yang juga turut dihadiri Soetan Casajangan. Lalu kemudian dari Padang Sidempoean Dr. Pirngadi dipindahkan ke Medan dan Dr. Djabangoen Harahap dari Banten dipindahkan ke Karo baru ke Medan. Keduanya menjadi satu kantor di rumah sakit kota di Medan. Dua sahabat ini sama-sama gibol, Dr. Djabangoen di klub Sahata dan Dr. Pirngadi di klub MSV. 

Soetan Casajangan di tengah dan Husein Dj. (Leiden 1908)
Selanjutnya, pada saat pendudukan Jepang tokoh-tokoh yang berlawanan dengan Belanda semakin menguat. Ir. Soekarno dan M Hatta menjadi ketua dan wakil dewan pribumi di pusat; Parada Harahap menjadi koordinator media militer Jepang, Abdul Hakim Harahap menjadi ketua dewan di Tapanoeli; Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Pirngadi tetap di rumah sakit kota Medan serta GB Joshua Batubara terus mengelola Perguruan Joshua. Pada perang kemerdekaan melawan Belanda, Abdul Hakim Harahap berjuang bersama militer/penduduk sebagai Residen Tapanoeli; di Medan (seiring dengan munculnya NST dengan wali negara Dr. Mansoer) Dr. Djabangoen Harahap menjadi Ketua Front Nasional dan wakilnya GB Joshua Batubara. Dr. Pirngadi menjadi pejabat penghubung antara warga Republik yang dipimpin Dr. Djabangoen Harahap di Sumatra Timur dengan para pemimpin Republik di Tapanoeli. Lalu pada masa dualisme pemerintahan RIS (Federal vs Republik), Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Mansoer yang dulu sekelas di STOVIA menjadi berseberangan di Sumatra Timur. Dr. Djabangoen Harahap pro-Republik dan Dr. Mansoer pro-federalis. Inilah yang menjadi sebab munculnya Kongres Rakyat di Medan. Akhirnya Republiken (Republik pro-Djogjakarta) memenangkan pertarungan yang mana NST (federalis pro Belanda) harus dibubarkan dan terbentuk NKRI di Sumatra Timur (juga di seluruh wilayah Indonesia). Saat itu Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia di Djogjakarta adalah Abdul Hakim Harahap (pendiri klub Sahata). Itu belum cukup. Abdul Hakim Harahap pada Januari 1951 menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama (pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda).    

Marah Halim Cup pada Era PSMS

Spirit Abdul Hakim Harahap ini kelak dilanjutkan oleh Gubernur Marah Halim Harahap. Estafet sepak bola Medan berlanjut dari Abdul Hakim Harahap kepada Marah Halim Harahap. Tanda-tanda adanya estafet itu sudah kelihatan ketika Abdul Hakim Harahap menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara periode pertama pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1951-1953). Saat itu, Gubernur Abdul Hakim Harahap mencalonkan Kota Medan sebagai kota penyelenggara PON III (1953) sekaligus sebagai Penanggung Jawab. Dalam susunan Panitia PON III terdapat tiga nama tokoh penting: GB Joshua Batubara (Ketua); Kamaroeddin Panggabean (Ketua Bidang Sepakbola); dan Kapten Marah Halim Harahap (Ketua Bidang Keamanan). Hasil yang terpenting dari PON III di Medan adalah Tim Sepakbola Sumatra Utara sebagai juara (medali emas).

Dengan semakin membaiknya situasi nasional, pada tahun 1967 di Medan, nama Marah Halim Harahap yang tengah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam (Kasdam) II Bukit Barisan muncul ke permukaan sebagai kandidat kuat Gubernur Sumatera Utara. Akhirnya, Marah Halim yang waktu itu sudah berpangkat Kolonel terpilih menjadi Gubernur setelah melalui mekanisme Sidang DRPD Provinsi Sumatera Utara. Marah Halim Harahap diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 31 Maret 1967. Ada jarak 16 tahun ketika Abdul Hakim Harahap memulai tugas gubernur (1951) dan ketika Marah Halim Harahap memulainya pada tahun 1867. Uniknya jarak 16 tahun tersebut adalah juga jarak usia kedua gubernur Sumatra Utara tersebut. Abdul Hakim Harahap lahir tahun 1905 dan Marah Halim Harahap lahir tahun 1921.

Puncak prestasi sepak bola Medan terjadi pada masa Gubernur Marah Halim Harahap. Saat Marah Halim Harahap diangkat sebagai gubernur Sumatra Utara tanggal 31 Maret 1967 salah satu hal yang perlu ditingkatkan Marah Halim Harahap adalah prestasi sepak bola Sumatra Utara khususnya Kota Medan. Prestasi sepakbola adalah jalan pintas (bersifat instan dan hasilnya langsung) untuk segera mendapatkan perhatian di Indonesia agar Sumatra Utara lebih dikenal. Dalam hal ini PSMS dapat dijadikan sebagai mesin turbo pembangkit energi. Di sisi lain, Marah Halim Harahap dalam soal sepak bola mempunyai misi khusus yakni mewujudkan impian ‘abangnya’ Abdul Hakim Harahap agar sepak bola Sumatra Utara/Medan disegani di seluruh penjuru tanah air.

Abdul Hakim Harahap sebagai gibol, pendiri dan merangkap pemain klub Sahata (1936) telah merintis jalan agar Kota Medan memiliki stadion bertaraf internasional. Itulah yang diwujudkan pertama oleh Abdul Hakim Harahap ketika menjadi gubernur tahun 1951 melalui strategi jalan pintas (instan) dengan mencalonkan kota Medan sebagai kota penyelenggara PON III (1953). Langkah pertama untuk menyongsong PON III, Gubernur Abdul Hakim Harahap mulai menggalang dana masyarakat Sumatra Utara. Sebab perhitungan anggaran PON III akan menelan biaya Rp 7 Juta yang mana Rp 5 Juta untuk pembangunan stadion baru (kemudian bernama Stadion Teladan). Sementara bantuan pemerintah pusat (Djakarta) yang diterima cuma Rp 750 Ribu. Tidak hanya itu, Gubernur menginginginkan stadion PON III 1953 (Teladan Medan) lebih megah dari stadion PON II 1951 (Ikada Djakarta) dan meminta arsitek terkenal di Djakarta (arsitek yang sebelumnya membangun stadion Ikada Djakarta). Terbukti hasilnya: juara (medali emas) sepak bola PON III adalah Tim Sumatra Utara. Abdul Hakim Harahap boleh jadi memiliki moto: cabang olah raga lain boleh kalah, tetapi tidak untuk cabang sepak bola.  

Semua impian Gubernur Abdul Hakim Harahap tentu saja telah didengar oleh Kapten Infantri Marah Halim (Ketua Bidang Keamanan PON III). Misi inilah yang akan diwujudkan Marah Halim Harahap sebagai tahun pertamanya sebagai Gubernur Sumatra Utara pada tahun 1967. Langkah pertama yang dilakukan adalah memanggil Ketua Pengurus PSMS Medan. Rencana strategis lalu ditetapkan untuk menjuarai Kejuaraan Antar Perserikatan pada tahun 1967.

Het nieuwsblad Sumatra, 30-07-1957
PSMS berada di grup wilayah barat yang terdiri dari PSMS, PSDS Deli Serdang, Persija Jakarta, PSB Bogor, Persib dan PSIM (Djokjakarta). PSMS sebagai runner-up mendampingi Persib ke semi final yang akan dilaksanakan di stadion Utama Senayan Djakarta. Pada leg-1 tanggal 6 September 1967 PSMS dikalahkan oleh Persebaya dengan skor 0-1. Pada leg-2 tanggal 7 September 1967 PSMS berhasil mengalahkan Persebaya dengan skor 2-0. Secara agregat PSMS unggul 2-1 dan PSMS maju ke final pada tanggal 10 September 1967. Di partai final PSMS mengalahkan Persib Bandung dengan skor 2-0. PSMS menjadi Juara Kejuaraan Antar Perserikatan 1967. Inilah untuk kali pertama PSMS menjadi juara Kejuaraan Antar Perserikatan sejak kali pertama PSMS berpartisipasi tahun 1952. Capaian tertinggi sebelumnya adalah sebagai peringkat kedua dalam klassemen akhir partai 6 Besar tahun 1954. Hasil serupa terjadi pada partai 7 Besar tahun 1957. Pada pertandingan terakhir tanggal 29 Juli 1957 di Padang, PSMS mengalahkan Persidja dengan skor 4-1 (2-1). Dengan hasil ini PSMS menggeser posisi Persib dengan poin 9 (peringkat kedua di bawah PSM yang menjadi juara dengan poin 11). Persija tetap berada di peringkat empat dengan poin 6 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-07-1957).   

PSMS Medan menjadi juara pada Kejuaraan Antar Perserikatan 1967 menjadi hadiah pertama Marah Halim Harahap di tahun pertamanya menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara. Juara tahun 1967 ini seakan mengulang sukses Tim Sumatra Utara yang menjuarai cabang sepak bola pada PON III tahun 1953 saat Abdul Hakim Harahap menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara. Sukses Marah Halim Harahap ini mengangkat PSMS menjadi juara sepak bola Indonesia tidak sempat lagi dilihat Abdul Hakim Harahap (meninggal dunia di Djakarta tahun 1961.

Pada Kejuaraan Antar Perserikatan berikutnya partai 8 Besar diadakan di stadion Utama Senayan Djakarta 1971. Format pertandingan setengah kompetisi. PSMS pada klassemen akhir berada pada pringkat pertama. Ini untuk kali kedua PSMS menjadi juara secara berturut-turut. Untuk peringkat 1-4 (PSMS, Persebaya, Persidja dan PSM) diundang untuk mengikuti turnamen Piala Presiden (Soeharto) yang pertama yang akan diadakan di stadion utama Senayan Desember 1972.

Pada tahun 1971 adalah tahun emas PSMS yang berhasil manis dengan menyabet gelar Juara Kejuaraan Antar Perserikatan. Kejuaraan ini dilangsungkan selama sebulan di stadion Senayan (2 September-6 Oktober 1971) diikuti oleh 10 tim yang dibagi dua grup. Lalu kemudian empat tim terbaik dibuat satu grup baru. Pada klassemen akhir PSMS berada posisi teratas. PSMS juara. Ini menjadi kali kedua secara berturut-turut PSMS menjadi Champion Indonesia. Dunia sepakbola Indonesia menjadi heboh. PSMS menjadi Raja Sepakbola Indonesia.

Performa PSMS sudah terlihat beberapa waktu sebelumnya ketika klub raksasa Belanda PSV Eindhoven melawan PSMS dalam tur ke Asia Tenggara. Sebelum melawan PSMS, klub PSV melawan Timnas Singapoera yang berakhir dengan skor 13-0 (Limburgsch dagblad, 15-06-1971). Di Medan, PSMS mampu melakukan perlawanan meski kalah dengan 0-4. PSV kemudian ke Surabaya melawan Persebaya yang berakhir dengan skor 9-1 dan yang terakhir PSV mengalahkan Timnas Indonesia dengan skor 6-0. Dari hasil-hasil yang diraih PSV terkesan hanya PSMS yang menyulitkan PSV.

Gubernur Marah Halim Harahap sumringah. Cita-cita seniornya Abdul Hakim Harahap telah tercapai. Tibalah giliran Marah Halim Harahap untuk membuat PSMS lebih besar lagi dengan membuat turnamen sepak bola di Medan sebelum turnamen Piala Presiden diadakan pada bulan Desember 1972. Inilah gaya khas rap-rap Medan: Jika dulu Djakarta punya stadion Ikada, Gubernur Abdul Hakim membangunan stadion Teladan yang lebih mewah. Kini, Djakarta punya rencana membuat turnamen sepak bola domestik (Piala Presiden), Medan tidak mau kalah dan segera mendahului membuat turnamen bertaraf internasional.

Untuk merealisasikan gagasan ini, lantas Marah Halim mengundang tokoh-tokoh sepakbola Sumatra Utara. Di dalam rumah dinas gubernur awal tahun 1972, Marah Halim menyambut tiga gibol: Kamaruddin Panggabean, TD Pardede dan Muslim Harahap. Ketiga orang ini tidak asing dengan sepakbola Medan dan PSMS. Kamaruddin Panggabean pernah menjadi sekretaris PSMS pada periode 1951-1952 (mantan pemain klub Sahata Medan di era kolonial dan pada tahun 1955 sebagai Komisaris PSSI di Sumatra Utara); TD Pardede adalah seorang pengusaha besar dan mantan bendahara PSMS pada periode 1952-1953 (bendahara Persidja dalam kepengurusan yang baru tahun1950 adalah BC Harahap, seorang pengusaha di Djakarta); dan Muslim Harahap, mantan Ketua Umum PSMS pada periode 1959-1960 dan pernah menjadi Manajer Tim PSMS ketika melawan Persidja di Djakarta 1954. Pada periode tersebut (1950-1960) Marah Halim Harahap sendiri adalah perwira menengah di jajaran komando pertahanan di Medan.  Kini (1972), pada usia mereka yang tidak muda lagi, empat gibol yang sudah saling kenal sejak lama ini sepakat untuk membuat satu turnamen sepakbola (yang pertama di Indonesia). Gubernur Marah Halim Harahap meminta Kamaruddin Panggabean, yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris untuk menjadi ketua pengelola turnamen sekaligus urusan luar negeri; TD Pardede diminta untuk mendukung untuk suksesnya turnamen dan mengajak pengusaha lainnya untuk berpartisipasi; dan Muslim Harahap diminta untuk memfasilitasi dan mengkoordinasikan dengan stakeholder lainnya terutama dari pihak pemerintah sekaligus urusan dalam negeri. Tugas ini tampaknya tidak sulit baginya, sebab Muslim Harahap Harahap adalah sekreatis pertama Komite Olahraga Indonesia di Sumatra Utara (KOI-SU) yang dibentuk tahun 1955 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-03-1955). Lantas tiba-tiba Muslim Harahap bertanya: ‘Apa nama turnamennya, Jenderal?’ (Marah Halim selama menjadi gubernur telah mendapat kenaikan pangkat dua kali menjadi Mayor Jenderal). Marah Halim menjawab: ‘Saya tidak tahu, cari sendirilah. Tapi perlu dipikirkan baik-baik. Tapi saya tahu bahwa dulu pernah ada turnamen hebat di Medan ini’. TD Pardede bertanya: ‘Turnamen apa namanya, friend?’. Marah Halim menjawab: ‘Turnamen Mathewson Beker, yang penyelenggaraannya pada era Nederlandsche Indie, dimulai tahun 1915. Penggagasnya adalah Mr. Mathewson, konsul Inggris yang ditempatkan di Medan…’. Kamaruddin Panggabean memotong kisah dari Marah Halim itu, lalu spontan: ‘Kalau begitu, nama turnamennya Marah Halim Cup saja’. Muslim Harahap menyahut: ‘Itu sudah pas, lae. Ada historisnya dan itu menjadi mudah membuat dasar legalitasnya’. Pertemuan ditutup.

Turnamen Marah Halim Cup yang pertama diadakan pada bulan April 1972 yang sekaligus menyambut ulang tahun PSMS tanggal 21 April. Tim yang diundang adalah lima tim besar: Persidja, Persib, Persebaya, PSM, dan Persema (Malang). Format pertandingan dibagi dua grup, lalu babak semi final dan babak final. Pertandingan pertama dimulai tanggal 7 April dan berakhir tanggal 16 April 1972.

Pada pertandingan pertama, PSMS mengalahkan Persema 1-0. Pada pertandingan kedua PSMS imbang dengan PSM. Dalam klassemen akhir grup-1 PSMS peringkat satu dengan poin 3 dan maju ke semi final. Di partai semi final PSMS mengalahkan Persidja dengan skor 1-0. Pada babak final pada PSMS mengalahkan Persebaya dengan skor 3-0. Lengkap sudah, PSMS menjuarai Kejuaraan Antar Perserikatan dua kali berturut-turut (1967 dan 1971) plus juara Marah Halim Cup yang pertama (1972).  

Selanjutnya PSMS bersiap-siap untuk mengikuti turnamen di Djakarta, Piala Presiden yang akan diadakan bulan Desember 1972. Turnamen ini dianggap penting, karena baru saja PSMS menjadi juara turnamen Marah Halim Cup yang pertama. Memenangkan turnamen Piala Presiden yang pertama tidak hanya untuk mempertahankan gelar raja sepak bola Indonesia tetapi juga untuk membuktikan apakah juara Piala Presiden dapat disandingkan dengan juara Marah Halim Cup.

Pada pertandingan pertama, 11 Desember 1972, PSMS dikalaahkan Persidja dengan skor 0-1. PSMS segera bangkit dan pada pertandingan keduanya 15 Desember PSMS mampu mengalahkan PSM dengan skor 3-1. Pada pertandingan ketiga (terakhir) tanggal 19 Desember, PSMS berbagi angka dengan Persebaya dengan skor 3-3. Dalam klassemen akhir, PSMS berada pada peringkat pertama (juara) dengan poin 5. Lagi-lagi PSMS juara kembali setelah sebelumnya tunamen Marah Halim Cup yang pertama (April 1972), juara Kejuaraan Antar Perserikatan 1971 dan juara Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1967.

PSMS tidak hanya hebat di mata lawan-lawannya di dalam negeri. Tim-tim luar negeri juga mendengar kekuatan PSMS. Pada tahun kedua turnamen 1973 panitia Marah Halim Cup tidak hanya mengundang tim dalam negeri tetapi juga tim luar negeri: Persija; PSM, Persebaya, Persib, PON DI Aceh; Singapore, Malaysia, Thailand, Burma dan Hong Kong. Lagi-lagi PSMS juara setelah mengalahkan Persija di partai final dengan skor 1-0. Pada turnamen tahun 1874 peserta diperlus dengan mengundang tim dari Jepang dan Korea Selatan dan Vietnam dan Khmer. PSMS mulai mendapat perlawanan sehingga PSMS hanya menjadi runner-up setelah di final dikalahkan oleh tim dari Jepang.

Pada partai 8 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1973 PSMS hanya berada pada peringkat ketiga dibawah Persija dan Persebaya. Meski demikian, PSMS masih mampu mengimbangi Persija dengan skor 2-2. Yang jelas PSMS tajinya mulai tumpul. Tidak hanya gagal di Kejuaraan Antar Perserikatan (1973) tetapi juga gagal meraih juara di Turnamen Marah Halim Cup (1974).

Gengsi PSMS yang mulai kendor, coba bangkit lagi dengan mengasah kemampuan kembali, Panitia Marah Halim Cup mengundang lagi lawan tanding PSMS dengan mengundang tim-tim luar negeri. Hal ini karena Marah Halim Cup dibuat untuk terus mengasah kemampuan PSMS. Pada turnamen 1975 tim yang diundang selain para langganan seperi Persija, Persebaya, Persib dan PSM, juga mengundang tim luar negeri yang sudah berpartisipasi seperti Jepang, Singapoere, Malaysia, Korea Selatan dan Thailand, juga menambah tim luar negeri yang lain yakni India, Taiwan dan Western Australia. Namun sayang, PSMS hanya mendapat jatah juara ketiga setelah mengalahkan tim Thailand, sementara juara adalah Australia setelah mengalahkan Korea Selatan di final. Namun demikian, meski gagal di turnamen Marah Halim Cup tetapi PSMS masih bisa bernapas lega karena PSMS mampu ke babak final Kejuaraan Antar Persikatan tahun 1975. Di Partai Final antara PSMS vs Persija terjadi kisruh sehingga pertandingan tidak bisa dilanjutkan ketika skor sementara 1-1. Panitia yang ditengahi oleh PSSI memutuskan PSMS dan Persija dianggap sebagai juara bersama. Juara tetapi tidak sempurna.

Pertemuan pertama tim PSMS dan Persija kali pertama terjadi pada tahun 1952 ketika untuk pertama kali PSMS mengikuti Kejuaraan Antar Persikatan. PSMS kalah 0-4 lawan Persija. Pada kejuaraan berikutnya tahun 1954 PSMS dan Persija memperebutkan posisi peringkat pertama (juara) pada pertandingan terakhir babak 6 Besar. Pada pertandingan yang terakhir ini waist dianggap berat sebelah lalu PSMS melakukan protes. Manajer Tim PSMS Muslim Harahap meminta easit diganti tetapi panitia tidak meresponnya lalu tim PSMS tidak melanjutkan pertantandingan. Pantia memustuskan PSMS dianggap kalah dan poin persija menjadi bertamabh dua sehingga menjadi juara (PSMS berada diperingkat kedua). Kasus rivalitas PSMS vs Persija tahun 1954 seakan berulang kembali pada tahun1975. Lagi-lagi PSMS yang melakukan protes. PSSI tampak lebih arif dan memustuskan kedua tim sama-sama juara.

Pada turnamen Marah Halim Cup tahun 1976 tim PSMS tingkat pencapaiannya terus tergerus. Hanya berada pada peringkat keempat setelah Koera Selatan mengalahkan PSMS di semi final. Di perebutan tempat ketiga PSMS gagal mengalahkan tim Burma. Yang menjadi juara adalah tim Australia setelah mengalahkan Tim Korea Selatan di final. PSMS yang sudah mulai loyo bersiap-siap untuk mengikuti Piala Presiden 1976 di Jakarta. Lagi-lagi PSMS rontok dan hanya berada diposisi kelima klassemen akhir dari enam tim. Juara adalah Persija. PSMS dan Persija yang menjadi juara bersama tahun pada kejuaraan sebelumnya, Persija bisa melanjutkan tren positifnya (menjadi juara) sementara PSMS semakin terbenam.

Partisipan dari luar negeri selalu ada setiap tahun. Total terdapat sebanyak 24 negara, yakni: Singapore, Malaysia, Thailand, Burma, Irak, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Khmer, India, Taiwan, Australia, China, Turki, Iran, Luxembourg, Hungaria, Italia, Yugoslavia, Inggris, Belanda, Islandia, Jerman Barat. Daftar seakan menggambarkan distribusi peta kekuatan sepak bola di tuga benua: Asia (Barat, Selatan, Timur dan Tenggara), Eropa (Barat, Utara, Selatan dan Timur) dan Australia. Suatu rekor yang belum terpecahkan hingga ini hari di Indonesia sekalipun itu penyelenggaranya adalah PSSI.

PSMS masih tenggelam, sementara Persija terus meroket.Setelah juara Piala Presiden 1976, Persija datang ke Medan untuk mengikuti Turnamen Marah Halim Cup tahun 1977 dengan percaya diri. Ternyata terbukti. Persija berhasil menjadi juara Marah Halim Cup 1977 setelah mengalahkan tim Jepang di final. Jika pada turnamen Marah Halim Cup 1974 PSMS dikalahkan Jepang di final, maka turnamen kali ini tim Jepang ditumbangkan oleh Persija. Sejak tahun 1974 PSMS tidak pernah lagi di final. Kini, Persija berada di atas angin.

Anehnya, setelah Persija juara turnamen Marah Halim Cup 1977 tidak pernah lagi ada tim dalam negeri yang menjuarai Marah Halim Cup hingga pada penyelenggaraan selanjutnya. Tim dalam negeri yang mampu mencapai ke final hanya PSMS.yakni pada tahun 1978, 1983 dan 1988. Turnamen Marah Halim Cup telah menjadi milik (tim) luar negeri dan piala bergelir itu tidak pernah lagi disimpan di Indonesia dan terus beredar di luar negeri. Daftar juara-juara Marah Halim Cup sebagai berikut: Koera Selatan (3 kali juara); Burma (2), Jepang (2), PSMS (2), Belanda (2), Australia (2) dan masing-masing satu kali untuk tim China, Irak, Persija, Jerman Barat dan Yugoslavia (dan Medan Jaya).

Diantara tim-tim luar negeri, tim Belanda yang mengikuti Marah Halim Cup ternyata sangat menarik perhatian media di Belanda. Apa pasal? Faktanya media Belanda cukup intens memberitakan kehadiran tim Belanda di Medan (Marah Halim Cup). Sudah barang tentu para jurnalis di Belanda masih punya memori dengan klub-klub yang bermain di bond Medan di era NIVU atau VUVSI. Selain itu dalam satu dasawarsa terakhir klub-klub Belanda selalu kesulitan melawan tim Medan. Pada tahun 1971 klub PSV Eindhoven mendapat perlawanan sengit dari PSMS Medan. Pada tahun 1975 klub Ajax Amsterdam dihajar tim Medan dengan skor 2-4.

Tim Belanda berpartisipasi pada Marah Halim Cup pertama tahun 1980. Tidak tanggung-tanggung, yang datang adalah Tim Nasional Belanda untuk Olimpiade. Tim Belanda berada di grup-B bersama Burma, Iran, Perksesa 78 dan PSMS. Sementara di grup-A adalah Luxembourg, Korea Selatan, Jepang, Niac Mitra, Pardedetex dan Thailand. Pada pertandingan pertama Tim Belanda mengalahkan Perkesa 78 dengan skor 3-0 dan 2-0 pada turun minum(lihat surat kabar Amigo, Nieuwsblad van het Noorden dan Trouw edisi 04-05-1980). Judul berita itu dibuat bombastis Belanda mengalahkan Indonesia. Media Belanda menyebut tak disangka PSMS memberikan perlawan sengit terhadap tim Belanda dan hanya kalah 0-1. Itupun karena gol bunuh diri dari Maradi di mednit 14 (lihat Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 10-05-1980). Surat kabar Nieuwsblad van het Noorden, 10-05-1980 menyebut Maradi sebagai striker PSMS. Pada awal babak kedua PSMS hanya bermain 10 orang ketika bek Soepardjo mendapat kartu merah karena menekel striker Harry de Haas. Pada pertandingan terakhir grup-A Tim Belanda mengalahkan Iran dengan skor 2-1 (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 13-05-1980), Dengan demikian Tim Belanda di grup-A memuncaki klassemen akhir dengan poin sempurna 8 (main 4 kali tidak pernah kalah). Diantara tim grup-A tampaknya hanya PSMS yang mampu mengimbangi Tim Belanda (hanya kalah 0-1). Pada semi final Burma mengalahkan Luxembourg dan Belanda mengalahkan Korea Selatan (3-0). Di partai Final Tim Belanda mengalahkan Burma dengan skor 4-2, Tim Belanda juara. Meski PSMS tidak lolos dari fase grup, tetapi hanya PSMS yang mampu megimbangi Tim Juara Belanda.

Pada tahun berikutnya Tim Belanda kembali datang ke Medan untuk mengikuti tunamen internasional Marah Halim Cup. Kini Tim Belanda yang dipimpin Pelatih Nasional diperkuat sebanyak 10 pemain profesional, sebab tujuannya untuk mempertahankan juara yang diraih tahun lalu (Nieuwsblad van het Noorden, 17-04-1981). Pemain terbaik Marah Halim Cup tahun lalu Rob Krul tidak bisa ikut ketika dipanggil karena sedang cedera (Limburgsch dagblad, 23-04-1981). Ini menunjukkan keseriusan KNVB (PSSInya Belanda) di satu sisi dan sisi lain paham sepak bola Indonesia khususnya di Medan secara historis (sejak era kolonial Belanda) memiliki potensi besar. Tim Belanda akan dilepas KNVB dan berangkat ke Medan tanggal 23 April dan kembali tanggal 13 Mei.

Tim Nasional Belanda kembali bertemu PSMS di grup-A bersama Persija, Thailand dan Singapoera. Tim Nasional Belanda melakukan pertandingan pertama melawan Persija Jakarta yang berakhir dengan kemenangan 3-2 (2-1) (Nieuwsblad van het Noorden, 28-04-1981). Pada pertandingan kedua Tim Belanda mengahkan Thailand 1-0 (Het Parool, 30-04-1981), Pada pertandingan ketiga, Tim Belanda mengalahkan Singpaoera dengan skor 3-0 (0-0). Dengan hasil ini Tim Belanda maju ke semifinal (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 02-05-1981). Pada pertandingan terakhir yang tidak menentukan dalam melawan PSMS, tetapi bagi PSMS ini sangat berarti  karena PSMS baru memiliki poin satu saat imbang melawan Thailand. Pertandingan yang diselengerakan tanggal 4 Mei Tim Belanda berhasil mengalahkan PSMS dengan skor 4-2. Seperti tahun lalu Tim Belanda di fase grup tidak terkalahkan. Pada partai semi final Tim Belanda dikalahkan Jepang dengan skor 2-3. Ini seakan Belanda dikalahkan Jepang di Indonesia di era kolonial Belanda. Namun demikian Tim Belanda masih mampu meraih tempat ketiga setelah membatai Thailand dengan skor 4-0. Yang menjadi juara turnamen internasional Marah Halim Cup pada tahun 1981 ini adalah Korea Selatan setelah mengalah Jepang dengan skor 3-2.

Bagaimana dengan pencapaian PSMS di Kejuaraan Antar Perserikatan selanjutnya? Pada Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1978, PSMS kembali hadir di partai 8 Besar. Format kometisi dibuat dua grup. Masing-masing juara dan runner up grup melaju ke partai semi final. Di semi final PSMS dikalahkan oleh Persija. Lagi-lagi Persija selalu menjadi batu sandungan buat PSMS. Pada perebutan tempat ketiga PSMS sedikit bernapas karena mampu mengalahkan PSM. Yang membuat tambah kelegaan bagi PSMS, karena di final rivalitas Persija mampu dikalahkan Persebaya. PSMS dan Persija hanya beda-beda tipis: PSMS peringkan ketiga, Persija peringkat kedua (runner up).

Pada Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1979 rivalitas PSMS dan Persija semakin ketat. Format kompetisi 5 Besar dengan kompetisi penuh (home and away) tetapi semua pertandingan diadakan di stadion utama Senayan. Pada pertandingan yang terakhir tanggal 12 Januari 1979 menyisakan dua pertandingan yakni antara Persija vs PSMS dan PSM vs Persebaya. Posisi dalam klassemen sementara PSMS berada diperingkat pertama dengan poin 11 (gol 20-13), sementara Persija 9 (gol 14-8), sedangkan Persebaya 9 dan PSM 4. Ini artinya antara PSMS dan Persija adalah pertandingan yang menentukan siapa yang menjadi juara, sebab Persebaya dan PSM tidak mungkin lagi untuk meraih juara siapa pun yang menang. Jika PSMS imbang dengan Persija maka PSMS yang menjadi juara, namun jika PSMS kalah maka juara akan ditentukan selisih gol. Akhirnya pertandingan dimenangkan oleh Persija dengan skor 1-0. Meski menang tipis dengan hanya 1 gol tetapi menentukan buat Persija. Akibatnya poin PSMS dan Persija sama-sama 11. Nah, posisi gol Persija menjadi (15-8) dengan selisih gol 7 dan gol PSMS (20-14) dengan selisih gol 6. Persija lalu menjadi juara karena hanya beda 1 gol itu. PSMS kalah meradang, Persija menang histeris. Kejadian ini untuk kali ketiga PSMS vs Persija dalam posisi genting ketika terjadi pertandingan yang menentukan juara pada Kejuaraan Antar Perserikatan (1954, 1975 dan 1979 ini).

Pada Kejuaraan Antar Perseikatan tahun 1980 pada partai 6 Besar di stadion utama Senayan, pertandingan antara PSMS vs Persija pada tanggal 23 Agustus berakhir imbang (1-1). Secara keseluruhan, baik Persija maupun PSMS tak berdaya. Pada klassemen akhir PSMS berada di posisi ketiga dengan poin 6 dan Persija di posisi keempat dengan poin 5. Anehnya, di peringkat pertama dan peringkat kedua justru tim yang selama ini tidak diperhitingkan. Peringkat pertama Persipura dengan poin 8 dan Persiraja pada peringkat kedua dengan poin 7. Lalu dua peringkat atas ini dipertemukan lagi di partai grand final. Pertandiengan yang dilangsungkan tanggal 31 Agustus itu Pesiraja mampu mengalahkan Persipura dengan skor 3-1. Ini berari Persiraja Banda Aceh menjadi juara. Juara baru.

Pada kejuaraan berikutnya tahun 1983 PSMS kembali menjadi juara. Ini untuk kali keempat PSMS menjadi juara nasional. Ini juga menjadi rekor juara PSMS menyamai rekor PSM dan Persija. Format pertandingan sebagai berikut: Dibagi dua wilayah (barat dan timur) masing-masing dengan lima tim. PSMS dan Persib lolos kualifikasi wilayah barat dan Persebaya dan PSM dari wilayah timur. Empat tim ini kemudian dibuat satu pool (4 Besar). Pada klassemen akhir pool ini peringkat pertama Persib dengan poin 6 tak terkalahkan dan peringkat kedua PSMS dengan poin 3 yang mana menang satu kalim draw sekali dan kalah satu kali. PSMS kalah dari Persib dengan skor 1-2. Meski demikian kedua tim maju ke babak grand final yang diadakan pada tanggal 10 November 1983 di stadion utama Senayan. Haslinya imbang dengan skor 0-0. Lalu dilanjutkan dengan adu penalti. PSMS sukses dengan 3 penalti, sedangkan Persib hanya sukses 2 penalti.

Pada kejuaraan berikutnya tahun 1985 PSMS kembali bertemu Persib pada partai grand final. Format pertandingan sebagai berikut: seperti kejuaraan sebelumnya dibagi dua wilayah (barat dan timur) yang masing-masing dengan 6 tim dalam dua putaran. Dari barat yang lolos Persib, Perseman dan Persib. Dari wilayah timur lolos Persipura, PSM dan Persebaya. Kemudian dibuat satu pool (6 Besar) dengan satu putaran. Dalam klassemen akhir PSMS berada peringkat pertama dengan poin 6 dan Persib pada peringkat dua dengan poin 6. Lalu dilanjutkan pada partai grand final pada tanggal 23 Februari di stadion utama Senayan. Hasilnya PSMS vs Persib berakhir imbang (2-2). Kemudian dilanjutkan adu penalti. Dihadapan penonton 150.000 adu penalti in menjadi sangat menegangkan bagi kedua tim. PSMS hanya sukses dengan dua penalti, sementara Persib hanya sukses satu penalti. Akibatnya PSMS juara. Juara kembali. Untuk kedua kali Persib meradang. Tampaknya PSMS lebih berpengalaman karena ini untuk yang kelima kali juara sedangkan Persib belum sekalipun juara. Rekor juara ini membuat PSMS mengungguli rekor juara PSM dan Persija.

Rivalitas PSMS telah bergeser dari Persija menjadi Persib. Dalam kejuaraan tahun 1985 sebelum partai grand final PSMS vs Persib sudah bertemu tiga kali. Pada putaran pertama wilayah barat PSMS vs Persib imbang (2-2). Pada putaran kedua juga imbang (0-0). Pada partai 6 Besar PSMS menang 1-0. Dengan demikian head to head PSMS menang 1 kali dan draw 2 kali; Persib draw 2 kali dan kalah 1 kali.

Pada kejuaraan berikutnya tahun 1986, rivalitas PSMS dan PSMS semakin intens. Pada putaran pertama wilayah barat PSMS vs Persib imbang (0-0) dan pada putaran kedua PSMS kalah 0-1. Pada partai 6 Besar kembali PSMS dan Persib imbangb (0-0). Namun dalam klassemen akhir Persib pada posisi kedua maju ke grand final sementara PSMS hanya puas pada peringkat keempat. Pada partai grand final Persib berhasil mengalahkan Perseman dengan skor 1-0. Persib juara, juara untuk kali pertama.

Pada kejuaraan-kejuaraan berikutnya Persib berhasil dua kali juara yakni pada tahun 1990 dan tahun 1994 (kejuaraan yang terakhir di era perserikatan). PSMS hanya sekali tampil di grand final yakni pada tahun 1992 dan kalah dari PSM.  

Kejuaraan yang dimulai sejak 1951 harus berakhir pada tahun 1994. Hal ini sesuai dengan paradigma sepakbola perserikatan yang berubah dari bond (perserikatan) menjadi berbasis klub sebagaimana sebelumnya sudah dimulai pada liga Galatama (sejak 1978). Pada tahun 1994 semua klub yang ada dan klub yang baru dibentuk (seperti PSMS) disatukan menjadi satu liga yang disebut Liga Indonesia dengan beberapa divisi. Namun demikian, romantisme kompetisi perserikatan menyisakan rekor penonton yang fantastik. Berdasarkan catatan rekor penonton yang beredar, pada pertandingan final antara PSMS vs Persija tahun 1975 mencetak rekon penonton fantastik sebanyak 125.000 di stadion utama Senayan. Rekor penonton ini baru terpecahkan pada final tahun 1985 antara PSMS vs Persib dengan jumlah penonton 150.000 orang. Super fantastik (terbanyak didunia). Dari rekor-rekor tersebut tampaknya faktor PSMS menjadi magnit tersendiri.

PSMS vs Persib (Final Kejuaraan Antar Perserikatan 1985)
Saya sesungguhnya pernah menjadi suporter PSMS. Saya menjadi suporter PSMS karena permintaan para suporter Persib Bandung di Bogor. Ini bermula tahun 1985 (ketika saya masih kuliah), saya sebagai warga (KTP) Bogor tentu saya menjadi suporter Persib ketika tiap kali warga RT/RW saya melakukan nonton bareng Kejuaraan Antar Perserikatan 1985. Saat bersua Persib dan PSMS saya didaulat untuk menjadi suporter PSMS (karena di RT tersebut hanya saya yang berasal dari Sumatra Utara). Padahal saya sebelumnya tidak pernah menjadi suporter PSMS (karena BTL, tidak pernah ke Medan).  Atas desakan ketua RT saya terima. Ketika Persib membobol gawang PSMS saya disuruh diam sementara mereka berjingkrak-jingkrak. Sebalikya jika PSMS yang menyarangkan gol ke gawang Persib, saya lalu di angkat ramai-ramai ke udara sambil teriak-teriak hidup PSMS, hidup PSMS. Lalu kemudian, hari ketika Persib dan PSMS berjumpa lagi di final saya kedatangan empat teman kuliah sekampung alumni SMA Medan mengajak nonton ke stadion Senayan, tetapi saya enggan karena saya sudah ada agenda nonton bareng di rumah Pak RT. Akhirnya saya terus didesak dan mengalah. Sebelum berangkat saya lapor ke Pak RT absen nonton bareng. Ada kejadian aneh ketika berangkat dari terminal Bogor. Teman-teman rupanya sudah menyiapkan spanduk. Ketika mau naik dekat pintu tol Jagorawi, teman-teman saya itu melakukan nego kepada kondektus bis (mungkin Lorena saya lupa-lupa ingat): 'Kami hanya mau naik jika spanduk kami dibentangkan di belakang bis' demikian permintaan teman saya kepada kondektur (pembicaraan ini berada di luar bis, sambil bis merangsek dengan jalan pelan-pelan). Kondektur bis tampak sekali mati langkah, sebab ada lima calon penumpang tetapi ingin bentangkan spanduk (sementara bis sudah mau memasuki jalan tol). Mungkin kondektur berpikir daripada bangku belakang kosong, tak apalah. Nego sepakat. Saya dan dua teman segera naik ke bangku kosong di belakang sementara dua yang lain masih berada di luar berlari-lari mengikuti lajunya bis sambil mengulurkan tali spanduk dari luar. Spanduk yang sebelumnya telah disiapkan pemberat (air dalam plastik di bagian bawah spanduk agar tidak terbang) terpasang di belakang bis, dua teman itu juga bergegas naik. Tarik!. Bis pun melaju kencang di jalan tol. Awalnya tenang tenteram, tetapi jelang Sentul mulai ada yang meneriakkin kata-kata permusuhan dari bis sebelah ke bis kami. Anggapan penumpang bis sebelah yang saya duga datang dari Bandoeng, Cianjur dan Sukabumi yang notabene suporter Persib menganggap seisi bis kami adalah semua suporter PSMS (padahal cuma lima orang toh!). Penumpang bis kami yang berada di bagian depan yang sebagian besar tampaknya adalah suporter Persib asal Bogor merasa bingung mengapa bis-bis sebelah yang melewati bis kami selalu teriak-teriak yang tidak terlalu jelas ngomong apa (karena banyaknya bis yang menuju Jakarta. Cilaka!. Saya mulai tidak nyaman, tetapi teman saya bilang tenang saja: 'Tenang saja lae, penumpang dalam bis ini tidak ada yang tahu apa yang ada di belakang bis, hanya kondektur yang sempat lihat tadi'. Akhirnya bis kami sampai di terminal Cililitan (terminal kampung Rambutan belum ada). Alhmadulillah, tidak terjadi apa-apa di tengah perjalanan sepanjang jalan tol Jagorawi, Di terminal Cililitan, kami cepat turun dan segera spanduk dilipat kembali, lalu kami naik ke bis jurusan Blok M dan memilih bis yang tampak dari jauh dipenuhi oleh suporter PSMS yang datang dari berbagai tempat seperti Bekasi. Setiba di stadion Utama Senayan (belum bernama SUGBK), wuh sangat luar biasa jumlah penonton. Kami mengambil tempat di tribun timur bagian atas (tempat suporter PSMS). Menurut penyiar siaran pandangan mata (RRI) jumlah penonton yang hadir ditaksir 150.000 orang. Fantastik! Kami memang sengaja membawa radio ketika menonton itu. Jika tidak salah reporternya adalah Sambas, Abraham Isnan Simanjuntak dan Samsul Muin Harahap.

Harian Kompas edisi MInggu 24 Februari 1985
Lantas mengapa suporter PSMS menggema di dalam stadion padahal suporter PSMS tidak banyak dan hanya terdiri dari tiga sektor di tribun timur bagian atas? Mungkin teorinya begini: Tiga sektor itu berada persis di tengah tribun timur bagian atas. Di luar tiga sektor itu umumnya suporter Persib. Ini dapat diamati jika Persib menciptakan gol, seluruh stadion menggema yang mana tampak suporter Persib berdiri mengangkat tangan kegirangan, sementara suporter PSMS duduk terdiam. Sebaliknya, saat PSMS menyarangkan bola, suporter PSMS di tiga sektor atas meloncat sambil berteriak histeris sepuas-puasnya. Meski suporter relatif sedikt lalu mengapa begitu menggema di seluruh stadion? Hal ini karena teriakan histeris itu berasal dari bagian atas stadion yang berada di tengah-tengah stadion (jadi terjadi echo) yang merupakan jarak terdekat ke posisi ruang hampa di atas lapangan. Jika posisi suporter PSMS dipindah misalnya ke belakang gawang, teriakan suporter PSMS akan lebih tertelan karena ada space yang lebih luas. Gema ketika menyanyikan yel-yel A Sing Sing So menjadi terdengar lebih menggema lagi karena yel-yel itu sendiri nadanya memang berat apalagi diulang-ulang. Oleh karenanya, posisi dan nada berat yang diulang menimbulkan efek resonansi berganda (apalagi semakin malam udara semakin dingin, tekanan udara akan memantulkan kembali suara ke bumi). Satu hal lagi yel-yel ini dinyanyikan secara spontan dengan koor yang kompak (seirama). Itulah mengapa gema suporter PSMS dan gema suporter Persib nilai desibelnya relatif hampir sama tingginya (meski jumlah suporter berbeda jauh). Padahal saat itu belum dikenal soporter membawa alat-alat pengeras suara ataupun drum. Praktis hanya mengandalkan suara nyanyian. Anggaplah itu sebagai dukungan paling efisien. Esok paginya, harian Kompas, tanpa malu-malu mengakui dengan mengutip yel-yel A Sing Sing So sebagai judul headline-nya. Paling tidak hal itu yang saya rasakan saat itu. Idem dito di bis yang kami tumpangi dari Bogor: dengan hanya lima suporter PSMS dikira suporter Persib seisi bis kami adalah suporter PSMS.

Kota Medan: Abdul Hakim Harahap dan Marah Halim Harahap

Kota Medan adalah ibukota Provinsi Sumatra Utara saat ini. Kota Medan menjadi mentroplitan saat ini bermula dari suatu area kosong tidak berpenghuni di lokasi seputar Lapangan Merdeka yang sekarang. Saat itu (1869) ada tiga kampung kecil yang masing-masing terdiri dari beberapa bangunan rumah. Kampung-kampung kecil itu bernama Medan Poetri, Kesawan dan Kampong Baroe. Kampong Baroe ini kira-kira di sekitar Medan Baru yang sekarang. Sedangkan Kampong Medan Poetri berada di sisi barat sungai Deli (pertemuan sungai Babura). Saat itu, satu-satunya di wilayah Sumatra Utara yang sekarang yang disebut sebuah kota (town) hanyalah Padang Sidempoean (bahkan kota terbesar kedua di Sumatra, setelah Padang).

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota
Di sisi timur sungai Deli ini Nienhuys membuka kebun baru pada tahun 1869 dan mulai mendirikan perusahaan yang disebut Deli Mij. Pada tahun 1863 pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang Controelur di Laboehan (yang sekaligus ibukota Afdeeling Deli). Pada tahun 1865 datang Nienhuys dan dua investor membuka kebun tembakau di dekat Laboehan. Perkebunan Nienhuys kemudian tumbuh pesat hingga tiba waktunya membuka lahan baru sekitar pertemuan sungai Babura dengan sungai Deli (yang kini disebut Lapangan Merdeka). Pada tahun 1869 Deli Mij selain membuka lahan baru juga mambangun kantor, pabrik dan gudang tembakau sebagai pusat semua unit lahan-lahan kebun tembakau mereka. Dalam perkembangannya Deli Mij membangun ruma sakit (semacam klinik untuk karyawan) dan juga mendirikan toko (warung) kebutuhan rumah tangga. Lokasi ini kemudian menjadi sangat strategis karena lokasi ini menjadi persimpangan ke lahan-lahan lain yang baru dibuka ke arah barat di Timbangan (Binjai), ke arah timur (Serdang) dan ke arah selatan di Deli Toea. Para planter-planter baru kerap beristirahat sebelum menuju lokasi mereka di Deli Mij setelah melakukan perjalanan jauh (dengan kuda) dari Laboehan. Deli Mij juga membangun mes (semacam pesanggrahan) bagi planter-planter lain yang sedang transit. Lambat laun sekitar Deli Mij menjadi semacam perkampungan yang ramai. Perkampungan baru ini menggunakan nama Medan Poetri yang mengacu pada kampung penduduk asli di seberang sungai. Lambat-laun nama Medan Poetri mengalami reduksi sehingga hanya disebut Medan saja.

Pada tahun 1875 pemerintah membagi Afdeeling Deli ke dalam dua onderafdeeling, yakni Onderafdeeling Laboehan dan onderafdeeling Medan. Di Medan (dekat Deli Mij) ditempat seorang Controleur, sementara status Controleur di Laboehan ditingkatkan menjadi Asisten Residen Deli. Rumah/kantor Controleur Medan ini berada di sekitar Jalan Sukamulia yang sekarang (suatu area kosong antara lahan Deli Mij dengan Kampong Kesawan). Pada tahun 1879 ibukota Afdeeling dipindahkan dari Laboehan ke Medan yang mana Asisten Residen di Medan dan di Laboehan ditempatkan seorang Controleur (tukar guling). Sejak inilah pertumbuhan dan perkembangan Kota Medan menjadi sangat cepat. Pada tahun 1885 ibukota Residentie Oostkust Sumatra di Bengkalis dipindahkan ke Medan. Seiring dengan perpindahan ini, Bengkalis dipisahkan dan dimasukkan ke Residentie Riaouw dan status Asisten Residen di Medan ditingkatkan menjadi Residen. Juga terjadi perubahan Controleur di Tandjong Poera (Langkat) dinaikkan statusnya menjadi Asisten Residen dan di Timbang (Bindjai) ditempatkan seorang Controleur. Di Tandjoeng Balai tetap seorang Asisten Residen (sudah ada sejak era Bengkalis). Pejabat-pejabat pribumi di Bengkalis juga turut dipindahkan ke Medan (Bengkalis dan Padang Sidempoean relatif berdekatan via Pasir Pangaraian di Rokan). Sekali lagi: Ini berarti Bengkalis (Riaouw) ditinggalkan dengan menetapkan ibukota wilayah Oostkust Sumatra yang baru di Medan; idem dito, sebelumnya tahun 1905 Padang (Wsrt Sumatra) ditinggalkan dengan menetapkan ibukota Tapanoeli di Sibolga. Kelak, Residentie Oostkust Sumatra dan Residentie Tapanoeli dibentuk menjadi Provinsi Sumatra Utara (seperti yang sekarang ini).

Seorang anak muda kelahiran Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola) bernama Mohamad Yacoub datang dari Tapanoeli (Padang Sidempoean) merantau ke Laboehan melalui kapal via Singkel dan Kota Radja (kini Banda Aceh). Oleh karena bisa baca tulis dan berhitung (tamat sekolah dasar) lalu mendapat pekerjaan sebagai krani (juru tulis) di Kesultanan Serdang di Rantau Pandjang. Anak-anak muda yang berpendidikan terus mengalir dari Padang Sidempoean ke Medan dan sekitarnya untuk bekerja sebagai krani di perkebunan-perkebuan yang semakin banyak. Setelah beberapa tahun di Rantau Pandjang Mohamad Yacoub pindah ke Medan (yang sudah menjadi kota kecil) karena mendapat pekerjaan ketika Hattenbach membuka toko serba ada. Boleh dikata Mohamad Yacoub adalah orang Padang Sidempoean pertama di (kota Medan) sementara teman-temannya yang lain di pelosok-pelosok di tengah rimba di dalam perkebunan-perkebunan yang baru. Saat itu di Deli belum ada sekolah. Sementara di Mandailing Angkola sudah terdapat 12 sekolah (dari 15 sekolah di Tapanoeli) yang mana empat diantaranya di Kota Padang Sidempoean plus sekolah Eropa (ELS) dan sekolah guru (Kweekschool). Dalam perkembanganya, seorang Djaksa di Sipirok tahun 1885 (Angkola) bernama Soetan Goenoeng Toea dipindahkan ke Medan (sebagai Djaksa pertama di Medan). Soetan Goenoeng Toea kelak dikenal sebagai kakek dari Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri RI kedua).
   
Pada tahun 1903 seorang pengusaha media (dan pemilik percetakan) di Padang (ibukota Province Sumatra’s Westkust), Dja Endar Moeda membuka percetakan di Medan. Pada tahun 1905 muncul dua klub pribumi setelah sebelumnya didirikan klub Medan Sportclub (1900) dan Langkat Sportcalub (klub orang-orang Inggris di Langkat yang berbasi di Timbang) tahun 1903. Klub pribumi itu adalah Tongkoe di Bindjai dan Letterzetter di Medan. Klub Letterzetter (LZ Club) ini merupakan klub karyawan percetakan Dja Endar Moeda dan orang-orang Mandailing en Angkola lainnya yang berdomisili di Kota Medan.

Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola)
Pada tahun 1905 (saat gentingnya Perang Batak yang dipimpin oleh Sisingamangaradja XII dan Perang Atjeh kedua) Residenti Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Konsekuensi status Gubernur Sumtra’s Westkust diturunkan menjadi Residen. Pada saat inilah migrasi orang-orang Mandailing dan Angkola mengalir deras k Medan. Tujuan rantau bergeser dari Padang ke Medan. Investasi pengusaha-pengusaha orang-orang Mandailing dan Angkola di Padang dan Sibolga sebagian direlokasi ke Kota Medan (yang tengah berkembang pesat). Jalur migrasi tidak melalui laut lagi tetapi melalui darat menuju Rantau Prapat dan kemudian dilanjutkan dengan moda transportasi kereta api ke Medan.

De locomotief, 21-08-1902
Pada tahun 1907 didirikan organisasi sosial Sjarikat Tapanoeli untuk mengimbangi kekuatan orang-orang Tionghoa (di bidang bisnis). Organisasi ini dipelopori dan dipimpin oleh Dja Endar Moeda (Haji Saleh Harahap) dan Mohamad Yacoub gelar Soetan Kinajan (setelah pulang dari Mekkah menjadi Sjech Ibrahim). Sebelumnya, Dja Endar Moeda telah mendirikan organisasi sosial pertama di Padang yang diberi nama Medan Perdamaian ((lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900). Pada tahun ini juga dibentuk NV Sjarikat Tapanoeli dan Tapanoeli Voetbalclub (suksesi Letterzetter VC). Organisasi sosial Medan Perdamaian di Padang dan Sjarikat Tapanoeli yang digagas oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda sudah ada jauh sebelum didirikannya organisasi sosial Boedi Oetomo. Organisasi sosial Medan Perdamaian telah membantu pendidikan di Semaramg (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Bahkan disebut Boedi Oetomo adalah copy paste format Medan Perdamaian (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908).

Pada tahun 1907 Tapanoeli VC (bersama Voortwaarts, klub orang Belanda) mempelopori didirikannya perserikatan sepakbola yang disebut Deli Voetbalbond (DVB) di Medan dan melakukan kompetisi dalam dua divisi. Pada tahun 1909 (Medan menjadi Gemeente) Docter Djawa Voetbal Club yang berkompetisi di Bataviasch Voetbalbond (BVB) saat jeda kompetisi datang ke Medan untuk bertandingan melawan Tapanoeli VC. Klub Docter Djawa VC (klub mahasiswa kedokteran STOVIA) ini dipimpin oleh Kapten Tim Radjamin Nasution.  

De Sumatra post, 30-12-1909
Pada tahun 1909 NV Sjarikat Tapanoeli mendirikan surat kabar Pewarta Deli yang mana sebagai ketua editor Dja Endar Moeda dan wakil editor Kamaroedin (anak Dja Endar Moeda) (lihat De Sumatra post, 30-12-1909). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda alumni Kwekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Dja Endar Moeda sebelumnya telah memiliki surat kabar Pertja Barat di Padang (1899), menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli di Sibolga (1900) dan menerbitkan majalah Insulinde di Padang (1901) dan surat kabar berbahasa Belanda di Padang, Sumatra Nieuwsblad (1904) dan surat kabar Pembrita Atjeh di Kota Radja (1907).

Pada tahun 1909 Kota Medan ditingkatkan statusnya menjadi Kota Praja (Geemeente). Gemeente Medan terdiri dari dua wijk (keluarahan). Satu kelurahan di area orang-orang Eropa/Belanda dipimpin oleh orang Belanda sedangka satu kelurahan lain dipimpin oleh Sjech Ibrahim alias Mohamad Yacoub gelar Soetan Kinajan. Sjeh Ibrahim adalah kamponghoofd pertama di Kota Medan.

Pada tahun 1915 status Residentie Oostkust Sumatra ditingkatkan menjadi Province (dipimpin oleh seorang Gubernur). Pada tahun 1915 inilah perserikatan sepakbola Oost Sumatra (OSVB) dibentuk (dan DVB melebur ke OSVB). Lalu pada tahun 1918 Wali Kota (Burgemeester) Gemeente Medan diangkat (Daniel Mackay). Sejak 1909 Gemeente Medan (dengan dua kelurahan) masih dipimpin langsung oleh Asisten Residen Medan dan baru tahun 1918 ini dialihkan kepada seorang Wali Kota (baru).

Pada tahun 1918 anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan dipilih melalui pemilihan umum. Sejak 1909 anggota dewan kota yang dipimpin oleh Asisten Residen prosesnya hanya ditunjuk oleh pemerintah. Para anggota dewan adalah para pengusaha pertanian (planter), direktur perusahan lainnya, kapitein/major der Chinees, para pangeran dari Kesultanan. Sejak 1981 (bersamaan dengan pengakatan Burgemeester) penentuan  anggota dewan dengan cara demokratis melalui pemilihan. Para pemilih dibagi ke dalam kelompok Eropa, pribumi dan timur asing. Untuk pemilih orang Eropa adalah syaratnya dewasa (17 tahun), tetapi untuk orang pribumi dan timur asing mensyaratkan calon pemilih didasarkan pada kriteria tingkat pendapatan tertentu. Jadi, tidak semua penduduk dewasa orang pribumi dan timur asing sebagai pemilih. Pribumi pertama yang terpilih di Medan, untuk menjadi anggota gemeenteraad adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, seorang mantan guru dan kini menjadi penilik sekolah di Oostkust Sumatra yang berkantor di Medan.

Anggota dewan Kota Medan berikutnya yang berasal dari Padang Sidempuan dan cukup terkenal antara lain: Abdullah Lubis (Direktur Perwata Deli), penerus Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng. Lalu kemudian pada periode berikutnya berlanjut kepada Abdul Hakim Harahap, GB Josua Batubara dan Dr. Gindo Siregar. Abdul Hakim Harahap, pejabat keuangan di Kantor Bea dan Cukai Medan/Belawan terpilih tahun 1930 (tiga periode hingga 1938). Abdul Hakim Harahap yang lahir di Sarolangoen Djambie tahun 1905 berarti masih bermur 25 tahun untuk menjadi anggota dewan kota. Pada tahun 1935 Abdul Hakim Harahap mendirikan klub Sahata yang juga bertindak sebagai pemain. Pada tahun 1938 pimpinan klub Sahata diteruskan oleh GB Joshua Batubara (pemilik Joshua Instituut) dan juga menjadi anggota dewan kota. Sebelumnya, pada tahun 1924 untuk kali pertama (pulau) Sumatra dibagi ke dalam empat dapil: Province Oostkust Sumatra,  Noord Sumatra Residentie Tapanoeli West Sumatra dan Zuid Sumatra diberi jatah untuk masing-masing satu wakil ke dewan pusat (Volksraad) di Batavia. Anggota Volksraad yang terpilih dari dapil Noerd Sumatra Tapanoeli adalah Dr. Alimoesa Harahap dan dari Oostkust Sumatra Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon. Untuk periode berikutnya dari Nord Sumatra terpilih Dr. Abdul Rasjid Siregar dan dari Oost Sumatra kembali terpilih Mangaradja Soangkoepon.  Untuk periode selanjutnya hingga berakhirnya era kolonial Belanda kedua anggota Volksraad ini tidak terkalahkan. Dengan demikian selama empat periode Mangaradja Soangkoepon mewakili Provinsi Ooostkust Sumatra di Volksraad (menjadi anggota dewan seumur hidup dari Sumatra Timur); sedangkan Dr. Abdul Rasjid Siregar anggota Volksraad selama tiga periode. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon (kelahiran Padang Sidempoean) adalah abang kandung dari Dr. Abdul Rasjid Siregar (kelahiran Padang Sidempoean).

Nama Noord Sumatra muncul kali pertama saat pemilihan Volksraad tahun 1924. Wilayah Noord Sumatra dalam hal ini meliputi Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. Dengan demikian (pulau) Sumatra terdiri dari empat pemilihan: Oost, Noord, West dan Zuid. Lalu kemudian, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945), pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang mana ditunjuk tiga orang anggota untuk memimpin Sumatra: Mr T Mohammad Hasan sebagai Gubernur dan Dr. Amir sebagai Wakil Gubernur yang bertugas untuk menyusun pemerintahan serta Mr. Abdul Abbas Siregar untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KN) dan Dewan Daerah. Setelah PPKI menetapkan ibukota Provinsi Sumatra di Medan ketiga tokoh ini berangkat ke Sumatra. Pada tanggal 29 Agustus 1945 Gubernur dan Wakil Gubernur tiba di Kota Medan. Namun sebelum mereka tiba di Medan sudah lebih dahulu tiba pasukan peninjau sekutu. Kelambanan inisiatif untuk bergerak Mr T Mohammad Hasan dan Dr. Amir di Medan menjadi awal perkara. Proklamasi kemerdekaaan RI baru diumumkan keduanya ke publik baru terjadi pada tanggal 30 September 1945. Sementara di Residentie Tapanoeli berita kemerdekaaan Indonesia sudah sejak lama beredar luas. Pada tanggal 3 Oktober 1945 Provinsi Sumatra dibagi ke dalam 10 keresidenan: Tapanoeli, Atjeh; Sumatera Timur, Sumatera Barat. Untuk Residen Sumatra Timur diangkat M. Yusuf (kemudian digantikan oleh Mr. Luat Siregar), sementara Residen Tapanoeli diangkat Dr. FL Tobing (kemudian digantikan oleh Abdul Hakim Harahap), sedangkan Mr. Abdul Abbas Siregar (Anggota PPKI), anak Medan diangkat menjadi Residen Lampoeng (kemudian digantikan oleh Mr. Gele Haroen Nasution). Sejumlah penasehat gubernur diangkat antara lain Mangaradja Soangkupon dan Dr. Pirngadi. Sementara untuk wali kota angkat empat orang: Hasan juga mengangkat empat Wali Kota untuk empat kota madya di Sumatera yaitu;  Mr. Luat Siregar di Medan, Dr. Abdul Hakim Nasution di Padang, Barnawi di Bukit Tinggi dan Ibrahim di Palembang. Di Residentie Sumatra Timur diangkat ketua KNI yakni Dr. Djabangoen Harahap. Dalam perkembangannya, ekskalasi politik yang meningkat di Medan dan Sumatra Timur sehubungan dengan semakin menguatnya sekutu/Belanda, ibukota Provinsi Sumatra dipindahkan ke Pematang Siantar. Setelah agresi militer Belanda pertama (1947) ibukota dipindahkan ke Bukitinggi. Sejak itu Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi (Sumatera Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan) yang dipimpin oleh residen. Residen Sumatra Utara adalah Mr. SM Amin Nasution dan Residen Sumatra Tengah Mr. Masdoelhak Nasution Ph.D. Namun tidak lama kemudian Masdoelhak ditarik ke Djogjakarta sebagai penasehat hukum Soekarno dan M. Hatta. Pada serangan agresi militer Belanda tanggal 19 Desember 1948 ke Djogjakarta Masdoelhak Nasution diculik militer Belanda dan lalu dibunuh, sementara Soekarno dan M. Hatta ditahan dan diasingkan. Pembunuhan terhadap Masdoelhak Nasution, intelektual muda Indonesia membuat PBB marah dan meminta Den Haag untuk melakukan penyelidikan.

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggak 27 Desember 1949, pemerintahan mulai dibentuk sebagai hasil perjanjian KMB. Presiden Soekarno membentuk kabinet RIS (federal) yang dipimpin oleh M. Hatta, tetapi di Djogjakarta dibentuk kabinet tandingan (Republik) yang mana sebagai Wakil Perdana Menteri adalah Abdul Hakim Harahap. Dalam fase dualisme pemerintahan inilah muncul Kongres Rakyat di Medan dan kemudian terbentuk NKRI (NST dibubarkan). Dalam proses reorganisasi pemerintah di Medan dibentuk Provinsi Sumatra Utara (Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur). Nama Sumatra Utara sendiri sudah muncul sejak 1924 yang meliputi Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. Sejak Atjeh dibentuk menjadi provinsi pasca pemberontakan Atjeh maka Sumatra Utara hanya tinggal Tapanuli dan Sumatra Timur. Hanya tinggal Tapanuli sebagai ahli waris nama Sumatra Utara.

Sebagaimana di deskripsikan sebelumnya, Abdul Hakim Harahap pada tahun 1951 diangkat menjadi Gubernur pertama Provinsi Sumatra Utara (pasca pengakuan kedaultan RI oleh Belanda). Sebelumnya pada tahun 1950, GB Joshua Bataubara, Wakil Ketua Front Nasional Medan (Ketua adalah Dr. Djabangoen Harahap) menjadi Ketua Panitia Perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk kali pertama di Medan dan untuk kali pertama di Medan dinyanyikan lagu Indonesia Raya. Pada Perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan tahun 1951 Ketua Panitia adalah Gubernur Suimatra Utara Abdul Hakim Harahap.   

Tiga tokoh utama sepakbola Medan (antar generasi)
Secara historis, sejatinya ada empat tokoh penting yang juga gibol di Medan yang memberi kontribusi sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan sepak bola (pribumi) di Medan. Empat tokoh penting beda generasi tersebut adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, Abdul Hakim Harahap dan GB Joshua Batubara serta Marah Halim Harahap. Keempatnya kebetulan sama-sama berasal dari Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda dapat dikategorikan sebagai perintis karena mendirikan klub pribumi pertama di Medan (Letterzetter VC 1903 yang kemudian menjadi Tapanoeli VC 1907). Abdul Hakim Harahap dapat dikategorikan sebagai penggalang dengan mendirikan klub Sahata 1935 (dan penggagas pembangunan stadion Teladan, 1952). GB Joshua Batubara dapat dikategorikan sebagai pendobrak, atas nama klub Sahata melakukan protes terhadap pengurus OSVB yang menyebabkan klub-klub pribumi (Sahata, UVV dan MSV) keluar dari OSVB dan membentuk perserikatan sepak bola pribumi (PERSEDELI) tahun 1941. Selanjutna tokoh berdirinya PSMS (yang baru) pada tanggal 21 April 1950 adalah GB Joshua Batubara (sebagai Wakil Ketua Front Nasional Medan dan pimpinan klub Sahata). Marah Halim Harahap (Gubernur Sumatra Utara sejak 1967) dapat dikategorikan sebagai penegak dengan membesarkan PSMS melalui penyelenggaraan turnamen sepakbola Marah Halim Cup (1972-1995).

Setelah 10 tahun menjabat gubernur, akhirnya Marah Halim Harahap lengser keprabon pada tahun 1978. Seperti apa figur tokoh sepak bola Medan ini saya dapat memahami. Ketika saya masih mahasiswa, pada tahun 1985 saya pernah bertemu Marah Halim Harahap di kediamannya di Jakarta. Marah Halim Harahap berumur panjang. Marah Halim Harahap meninggal dunia dalam usia 94 tahun. Meninggal pada hari Kamis, 3 Desember 2015 pukul 06.00 WIB di rumah sakit Permata Bunda, Medan. Dimakamkan pada hari yang sama di Taman Makam Pahlawan, Medan.

Hari Lahir PSMS Sebenarnya: 7 Juli 1907 (07-07-07)

Pada tanggal 19 Maret 1950 diadakan rapat umum untuk menentukan penyelenggaraan Kongres Rakyat di Medan. Perlunya Kongres Rakyat diprakarsai oleh Front Nasional Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-03-1950). Front Nasional adalah gerakan di depan oleh pejuang Republik Indonesia (Republiken) untuk mendukung NKRI. Front Nasional tidak hanya di Medan tetapi juga ada di Soerabaja. Ketua Front Nasional Medan adalah Dr. Djabangoen Harahap dan Wakil Ketua Mr. GB Joshua Batubara. Untuk penyelenggaraan Kongres Rakyat yang akan diadakan di Medan dibentuk panitia yang mana sebagai Ketua Panitia adalah Mohammad Said (Pemimpin Harian Waspada). Kongres Rakyat akan diadakan beberapa hari yang akan dimulai pada tanggal 27 April 1950.

Untuk menyemarakkan kegiatan Kongres Rakyat akan diadakan turnamen sepakbola yang diikuti oleh empat klub. Hasil penjualan tiket dari turnamen sepak bola tersebut akan disumbangkan untuk Kongres Rakyat (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-04-1950). Hasil pertandingan hari pertama (14-03-1950) klub Sahata vs Deli Mij yang dimenangkan klub Sahata dengan skor 4-2. Pada hari kedua bertemu klub Medan Poetra vs Black and White dengan kedudukan 6-0. Klub Sahata menjadi juara turnamen pada tanggal 16 April (Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-04-1950). Pimpinan klub Sahata adalah GB Joshua Batubara dan Manajer Tim klub Sahata adalah Kamaroeddin Panggabean (mertua Djadjang Nurdjaman, Pelatih PSMS yang sekarang).

Muncul reaksi dari pihak Negara Sumatra Timur (NST) dengan membuat kongres tandingan yang disebut Permusjawaratan Rakjat (Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-04-1950). Di Djakarta, RIS yang dipimpin oleh M. Hatta coba mempengaruhi Kongres Rakyat (paling tidak menunda dulu). Lalu Djakarta (RIS) menawarkan konferensi vierhoeks-conferentie (empat pihak) pada tanggal 25 April di Djakarta (Algemeen Handelsblad, 20-04-1950). Dr Mansoer (Wali NST) tengah berada di Djakarta menentang keras upaya RI melikuidasi NST. Letak keberatan utama Dr. Mansoer adalah bukan soal kesatuannya tetapi lebih pada dominasi Djokja (ibukota RI).

Saat itu terdapat dualisme pemerintahan di Indonesia: Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Republik Indonesia (RI). Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda dibentuk RIS pada tanggal 20 Desember 1949 di Djakarta yang dipimpin oleh M. Hatta (sebagai Perdana Menteri). Pada tanggal yang sama dibentuk kabinet RI di Djokjakarta. Pada saat kisruh RI vs RIS di NST yang menjadi Perdana Menteri RI di Djokjakarta adalah Abdul Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim Harahap. Delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Abdul Hakim Harahap, Residen Tapanoeli yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis) bertindak sebagai penasehat ekonomi RI (ketua delegasi adalah M. Hatta). Sepulang dari KMB tampaknya antara Abdul Hakim Harahap dan M. Hatta memiliki cara pandang yang berbeda tentang Indonesia. M. Hatta melihat Indonesia sebagai RIS (negara-negara federal) sedangkan Abdul Hakim Harahap melihat Indonesia sebagai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Abdul Hakim Harahap semasa muda di Medan adalah pendiri klub Sahata yang juga pemain inti.

Pada tanggal 23 April 1950 Ketua Panitia Kongres Rakyat, Mohammad Said pulang dari Djakarta yang mana kemudian M. Hatta menarik keberatannya atas penyelenggaraan Kongres Rakyat. Sebab, para Republiken di Medan tetap teguh pada tanggal Kongres Rakyat 27 April  (Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-04-1950). Keraguan M. Hatta tentang Kongres Rakayat tidak begitu jelas, tetapi Komandan APRI di Sumatra Utara, Kolonel M Simbolon menjamin Kongres Rakyat akan aman (Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-04-1950). Lalu di Medan, agenda Kongres Rakyat diumumkan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-04-1950). Isi pengumuman itu antara lain waktu kongres dari tanggal 27 sampai 30 April (Kamis-Minggu). Pada saat jelang hari Kongres Rakyat, Tim Sepakbola Medan berangkat ke Djakarta.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-04-1950: ‘Tim Perserikatan sepak bola Medan (Bondsteam) berangkat ke Jakarta. Dengan penerbangan GIA pagi ini, para pemain dan offisial tim sepak bola Medan, yang akan ambil bagian dalam Kejuaraan Antar Kota 1950 di Jawa, meninggalkan bandara Medan yang dilepas oleh sejumlah pegiat olahraga. Seperti yang Anda tahu, Medan akan memainkan tiga pertandingan pertamanya di turnamen ini pada akhir minggu mendatang’.

Keberangkatan tim sepak bola Medan ke Djakarta dalam rangka Kejuaraan Antar Kota 1950 yang diselenggarakan oleh VUVSI/ISNIS (suksesi NIVU). Federasi NIVU diaktifkan kembali tanggal 29 Desember 1946 di Batavia, lalu menyelenggarakan kejuaraan pada tahun 1947 dan 1948. Jelang berakhirnya kejuaraan tahun 1948 pada bulan Oktober NIVU diubah menjadi VUVSI/ISNIS. Pada kejuaraan tahun 1949 Tim Medan diundang tetapi mengundurkan diri dan baru pada kejuaraan tahun 1950 Tim Medan bisa hadir. Tim Medan (VBMO/PSMS) akan memulai pertandingan di Djakarta pada tanggal 29 April 1950 melawan Tim Bandoeng.

Sementara Kejuaraan Antar Kota yang diselenggarakan oleh PSSI di Semarang baru terjadi pada tanggal 2,3 dan 4 September 1950. Bersamaan dengan kejuaraan ini diselenggarakan Kongres PSSI pertama (setelah perang kemerdekaan). Pada tanggal 2 September diproklamirkan PSSI yang baru (PSSI diaktifkan kembali). Sementara tim yang bertanding hanya diwakili oleh juara dari empat wilayah yakni PSIS (Jawa Tengah), Persebaya (Jawa Timur), Persidja dan Persib (Jawa Barat). Juara adalah Persebaya. PSMS tidak hadir karena tidak siap, tetapi ada dua pemain PSMS yang dipinjam oleh Persidja yakni Agus Ramlan dan Abidin. Uniknya salah satu pemain (Chaeruddin Siregar) yang dikirim VBMO/PSMS pada Kejuaraan Antar Kota VUVSI/ISNIS pada bulan April 1950 tidak kembali ke Medan dan menetap di Djakarta dan kemudian bergabung dengan Persidja. Sehingga dengan demikian, dalam Tim Persidja di Semarang terdapat tiga pemain asal Medan.

Tim Medan (VBMO/PSMS) yang berangkat ke Djakarta adalah sebagai berikut: Oesmansjah, [Remus] Tobing, Gus Ramlan, Cornel [Simanjuntak], Rais, Chairuddin [Siregar], Sunarjo, T. Dzat, Ramli, Foeng Min, Kliwon, Sarpi, T. Effendi, Rikimah, Firdaus en Mahrum (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-04-1950). Disebutkan para pemain Tim Medan ini akan diantar oleh Madja Purba (voorzitter der VBMO-PSMS), Soeleiman Siregar (Bondssecretaris), T. Harris Hafas (bestuurslid), Mochtar Siregar en Panangaran Siregar (leden van de keuzecommissie). Tim Medans akan menghadapi Bandung pada tanggal 29 April,  30 April melawan Jakarta dan kemudian pada tanggal 1 Mei melawan Semarang. Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-04-1950 menyebutkan terlah terjadi perubahan, Firdaus digantikan oleh Pesch (orang Belanda) dan Rikimahu juga digantikan oleh Dangas. Untuk Tim Manajer ditunjuk Soeleiman Siregar. Sebagai pemimpin delegasi ini, Bondsvoorzitter, Madja Purba akan menghadiri pertemuan tahunan VUVSI/ISNIS  yang diadakan setiap tahun setelah usai Kejuaraan Antar Kota.

Soeleiman Siregar, T. Harris Hafas, Mochtar Siregar dan Panangaran Siregar adalah orang-orang yang terlibat sepak bola sejak lama. Soeleiman Siregar pemain MSV (Sumatra post, 03-08-1934) dan juga pegawai kantor inspectiekantoor van Financiën, te Medan (Bataviaasch nieuwsblad, 04-04-1941); Mochtar Siregar adalah mantan pemain UKVC dan Deli Mij sebelum pendudukan Jepang, Sementara Panangaran Siregar adalah pemain PSV Medan ketika masih di bangku sekolah MULO di Medan (De Sumatra post, 12-05-1932) dan pemain klub Unie Tebingtinggi bersama Mochtar Siregar (De Sumatra post, 18-11-1933). Panangaran Siregar juga adakalanya menjadi wasit (De Sumatra post, 09-04-1936), dan pemain Sahata bersama Kamaroeddin Panggabean (De Sumatra post, 04-07-1938). Selanjutnya Panangaran Siregar kerap menjadi wasit pertandingan. T. Harris Hafas adalah abang dari T Razali Hafas yang mana Razali Hafas adalah pemain Medan Poetra yang didirikan pertengahan tahun 1947.  Razali Hafas memulai karir sepak bola di Medan tahun 1939 bermain di Medanse Sport Vereeniging (MSV). Pada tanggal 20 Oktober 1949 Razali Hafas berangkat ke Belanda. Ayah mereka T Hafas, Direktur Kabinet NST Dr Mansoer, pada era kolonial Belanda adalah pemain MSV. Panangaran Siregar cetak gol (De Sumatra post, 04-07-1938).

Para offisial VBMO/PSMS yang berangkat ke Djakarta adalah Madja Poerba (Ketua VBMO/PSMS), Soeleiman Siregar (Sekretaris VBMO/PSMS), T. Harris Haf (Ketua Komisi VBMO/PSMS), Mochtar Siregar dan Panangaran Siregar (anggota Komisi VBMO/PSMS). Mereka ini adalah pengurus VBMO/PSMS yang berangkat dari Medan tanggal 26 April 1950 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-04-1950).

Kembali ke pertanyaan awal. Mengapa kelahiran PSMS disebut tanggal 21 April 1950. Faktanya bahwa VBMO/PSMS masih eksis dan tengah mengikuti Kejuaraan Antar Kota yang diselenggarakan oleh VUVSI/ISNIS. Tim yang mewakili Djakarta adalah Tim VBO dan Tim Soerabaja adalah Tim SVB/PSS. Dengan kata lain saat ini bukan Persidja yang mewakili Djakarta demikian juga bukan Persebaya yang mewakili Soerabaja. Tentu saja, Tim Medan tidak diwakili oleh PSMS melainkan VBMO/PSMS. Para pengurus VBMO/PSMS adalah para tokoh federalis (NST): Madja Purba, anggota delegasi NST dalam proses integrasi ke NKRI; T Harris Hafas, anak dari T Hafas Direktur Kabinet Wali Negara Dr. Mansoer; Soeleiman Siregar, alumni STOVIA, pemain sepak bola di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1949); dan Panangaran Siregar, Kepala Departemen Tenaga Kerja Departemen Urusan Sosial Departemen NST (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-08-1950) yang kemudian menjadi pejabat di Kementerian Tenaga Kerja RI (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-10-1951); serta Mochtar Siregar, pegawai swasta di Medan, mantan pemain sepak bola di Medan.

Kongres Rakyat di Medan yang dimulai tanggal 27 April diikuti oleh 417 Anggota Kongres dan dihadiri sebanyak 225 pengamat (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-04-1950). Hasil Keputusan adalah bahwa NST harus dilikuidasi (dibubarkan) dan RI membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keputusan Kongres Rakyat di Medan berbeda dengan Hatta. Keputusan lain, RIS harus mengakui Kongres Rakjat sebagai parlemen demokratis, yang dapat dianggap mewakili 1,5 juta penduduk Sumatra Timur. Dengan suara bulat meminta NST dibubarkan karena NST adalah warisan dari van Mook. Kemudian lima orang panitia ditunjuk yang masing-masing sebuah komisi (politik, ekonomi, budaya, agama dan sosial). Panitia ini akan mempelajari saran dari Kongres Rakyat secara lebih rinci dan melaporkan berbagai aspek masalah ini. Masing-masing ketua komisi mewakili dan terwakili semua kelompok politik, yakni GB Joshua Batubara, M. Jusuf, Jusuf Adjitorop, Hadji Rahman Shihab dan H. Silitonga. Lalu dalam perkembangannya jumlah komisi ditambah yakni dari golongan progresif  Dr. Gindo Siregar dan golongan Karo. Dalam hubungan keterwakilan ini, Asosiasi Belanda adalah bahwa mereka tidak ingin ikut campur dalam politik domestik negeri ini. Sementara kelompok Tionghoa menerima undangan tersebut dan mengirim tiga perwakilan. Sedangkan kelompok India belum ada jawaban yang diterima. Di lain pihak, dari Permusjawaratan Rakyat dilaporkan hanya dua wilayah yang tidak mengakui Hasil Kongres Rakyat yakni satu wilayah yang memiliki penduduk sebanyak 4.200 orang dan satu wilayah lagi yang berpenduduk 1.200 orang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1950).

Hasil dari Kejuaraan Antar Kota VUVSI/ISNIS 1950, di Djakarta pada tanggal 29 April Tim Medan mengalahkan Tim Bandung dengan skor 3-0. Hari berikutnya Tim Medan dikalahkan oleh Tim Djakarta dengan sekor 0-2 dan pada hari ketiga (1 Mei) Tim Medan imbang dengan Tim Semarang (2-2) (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-05-1950). Pada putaran terakhir yang diselenggarakan di Bandung tanggal 25 Mei Tim Medan mengalahkan Tim Makassar dengan skor 2-1. Dua nari berikutntnya Tim Medan dikalahkan Tim Surabaya dengan skor 0-1 dan pertandingan berikutnya tanggal 29 Mei Tim Medan dikalahkan oleh Tim Malang dengan skor 1-3. Dalam klassemen akhir Tim Medan hanya berada di posisi kelima (juara adalah Tim Soerabaja).

Setelah pusat (Djakarta) menyetujui hasil Kongres Rakyat di Medan, maka dalam proses likuidasi NST tersebut dan dalam proses menjadi NKRI di Sumatra Timur masing-masing diwakili oleh tim perwakilan. Salah satu dari pihak RI adalah GB Joshua Batubara dan Madja Purba sebagai salah satu dari pihak NST. GB Joshua Batubara adalah pemilik Perguruan Joshua, pimpinan klub Sahata dan Wakil Ketua Front Nasional Medan. Sedangkan Madja Purba adalah Ketua Pengurus VBMO/PSMS (sejak 27 Januari 1950).  

Sementara itu, apakah PSMS yang berafiliasi dengan PSSI sudah ada? Tidak diketahui secara jelas. Namun demikian, Tim PORI-Sepakbola Djakarta (yang kemudian berubah menjadi Persidja) datang melawat ke Medan di bawah koordinasi Panitia Pembangunan Djokja [ibukora RI] di lapangan Medan Poetra di Djalan Radja (Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-11-1949). Dijadwalkan tanggal 22 November tim kombinasi Sahata/Deli Mij  vs PORI, 23 Novvember antara Medan Poetra vs PORI dan 26 November antara Tim Perserikatan Indonesia (Indonesisch Bondselftal) vs PORI. Dalam hal ini dapat ditambahkan bahwa PORI Djakarta memiliki divisi sepakbola, sedangkan PORI Medan tidak/belum memiliki divisi sepakbola. PORI Medan antara lain memiliki divisi basket yang mana dalam hal ini Sahata sendiri memiliki klub basket di dalam PORI Medan.

Dengan memperhatikan deskripsi di atas, apakah tanggal 21 April 1950 adalah hari lahir PSMS? Dari pihak VBMO/PSMS tidak ada alasan menyatakan tangal 21 April 1950 sebagai hari lahir, sebab VBMO/PSMS yang diketuai oleh Madja Purba (federalis/NST) sejak 27 Januari 1950 masih aktif yang diperankan oleh JJ Barends (sekretaris). Tim VBMO/PSMS ini yang diduga kuat berangkat pada tanggal 26 April 1950 ke Kejuaraan Antar Kota VUVSI/ISNIS di Jawa. Tim VBMO/PSMS yang berangkat pada tanggal 26 April 1950 ke Kejuaraan Antar Kota VUVSI/ISNIS di Jawa faktanya terdapat Ketua VBMO/PSMS Madja Purba.

Logo PSMS
Lantas apakah tanggal 21 April 1950 sebagai hari kelahiran PSMS versi Republiken? Boleh jadi, sebab Tim PORI-Djakarta yang Republiken sudah datang ke Medan bulan November 1949 melawan tim-tim pribumi. Satu hal lagi, jelang Kongres Rakyat (yang dimulai 27 April 1950) diadakan turnamen pada tanggal 14, 15 dan 16 April 1940 yang mana juara adalah klub Sahata. Hasil penjualan tiket dari turnamen ini diberikan kepada (Panitia) Kongres Rakyat, yang notabene adalah kongres para Republiken. Apakah pada tanggal 21 April, setelah turnamen telah diproklamirkan PSMS yang baru (versus VBMO/PSMS). Masuk akal, tetapi tidak cukup data/informasi pendukung. Di sisi lain, cukup banyak data yang tersedia di sekitar tanggal 21 April ini Adinegoro dan Dr. Pirngadi tidak berada lagi di Medan. Oleh karenanya buku yang menyebutkan (juga telah dikutip Wikipedia) yang menyatakan PSMS didirikan tanggal 21 April 1950 oleh enam klub dan enam tokoh Adinegoro, Dr. Pirngadi, Madja Purba, T. Harris, Soeleiman Siregar dan Tedja Singh, jelas-jelas tidak berdasar (tidak bersifat empiris). Angka enam yang muncul juga dikaitkan pula dengan enam helai daun yang terdapat dalam logo PSMS yang sekarang. Meski ini di satu sisi tampak mengada-ada, tetapi di sisi lain hal itu justru menjadi masalah serius. Apakah sejarah kelahiran PSMS telah dipalsukan?

Dalam perkembangannya, NST bubar dan NKRI terbentuk di Sumatra Timur. Pengesahan NKRI (NST dibubarkan) terjadi tanggal 14 Agustus 1950. Lalu dibentuk perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI di Medan pada tanggal 17 Agustus 1950 (yang kali pertama dilakukan di Medan). Ketua Panitia Perayaan 17 Agustus 1950 adalah GB Joshua Batubara. Apakah di Medan sebelum tanggal 17 Agustus sebagai hari Proklamasi Kemerdekaan RI sudah terjadi proklamasi PSMS yang baru?

Setelah NST bubar dan NKRI terbentuk di Sumatra Timur yang berpusat di Medan, pada akhirnya kabinet Mohammad Hatta (federal) maupun kabinet Abdul Hakim Harahap (republik) sama-sama dibubarkan pada tanggal 6 September 1950 dan lalu digantikan oleh kabinet Mohammad Natsir (republik). Inilah kemenangan faham republik atas faham federal di bumi Indonesia yang telah merdeka dan telah diakui oleh Belanda. Dengan kata lain, perjuangan NKRI dimulai di Sumatra Timur. Ingat KNRI, ingat Sumatra Utara (Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur). Tidak lama kemudian setelah kabinet Mohammad Natsir bekerja, proses pembentukan provinsi Sumatra Utara juga kelar. Untuk menempati posisi Gubernur Sumatra Utara yang pertama diangkat Abdul Hakim Harahap pada 25 Januari 1951. Abdul Hakim Harahap adalah juga pendiri dan sekaligus pemain inti klub Sahata Medan. Dalam perkembangan berikutnya nanti Gubernur Abdul Hakim Harahap meminta para stakeholder sepak bola di Medan untuk mereorganisasi PSMS dan memilih pengurus (yang kemudian terlaksana pada tanggal 24 Februari 1952). Ketua terpilih adalah Komisari Amir Hamzah (mantan pemain klub VOP/polisi di era kolonial Belanda yang kini menjadi ketua klub POP/polisi) dan sekretaris adalah Kamaroeddin Panggabean (mantan pemain klub Sahata di era kolonial Belanda yang kini menjadi pengurus inti klub Sahata). Tamat era Madja Purba/JJ Barends, berkibar era Amir Hamzah/Kamaroeddin Panggabean. Tamat VBMO/PSMS, muncul PSMS (saja).

Untuk menggairahkan jelang perayaan ini diadakan turnamen sepak bola dalam dua divisi yang dimulai tanggal 12 Agustus 1950 (jelang pengesahan NKRI tanggal 14 Agustus 1950). Final Divisi-1 (kelas utama) dilangsungkan di stadion Keboen Boenga (yang selama ini menjadi markas VBMO/PSMS) pada hari perayaan 17 Agustus antara klub Sahata vs klub Medan Poetra. Klub Sahata menjadi juara. Klub Sahata didirikan tahun 1935, sedangkan klub Medan Poetra didirikan tahun 1947 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-10-1949).

Versi lain bahwa hari lahir PSMS yang baru boleh jadi tanggal 12 Agustus 1950. Hal ini didasarkan pada permulaan menaikkan bendera PSMS pada tanggal 12 Agustus 1955 dalam rangka perayaan lustrum (ulang tahun kelima) PSMS. Rencana lustrum PSMS ini diumumkan pada tanggal 28 April 1955 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1955). Lalu sebuah komite lustrum dibentuk di bawah kepemimpinan (Komisaris Polisi) I Gastina, Lalu perayaan kenyataannya diundur hingga bulan Agustus. Disebutkan bendera PSMS yang berkibar sejak tanggal 12 Agustus 1955 lalu diturunkan pada hari terakhir perayaan pada tanggal 28 Agustus 1950 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1955). Apakah pengikibaran bendera PSMS tanggal 12 Agustus 1955 sebagai hari lahir PSMS yang dikaitkan dengan permulaan turnamen sepak bola 12 Agustus 1950 sebagai prakondisi untuk pengesahaan NKRI tanggal 14 Agustus 1950.

Akan tetapi interpretasi (hasil analisis) ini yang menduga kelahiran PSMS tanggal 12 Agustus 1950 sangat lemah karena tidak ada informasi yang menyatakan secara eksplisit demikian. Oleh karenanya, tanggal 12 Agustus sebagai hari lahir PSMS (sebagaimana hari permulaan perayaan lustrum tanggal 12 Agustus) tidak dapat diklaim sebagai hari kelahiran PSMS. Sementara itu, jika memang pada tanggal 21 April 1950 sebagai hari lahir PSMS, itu berarti pengumuman lustrum yang dilakukan pada tanggal 28 Agustus 1955 adalah seminggu setelah tanggal 21 April 1950. Namun persoalannya tidak ada informasi yang menyatakan bahwa hari lahir PSMS jatuh pada tanggal 21 April 1950.

Sekali lagi, mengapa tanggal 21 April diklaim sebagai hari lahir PSMS sebagaimana yang diyakini hingga sekarang? Hasil analisisnya sebagai berikut. Pertama, VBMO/PSMS yang (masih) dipimpin oleh Madja Purba tidak ada alasan untuk menetapkan tanggal lahir karena VBMO/PSMS masih eksis ketika mengikuti Kejuaraan Antar Kota yang diselenggarakan oleh VUVSI/ISNIS. Madja Purba seorang yang pro federalis (NST) ikut sebagai delegasi ke kejuaraan tersebut yang berangkat tanggal 26 April 1950. Kedua, embrio PSMS versi Republik sudah muncul jelang Kongres Rakyat pada tanggal 27 April 1950. Kongres Rakyat bertujuan untuk membubarkan NST dan mendirikan NKRI. Jelang kongres dilakukan turnamen kecil yang berakhir pada tanggal 16 April dengan juara klub Sahata yang hasil keuntungan pertandingan diberikan kepada (panitia) Kongres Rakyat. Ketiga, lustrum pertama PSMS diadakan pada tahun 1955 dan itu berarti tahun kelahiran PSMS adalah tahun 1950. Pengurus PSMS tahun 1955 adalah tokoh-tokoh Republik (NKRI) dan hanya Mochtar Siregar yang tetap setia selama lima tahun sejak 1950 terlibat di PSMS. Lantas mengapa menetapkan hari lahir PSMS tanggal 21 April (1950)? Hal itu diduga karena tanggal 21 April 1950 hari penentuan akan dilangsungkannya Kongres Rakyat. Dengan kata lain, hari itu adalah awal perjuangan NKRI dimulai di Sumatra Timur. Hasil selanjutnya: NST dibubarkan, NKRI didirikan dan para Republiken (NKRI) mulai menata Indonesia di Sumatra Timur di segala bidang, termasuk menata kegiatan sepakbola. Namun demikian, dasar penetapan tanggal 21 April (1950) sebagai hari lahir PSMS tentu saja masih bisa diperdebatkan. 

Lepas dari tanggal 21 April 1950 sebagai hari kelahiran PSMS yang diketahui selama ini, sesungguhnya PSMS memiliki garis lurus ke belakang yakni VBMO/PSMS, lalu mundur ke belakang lagi yakni OSVB dan lalu mundur lagi lebih ke belakang yakni DVB. Hal ini karena, sejarah PSMS bermula dari DVB. Secara eksplisit para stakeholder sepak bola di Medan memulai rapat umum pertama pembentukan perserikatan pada tanggal 7 Juli 1907 (lihat De Sumatra post, 08-07-1907). Lalu kemudian, dengan dibentuknya OSVB pada tahun 1915, DVB secara terbuka menyatakan bersedia integrasi dengan OSVB (proses fusi). Sesuai perkembangan situasi dan kondisi, wilayah cakupan OSVB tidak efektif lagi, pada bulan September 1949 stakeholder sepak bola di Medan membentuk VBMO (proses fisi). Oleh karena untuk menyesuaikan kebijakan VUVSI (suksesi NIVU) pada tahun 1948 untuk menerjemahkan VUVSI sebagai ISNIS, maka VBMO yang dibentuk juga diterjemahkan sebagai PSMS dan lalu perserikatan sepak bola Medan disebut VBMO/PSMS.

Namun satu hal dalam proses panjang organisasi sepak bola di Medan ini ada satu hal yang tidak berubah yakni para stakeholdernya. Para pemain dan klub sepak bola di Medan sejak DVB didirikan pada tanggal 7 Juli 1907 terdiri dari Eropa/Belanda (Voortwaarts VC), pribumi (Tapanoeli VC) dan Tionghoa (CSC). Demikian juga pada era OSVB dan juga pada era VBMO/PSMS juga terwakili antara lain klub Sahata (pribumi), Tionghoa (Black and White) dan Eropa/Belanda (Juliana). Riwayat di Medan ini juga ditemukan di Makassar. Akan tetapi berbeda dengan di Jawa yang memang secara kontinu terdapat paling tidak tiga buah federasi (Belanda, pribumi, Tionghoa). Di Medan sempat terjadi muncul federasi sepak bola pribumi pada tahun 1923 dengan mengambil nama DVB (diprakarsai oleh Dr. Radjamin Nasution) dan pada tahun 1941 yang diprakarsai oleh GB Joshua (pimpinan klub Sahata) dengan membentuk federasi PERSEDELI. Namun klub-klub pribumi melebur kembali ke federasi OSVB dan federasi VBMO/PSMS.

Dengan demikian, sejak DVB dibentuk tanggal 7 Juli 1907 sebagai organisasi sepak bola di Medan secara alamiah sejatinya tidak pernah berubah secara radikal. Kisruh memang ada, tetapi kisruh diantara para stakeholder dalam soal teknis sepak bola dan organisasi, dan bukan kisruh secara politis. Di Jawa sendiri meski ada kisruh antara federasi Belanda dengan pribumi tetapi kisruh yang ada tidak bermuatan politik. Olah raga ya olah raga, sepak bola ya sepak bola. Urusan politik adalah urusan pemerintahan. Pemerintahan selama era kolonial Belanda tidak pernah membeda-bedakan antara satu federasi dengan federasi yang lain. Bagi pemerintah federasi sepak bola berbau Belanda, berbau Tionghoa dan berbau pribumi sama pentingnya. Pemerintah melihat federasi-federasi tersebut telah turut menggairahkan penduduk, karena sepak bola menjadi hiburan massal dan yang lebih penting bagi pemerintah dari kegiatan sepak bola terbentuk pendapatan (pemasukan) bagi pemerintah.

Pengurus PSMS tempo doeloe
Masih segar dalam ingatan bagaimana kisruh dalam soal dualisme federasi sepakbola Indonesia antara PSSI vs KPSI. Pada tahun 2010 muncul Liga Primer Indonesia sebagai reaksi kepada PSSI. Kompetisi yang dinaungi oleh KPSI ini tidak direstui oleh PSSI. Namun di mata pemerintah KPSI/LPI sah-sah saja dan lalu pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga memberi izin. Sementara di internal klub juga muncul dualisme di sejumlah klub seperti PSMS dan Persebaya. Namun persoalannya tidak hanya di sisi domestik tetapi menjadi persoalan di mata FIFA yang hanya merestui satu federasi. Akibatnya sepak bola Indonesia ditangguhkan dan diberi sanksi oleh FIFA tahun 2015. Sebagaimana kita ketahui, FIFA baru merestui sepak bola Indonesia ketika terjadi reorganisasi di dalam PSSI dengan struktur kepemimpinan yang baru sebagai ketua PSSI terpilih Edy Rahmayadi pada tahun 2017. Dengan struktur kepemimpinan yang baru liga Indonesia bergulir kembali dan kemudian PSSI diakui kembali oleh FIFA. Klub PSMS yang sempat kisruh selama dualisme federasi sepak bola Indonesia dengan munculnya dua versi PSMS lalu berproses hingga terbentuk PSMS seperti semula. PSMS di Liga Indonesia berada di Divisi-2 (Liga-2) dan berhasil promosi ke Liga-1 (Divisi-1) dengan pelatih baru Djadjang Nurdjaman (menantu tokoh sepak bola Medan, Kamaroeddin Panggabean, mantan pemain klub Sahata di era kolonial Belanda).

Oleh karena itu, organisasi sepak bola di Medan, sesungguhnya pula tidaklah harus dan hanya mengacu pada sisi politis (yang diduga lahirnya PSMS tanggal 21 April 1950), tetapi juga tidak salah secara alamiah organisasi sepak bola di Medan (yang kini disebut PSMS) memang secara historis cikal bakalnya adalah DVB yang dibentuk tanggal 7 Juli 1907. Bukankah pada era dualisme PSSI juga PSMS terbelah tetapi pada akhirnya PSMS tetap lestari dengan tetap mengacu pada hari kelahiran 21 April 1950?

Kronologisnya sebagai berikut: Pada Liga Indonesia ISL 2009/2010 PSMS terdegradasi. Pada fase dualisme federasi 2011/2012 PSMS muncul dua versi dan sama-sama masuk di Divisi-1 baik Liga ISL maupun Liga IPL. Namun keduanya mengalami nasib yang sama: yakni sama-sama terdegradasi, Pada tahun 2014 kembali menjadi liga tunggal (ISL). PSMS masih terbenam di Divisi-2. Pada tahun 2015 PSSI diberi sanksi FIFA. Pada tahun 1916 saat PSSI masih disanksi FIFA muncul Liga Torabica. Nama PSMS tidak ada (muncul PS TNI). Pada tahun 2017 PSSI reorganisasi dengan ketua terpilih Edy Rahmayadi dan Sanksi FIFA dicabut; Liga baru dimulai yang mana PSMS masuk di Liga-2 (Divis-2). PSMS akhirnya promosi ke Liga-1 (Divisi-1). Masa galau yang cukup lama tujuh tahun (2010-2017)0 para suporter PSMS mulai cerah. Masa galau yang cukup lama tujuh tahun (2010-2017) secara perlahan mulai dilupakan dan kini para suporter PSMS mulai terlihat cerah.

Namun masih ada soal yang tersisa. Mungkin suporter PSMS sangat galau jika klub sebesar PSMS digolongkan kelahirannya masih muda dan hanya disebut lahir tahun 1950.  Faktanya tidaklah demikian. Ini tentu saja bagi suporter tidak fair. Sementara itu para suporter klub-klub legendaris yang lain sangat bangga hari lahirnya mengacu pada umur tua (PSM sejak 1915; Persebaya, 1927, Persidja 1928, PSIS 1930 dan Persib 1933). Berccrmin dari klub-klub legendaris lainnya, memang terkesan sangat naif jika PSMS hanya diklaim lahir tahun 1950. Lantas apakah masih ada yang dibanggakan dari nama PSMS? Jika mengacu pada kelahiran DVB, seharusnya PSMS lahir tahun 1907, suatu angka tahun yang jauh lebih tua dari klub-klub legendaris yang lain. Toh juga secara historis sepak bola di Medan adalah sepak bola tertua di Indonesia yang dimulai tahun 1893 (ketika di kota-kota lain belum ada pertandingan sepakbola). Oleh karenanya kelahiran PSMS perlu kiranya direvisi dengan mengubah tanggal kelahiran 21 April 1950 menjadi 7 Juli 1907. Tanggal kelahiran PSMS ini dapat diringkas menjadi 07-07-07. Angka cantik, bukan? Demikian. Ik hoop dat PSMS wint. Dank je. Horas.

Jasmerah!


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

10 komentar:

  1. BANG MAU NANYA KALAU SEJARAH PSDS DELI SERDANG ADA BANG? COBA DIURAIKAN

    BalasHapus
  2. Sebenarnya ada Ridho, tetapi jangan melihatnya dari sudut padang masa kini, tetapi dari origin.Nama kabupaten Deli Serdang sendiri baru muncul pada tahun 1950an yang kemudian atas dasar itu terbentuk perserikatan PS Deli Serdang (PSDS). Meski pun demikian PSDS ini adalah kelanjutan sejarah sepak bola di Deli Serdang yang sejak awal disebut Afdeeling Deli en Serdang yang di dalamnya terdapat dua kota (gemeente) yakni Medan dan Tebingtinggi. Sepakbola yang bermula di Medan (afdeeling Deli en Serang) kemudian ke meluas ke Afdeeling Langkat. Di Afd Deli en Serdang dibentuk Deli Voetbal Bond (DVB) yang membawahi banyak klub, DVB menyelenggarakaan kompetisi (awalnya dalam berbagai strata). Pada divisi utama hanya klub-klub yang berkualitas dengan kriteria tertentu yang disertakan kompetisi. Pada tahun 1920 ada peraturan dari federasi nasional yang ikut berpaartisipasi pada kompetisi jenjang atas harus berbadan hukum. Salah satu klub yang ikut kompetisi pada tahun 1920an bermarkas di Tandjong Morawa namanya SVV (Senembah Voetbal Vereeniging) Klub ini cukup kuat karena didukung Senembah Mij. Pada tahun 1930an muncul klub baru Voorwaarts di Loeboek Pakam. Dua klub ini pemainnya berasal dari sekitar terutama perkebunan seperti pekerbunan Semembah Mij. Dalam perkembangannya dibentuk kompetisi Sumatra Timur OSVB yang terdiri dari empat afdeeling (Deli en Serdang, Langkat, Simaloengoen en Karolanden dan Asahan. Juara-juara bond afdeeling ini melakukan kompetisi papan ayas. Saya tidak tahu apakah SVV pernah juara. Klub-klub lokal (kecil) banyak di Tandjoeng Morawa dan Leoboek Pakam, beberapa yang terkenal klub Diana dan klub Polisi di Loebok Pakam. Lalu pada menjelang berakhirnya Belanda, munculnya PSMS (sementara OSVB masih eksis), PSMS ini yang berpusat di Medan juga meliputi wilayah sekitar di eks Afdeeling Deli en Serdang termasuk Tandjoeng Morawa. Pada akhir tahun 1949 di Loeboek Pakam terdapat dua kesebelasan (XI) tetapi namanya hanya dibedakan Loeboek Pakam I dan Loeboek Pakam II (klub polisi masih eksis). Setelah pengakuan kedaulatan dan NST menjadi NKRI maka secara defenitif dibentuk kabupaten Deli Serdang dengan ibu kota di Medan dan kemudian ibu kotanya pindah ke Loeboek Pakam) Dari era inilah muncul nama bond PSDS (hingga sekarang). Tentu saja bond PSDS itu mencakup semua klub-klub di wilayah Kab Deli Serdang (tentu saja klub SVV dan Voorwaarts tidak ada lagi). Saya kira seperti itulah sejarah PSDS. Pada masa ini terkesan sejarah PSMS dan PSDS berbeda, tetapi sebenarnya pada masa awal, berasal dari origin yang sama di afd. Deli en Serdang. Pada saat pemisahan (RI) itulah sejarah dua bond/perserikatan ini dilihat berbeda. Yang membuat bingung kan PSMS menganggap sejarahnya dimulai sejak 1950 padahal sejarah sepak bola di Medan sudah ada sejak 1890an dan DVB dibentuk tahun 1907 (lebih tua dari bond-bond besar di Jawa dan Sulawesi Selatan). Tapi mungkin itu soal selera yang membuat keputusan saat itu, tapi Sejarah Tetap Sejarah (yang tidak akan mengubah fakta).
    Demikian Bung Ridho.
    Teringat PSDS, teringat pula Ansyari Lubis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Playmaker handal di timnas, terimakasih atas responnya bung

      Hapus
    2. Mungkinkah ada arsip Psds ini bang diarsip nasional?? Siapa pendiri psds dan siapa ketua umum pertama psds? Adakah sumber tertulis ini di arsip nasional? Klo abg ada informasi tersebut boleh la di komen balik

      Hapus
    3. Iya betul, dia playmaker, Saya sering menontonnya di stadion Lebak Bulus (klub Pelita Jaya(tahun 1993 dst. Soal data PSDS, yang tidak punya data. PSDS disebut didirikan tahun 1958, data saya hanya berdasarkan surat kabar berbahasa Belanda hingga tahun 1957. Saran saya ada baiknya mengunjungi surat kabar Waspada di Medan sebab saya kira perpustakaan mereka masih menyimpan arsip edisi sejak 1950an. Hanya dari situ sumber yang mungkin bisa menjawab siapa pendiri dan siapa ketua umum pertama. Sarab ini juga sudah saya sampaikan kepada para peminat (komunitas) sejarah sepak bola di Bandung, Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

      Hapus
    4. Terima kasih atas sarannya pak, semoga komunitas sepak bola berlomba lomba mencari data sepak bola Psds yang berkaitan dengan ptpn9

      Hapus
  3. Saya sepakat dengan tulisan Abang tentang sejarah PSMS yang berdasarkan bukti-bukti arsip berbagai media kuno ini sebetulnya penentuan hari lahir PSMS tanggal 21 April 1950 ini tidak ada dasar referensi/informasi/pemberitaan sama sekali pada media-media era tsb. Saya juga sudah telusuri sumber-sumber yang Abang pergunakan dari https://www.delpher.nl/ dan https://www.rsssf.org/. Dua sumber ini nyaris menginformasikan yang sama, namun untuk sistematika penulisannya lebih mudah untuk menelusuri di rsssf.
    Kemudian di berbagai tulisan tentang sejarah PSMS yang ada internet ada lagi info yang "tidak jelas" referensinya, yaitu "dua klub asal Sumatera Utara yang pernah terbentuk pada tahun 1930 silam, mereka adalah Oost Sumatra Voetbal Bond (OSVB) dan juga Rumah Susun Football Club (RSFC), yang telah berdiri sejak awal tahun 1930-an". Tentang nama Rumah Susun Football Club tidak saya temukan hasil apapun dalam pencarian di berbagai media2 yg menjadi referensi Abang. Begitu juga dengan nama klub Al Wathan juga tidak saya temukan. Saya rasa nama Rumah Susun Football Club itu sangat tidak lazim bila muncul tahun 30-an, istilah "football club" saat itu tidak lazim (kalau "voetball" mungkin masuk akal), "Rumah Susun" nya juga sepertinya tidak masuk akal masa itu ada istilah Rumah Susun...
    Sementara untuk nama Indian Foot ball Team saya temukan ada tertulis pada berita di Het nieuwsblad voor Sumatra 28-01-1952 (Pada hari Minggu Deli Mij datang ke lapangan melawan tim Sepak Bola India , yang pertandingannya dimenangkan oleh Deli Mij 3-2.)..
    Untuk Medan Sport, mungkin yg dimaksud adalah Medan Sportvereniging (MSV)..

    Saya rasa untuk membenahi PSMS yang sekarang carut marut dan babak belur ini, seharusnya dimulai dulu dari "meluruskan sejarah"nya dulu... Karena sejarah itu merupakan "titik nol" dari sebuah spirit dari apa yang kemudian dibangun dan dikembangkan selanjutnya.. Jika titik nol nya saja sudah "meleset", tentu perjalanan selanjutnya akan makin besar "deviasi"nya...

    Saya rasa hal ini cukup urgen, untuk dibuat riset dan kajian yang melibatkan Abang dan para jurnalis serta sejarahwan, untuk menuliskan ulang dan meluruskan sejarah PSMS, yang nantinya perlu diseminarkan, serta dibakukan sejarah yang benar, berikut referensi2 pendukungnya...

    Dalam sejarah panjang PSMS versi Abang (yg didukung referensi2 valid) mengandung spirit yg lebih dalam, tentang sepakbola sebagai "nafas" warga Medan dan sekitarnya yang sangat majemuk, dan itu sudah berlangsung jauuuuh sebelum tahun 1950...

    Terima kasih Abangda... semoga sehat selalu... tulisan2 Abang sangat menarik dan mencerahkan.... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Bung Bachtiar telah mengingartkan saya tentang Indian Foor ball team (mungkin masih ada lagi, seharusnya tidak ada yang terlupakan, apalagi dilupakan). Sejarah PSMS Medan telah digabungkan dengan sejarah perserikatan lainnya di Indonesia dalam satu buku sebagai bagian dari serial buku Sejarah Menjadi Indonesia

      Hapus
    2. Buku Sejarah Menjadi Indonesia ini sudah diterbitkan kah Abangda...?

      Hapus
    3. Sayang sekali belum diterbitkan Bung Bachtiar. Sebenarnya ceritanya panjang, tapi saya ringkas saja. Sepuluh tahun lalu saya memulai rencana besar: Menulis sejarah seluruh Indonesia (dari Sabang hingga Merauke). Harapannya akan diterbitkan setelah saya pensiun. Tapi kelihatannya jauh sebelum pensiun saya sudah bisa mulai, mungkin satu, dua tahun lagi masuk ke proses penerbitan. Saat ini kajian saya masih berlangsung, sejak 10 tahun lalu hingga sekarang non stop. Masih ada beberapa wilayah lagi yang harus dituntaskan. Saat ini sedang menganalisis dan menulis serial sejarah Jambi (berikutnya menyusul serial sejarah Lampung, Bengkulu, Bangka-Belitung dan Madura). Mungkin saya akan kembali menyisip dengan menambahkan serial sejarah wilayah lainnya yang sudah ada (termasuk serial Sejarah Kota Medan), karena permintaan sejumlah pembaca di blog saya (tidak boleh ada yang terlupakan dan dilupakan). Dalam menulis serial Sejarah Menjadi Indonesia ini saya membuat dua template: Template pertama sebagai pemandu, striker/gelandang dalam bentuk artikel di blog (tidak diupdate) dan template kedua sebagai basis buku (sebagai bek/kiper), terus diupdate plus masukan dan koreksi dari para pembaca. Beberapa tahun terakhir ini tidak semua isi artikel diupload lagi (untuk menjaga agar tidak banyak kebobolan/kecolongan lagi, mengambil tanpa minta izin yang seharusnya hanya boleh mengutip dengan menyebut sumber). Sebenarnya dalam artikel-artikel saya di blog telah tergambar, misalnya dalam serial artikel Sejarah Medan dalam dua, mungkin tiga buku secara vertical (kompilasi semua artikel di blog), Sejarah Jakarta empat buku, demikian seterusnya yang sedang berlangsung sekarang Sejarah Jambi sebanyak dua buku. Kompilasi secara horinzontal juga dilakukan, seperti Sejarah Pendidikan di Indonesia, Sejarah Terbentuknya Kota-Kota di Indonesia, termasuk Sejarah Sepakbola (Perserikatan) di Indonesia. Dalam kerangka itulah yang saya maksud serial buku Sejarah Menjadi Indonesia. Calon-calon buku-buku tersebut (menjadi insentif/ekspektasi) yang membuat saya tetap bertahan (konsisten) relatif terhadap para Blogger sejaman dengan saya (karena ada yang saya tuju, mungkin mereka tidak menetapkan tujuan di awal). Seperti disebut di atas, saya belum selesai mempelajari semua sejarah di Indonesia, seperti saya katakan di atas, jangan ada yang terlupakan apalagi dilupakan. O iya, saya tidak bisa berlama-lama di kolom komentar blog, tapi kalau Bung Bachtiar ingin melanjutkan pembicaraan ini dapat melalui email saja. Saya juga tiap malam meluangkan waktu melakukan korespondensi via email/googlemeet dengan pembaca khususnya mahasiswa sejarah, jurnalis dan para peminat sejarah di daerah, tentu saja ada diantaranya para gibol—ingat lagi (soal) PSMS.
      Sehat selalu Bung Bachtiar
      Semoga suatu waktu kita bisa ketemu di Medan

      Hapus